Request for Proposal (RFP) Strategic Communication and Advocacy Plan in Promoting Low Carbon Solutions Adoption for Indonesia’s Large Industries & Small-Medium Industries

Latar Belakang

Pencapaian target pembangunan ekonomi nasional pada tahun 2045 akan mendorong perluasan kapasitas di beberapa industri utama di Indonesia, seperti industri besi dan baja, semen, amonia, pulp dan kertas, dan tekstil. Menurut studi terbaru IESR, kelima industri tersebut bertanggung jawab atas sekitar sepertiga emisi industri nasional pada tahun 2020 atau sekitar 102 MtCO2. Hal ini disebabkan karena banyak dari pelaku industri tersebut menggunakan teknologi produksi yang sudah ketinggalan zaman dan tidak efisien serta mengkonsumsi bahan bakar fosil baik sebagai bahan baku maupun bahan bakar. Dalam kasus lain, industri tersebut merencanakan ekspansi kapasitasnya dengan menggunakan teknologi padat karbon yang dapat menyebabkan penguncian emisi selama beberapa dekade ke depan. Selain itu, rendahnya penggunaan bahan baku yang berkelanjutan pada industri semen, besi dan baja, serta industri pembuatan kertas mendorong peningkatan emisi sebesar 50 MtCO2 per tahun pada tahun 2050, dan secara kolektif dengan subsektor industri lainnya, akan meningkatkan emisi sektor ini menjadi dua kali lipat pada tahun yang sama.

Selain itu, dengan lanskap industri dan sektor komersial di Indonesia yang didominasi oleh usaha kecil sekitar 99%, maka sangat penting untuk mempertimbangkan peran usaha kecil dalam portofolio emisi Indonesia. Dari studi IESR, terungkap bahwa dengan jumlah UMKM yang mencapai 65 juta usaha di tahun 2021, perkiraan paling tidak dari total estimasi emisi terkait energi dapat mencapai 216 MtCO2 per tahun di tahun 2023, atau sekitar separuh dari emisi sektor industri, termasuk emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar, proses industri, dan limbah. Tingginya emisi CO2 ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya pemahaman pelaku UMKM mengenai cara menerapkan langkah-langkah efisiensi energi serta kurangnya kapasitas finansial dan teknis untuk memanfaatkan bahan bakar dan listrik terbarukan untuk mendukung bisnis mereka.

Memahami urgensi yang tepat waktu untuk mendekarbonisasi industri dari semua skala, Institute for Essential Services Reform (IESR) bermaksud untuk merumuskan rencana komunikasi dan advokasi strategis untuk meningkatkan kesadaran publik tentang topik ini dan mendorong perubahan transformasional industri serta meningkatkan adopsi teknologi rendah karbon dan praktik-praktik berkelanjutan di kalangan industri besar dan UKM. Diharapkan konsultan mengembangkan rencana komunikasi dan advokasi sesuai dengan prinsip Specific, Measurable, Achievable, Relevant, and Time-Bound (SMART) dengan jangka waktu setidaknya satu tahun. Konsultan yang terpilih akan memberikan masukan mengenai metode, konten, dan strategi implementasi. Strategi tersebut harus mencakup penggunaan alat bantu online dan media baru, termasuk akun media sosial dan situs web IESR yang sudah ada.

Syarat dan Ketentuan

  1. Proposal
  2. Dokumen wajib yang diperlukan
    • Surat Pernyataan Kepatuhan terhadap Ketentuan Prakualifikasi
    • Surat Pernyataan Tidak Terlibat dalam Organisasi Terlarang
    • Surat Pernyataan Tidak Menuntut Ganti Rugi
    • Formulir Isian Kualifikasi Badan Usaha
    • Surat Pernyataan Tidak Dalam Pengawasan Pengadilan
    • Pernyataan Minat
    • Surat Pernyataan Kesediaan Mengerahkan Personil dan Peralatan
    • Pernyataan Komitmen Keseluruhan
    • Surat Pernyataan Kesanggupan Lapangan
    • Surat Pernyataan Keaslian Dokumen
    • Pakta Integritas

Seluruh dokumen yang diperlukan dapat diunduh melalui tautan berikut (s.id/documentsrfpcommsiesr), dan diharapkan dapat diterima oleh IESR hingga pukul 22. 00 WIB pada hari Jumat, 19 April 2024. Proposal yang diterima setelah tanggal dan waktu tersebut tidak akan diterima. Semua proposal harus ditandatangani oleh tenaga ahli, agen resmi, atau perwakilan perusahaan yang mengajukan proposal.

