Mendorong Dekarbonisasi UMKM di Indonesia

press release

Jakarta, 14 Maret 2024 – Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah menjadi salah satu pilar penting dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop), sektor UMKM memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 60,5 persen dan berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai sebesar 97 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2021. 

Di sisi lain, UMKM menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bertanggung jawab terhadap krisis iklim. Berdasarkan studi Institute for Essential Services Reform (IESR), estimasi emisi terkait energi dari UMKM mencapai 216 MtCO2 pada tahun 2023, atau setara dengan separuh emisi sektor industri nasional pada tahun 2022. Untuk itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong bagi pelaku UMKM untuk melakukan upaya pengurangan emisi demi mencapai usaha yang lebih hijau dan  yang berkelanjutan. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkapkan, UMKM memiliki peran signifikan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat. Menurutnya, pengurangan emisi atau dekarbonisasi di seluruh rantai pasok pada sektor UMKM akan membuka peluang UMKM Indonesia bersaing di tingkat global.

“Studi kami menemukan bahwa 95 persen emisi dari UMKM ini berasal dari pembakaran energi fosil. Berkaca dari data tersebut, maka pemerintah perlu mulai mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam mendekarbonisasi UMKM. Pemerintah perlu pula mengusulkan strategi dan memberikan bantuan berupa finansial maupun asistensi teknis kepada UMKM agar mampu merencanakan dan mendorong investasi demi menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK),” kata Fabby dalam sambutan webinar Peluang Dekarbonisasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia dan Pembelajaran dari Pengalaman Global.

Berkolaborasi dengan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), IESR merumuskan kajian yang menawarkan solusi dekarbonisasi UMKM, khususnya di Industri Kecil dan Menengah (IKM). IKM dipilih karena subsektor tersebut mengeluarkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan subsektor UKM lainnya. Selain itu, IKM  memiliki jumlah pekerja hingga 100 orang sehingga berpotensi menyediakan lapangan kerja bagi penduduk setempat. Hal ini dapat menjadi acuan untuk memastikan transisi yang adil, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Analisis IESR dan LBNL merekomendasikan pemutakhiran teknologi dan elektrifikasi untuk mendekarbonisasi IKM. Studi ini mengambil tiga contoh IKM dengan solusi dekarbonisasinya  Pertama, elektrifikasi untuk sektor tekstil dan pakaian. Kedua, sektor konstruksi yang perlu meningkatkan penggunaan semen rendah karbon, formulasi beton yang inovatif serta mengusulkan peralatan ramah lingkungan kepada pemilik bangunan. Ketiga, sektor industri penyamakan kulit untuk mendorong penetrasi energi terbarukan variabel  (variable renewable energy, VRE), seperti panel surya dan turbin angin domestik.

Analis Data Energi, IESR, Abyan Hilmy Yafi mengatakan, melalui strategi awal dengan dekarbonisasi IKM, beberapa manfaat ekonomi akan didapatkan seperti penciptaan peluang bisnis baru, peningkatan nilai merek, dan menarik kepercayaan pelanggan. Tidak hanya itu, dekarbonisasi juga akan meningkatkan proses produksi, profitabilitas, dan daya saing seiring mengurangi risiko perubahan iklim dan memastikan dampak positif terhadap lingkungan.

“UMKM perlu mendapatkan lebih banyak pendampingan karena banyak pelaku UMKM yang tidak mengetahui tentang energi, satuannya dan bagaimana cara melakukan efisiensinya. Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, UMKM dapat menjadi agen perubahan yang mendorong transisi menuju perekonomian yang bersih dan berkelanjutan untuk masa depan yang lebih baik bagi semua,” ucap Abyan. 

Ketua Tim Program Pengembangan Industri Hijau, Kementerian Perindustrian, Achmad Taufik mengatakan, pihaknya tengah mengusahakan pendanaan/investasi hijau bagi IKM baik dari bank, swasta maupun internasional. Selain itu, pihaknya tengah mendalami beberapa model dan menyusun kajian untuk penguatan penyedia jasa industri hijau. 

“Untuk industri kecil dan menengah dalam upaya untuk dalam bertransformasi menuju industri hijau, kita akan membantu terkait training dan peningkatan kapasitas, akses terhadap teknologi hijau, akses terhadap pasar ataupun menciptakan pasar baru,” ucap Achmad. 

Menyoroti peluang dekarbonisasi di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Peneliti Kebijakan Energi dan Lingkungan, LBNL, Bo Shen menyatakan, penerapan efisiensi energi menjadi daya tarik bagi pasar dalam memilih produk UKM. Ia mencontohkan. di  China, sertifikasi energi efisiensi bagi pelaku UKM menjadi dasar bagi perusahaan besar untuk mengambil produk UKM tersebut. Sementara belajar dari Amerika Serikat, sejumlah universitas membuat pusat penilaian industri yang didanai oleh pemerintah untuk mengetahui estimasi konsumsi energi dan emisi UKM. 

“Terdapat beberapa cara efektif untuk mendorong penghematan energi di UKM di Indonesia yang bisa diterapkan. Di antaranya, tersedianya sistem yang terstandarisasi dan transparan untuk melacak, menilai dan mengkomunikasikan kinerja energi UKM. Kedua, adanya skema evaluasi yang didukung pemerintah dalam peningkatan citra usaha. Ketiga, keberadaan target dekarbonisasi yang jelas bagi pemerintah, perusahaan multinasional dan UKM,” ujar Bo Shen. 

Catatan untuk Editor:

UMKM merupakan seluruh usaha/bisnis yang berukuran mikro, kecil dan menengah. 

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berarti tidak memasukkan usaha mikro.

Industri Kecil Menengah (IKM) merupakan usaha yang memiliki proses produksi/konversi barang mentah/setengah mentah ke barang jadi yang memiliki ukuran bisnis yang kecil hingga menengah.

Jenis mikro, kecil, menengahnya dapat dilihat dari modal/pendapatan/jumlah karyawan.