Berpacu dalam Waktu, Mendorong Percepatan Dekarbonisasi Sistem Energi Indonesia

Deon Arinaldo

Jakarta, 14 Maret 2023 – Pemerintah Indonesia perlu ambisius lagi untuk mendorong percepatan dekarbonisasi sistem energi agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi dari 1.5°C. Sebagai negara yang meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia terikat secara hukum untuk mengintegrasikan kebijakannya untuk meraih netral karbon pada 2050. Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan, demi mendukung target global 1,5°C, emisi sistem energi Indonesia harus mencapai puncaknya sebelum tahun 2030 dan mencapai nol pada 2050. 

“Untuk itu, transisi sistem energi perlu direncanakan dan dimulai sejak awal. Sistem kelistrikan merupakan sektor yang paling siap untuk bertransisi karena pembangkit energi terbarukan tersedia dengan potensi melimpah, serta kompetitif dengan energi fosil,” terang Deon dalam acara Implementation of a Just Energy Transition in Indonesia yang diselenggarakan oleh International Institute for Sustainable Development pada Selasa (14/3/2023).

Mengutip studi IESR berjudul Deep Decarbonization of Indonesia Energy System, kata Deon, transisi sistem energi di Indonesia perlu mencapai tiga milestone di antaranya terdapat 100 GW panel surya, tidak ada PLTU baru kecuali 11 GW yang masuk dalam rencana pengembangan serta 2 GW prosumer panel surya dalam tahap pertama pada periode 2018-2030, kemudian pada tahap kedua yaitu 100% energi terbarukan, penyimpanan baterai skala utilitas, mulai memasang elektroliser 2 GW dan penyimpanan CO2 dan penangkapan karbon dari udara langsung (DAC) di periode 2030-2045, lalu pada tahap ketiga yaitu melanjutkan penggunaan 100% energi terbarukan setelah 2045.

“Untuk mencapai transisi sistem energi, energi terbarukan terutama surya mempunyai peran besar dalam pembangkitan listrik Indonesia, dalam skenario netral karbon,” papar Deon. 

Selain itu, Deon menekankan, transisi energi setidaknya membutuhkan pendekatan transformatif terhadap semua aspek, dari kebijakan, ekonomi, sosial hingga teknis. Misalnya saja dalam aspek kebijakan, setidaknya perlu mempertimbangkan langkah yang lebih jelas, tidak hanya sekadar BaU (business as usual). Indonesia sebagai negara berkembang juga bisa mengambil peran dalam transisi energi, namun di sisi lain terdapat tekanan bagi negara maju untuk menyediakan teknologi, dana dan bantuan.

“Demi mendukung target 1,5°C, tentunya perlu mengubah cara pandang kita, cara kita bekerja dan sistem energi itu sendiri. Untuk itu, diperlukan pesan yang lebih kuat dalam energy planning dan kebijakan,” jelas Deon. 

Dalam kesempatan yang sama, Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) menekankan, diperlukan adanya climate finance sebagai motor utama pencapaian netral karbon. Untuk itu, Indonesia perlu bantuan negara lain dalam rangka mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Demi mencapai target tersebut, kata Satya, Indonesia juga mempunyai strategi untuk dekarbonisasi di pembangkitan listrik. 

“Kita mencoba masih memanfaatkan energi fosil namun dengan teknologi energi bersih. Namun demikian, kita juga terus mengakselerasi penggunaan energi terbarukan seperti kendaraan listrik dan pengembangan hidrogen. Sampai nanti waktunya energi terbarukan bisa digunakan sepenuhnya,” terang Satya. 

Mendukung Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi

Kendaraan Listrik

Jakarta, 20 Februari 2023 – Dekarbonisasi sektor transportasi menjadi salah satu agenda utama untuk mencapai target emisi nol bersih Indonesia pada tahun 2060. Sektor transportasi merupakan penghasil emisi GRK terbesar kedua (23%), dimana transportasi darat menyumbang 90% emisi sektor ini, dengan total emisi di sektor energi mendekati 600 MtCO2eq pada tahun 2021 (IESR, IEVO 2023).