Proposal akan diterima hingga pukul 22.00 WIB pada hari Jumat, 19 April 2024. Untuk pertanyaan lebih lanjut, silakan hubungi Program Manager Transformasi Energi IESR di deon@iesr.or.id dan Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri di faricha@iesr.or.id.

Untuk lebih detail, silakan baca berkas berikut :

RFP-IESR-Strategic-Communication-and-Advocacy-Plan-in-Promoting-Low-Carbon-Solutions-Adoption-for-Indonesias-Large-and-Small-Medium-Industries.docx-1

Unduh

Cermat Merancang Kerangka Kebijakan Energi Indonesia

Jakarta, 28 Maret 2024 – Dewan Energi Nasional (DEN) berencana untuk melakukan penyesuaian target bauran energi terbarukan. Saat ini dalam draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), DEN berencana untuk menurunkan target bauran energi terbarukan nasional menjadi 17-19 persen pada tahun 2025. Sebelumnya target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai langkah ini merupakan suatu langkah mundur dari komitmen pemerintah Indonesia dalam mengawal transisi energi.

Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR, dalam audiensi dengan Dewan Energi Nasional menyampaikan keresahannya di balik penetapan target bauran energi terbarukan. 

“Sebelumnya IESR telah melakukan pemodelan yang sudah dipublikasikan di dalam laporan tahunan kami, Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Hasil pemodelan kami menunjukkan adanya perbedaan dengan hasil pemodelan yang menjadi landasan perumusan RPP KEN. Hal ini terutama terlihat di dalam pertumbuhan energi final, di mana di dalam pemodelan untuk IETO kami menggunakan asumsi pertumbuhan GDP-nya Bappenas untuk Indonesia Emas 2045,” kata Radit.

Hal ini diklarifikasi oleh Retno Gumilang Dewi, tim modeling ITB, yang membantu DEN dalam membuat modeling, bahwa angka yang saat ini beredar merupakan angka penyesuaian.

“Model yang kita hasilkan dapat dikatakan model ideal. Modeling itu kemudian dibawa untuk FGD (focussed group discussion) dan menerima berbagai masukan, sehingga disesuaikan,” kata Retno Gumilang.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa dalam menyusun perencanaan energi suatu negara, penting untuk memastikan pilihan teknologi yang paling relevan dan teruji dengan perkembangan teknologi terkini.

“Langkah ini penting dan krusial untuk menghindari kita berada pada situasi lock-in oleh teknologi-teknologi yang tinggi karbon,” kata Fabby.

Fabby menambahkan jika terlanjur terjebak pada pilihan teknologi tinggi karbon, dibutuhkan investasi yang lebih besar lagi untuk keluar dari teknologi tinggi karbon tersebut. IESR juga mendorong tercapainya target-target energi terbarukan yang telah ditetapkan dalam RUPTL maupun proyek strategis nasional sebagai pendorong tumbuhnya industri energi terbarukan di dalam negeri. 

Mendorong Dekarbonisasi Industri Mulai dari Gaya Hidup Konsumen

Jakarta, 22 Maret 2024 – Kenaikan suhu bumi merupakan suatu fenomena tak terelakkan (inevitable) sebagai akibat dari berbagai kejadian alam hingga aktivitas dan gaya hidup manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai penyebab naiknya suhu bumi. 

Penemuan mesin uap pada 1880 membuat perubahan monumental pada kehidupan manusia dengan dimulainya industrialisasi. Berkembangnya industri ternyata dibarengi dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK).  

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2022 mencatat adanya kenaikan suhu bumi sebesar 1,1 derajat Celsius. Hal ini merupakan suatu peringatan bagi umat manusia untuk segera mengambil langkah-langkah pengendalian kenaikan suhu untuk menahan kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius.

