Aksi Konservasi Energi Masih Jadi PR Dekarbonisasi Indonesia

Jakarta, 12 Oktober 2023 – Konservasi energi merupakan salah satu upaya dekarbonisasi yang dapat dilakukan dengan biaya minimal dan upaya yang relatif lebih kecil dibandingkan pembangunan pembangkit baru. Sayangnya, upaya ini masih menjadi prioritas kedua dalam agenda dekarbonisasi Indonesia. 

Demi mendorong percepatan aksi konservasi energi pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2023 yang mengatur tentang konservasi energi pada berbagai sektor. Tavip Rubiyanto, Kasubid ESDM Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I, Ditjen Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri menjelaskan bahwa kebutuhan energi Indonesia akan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi per kapita. 

Menurutnya, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen internasional untuk membatasi pelepasan gas rumah kaca dan terus melakukan penambahan kapasitas energi terbarukan. Namun, rencana ini masih terkendala dengan besarnya investasi awal. 

“Dalam PP 33/2023 ini, kami memberi mandat bagi pemerintah daerah, badan usaha, masyarakat, dan swasta untuk ikut ambil bagian dalam aksi konservasi energi,” kata Tavip dalam diskusi kelompok terpumpun yang dilaksanakan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada hari Kamis, 12 Oktober 2023.

Tavip menambahkan adanya pengaturan kewenangan bagi pemerintah daerah ini diharapkan memberi ruang yang cukup bagi pemerintah daerah untuk mengusulkan dan menjalankan program-program yang bersifat konservasi energi.

Koordinator Kelompok Bimbingan Teknis dan Kerjasama Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Hendro Gunawan menjelaskan penting bagi suatu entitas untuk melakukan manajemen energi.

“Untuk sektor swasta dan industri, bahkan sudah sampai pada sertifikasi seperti ISO 50001 (manajemen industri) karena selain meningkatkan branding, juga sebagai semacam persyaratan untuk tetap eksis di industri,” kata Hendro.

Terkait dengan basis penerapan manajemen energi yang masih bersifat sukarela, Iwan Prijanto, chairperson Green Building Council Indonesia (GBCI), menegaskan pentingnya skema insentif bagi pemilik gedung yang akan melakukan sertifikasi bangunan hijau. Khususnya bagi pemilik gedung perkantoran sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca tertinggi.

“Saya sebenarnya merasa miris, karena gedung pertama yang tersertifikasi di tahun 2011, dan penambahannya sangat lambat. Tidak adanya insentif maupun disinsentif bagi pemilik gedung menjadi salah satu alasan lambatnya pertumbuhan bangunan hijau,” jelas Iwan.

Dyah Perwitasari, Perencana Junior Kementerian Bappenas yang hadir dalam diskusi tersebut juga turut menyoroti standar keberhasilan konservasi energi yang perlu dipikirkan bersama. 

“Selain standar pencapaiannya yang perlu kita pikirkan lagi, komunikasi atau sosialisasi tentang penghematan energi untuk masyarakat juga sangat penting, contohnya indikator label hemat energi pada alat-alat elektronik yang dipakai di rumah tangga,” katanya.

Menghitung Biaya Pengakhiran Dini Operasional PLTU Batubara dan Intervensi Dekarbonisasi Lain

Jakarta, 11 Oktober 2023 – Pengakhiran dini operasional PLTU batubara dari tahun pensiun PLTU alaminya dipandang memiliki biaya yang lebih rendah dibandingkan memperpanjang usia PLTU batubara dengan penambahan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage, CCS). Hal tersebut disampaikan oleh Fadhil Ahmad Qamar, Staff Program untuk proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara (SEA), Institute for Essential Services Reform (IESR), pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023.

Fadhil menyampaikan biaya penambahan teknologi CCS cenderung tinggi disebabkan oleh besarnya biaya pengadaan atau modal awal (capital expenditure, Capex) dan pengeluaran operasional (operating expenditure, Opex) CCS. Selain itu, menurutnya, pengakhiran dini operasional PLTU batubara berpotensi untuk menghasilkan pengurangan emisi PLTU yang mirip dengan pengurangan emisi yang dihasilkan dari penerapan CCS, dengan biaya yang lebih rendah.