Dalam skenario rendah karbon yang sesuai dengan target Paris Agreement (LCCP), emisi dari transportasi di Indonesia perlu diturunkan menjadi 100 MtCO2eq pada tahun 2050. Sementara itu, dalam perhitungan IESR seluruh sektor energi, termasuk transportasi, harus mendekati nol emisi pada tahun 2050 agar kenaikan suhu global tetap berada di bawah 1,5 °C. Untuk mencapai hal tersebut, elektrifikasi transportasi dan pemanfaatan bahan bakar berkelanjutan perlu diprioritaskan.

Salah satu cara melakukan dekarbonisasi transportasi darat yakni meningkatkan penggunaan kendaraan listrik. Adanya penggantian komponen mesin pembakar internal (Internal Combustion Engine/ICE) dengan kendaraan listrik tidak hanya menjadi solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), tetapi juga menjadi pilihan yang lebih ekonomis. Hal ini lantaran efisiensi energi teknologi kendaraan listrik yang tinggi. Kendaraan listrik diproyeksikan mewakili lebih dari 60% kendaraan yang terjual secara global pada tahun 2030. Untuk itu, perlu dipersiapkan dengan matang infrastruktur pendukung kendaraan listrik di Indonesia, seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). 

Namun demikian, sebagian masyarakat masih meragukan atau bahkan berpendapat bahwa kendaraan listrik tidak dapat menjadi solusi pengurangan emisi GRK. Pasalnya, sumber listrik untuk pengisian kendaraan listrik masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, khususnya di Indonesia yang sekitar 67% listriknya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU). Selain itu, proses pembuatan baterai kendaraan listrik juga sangat memakan energi dan menghasilkan GRK dalam jumlah tinggi.

Dalam hal ini, dekarbonisasi sektor transportasi perlu dilihat secara optimis dari perspektif jangka panjang. Penggunaan sumber listrik untuk kendaraan memang menjadi tantangan besar untuk meningkatkan utilisasi kendaraan listrik. Untuk itu, rencana pengembangan kendaraan listrik harus diintegrasikan dengan peta jalan dekarbonisasi multisektor karena adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi membantu sektor lain, yaitu sektor ketenagalistrikan.

Kondisi Sektor Ketenagalistrikan

Salah satu penyebab lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia yakni terjadinya kondisi kelebihan pasokan listrik. Apalagi sistem kelistrikan tersebut memiliki cadangan daya margin cadangan (reserve margin) yang tinggi, diperkirakan mencapai 56% pada tahun 2022, sedangkan margin cadangan tipikal berdasarkan RUPTL PLN berada pada kisaran 15-40%. Kondisi tersebut bisa dikatakan terjadi karena overestimasi permintaan dan efek pandemi global.

Sayangnya, sebagian besar pembangkit baru yang beroperasi yakni PLTU yang tidak dapat beroperasi secara fleksibel karena terkendala kesepakatan take or pay. Sementara itu, beberapa unit PLTU, terutama yang telah berusia lebih tua, memiliki keterbatasan untuk beroperasi secara fleksibel karena kemampuan teknisnya, seperti laju ramp-rate yang lambat, beban minimum yang tinggi, dan waktu start-up yang lama.

Berdasarkan permasalahan tersebut, setidaknya perlu ada peningkatan permintaan listrik atau penghentian pembangkit berbahan bakar fosil, dengan atau tanpa intervensi, untuk memungkinkan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan pemanfaatan kendaraan listrik dengan strategi yang tepat dapat digunakan sebagai salah satu upaya meminimalisir permasalahan sistem tenaga listrik.