Faricha Hidayati, Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan kenaikan suhu bumi dapat memicu salah satunya bencana hidrometeorologi yang frekuensinya akan semakin tinggi.

“Selain masalah lingkungan, dampak ikutan lainnya adalah biaya kesehatan yang akan naik seiring dengan meningkatnya penyakit terutama yang menyerang kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan rumah tangga miskin,” jelas Faricha.

Meski merupakan salah satu sektor penyebab naiknya emisi GRK, sektor industri memiliki kontribusi ekonomi yang signifikan. Sehingga diperlukan langkah dan upaya strategis untuk melakukan dekarbonisasi pada sektor industri. 

Pada tahun 2021, emisi sektor industri merupakan sektor penghasil emisi kedua terbesar setelah pembangkitan listrik. Jika tetap menggunakan skema business as usual tanpa intervensi apapun, nilai emisi di sektor industri akan naik dua kali lipat pada tahun 2050.

“Sektor industri menyumbang emisi lebih dari 300 juta ton CO2 pada tahun 2021, dengan sumber emisi tertinggi dari penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi,” tambah Faricha.

Meskipun telah ada regulasi yang mendorong industri untuk mempraktikkan prinsip berkelanjutan, namun implementasinya belum diwajibkan. Bahkan Bagi industri yang secara mandiri memiliki inisiatif untuk menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan, belum ada sistem insentif bagi mereka.

Faricha melanjutkan, selain melalui advokasi kebijakan pada pemerintah, konsumen dapat berkontribusi salah satunya dengan memilih produk-produk yang diproduksi dengan prinsip-prinsip berkelanjutan. Konsumen juga dapat menuntut pada produsen atau industri untuk mulai menerapkan prinsip berkelanjutan pada proses produksinya.

Energi Terbarukan Perlu Merajai Asia Tenggara

Jakarta, 27 Maret 2024– Asia Tenggara tergolong kawasan dengan perekonomian yang menduduki peringkat ke-5 terbesar di dunia pada 2022. Aktivitas ekonomi yang tinggi di kawasan Asia Tenggara, membuat proyeksi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan mencapai 60 persen pada 2050. Penurunan emisi kawasan akan berdampak signifikan terhadap upaya pengurangan emisi global. Sayangnya, upaya penurunan emisi dengan pemanfaatan energi terbarukan di Asia Tenggara belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Konferensi Internasional Revision 2024 di Tokyo (14/3) menyebutkan negara yang tergabung dalam ASEAN mempunyai target untuk mencapai bauran energi terbarukan di kawasan sebesar 23 persen pada 2025. Namun, menurutnya, target ini tidak selaras dengan Persetujuan Paris.

“Agar memenuhi Persetujuan Paris, bauran energi terbarukan harus mencapai 55 persen, dengan energi terbarukan variabel (variable renewable energy, VRE) berkontribusi sebesar 42 persen. Kecuali Vietnam, Kamboja, dan Filipina, negara-negara lain belum mencapai penetrasi energi terbarukan sebesar 5 persen. Kabar baiknya, pada tahun 2023, negara-negara ASEAN akan memiliki lebih dari 28 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang beroperasi, atau meningkat 20 persen dari kapasitas yang beroperasi sejak tahun lalu. Saat ini, kapasitas tersebut mencapai 9 persen dari total kapasitas listrik negara-negara ASEAN. Namun, agar negara-negara ASEAN dapat mencapai target tersebut, mereka perlu memasang lebih banyak energi terbarukan,” jelas Fabby.

Fabby melanjutkan, sumber daya energi terbarukan di Asia Tenggara tergolong melimpah , dengan 40-50 kali lebih besar dari kebutuhan energi tahun ini. Pemanfaatan PLTS terapung dapat menjadi salah satu pilihan strategis dalam dekarbonisasi sistem energi di kawasan. Ia mengurai, setidaknya terdapat potensi teknis PLTS terapung sebesar 134 hingga 278 GW untuk waduk, 343 hingga 768 GW untuk permukaan air alami seperti sungai, danau, laut. Potensi teknis ini bervariasi di setiap negara. Ia menilai, penghitungan yang rinci mengenai potensi teknis pasar dan ekonomi, serta  potensi tekno-ekonomi spesifik lokasi harus dilakukan untuk mengembangkan PLTS terapung.

