Interkoneksi Jaringan ASEAN Menjadi Awal Capai Ketahanan Energi Terbarukan di Regional

Jakarta, 13 Juni 2023 –  Dalam rangka mencapai keamanan energi yang berkelanjutan dan menghadapi tantangan perubahan iklim global, Indonesia dalam keketuaan di ASEAN pada 2023 perlu memainkan peran kepemimpinan yang kuat dalam upaya dekarbonisasi sektor energi di kawasan Asia Tenggara. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang Indonesia dapat mempererat kerja sama dan kolaborasi regional dalam hal inovasi, teknologi, dan penelitian di bidang energi terbarukan serta mendorong kebijakan yang jelas dan menarik untuk peningkatan investasi di sektor energi terbarukan.

Sebagai kawasan, ASEAN telah berkomitmen untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan dalam energi primer dan 35% kapasitas energi terbarukan terpasang pada 2025. Selain itu, untuk memperluas perdagangan listrik regional, mengintegrasikan jaringan listrik kawasan dan memperkuat keandalan jaringan listrik, ASEAN sedang membangun ASEAN Power Grid (APG).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, memaparkan bahwa proyek interkoneksi jaringan ASEAN melalui ASEAN Power Grid (APG) dapat menjadi titik mula bagi negara-negara ASEAN untuk dapat meningkatkan kapasitas energi terbarukan dalam sektor kelistrikan dan mulai beralih dari ketergantungan energi fosil. Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023 dengan salah satu fokus utama ketahanan energi berkelanjutan (sustainable energy security) hendaknya dimanfaatkan untuk mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk mulai fokus pada upaya dekarbonisasi sistem energinya. 

“Indonesia memiliki kesempatan memimpin ASEAN untuk melakukan transisi energi, meningkatkan bauran energi terbarukan dan mengurangi energi fosil. Indonesia telah memberikan contoh bagi negara-negara ASEAN lainnya untuk memiliki target transisi energi yang lebih ambisius selaras dengan dengan Paris Agreement. Salah satunya adalah mendorong negara-negara ASEAN untuk melakukan pengakhiran operasi PLTU batubara sebelum 2050 dan juga mendorong kesepakatan antara dengan negara-negara ASEAN untuk membangun industri sel dan modul surya dan penyimpan energi (battery),” terang Fabby Tumiwa. 

ASEAN sendiri telah memiliki kapasitas sekitar 7.645 MW pada jaringan interkoneksi yang ada dalam proyek ASEAN Power Grid,  berdasarkan paparan dari Sub Koordinator Program Gatrik Kementerian ESDM, Yeni Gusrini dalam webinar IESR berjudul Toward a Decarbonized ASEAN. Ke depannya jaringan interkoneksi tersebut akan ditambah kapasitasnya menjadi sekitar 19.000 sampai dengan 22.000 MW dan mencakup area yang lebih luas. 

“ASEAN Power Grid berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi di ASEAN untuk membantu memenuhi permintaan energi di ASEAN dan untuk mengembangkan pertumbuhan pemain industri regional. Pada tahap pertama, jaringan listrik di Laos, Thailand, Malaysia, dan Singapura telah terkoneksi melalui Lao PDR, Thailand, Malaysia, Singapore Power Integration Project (LTMS-PIP), yang telah menjadi pelopor mekanisme perdagangan daya yang ditransmisikan 100MW dari Laos ke Singapura dengan memanfaatkan interkoneksi yang ada,” jelas Yeni. 

IESR memandang pembangunan jaringan interkoneksi yang mengakomodasi integrasi energi terbarukan di Indonesia perlu dipercepat agar selaras dengan Persetujuan Paris untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2050.

“Interkoneksi antar pulau di Indonesia dan juga antar negara di ASEAN merupakan salah satu faktor enabler dari integrasi energi terbarukan. Keberadaan interkoneksi akan membantu atasi masalah intermiten serta juga memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan, jadi jika ada kelebihan listrik energi terbarukan seperti PLTS di siang hari yang dibangun di suatu lokasi, bisa di transfer listriknya ke lokasi lain. Namun, sebelum itu, negara ASEAN harus tetap berbenah diri dan menjadikan prioritas pertama untuk memperbaiki iklim investasi energi terbarukan di negara masing-masing dan juga di regional dengan kerangka regulasi yang lebih menarik,” jelas Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR. 

Deon menuturkan, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi dan konsumsi energi terbesar di ASEAN serta mempunyai sumber daya energi terbarukan yang masif. Dengan tampuk kepemimpinan ASEAN tahun ini serta proses dan regulasi yang suportif pada transisi energi di level nasional seperti JETP dan juga RUU EBET, hal tersebut akan membuat Indonesia bisa menjadi teladan dan memicu akselerasi proses transformasi kawasan ASEAN.

IESR meyakini bahwa upaya dekarbonisasi ini tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga melibatkan partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Dalam semangat kolaborasi ini, Indonesia perlu mengundang semua pihak untuk bergabung dalam upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan bagi ASEAN.