Di lain sisi, tingkat adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi menyerap kelebihan pasokan listrik dari pembangkit listrik yang beroperasi. Dalam laporan Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang diterbitkan Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan elektrifikasi transportasi akan mencapai 136 TWh pada tahun 2030 (sekitar 28,6% dari total permintaan listrik). Dengan kata lain, elektrifikasi sektor transportasi dapat menjadi pendekatan strategis untuk mengurangi masalah kelebihan pasokan dan memberi ruang bagi lebih banyak energi terbarukan dalam sistem tenaga. Selain itu, elektrifikasi akan secara signifikan mengurangi emisi GRK langsung dan meningkatkan ketahanan energi melalui pengurangan impor bahan bakar.

Nilai Kendaraan Listrik dalam Sistem Tenaga Listrik

Pada dasarnya kendaraan listrik merupakan baterai berkapasitas besar yang terhubung ke motor listrik dan roda. Sederhananya, baterai tersebut menjadi aset penyimpanan energi untuk melakukan mobilitas. Kendaraan listrik saat ini memiliki kapasitas baterai rata-rata sekitar 40 kWh yang dapat dipandang sebagai aset berharga untuk sistem kelistrikan. Kapasitas tersebut cukup besar mengingat unit baterai penyimpanan rumah biasanya memiliki kapasitas tidak lebih dari setengah kendaraan listrik. Oleh karena itu, setiap nilai tambah kendaraan listrik perlu diaktifkan melalui integrasi jaringan dan kendaraan (VGI).

Berbagai skema VGI telah dikembangkan, sebut saja aliran energi satu arah (V1G), aliran energi dua arah (V2G), kendaraan ke bangunan (V2B), dan lainnya. Strategi integrasi yang sesuai dapat memberikan keuntungan, baik kepada pemilik kendaraan listrik maupun operator jaringan listrik. Misalnya, operator jaringan dapat menerapkan tarif pengisian berbeda pada jam pengisian tertentu yang akan mempengaruhi perilaku pengisian daya pemilik EV melalui skema V1G. Operator jaringan dapat menjaga beban puncak, menghindari biaya operasi tambahan atau kebutuhan penambahan kapasitas. Sebagai imbal baliknya, pemilik kendaraan listrik akan mendapatkan insentif tarif pengisian rendah selama waktu beban puncak.

Dalam implementasi lebih lanjut, VGI dapat dipromosikan menjadi V2G. Armada kendaraan listrik secara kolektif dapat bertindak seperti sistem penyimpanan energi stasioner (Energy Storage System/ESS) di mana operator jaringan dapat membeli listrik dari baterai kendaraan listrik untuk dipasok ke jaringan saat dibutuhkan. Namun implementasinya akan membutuhkan regulasi terkait interkoneksi.

Selain regulasi, VGI akan membutuhkan pengembangan infrastruktur pendukung yang relevan dengan peta jalan pengembangan sektor ketenagalistrikan. Mempertimbangkan tingkat penetrasi energi terbarukan, tingkat adopsi kendaraan listrik, dan profil beban saat ini, VGI dapat mulai diimplementasikan melalui insentif tarif rendah pada malam hari sehingga pemilik kendaraan listrik melakukan pengisian daya di rumah sepanjang malam. Namun, begitu sistem tenaga memiliki penetrasi PLTS  yang tinggi (seperti yang direncanakan pemerintah untuk masa depan), akan ada suplai listrik yang tinggi di siang hari. Bukankah kita perlu menyiapkan lebih banyak infrastruktur pengisian publik? Atau ada strategi lain?

Kenaikan Target Penurunan Emisi di NDC Indonesia Masih Jauh untuk Mencegah Krisis Iklim

Jakarta, 6 Desember 2022- Indonesia telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) dengan meningkatkan  target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hanya sekitar 2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa, menemukan bahwa kenaikan tipis target NDC Indonesia tersebut masih  tidak mencukupi untuk mencegah  kenaikan suhu global 1,5°C. 

Pada Enhanced NDC, target penurunan emisi dengan upaya sendiri  (unconditional) meningkat dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. IESR dan CAT memandang seharusnya Indonesia dapat menetapkan target lebih ambisius lagi, terutama setelah dirilisnya Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyedian Tenaga Listrik.