“Untuk dapat menerjemahkan manfaat pengurangan emisi dari pengakhiran dini operasional PLTU batubara dan penerapan teknologi CCS pada PLTU batubara dalam nilai ekonomi, maka perlu disertai dengan penerapan harga karbon yang tepat sebagai bagian dari pembiayaan inovatif sehingga tidak membebankan anggaran negara,” ungkap Fadhil.

Raditya Wiranegara, Analis Senior, IESR pada kesempatan yang sama, juga menekankan kembali pentingnya aspek sosial dan ekonomi dari pengakhiran dini operasional PLTU batubara, terutama jika kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat lokal memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap beroperasinya PLTU batubara. Selain itu, pemangku kebijakan juga perlu untuk menggunakan pendekatan perumusan kebijakan terkait rencana penghentian pengoperasian PLTU batubara yang berbasis data, baik itu data aset pembangkitnya sendiri maupun biaya-biaya eksternalitas yang terkait dengan operasinya, seperti biaya sosial akibat polusi lokal yang dihasilkan oleh PLTU batubara. 

“Sehingga, penting untuk ke depannya, rencana penghentian operasi PLTU batubara ini masuk ke dalam RPJPN, sehingga dapat dipersiapkan jaringan pengaman sosial seperti apa dan berapa banyak yang diperlukan untuk meminimalisir dampak pengakhiran operasi PLTU batubara, baik pada masyarakat di sekitar pembangkit maupun di daerah penghasil batubara. Langkah-langkah antisipasi lainnya, seperti penyiapan peralihan tenaga kerja dari PLTU batubara ke pembangkit listrik berbasis energi terbarukan juga bisa dipertimbangkan untuk masuk ke dalam RPJPN,” jelas Raditya.

Pentingnya Pengakhiran Operasional PLTU Batubara untuk Mengejar Target Penurunan Emisi

press release

Jakarta, 20 Juni 2023 –  Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia melakukan transformasi sektor ketenagalistrikan untuk mencapai emisi puncak di 2030 dan netral karbon di 2050. Hal ini sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mencapai net-zero emission 2060 atau lebih awal sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia mengurangi ancaman pemanasan global. 

Berdasarkan data Climate Watch, sektor energi menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Secara global, sektor tersebut menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari total emisi. Sementara itu, berdasarkan laporan Ember Climate Indonesia menempati urutan ke-9 penghasil emisi CO2 terbesar dari sektor ketenagalistrikan di dunia, mencapai 193 juta ton CO2 pada 2021. Untuk itu,  pemerintah harus mengejar penurunan emisi yang signifikan di sektor energi, khususnya terhadap sektor ketenagalistrikan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyatakan sebagai salah satu negara ekonomi terbesar sekaligus pengemisi terbesar di dunia, Indonesia diharapkan menunjukan kepemimpinan dan komitmen melakukan dekarbonisasi sektor energinya lewat kebijakan dan rencana transisi energi. Komitmen politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus diterjemahkan ke dalam serangkaian kebijakan, regulasi dan rencana yang selaras, satu dengan lainnya.

“Ada indikasi bahwa komitmen politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) coba untuk dimentahkan dan didegradasi oleh sejumlah pihak yang enggan melakukan transisi energi, dan  ujung-ujungnya ingin mempertahankan status quo, yaitu tidak mengurangi konsumsi batubara dalam penyediaan listrik. Untuk itu, Presiden harus mengamati dengan lebih rinci bahwa ada pihak-pihak yang enggan melakukan transisi energi dengan cepat dan mencoba menurunkan derajat ambisi pemerintah dan melakukan buying time hingga mereka dapat mengubah keputusan politik tersebut,” imbuh Fabby. 

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi menegaskan, IESR memandang penghentian PLTU batubara di Indonesia menjadi hal yang penting. Sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan menjadi 34% pada 2030,” ujar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi. 

“Target yang tercanang di komitmen JETP lebih tinggi dibandingkan kebijakan dan perencanaan yang sudah ditetapkan saat ini. Misalnya saja, target emisi mencakup sektor ketenagalistrikan secara keseluruhan dan juga  bauran energi terbarukan yang 10% lebih tinggi dibandingkan dengan RUPTL 2021-2030 milik PLN. Artinya, untuk mencapai target tersebut dalam kurun waktu kurang lebih 7 tahun, perlu transformasi tidak hanya di perencanaan sistem kelistrikan seperti penghentian operasi PLTU batubara,” papar Deon. 

