Memperjuangkan Keadilan Transisi Energi di Indonesia, Kolombia dan Afrika Selatan

Jakarta, 29 Februari 2024– Aspek keadilan dalam transisi energi erat kaitannya dengan pelibatan masyarakat dalam prosesnya, terutama dalam mempersiapkan masyarakat daerah penghasil batubara. Organisasi masyarakat sipil sebagai pihak yang berinteraksi dekat masyarakat dan pemerintah mempunyai peran yang signifikan untuk mendorong pemerintah dalam membuat kebijakan partisipatif dan mengarusutamakan prinsip adil, serta membangun kapasitas secara keterampilan maupun pengetahuan kepada masyarakat sehingga mereka mampu menyurakan kepentingannya.

Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut pendapatan daerah penghasil batubara di Indonesia sangat bergantung pada industri batubara. Ia menilai minimnya diversifikasi ekonomi di daerah akan berdampak pada disrupsi ekonomi jika terjadi penurunan permintaan batubara akibat transisi energi global dan kurangnya mitigasi terhadap perubahan ini.

“Indonesia melakukan keadilan distributif terhadap energi fosil dengan keleluasaan akses terhadap listrik dari batubara dan sejumlah subsidi untuk menjaga keterjangkauan harga. Pemerintah seharusnya dapat melakukan keadilan distributif untuk adopsi energi terbarukan dalam arus transisi energi global ini. Apalagi Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris untuk berkontribusi pada penurunan emisi, di antaranya emisi dari sektor energi,” jelas Ilham pada webinar Cross-country reflections on coal and just transitions in Colombia, South Africa and Indonesia yang diselenggarakan oleh Stockholm Environment Institute (SEI) bekerja sama dengan IESR.

Ilham menyoroti konsep transisi energi yang diusung oleh pemerintah, yang menurutnya, masih membingungkan. Di satu sisi, Indonesia menerima berbagai pendanaan untuk bertransisi energi seperti Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP), tetapi di sisi lain, Indonesia tampak memberikan izin pada pembangunan PLTU batubara untuk kepentingan industri.

Organisasi masyarakat sipil, menurut Ilham, perlu menyiapkan ruang diskusi yang intensif dan memperkuat relevansi transisi energi dengan masyarakat sehingga semakin banyak masyarakat terpapar pada isu transisi energi.

Senanda, Juliana Peña Niño, Staff Senior, National Resource Governance Institute, mengungkapkan daerah penghasil batubara di La Guajira dan Cesar di Kolombia sangat bergantung pada royalti dari industri batubara. Ia mengatakan hampir 50% pendapatan daerah tersebut berasal dari royalti batubara dan pada gilirannya memiliki ekonomi yang kurang terdiversifikasi.

“Pemerintah perlu memanfaatkan royalti ini untuk mengarahkan investasi ke arah diversifikasi ekonomi. Tantangannya, pemerintah setempat tidak mempunyai kapasitas untuk mengakses sumber daya ini dan merumuskan proyek ekonomi alternatif,” jelasnya.

Lebih lanjut, membahas tentang transisi energi di Afrika Selatan, Muhammed Patel, Ekonom Senior, Trade and Industrial Policy Strategies, memandang pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) merupakan cara yang ideal untuk mendorong partisipasi masyarakat. Namun, pendekatan ini cenderung sulit dilakukan karena pendekatan umum yang dilakukan di Afrika Selatan bersifat atas ke bawah (top-down).

“Banyak kebijakan energi dibuat di tataran nasional, sementara pemerintahan di tingkat sub nasional sering kewalahan dengan keterbatasan pendanaan di daerah. Tidak hanya itu, dari segi kapasitas, pemerintah daerah cenderung mempunyai keterbatasan. Bahkan untuk memenuhi pelayanan pokok saja, sering kali pemerintah daerah bergantung pada sektor swasta,” imbuh Patel.

Di Afrika Selatan, gerakan masyarakat sipil juga menyuarakan isu transisi energi dengan banyak cara, melakukan perlawanan misalnya dengan membawa berbagai kasus terkait pencemaran udara dari pabrik di Afrika Selatan, melakukan advokasi ke pemerintah dan melakukan pelibatan masyarakat.

“Jika gerakan tersebut berupa menentang ketidakadilan, terutama ketika melibatkan komunitas rentan dan operasi industri berat, kerap kali organisasi masyarakat sipil sulit mendapat dukungan dari pihak lain, Hal ini membuat mereka seperti berjuang sendiri,” ungkap Patel.