“Indonesia masih ragu-ragu menetapkan target penurunan emisi yang ambisius dan bermain di zona aman. Target penurunan yang ditetapkan dalam Enhanced NDC (E-NDC) sangat mudah dicapai karena referensinya adalah proyeksi peningkatan emisi business as usual di 2030. Target penurunan emisi seharusnya berdasarkan tingkat emisi absolut berdasarkan tahun tertentu. Untuk selaras dengan ambisi 1,5°C, emisi dari sektor energi di 2030 harus setara dengan tingkat emisi dari sektor energi 2010,”  kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Agar mencapai penurunan emisi yang signifikan, Indonesia perlu melakukan mitigasi yang lebih ambisius pada sektor yang penghasil emisi dominan yakni sektor energi, dan sektor hutan dan lahan. Mempunyai potensi energi terbarukan yang melimpah, bahkan hingga lebih dari 7 TW, Indonesia dapat memanfaatkannya menjadi sumber energi yang minim emisi.

Namun, hingga 2021, bauran energi terbarukan pada sistem energi di Indonesia masih 11,5%. IESR memandang dengan beberapa perkembangan dukungan internasional dan komitmen pemerintah terhadap pensiun dini PLTU batubara akan memberikan ruang yang leluasa bagi pengembangan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025, bahkan mencapai 40% di 2030. Dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia Energy System (2021), IESR menyimpulkan pada 2050,  pemanfaatan 100% energi terbarukan dalam sistem energi  Indonesia layak secara teknis dan ekonomis. 

“Status aksi iklim Indonesia dapat ditingkatkan dengan memastikan kebijakan iklim pada dekade ini diimplementasikan untuk memenuhi kontribusi yang adil berdasarkan upaya global (fairshare). Target NDC dengan bantuan internasional juga harus konsisten, setidaknya dengan  jalur optimal dengan biaya terendah untuk ambisi 1,5°C (global least cost pathways),”  jelas Delima Ramadhani, Koordinator Climate Action Tracker, IESR.

Menurutnya, dominasi PLTU batubara yang saat ini sekitar 61% di sistem energi Indonesia, perlu dikurangi secara signifikan  menjadi  hanya 10% PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan)  pada 2030 dan diakhiri operasinya secara bertahap hingga berhenti seluruhnya pada 2040.  Untuk itu, Indonesia harus meningkatkan komitmen iklimnya, dan bantuan internasional berperan besar untuk implementasi penghentian batubara yang sesuai dengan Persetujuan Paris.

Beberapa mekanisme pendanaan pengakhiran operasi batubara juga telah dibahas dan disepakati oleh Indonesia seperti dalam skema Energy Transition Mechanism, dan  Just Energy Transition Partnerships (JETP). IESR menganggap, walaupun masih belum selaras dengan target 1,5°C, kesepakatan JETP merupakan langkah maju dalam transisi energi di Indonesia. Komitmen pendanaan USD 20 miliar belum cukup untuk mencapai dekarbonisasi sektor energi yang setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030.

“Porsi dana hibah dalam pendanaan JETP perlu diperbesar, yang dapat dipakai untuk mempercepat penguatan ekosistem transisi energi dan penyiapan proyek. Selain itu, langkah selanjutnya setelah JETP disepakati adalah penyusunan rencana investasi yang dilakukan secara transparan serta mengarusutamakan prinsip berkeadilan dalam bertransisi energi dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok terdampak,” tutup Fabby. 

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.  

Percepat Dekarbonisasi untuk Masa Depan Berkelanjutan

Makassar, 22 Maret 2022 – Akselerasi penggunaan energi bersih menjadi poin fundamental dalam memastikan masa depan perekonomian serta sektor lainnya tetap terjaga dalam konteks keberlanjutan. Hal tersebut mengemuka dalam Sustainability Forum atau Forum Keberlanjutan yang diselenggarakan PT Vale Indonesia Tbk pada Selasa kemarin (22/03). Kegiatan tersebut mengangkat tema “Dekarbonisasi untuk Masa Depan Berkelanjutan”.