Dengan asumsi semua pembangkit, termasuk PLTU batubara, yang direncanakan di dalam RUPTL 2021-2030 terbangun, IESR menghitung untuk mengejar target JETP setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batubara harus dipensiunkan sebelum 2030 diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040.  Dari sisi kebijakan, akselerasi pengembangan energi terbarukan dan disinsentif ke investasi untuk pembangkit energi fosil juga perlu untuk terus didorong. 

Berdasarkan laporan Delivering Power Sector Transition, IESR menemukan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030 sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan,  10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 220 MW  dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. Pembatalan 2,9 GW PLTU merupakan opsi termurah untuk menghindarkan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan.

“Dari analisis yang kami lakukan di laporan ini, pembatalan pembangunan PLTU batubara yang dibarengi dengan pensiun dini bagi PLTU dapat membantu mencapai target puncak emisi yang disepakati dalam JETP. Kami memperkirakan ada 5,6 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 jika 2,9 GW PLTU dapat dibatalkan pembangunannya,” ujar Akbar Bagaskara, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan.

Berdasarkan kajian IESR yang berjudul Financing Indonesia’s coal phase out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero menemukan, penghentian operasi PLTU batubara bermanfaat dari segi ekonomi dan sosial seperti terhindarnya biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batubara dan biaya kesehatan yang masing-masing berjumlah $34,8 dan $61,3 miliar—2 kali sampai 4 kali lebih besar—dari biaya aset terbengkalai (stranded asset), penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batubara.

“Hingga tahun 2050, diperkirakan akan diperlukan biaya investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukung, sebagai pengganti dari PLTU batubara yang dipensiunkan, sebesar $1,2 triliun. Dukungan pendanaan internasional tentunya akan dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini. Namun, dengan melakukan pensiun dini PLTU dan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan ada 168,000 kematian yang bisa dihindarkan hingga tahun 2050”, ujar Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR.

Berpacu dalam Waktu, Mendorong Percepatan Dekarbonisasi Sistem Energi Indonesia

Deon Arinaldo

Jakarta, 14 Maret 2023 – Pemerintah Indonesia perlu ambisius lagi untuk mendorong percepatan dekarbonisasi sistem energi agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi dari 1.5°C. Sebagai negara yang meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia terikat secara hukum untuk mengintegrasikan kebijakannya untuk meraih netral karbon pada 2050. Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan, demi mendukung target global 1,5°C, emisi sistem energi Indonesia harus mencapai puncaknya sebelum tahun 2030 dan mencapai nol pada 2050. 

“Untuk itu, transisi sistem energi perlu direncanakan dan dimulai sejak awal. Sistem kelistrikan merupakan sektor yang paling siap untuk bertransisi karena pembangkit energi terbarukan tersedia dengan potensi melimpah, serta kompetitif dengan energi fosil,” terang Deon dalam acara Implementation of a Just Energy Transition in Indonesia yang diselenggarakan oleh International Institute for Sustainable Development pada Selasa (14/3/2023).

Mengutip studi IESR berjudul Deep Decarbonization of Indonesia Energy System, kata Deon, transisi sistem energi di Indonesia perlu mencapai tiga milestone di antaranya terdapat 100 GW panel surya, tidak ada PLTU baru kecuali 11 GW yang masuk dalam rencana pengembangan serta 2 GW prosumer panel surya dalam tahap pertama pada periode 2018-2030, kemudian pada tahap kedua yaitu 100% energi terbarukan, penyimpanan baterai skala utilitas, mulai memasang elektroliser 2 GW dan penyimpanan CO2 dan penangkapan karbon dari udara langsung (DAC) di periode 2030-2045, lalu pada tahap ketiga yaitu melanjutkan penggunaan 100% energi terbarukan setelah 2045.

“Untuk mencapai transisi sistem energi, energi terbarukan terutama surya mempunyai peran besar dalam pembangkitan listrik Indonesia, dalam skenario netral karbon,” papar Deon. 

Selain itu, Deon menekankan, transisi energi setidaknya membutuhkan pendekatan transformatif terhadap semua aspek, dari kebijakan, ekonomi, sosial hingga teknis. Misalnya saja dalam aspek kebijakan, setidaknya perlu mempertimbangkan langkah yang lebih jelas, tidak hanya sekadar BaU (business as usual). Indonesia sebagai negara berkembang juga bisa mengambil peran dalam transisi energi, namun di sisi lain terdapat tekanan bagi negara maju untuk menyediakan teknologi, dana dan bantuan.