COP 27: Indonesia Perlu Menarik Dukungan Internasional untuk Transisi Energi dengan Target Pensiun Dini PLTU dan Pengembangan Energi Terbarukan yang Ambisius

Jakarta, 8 November 2022- Indonesia menyampaikan pernyataan nasionalnya pada Konferensi Tingkat Tinggi Conference of The Parties 27 (KTT COP27) di Sharm El-Sheikh, Mesir, melalui Wakil Presiden, Ma’ruf Amin. Ia menyebutkan berbagai komitmen iklim yang Indonesia lakukan, termasuk peningkatan ambisi iklim dengan menyerahkan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) pada September lalu. Tidak hanya itu, Ma’ruf menegaskan agar kesepakatan iklim perlu segera diimplementasikan dengan dukungan internasional yang jelas di tingkat nasional dalam pendanaan aksi iklim, penciptaan pasar karbon dan investasi transisi energi. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang selain perlu meningkatkan lagi ambisi iklim Indonesia, untuk mempercepat implementasi transisi energi, Indonesia perlu mendorong masuknya dukungan pembiayaan internasional untuk mitigasi perubahan iklim melalui penguatan perencanaan pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, penguatan sistem energi bersih, dan persiapan proyek-proyek yang bankable. Hal ini perlu didukung oleh kebijakan dan regulasi yang memberikan kepastian berinvestasi dengan risiko yang rendah dan transparansi informasi bagi publik, serta mendorong keterlibatan masyarakat.

Pada Enhanced NDC, Indonesia meningkatkan target pengurangan emisi GRK  dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri  (unconditional) dan dari 41% menjadi 43,2% dengan bantuan internasional (conditional). Meski merupakan langkah maju, IESR  menilai target ini masih belum selaras dengan Persetujuan Paris yang mendorong upaya yang lebih ambisius bagi negara di dunia untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Salah satu yang menjadi faktor peningkatan target penurunan emisi adalah naiknya target reduksi emisi di sektor energi  dari 11% di Updated NDC menjadi 12,5% (unconditional) dan dari 13,9% menjadi 15,5% (conditional). 

“Agar selaras dengan target Persetujuan Paris, Indonesia perlu meningkatkan target bauran energi terbarukannya menjadi 42% di 2030. Sementara, di Long Term Low Carbon and Climate Resilience Strategy (LTS-LCCR) 2050 yang menjadi landasan Enhanced NDC ini, bauran energi terbarukan hanya 43% di 2050,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Menurutnya, peluang peningkatan target bauran energi terbarukan terbuka lebar dengan pelaksanaan komitmen pensiun dini 9,2 GW PLTU batubara. 

“Melalui Perpres 112/2022, pemerintah membuka kesempatan untuk melakukan percepatan penghentian operasi PLTU sebelum 2050. Di COP ini, komitmen tersebut harus digaungkan dan kebutuhan pendanaan untuk pensiun dini PLTU, yang rata-rata berusia 13 tahun, dan dukungan pendanaan dari negara maju harus disampaikan lugas, diikuti dengan target yang ambisius. Saat ini kepastian target pensiun dini PLTU sebelum 2030 belum disepakati oleh pemerintah, dan masih menggunakan target PT PLN yang berbeda dengan target 9 GW oleh Kementerian ESDM,” ungkap Fabby.

Berdasarkan kajian “Financing Indonesia’s Coal Phase out” IESR bersama Universitas Maryland, pada 2030 dibutuhkan biaya sekitar USD 4,6 miliar untuk pengakhiran 9,2 GW PLTU dan USD 27,5 miliar hingga 2045 untuk seluruh PLTU. Sementara, untuk dekarbonisasi sistem energi di Indonesia, setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030. Meski terlihat jumlahnya besar, namun manfaat yang diraih dari pensiun  dini PLTU  jauh lebih besar di sisi ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Biaya pembangkitan listrik energi terbarukan seperti PLTS sudah lebih murah dibandingkan membangun PLTU baru, dan bahkan dalam dekade ke depan akan lebih murah dibandingkan mengoperasikan PLTU batubara yang ada saat ini. Secara ekonomi, manfaat dari pensiun PLTU dan menggantikannya dengan energi terbarukan dapat mengurangi biaya pembangkitan listrik rata-rata dalam jangka panjang. Selain itu, tersedia manfaat kesehatan, naiknya ketersediaan pekerjaan hijau di sisi sosial, serta secara lingkungan, dapat menghindari biaya retrofit pengendalian polusi udara, peningkatan kualitas udara, penghematan air dan kualitas air, dan pengurangan emisi GRK,” jelas Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR.

Kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan Indonesia mencapai USD 135 miliar menuju tahun 2030 dan meningkat menjadi USD 455 miliar dan USD 633 miliar dalam masing-masing dekade berikutnya. Investasi ini untuk membangun energi terbarukan dalam memenuhi pertumbuhan permintaan listrik, sistem penyimpanan listrik (storage), investasi efisiensi energi, dan juga pengembangan jaringan transmisi dan distribusi. Oleh karena itu, penting agar fokus pembiayaan publik dan juga dukungan pembiayaan internasional diarahkan ke penciptaan iklim investasi yang positif untuk sistem energi bersih.