Pada kegiatan tersebut,Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkapkan transisi energi berbasis fosil menjadi mutlak dilakukan agar ambisi nol emisi karbon (net zero emission atau NZE) mampu menjadi keniscayaan dengan estimasi terwujud pada 2050 mendatang. Ia menegaskan bahwa langkah yang kerap disebut dekarbonisasi itu, mesti selaras dengan target Persetujuan Paris yaitu membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius. Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang terencana maka diproyeksikan sektor energi akan menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2030 dan mempersulit pencapaian target Persetujuan Paris.

“Pada tahun 2022 ini pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berusaha keras meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mendorong efisiensi energi di bangunan dan industri. Pada 2025, pemerintah harus mencapai target 23% bauran energi terbarukan dan setelah itu harus mengejar emisi sektor energi mencapai puncaknya sebelum 2030. Sehingga memang, harus ada upaya akseleratif transisi ke energi bersih, dengan dekarbonisasi. Untuk jangka panjang, ini memberikan efek berganda terhadap daya saing perekonomian kita jadi lebih optimal,” tegasnya.

Fabby memandang Sulawesi Selatan menjadi salah satu daerah di Tanah Air yang sudah berada pada tatanan transisi energi dengan bauran energi terbarukan yang cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan pembangunan pembangkit-pembangkit berbasis energi terbarukan seperti tenaga bayu (angin), air hingga surya, di mana bauran energi bersih sudah berada pada level sekitar 30% dari daya terpasang di Sulsel. Pencapaian ini dinilai tidak lepas dari kolaborasi seluruh elemen, yang mulai relatif agresif menerapkan langkah dekarbonisasi pada proses produksi, diantaranya adalah PT Vale Indonesia Tbk.

“Ini saya rasa sudah sangat bagus, PT Vale sendiri sudah memiliki peta jalan dekarbonisasi 33% untuk 2030 dan menargetkan sudah net zero di 2050. Tetapi untuk tahapan ke 2050, tentu masih perlu ada assesment lebih lanjut,” papar Fabby.

Pada kesempatan sama, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengemukakan pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi menuju karbon netral yang diproyeksikan mencapai titik optimal pada 2060.

“Kita memang targetkan dekarbonisasi energi menuju Net Zero Emission 2060 atau bahkan lebih cepat tercapai. Bauran energi baru terbarukan (EBT) sudah secara penuh pada saat itu tercapai dengan penurunan emisi 1.562 juta ton CO2,” tegasnya.

Demi mencapai target bauran  EBT,  Dadan memaparkan, ada sejumlah upaya percepatan yang dilakukan pemerintah mulai dari penyelesaian Rancangan Perpres Harga EBT, penerapan Permen ESDM PLTS Atap No. 26 tahun 2021, lalu mandatori bahan bakar nabati hingga, pemberian insentif fiskal dan non fiskal untuk EBT. 

“Kemudian tentu saja kemudahan perizinan berusaha segmen EBT hingga mendorong demand ke energi listrik pada sejumlah aktivitas primer bahkan pada skala personal di masyarakat,”ungkap Dadan.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Vale Indonesia, Febriany Eddy menjelaskan, perseroan yang bergerak pada sektor pertambangan ini juga telah membangun peta jalan guna menurunkan emisi karbon untuk scope 1 dan 2 sampai sepertiga di tahun 2030 dan net zero tahun 2050.

“Untuk rencana smelter baru di Sulawesi Tengah, kami bersama dengan partner dari Tiongkok telah berkomitmen menggunakan LNG bukan batubara untuk pembangkit listrik disana,” ujarnya. 

Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman melalui Staf Ahli Gubernur Bidang Pemerintahan, Andi Mappatoba menyampaikan keberadaan PT Vale yang secara konsisten praktik keberlanjutan, serta upaya pengurangan efek rumah kaca melalui langkah dekarbonisasi membantu pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang rendah karbon.