“Demi mendukung target 1,5°C, tentunya perlu mengubah cara pandang kita, cara kita bekerja dan sistem energi itu sendiri. Untuk itu, diperlukan pesan yang lebih kuat dalam energy planning dan kebijakan,” jelas Deon. 

Dalam kesempatan yang sama, Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) menekankan, diperlukan adanya climate finance sebagai motor utama pencapaian netral karbon. Untuk itu, Indonesia perlu bantuan negara lain dalam rangka mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Demi mencapai target tersebut, kata Satya, Indonesia juga mempunyai strategi untuk dekarbonisasi di pembangkitan listrik. 

“Kita mencoba masih memanfaatkan energi fosil namun dengan teknologi energi bersih. Namun demikian, kita juga terus mengakselerasi penggunaan energi terbarukan seperti kendaraan listrik dan pengembangan hidrogen. Sampai nanti waktunya energi terbarukan bisa digunakan sepenuhnya,” terang Satya. 

Mendukung Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi

Kendaraan Listrik

Jakarta, 20 Februari 2023 – Dekarbonisasi sektor transportasi menjadi salah satu agenda utama untuk mencapai target emisi nol bersih Indonesia pada tahun 2060. Sektor transportasi merupakan penghasil emisi GRK terbesar kedua (23%), dimana transportasi darat menyumbang 90% emisi sektor ini, dengan total emisi di sektor energi mendekati 600 MtCO2eq pada tahun 2021 (IESR, IEVO 2023).

Dalam skenario rendah karbon yang sesuai dengan target Paris Agreement (LCCP), emisi dari transportasi di Indonesia perlu diturunkan menjadi 100 MtCO2eq pada tahun 2050. Sementara itu, dalam perhitungan IESR seluruh sektor energi, termasuk transportasi, harus mendekati nol emisi pada tahun 2050 agar kenaikan suhu global tetap berada di bawah 1,5 °C. Untuk mencapai hal tersebut, elektrifikasi transportasi dan pemanfaatan bahan bakar berkelanjutan perlu diprioritaskan.

Salah satu cara melakukan dekarbonisasi transportasi darat yakni meningkatkan penggunaan kendaraan listrik. Adanya penggantian komponen mesin pembakar internal (Internal Combustion Engine/ICE) dengan kendaraan listrik tidak hanya menjadi solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), tetapi juga menjadi pilihan yang lebih ekonomis. Hal ini lantaran efisiensi energi teknologi kendaraan listrik yang tinggi. Kendaraan listrik diproyeksikan mewakili lebih dari 60% kendaraan yang terjual secara global pada tahun 2030. Untuk itu, perlu dipersiapkan dengan matang infrastruktur pendukung kendaraan listrik di Indonesia, seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). 

Namun demikian, sebagian masyarakat masih meragukan atau bahkan berpendapat bahwa kendaraan listrik tidak dapat menjadi solusi pengurangan emisi GRK. Pasalnya, sumber listrik untuk pengisian kendaraan listrik masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, khususnya di Indonesia yang sekitar 67% listriknya berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara (PLTU). Selain itu, proses pembuatan baterai kendaraan listrik juga sangat memakan energi dan menghasilkan GRK dalam jumlah tinggi.

Dalam hal ini, dekarbonisasi sektor transportasi perlu dilihat secara optimis dari perspektif jangka panjang. Penggunaan sumber listrik untuk kendaraan memang menjadi tantangan besar untuk meningkatkan utilisasi kendaraan listrik. Untuk itu, rencana pengembangan kendaraan listrik harus diintegrasikan dengan peta jalan dekarbonisasi multisektor karena adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi membantu sektor lain, yaitu sektor ketenagalistrikan.

Kondisi Sektor Ketenagalistrikan

Salah satu penyebab lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia yakni terjadinya kondisi kelebihan pasokan listrik. Apalagi sistem kelistrikan tersebut memiliki cadangan daya margin cadangan (reserve margin) yang tinggi, diperkirakan mencapai 56% pada tahun 2022, sedangkan margin cadangan tipikal berdasarkan RUPTL PLN berada pada kisaran 15-40%. Kondisi tersebut bisa dikatakan terjadi karena overestimasi permintaan dan efek pandemi global.