Ia juga menyoroti kawasan Asia Tenggara perlu mempunyai kebijakan yang lebih ambisius, memberikan dukungan anggaran dan insentif yang kuat, dan menciptakan lebih banyak kebijakan yang menarik investasi. Investasi tahunan rata-rata dalam kapasitas energi terbarukan harus ditingkatkan hingga lima kali lipat menjadi USD 73 miliar per tahun.

Fabby menegaskan negara-negara di Asia Tenggara harus meningkatkan ambisi mereka untuk memenuhi target Persetujuan Paris. Sebagai langkah dekat, ASEAN perlu mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, dan 40 persen pada 2030.

“Banyak kajian menunjukkan Asia Tenggara punya potensi energi terbarukan yang besar dan cukup untuk dekarbonisasi. Namun secara kebijakan dan aksi saat ini dinilai masih kurang untuk mencapai dekarbonisasi pada 2050.  Investasi yang sangat besar untuk energi terbarukan mengharuskan setiap negara untuk mereformasi kebijakan dan mengelola risiko yang terkait dengan proyek energi terbarukan, agar dapat menarik dan memobilisasi investor,” imbuh Fabby.

Lebih jauh, ia mendorong agar tidak meneruskan narasi yang menitikberatkan pada mempertahankan energi fosil sebagai pembangkit beban puncak (baseload), dan mengaitkannya dengan upaya menjaga ketahanan energi, serta mengesampingkan energi terbarukan. Menurutnya, narasi semacam ini justru mengganggu dan tidak sejalan dengan semangat Persetujuan Paris.

Meninjau Kebutuhan Investasi Energi Terbarukan Indonesia

Investasi energi terbarukan

Jakarta, 8 Maret 2024 – Komitmen transisi energi Indonesia secara resmi dimulai sejak tiga tahun lalu saat Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengeluarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang menargetkan adanya penambahan kapasitas energi terbarukan sebagai salah satu prasyarat tercapainya net zero emission Indonesia pada 2060, secara khusus sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050.

Dalam sesi Market Review, Jumat 8 Maret 2024, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa pengembangan energi terbarukan merupakan suatu keniscayaan. Pemerintah melalui sejumlah kebijakan seperti RUPTL 2021, dan Perpres 112/2022 telah mencanangkan penambahan kapasitas energi terbarukan sekaligus komitmen untuk tidak lagi membangun PLTU baru kecuali yang sudah dalam proses kontrak.

“Komitmen-komitmen ini harus diturunkan sampai ke rencana teknis dan ekonomis yang dapat dijalankan. Oleh karena itu proses revisi RUKN dan RUPTL yang saat ini sedang berlangsung menjadi sangat penting,” kata Fabby.

Dalam RUPTL 2024 – 2040, PLN berencana menambah kapasitas pembangkit energi terbarukan hingga 80 GW. Rencana ini akan membawa konsekuensi adanya kenaikan signifikan untuk energi terbarukan dari saat ini sekitar 9 GW menjadi 70 GW. 

Fabby menambahkan semangat dan ambisi ini perlu dikawal publik mengingat catatan pemerintah untuk peningkatan kapasitas energi terbarukan selalu di bawah target. Dalam mengejar target bauran 23 persen energi terbarukan pada 2025 Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang diharapkan. Hingga tahun 2023, bauran energi terbarukan baru 13 persen saja. Hal ini membuat sisa dua tahun ini menjadi tantangan untuk akselerasi energi terbarukan. 

Kebutuhan biaya untuk membangun pembangkit energi terbarukan yang mencapai USD 152 miliar (setara 2.300 triliun rupiah) hingga 2040 menjadi sorotan. Angka ini dianggap sebagai angka yang realistis oleh Fabby, mengingat angka ini merupakan kebutuhan investasi meliputi kebutuhan pembangunan pembangkit energi terbarukan serta pembangunan jaringan transmisi dan distribusi.

“Angka USD 152 miliar sudah angka yang realistis saat ini. Kita juga harus memahami bahwa teknologi terus berkembang, bukan tidak mungkin ke depan kebutuhan investasi ini akan turun sesuai perkembangan teknologi,” jelas Fabby.