“PT Vale sudah berupaya memberikan kontribusinya terhadap keberlangsungan/keberlanjutan lingkungan, sosial dan ekonomi Sulsel dengan semua langkah sustainability-nya. Kedepan, semoga akan selalu menjadi mitra pemerintah provinsi dalam membangun ekonomi dan sasaran netral karbon seperti yang dicanangkan pemerintah.” 

Melihat Potensi Kendaraan Listrik dalam Dekarbonisasi Sektor Transportasi Darat di Indonesia

Pada tahun 2018, sektor transportasi di Indonesia mengkonsumsi 45% dari total energi final, dimana 94% berasal dari bahan bakar minyak. Dengan begitu, sektor ini menyumbang hampir sepertiga dari total emisi sektor energi. Angka ini diprediksi akan terus meningkat oleh beberapa ahli. Bahkan, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) memprediksi bahwa emisi dari sektor ini akan meningkat 53% pada tahun 2030 dan hampir dua kali lipat pada tahun 2050 jika dibandingkan dengan angka pada tahun 2015. Dalam memenuhi tekanan pembatasan kenaikan suhu secara global, upaya dekarbonisasi atau pengurangan emisi di sektor transportasi memegang peranan penting, terutama mengingat bahwa Indonesia merupakan negara kontributor emisi keenam di dunia.

Di antara moda transportasi angkutan, moda transportasi di darat merupakan kontributor emisi terbesar. Banyak studi menunjukkan bahwa kendaraan listrik merupakan satu opsi penting untuk melakukan dekarbonisasi di transportasi darat. Sayangnya, rencana mitigasi perubahan iklim di sektor ini masih terbatas pada penggunaan bahan bakar nabati. Untuk melihat seberapa besar potensi kendaraan listrik dalam dekarbonisasi sektor transportasi darat di Indonesia maka IESR melakukan diskusi sekaligus meluncurkan laporan terbarunya secara daring pada Hari Minggu, 29 Maret 2020, yang disiarkan di kanal Youtube IESR Indonesia.

Bertujuan untuk meluncurkan laporan terbarunya, tajuk dari diskusi ini menggunakan tajuk yang sama dengan tajuk laporannya, yaitu The Role of Electric Vehicles in Decarbonizing Indonesia’s Road Transport Sector. Dipandu oleh Erina Mursanti, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, diskusi ini menghadirkan Julius C. Adiatma, Peneliti Bahan Bakar Bersih IESR, yang merupakan penulis dari laporan ini. Di samping itu, Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi BPPT, dan Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia untuk wilayah Jakarta, turut hadir dalam diskusi ini untuk memberikan tanggapan atas laporan yang diluncurkan dalam diskusi ini.

Diskusi ini diawali dengan pemaparan presentasi oleh Julius C. Adiatma terkait kajian mengenai dekarbonisasi sektor transportasi untuk mendorong ambisi iklim negara dalam mencapai target pembatasan kenaikan suhu yang ada di dalam Kesepakatan Paris. Bahkan, menurut laporan spesial IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), pembatasan kenaikan suhu diusahakan mencapai 1,5 derajat C untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar.

Salah satu kajian yang dikeluarkan oleh Climate Action Tracker menjabarkan skenario yang kompatibel bagi Indonesia untuk dapat berkontribusi dalam mencapai target pembatasan kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat C. Salah satu caranya adalah elektrifikasi kendaraan penumpang darat seperti bis, motor, dan mobil secara 100% pada tahun 2050.

Kendaraan listrik dinilai bisa menjadi alternatif penurunan emisi karena memiliki tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Selain itu listrik bisa diproduksi tanpa menimbulkan emisi apabila menggunakan energi yang terbarukan. Belajar dari beberapa negara, kendaraan listrik akan tumbuh apabila ada dukungan kebijakan dari pemerintah. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang dapat menstimulasi supply dan demand dari pasar kendaraan listrik.