Sayangnya, sebagian besar pembangkit baru yang beroperasi yakni PLTU yang tidak dapat beroperasi secara fleksibel karena terkendala kesepakatan take or pay. Sementara itu, beberapa unit PLTU, terutama yang telah berusia lebih tua, memiliki keterbatasan untuk beroperasi secara fleksibel karena kemampuan teknisnya, seperti laju ramp-rate yang lambat, beban minimum yang tinggi, dan waktu start-up yang lama.

Berdasarkan permasalahan tersebut, setidaknya perlu ada peningkatan permintaan listrik atau penghentian pembangkit berbahan bakar fosil, dengan atau tanpa intervensi, untuk memungkinkan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan pemanfaatan kendaraan listrik dengan strategi yang tepat dapat digunakan sebagai salah satu upaya meminimalisir permasalahan sistem tenaga listrik.

Di lain sisi, tingkat adopsi kendaraan listrik yang tinggi berpotensi menyerap kelebihan pasokan listrik dari pembangkit listrik yang beroperasi. Dalam laporan Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang diterbitkan Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan elektrifikasi transportasi akan mencapai 136 TWh pada tahun 2030 (sekitar 28,6% dari total permintaan listrik). Dengan kata lain, elektrifikasi sektor transportasi dapat menjadi pendekatan strategis untuk mengurangi masalah kelebihan pasokan dan memberi ruang bagi lebih banyak energi terbarukan dalam sistem tenaga. Selain itu, elektrifikasi akan secara signifikan mengurangi emisi GRK langsung dan meningkatkan ketahanan energi melalui pengurangan impor bahan bakar.

Nilai Kendaraan Listrik dalam Sistem Tenaga Listrik

Pada dasarnya kendaraan listrik merupakan baterai berkapasitas besar yang terhubung ke motor listrik dan roda. Sederhananya, baterai tersebut menjadi aset penyimpanan energi untuk melakukan mobilitas. Kendaraan listrik saat ini memiliki kapasitas baterai rata-rata sekitar 40 kWh yang dapat dipandang sebagai aset berharga untuk sistem kelistrikan. Kapasitas tersebut cukup besar mengingat unit baterai penyimpanan rumah biasanya memiliki kapasitas tidak lebih dari setengah kendaraan listrik. Oleh karena itu, setiap nilai tambah kendaraan listrik perlu diaktifkan melalui integrasi jaringan dan kendaraan (VGI).

Berbagai skema VGI telah dikembangkan, sebut saja aliran energi satu arah (V1G), aliran energi dua arah (V2G), kendaraan ke bangunan (V2B), dan lainnya. Strategi integrasi yang sesuai dapat memberikan keuntungan, baik kepada pemilik kendaraan listrik maupun operator jaringan listrik. Misalnya, operator jaringan dapat menerapkan tarif pengisian berbeda pada jam pengisian tertentu yang akan mempengaruhi perilaku pengisian daya pemilik EV melalui skema V1G. Operator jaringan dapat menjaga beban puncak, menghindari biaya operasi tambahan atau kebutuhan penambahan kapasitas. Sebagai imbal baliknya, pemilik kendaraan listrik akan mendapatkan insentif tarif pengisian rendah selama waktu beban puncak.

Dalam implementasi lebih lanjut, VGI dapat dipromosikan menjadi V2G. Armada kendaraan listrik secara kolektif dapat bertindak seperti sistem penyimpanan energi stasioner (Energy Storage System/ESS) di mana operator jaringan dapat membeli listrik dari baterai kendaraan listrik untuk dipasok ke jaringan saat dibutuhkan. Namun implementasinya akan membutuhkan regulasi terkait interkoneksi.

Selain regulasi, VGI akan membutuhkan pengembangan infrastruktur pendukung yang relevan dengan peta jalan pengembangan sektor ketenagalistrikan. Mempertimbangkan tingkat penetrasi energi terbarukan, tingkat adopsi kendaraan listrik, dan profil beban saat ini, VGI dapat mulai diimplementasikan melalui insentif tarif rendah pada malam hari sehingga pemilik kendaraan listrik melakukan pengisian daya di rumah sepanjang malam. Namun, begitu sistem tenaga memiliki penetrasi PLTS  yang tinggi (seperti yang direncanakan pemerintah untuk masa depan), akan ada suplai listrik yang tinggi di siang hari. Bukankah kita perlu menyiapkan lebih banyak infrastruktur pengisian publik? Atau ada strategi lain?