Fabby menyoroti niat pemerintah untuk melibatkan pihak swasta lebih banyak lagi. Untuk mengundang investasi swasta yang lebih besar diperlukan perbaikan regulasi antara lain Kebijakan Energi Nasional sesuai dengan target net zero emission sektor kelistrikan di tahun 2050, peninjauan ulang harga beli listrik dari pembangkit energi terbarukan, hingga peninjauan ulang tarif listrik yang berlaku saat ini.

Kompas | Dekarbonisasi Jauh Panggang dari Api

Terhitung sejak 2019, suhu rata-rata global telah mengalami kenaikan 1,1 derajat celsius lebih panas dibandingkan dengan periode pra-industri tahun 1850-an. Kenaikan suhu di permukaan bumi merupakan indikasi dari kenaikan konsentrasi gas rumah kaca, di antaranya karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen monoksida (N2O), yang terjebak di atmosfer.

Baca selengkapnya di Kompas.

Penguatan Komitmen Pemerintah dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Jakarta, 15 Desember 2023 – Pemerintah Indonesia terus berbenah dalam hal penguatan komitmen mitigasi perubahan iklim. Sejak mulai gencar komitmen mitigasi iklim pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia terus melakukan tindak lanjut melalui berbagai penjajakan komitmen pendanaan dan pembuatan peta jalan dekarbonisasi di setiap sektor.

Nurcahyanto, Analis Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menuturkan dalam peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform bahwa salah satu upaya yang saat ini sedang dilakukan pemerintah melalui Kementerian ESDM adalah dengan melakukan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN). Diharapkan hasil revisi KEN akan lebih relevan dengan upaya Indonesia saat ini untuk melakukan dekarbonisasi secara menyeluruh utamanya pada sektor ketenagalistrikan.

“Revisi target (KEN) hanya sebuah cara dari angka namun dari sisi implementasi harus didukung regulasi dan perlu kita optimalkan. Misalnya dalam melakukan pensiun dini PLTU, perlu disiapkan peta jalan, serta konsolidasi dengan K/L terkait,” katanya.

Terbitnya Perpres 112/2022 menjadi salah satu dokumen pedoman dekarbonisasi Indonesia sektor ketenagalistrikan, dengan poin utama percepatan penghentian PLTU batubara.

August Axel Zacharie, Head of Energy Cooperation, Kedutaan Denmark mengungkapkan bahwa dalam konteks global, posisi Indonesia sebagai negara berkembang (emerging economies) menjadi daya tarik investasi tersendiri, namun Indonesia perlu menyiapkan ekosistem yang suportif. 

“Kebutuhan investasi untuk transisi energi yang mencapai kira-kira 1 triliun USD hingga 2050, harus dipandang bukan sekedar membangun infrastruktur namun dalam kebutuhan biaya ini terdapat aspek komunitas, transisi pekerjaan, kualitas hidup, dan aspek non-fisik lainnya,” tambah August. 

Masih terkait dengan kebutuhan investasi energi terbarukan yang tinggi, dan kewajiban pemerintah untuk menjamin ketahanan energi, Pemerintah Indonesia menggelontorkan subsidi energi. Namun kebijakan ini bukanlah kebijakan yang berkelanjutan.

Evita Herawati Legowo, Senior Fellow PYC, menyatakan bahwa perlu dipikirkan metode yang lebih tepat sasaran untuk pemberian subsidi energi ini. 

“Perlu keterlibatan seluruh pihak dalam hal ini, bukan hanya kolaborasi namun pembagian tugas yang jelas siapa melakukan apa, mulai dari industri, penelitian, energi, juga investor,” kata Evita.

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk melakukan dekarbonisasi menjadi suatu panduan mengikat. Disampaikan oleh Unggul Priyanto, Perekayasa Ahli Utama, BRIN utamanya setelah tahun 2060, seluruh sumber energi harus berasal dari sumber energi bersih.

“(Penggunaan-red) LNG, atau gas alam merupakan salah satu opsi selama transisi. Namun setelah 2060 mau nggak mau harus diganti dengan (sumber energi-red) yang benar-benar bersih,” katanya.