Menurut Nanto, sapaan akrab dari Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, kajian yang dilakukan oleh Julius menjawab pertanyaan besar BPPT terkait potensi kendaraan listrik dalam dekarbonisasi sektor transportasi darat di Indonesia. BPPT sendiri telah mengembangkan platform-platform kendaraan listrik pada tahun 2018 sebelum diterbitkannya Peraturan Presiden No. 55 tahun 2019 terkait industri dalam negeri. Namun, sekarang BPPT lebih fokus kepada charging station atau stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).

Indonesia termasuk terlambat dalam menerapkan penggunaan kendaraan listrik bila dibandingkan dengan negara maju. Industri lokal terkait kendaraan listrik perlu untuk didorong dan hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Berbicara tentang industri kendaraan listrik maka bisa dilihat berbagai lembaga pengembangan kendaraan listrik baru berfokus pada research and development (R&D) dan manufaktur. Padahal kedua hal tersebut belum cukup. Kendaraan listrik adalah teknologi baru, dimana teknologi baru ini tidak akan berjalan dengan baik kalau hanya berkutat pada area R&D. Dengan demikian, Nanto menekankan bahwa aspek bisnis dari sisi manufaktur dan sisi infrastruktur pengisian baterai perlu diperhatikan.

Di samping itu, kendaraan listrik akan jauh bermanfaat dalam dekarbonisasi apabila Indonesia turut fokus mengembangkan pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan. Lebih jauh lagi, ekosistem kendaraan listrik harus mulai dikembangkan untuk mempercepat masa transisi kendaraan listrik, dimana ekosistem kendaraan listrik tersebut terdiri dari lima komponen yaitu: (a) research and development; (b) design and innovation; (c) fabrication/manufacture; (d) business; (e) implementation. Kelima komponen ini saling terkait dimana apabila implementation tidak jelas, maka tidak akan ada business sehingga  tidak ada research and development untuk melakukan design and innovation dalam fabrication/manufacture.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia untuk wilayah Jakarta, mengapresiasi kajian terbaru dari IESR yang menyatakan bahwa adanya kendaraan listrik tidak akan mempengaruhi APBN apabila ada insentif-insentif fiskal. Torri, sapaan akrab dari Damantoro, berharap skenario yang dilaporkan oleh IESR berjalan sukses sehingga bisa terlihat market size dari kendaraan listrik. Market size tersebutlah yang mampu mengundang investor untuk berinvestasi pada manufaktur kendaraan listrik.

Torri mengingatkan bahwa ada proyeksi yang menyatakan bahwa sekitar 60% penduduk Indonesia akan tinggal di daerah urban pada tahun 2030 ke atas, dimana ini berdampak pada kegiatan mobilisasi yang sangat tinggi. Dari perspektif sistem transportasi, akan sangat bagus apabila pemerintah dapat melakukan sinkronisasi antara sistem tata ruang dan transportasi maka kegiatan mobilisasi bisa dilayani dengan memuaskan. Tetapi selama tidak ada integrasi tata ruang dan transportasi maka masih akan mempertinggi penggunaan kendaraan pribadi. Di samping itu, jenis kebijakan yang diprioritaskan pemerintah untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan listrik sebaiknya dapat dibedakan berdasarkan jenis kendaraan, dimana kebijakan insentif fiskal untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan roda empat listrik sedangkan penyediaan stasiun pengisian baterai untuk kendaraan roda dua listrik.

Terkait dengan emisi yang dihasilkan, Julius kembali menekankan bahwa sektor transportasi dan ketenagalistrikan saling berkaitan satu sama lain. Apabila kendaraan listrik akan dikembangkan maka perlu juga untuk mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan.

Pada akhirnya kendaraan listrik dan industrinya bisa berkembang apabila ada dukungan dari semua pihak. Di berbagai negara juga demikian, keberhasilan kendaraan listrik menembus pasar bukan hanya keberhasilan satu pihak namun karena dukungan berbagai pihak utamanya adalah pemerintah. Perlu adanya dukungan dari pemerintah dalam hal penciptaan pasar dan kebijakan supply and demand.

Materi presentasi

The Role of EV

 

Unduh laporan lengkap
Unduh ringkasan untuk para pembuat kebijakan
Unduh infografis