Kenaikan Target Penurunan Emisi di NDC Indonesia Masih Jauh untuk Mencegah Krisis Iklim

Jakarta, 6 Desember 2022- Indonesia telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) dengan meningkatkan  target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hanya sekitar 2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa, menemukan bahwa kenaikan tipis target NDC Indonesia tersebut masih  tidak mencukupi untuk mencegah  kenaikan suhu global 1,5°C. 

Pada Enhanced NDC, target penurunan emisi dengan upaya sendiri  (unconditional) meningkat dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. IESR dan CAT memandang seharusnya Indonesia dapat menetapkan target lebih ambisius lagi, terutama setelah dirilisnya Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyedian Tenaga Listrik.

“Indonesia masih ragu-ragu menetapkan target penurunan emisi yang ambisius dan bermain di zona aman. Target penurunan yang ditetapkan dalam Enhanced NDC (E-NDC) sangat mudah dicapai karena referensinya adalah proyeksi peningkatan emisi business as usual di 2030. Target penurunan emisi seharusnya berdasarkan tingkat emisi absolut berdasarkan tahun tertentu. Untuk selaras dengan ambisi 1,5°C, emisi dari sektor energi di 2030 harus setara dengan tingkat emisi dari sektor energi 2010,”  kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Agar mencapai penurunan emisi yang signifikan, Indonesia perlu melakukan mitigasi yang lebih ambisius pada sektor yang penghasil emisi dominan yakni sektor energi, dan sektor hutan dan lahan. Mempunyai potensi energi terbarukan yang melimpah, bahkan hingga lebih dari 7 TW, Indonesia dapat memanfaatkannya menjadi sumber energi yang minim emisi.

Namun, hingga 2021, bauran energi terbarukan pada sistem energi di Indonesia masih 11,5%. IESR memandang dengan beberapa perkembangan dukungan internasional dan komitmen pemerintah terhadap pensiun dini PLTU batubara akan memberikan ruang yang leluasa bagi pengembangan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025, bahkan mencapai 40% di 2030. Dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia Energy System (2021), IESR menyimpulkan pada 2050,  pemanfaatan 100% energi terbarukan dalam sistem energi  Indonesia layak secara teknis dan ekonomis. 

“Status aksi iklim Indonesia dapat ditingkatkan dengan memastikan kebijakan iklim pada dekade ini diimplementasikan untuk memenuhi kontribusi yang adil berdasarkan upaya global (fairshare). Target NDC dengan bantuan internasional juga harus konsisten, setidaknya dengan  jalur optimal dengan biaya terendah untuk ambisi 1,5°C (global least cost pathways),”  jelas Delima Ramadhani, Koordinator Climate Action Tracker, IESR.

Menurutnya, dominasi PLTU batubara yang saat ini sekitar 61% di sistem energi Indonesia, perlu dikurangi secara signifikan  menjadi  hanya 10% PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan)  pada 2030 dan diakhiri operasinya secara bertahap hingga berhenti seluruhnya pada 2040.  Untuk itu, Indonesia harus meningkatkan komitmen iklimnya, dan bantuan internasional berperan besar untuk implementasi penghentian batubara yang sesuai dengan Persetujuan Paris.

Beberapa mekanisme pendanaan pengakhiran operasi batubara juga telah dibahas dan disepakati oleh Indonesia seperti dalam skema Energy Transition Mechanism, dan  Just Energy Transition Partnerships (JETP). IESR menganggap, walaupun masih belum selaras dengan target 1,5°C, kesepakatan JETP merupakan langkah maju dalam transisi energi di Indonesia. Komitmen pendanaan USD 20 miliar belum cukup untuk mencapai dekarbonisasi sektor energi yang setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030.

“Porsi dana hibah dalam pendanaan JETP perlu diperbesar, yang dapat dipakai untuk mempercepat penguatan ekosistem transisi energi dan penyiapan proyek. Selain itu, langkah selanjutnya setelah JETP disepakati adalah penyusunan rencana investasi yang dilakukan secara transparan serta mengarusutamakan prinsip berkeadilan dalam bertransisi energi dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok terdampak,” tutup Fabby. 

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.