Menyongsong Transisi Energi di Sumatera Selatan

Podcast Ruang Redaksi RMOL Sumsel

Palembang, 6 Desember 2023 –  Sumatra Selatan (Sumsel) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi ekonomi yang besar. Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, perlu adanya transisi energi yang berfokus pada sumber energi terbarukan. Transisi ini tidak hanya akan memberikan manfaat lingkungan, tetapi juga akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan sektor ekonomi di Sumsel.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, Indonesia perlu mengantisipasi sejak awal proses transisi energi dilakukan agar kesejahteraan masyarakat dan perekonomian tetap berjalan. Marlistya menilai, pandangan transisi energi apabila dilihat menggunakan kaca mata global, nasional maupun lokal belum tentu sama. Misalnya saja, beberapa negara di dunia telah mulai menggunakan energi terbarukan dan siap dengan pembiayaannya. Sementara itu, Indonesia baru mulai sekitar 10 tahun terakhir dalam proses transisi energi dan beberapa daerah penghasil batubara perlu melakukan perencanaan jangka panjang sehingga dalam melakukan transformasi daerah tersebut perlu melihat sudut pandang berbeda, seperti dari pengusaha, pekerja dan masyarakat di sekitarnya. 

“Salah satu keunggulan transisi energi yakni “demokrasi” energi dari sistem ekonominya. Energi terbarukan bisa diupayakan oleh banyak pihak. Seperti individu yang bisa mengupayakan penggunaan energi terbarukan (pemasangan panel surya di rumah, red). Hal ini membuka peluang banyak pihak untuk terjun ke industri energi terbarukan,” ujar Marlistya Citraningrum dalam Podcast Ruang Redaksi RMOL Sumsel pada Rabu (6/12).

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR

Lebih lanjut, Marlistya menyatakan, dalam proses transisi energi juga perlu dibahas mengenai sektor ekonomi alternatif lainnya, khususnya pada daerah penghasil batubara. Marlistya menekankan bahwa Sumatra Selatan selain disebut sebagai lumbung energi, juga lumbung pangan. Yang artinya, terdapat komoditas pertanian dan perkebunan yang dapat menjadi nilai tambahan perekonomian. Dengan kondisi tersebut, maka bisa ditingkatkan kualitas, akses pembiayaan dan modalnya. 

“Ketika melakukan diversifikasi ekonomi dalam transisi energi membutuhkan persiapan, tidak hanya dari sisi regulasi, perlu juga kesiapan dunia usaha dan bagaimana nanti masyarakat menghadapinya. Diversifikasi usaha menjadi salah satu strategi bagi dunia bisnis khususnya yang bergerak pada energi fosil. Namun demikian, kita perlu menekankan juga keadilan sosial bagi masyarakat yang terdampak. Misalnya saja, apakah perlu adanya sertifikasi atau pelatihan bagi masyarakat untuk bekerja di ekonomi hijau,” terang Marlistya. 

Brilliant Faisal, Fungsional Perencana Ahli Madya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Selatan (Sumsel) menuturkan, pihaknya berencana akan membuat berbagai jenis pelatihan baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi proses transisi energi. Selain itu, Faisal menjelaskan pihaknya juga akan menyiapkan regulasi daerah terkait transformasi ekonomi untuk transisi energi berkeadilan. 

“Kami telah merencanakan delapan strategi utama yang akan direalisasikan pada 2024-2026. Delapan strategi tersebut di antaranya perwujudan transformasi ekonomi, peningkatan kondusifitas perekonomian wilayah, pemerataan pembangunan,serta peningkatan kualitas dan daya saing angkatan kerja. Hal ini perlu dilakukan karena Sumsel masih terpaku terhadap sektor unggulan semata, seperti batubara,” ujar Faisal.

Hermansyah Mastari, Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menerangkan, pihaknya selalu bersinergi dengan perusahaan yang akan berinvestasi di Sumatera Selatan. Namun, dukungan dari pemerintah daerah menjadi hal penting, khususnya dalam memberikan saran kepada perusahaan besar yang bergerak di energi fosil untuk mempersiapkan diri dan warga di lingkungan sekitar untuk beralih ke energi terbarukan.

“Beberapa waktu lalu ada fenomena di mana satu pabrik diserbu pencari kerja sejak subuh dan mereka rela mengantri sejak subuh. Peristiwa seperti ini seharusnya tidak terjadi. Untuk itu, sebaiknya perusahaan besar bukan hanya memberikan corporate social responsibility (CSR) semata, tetapi perlu didorong untuk bergerak membuat pelatihan kepada warga sekitar sehingga mereka memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk mencari uang serta berpartisipasi dalam menghidupkan perekonomian,” kata Hermansyah. 

Mendorong Kapasitas Institusi Pemerintah Pusat dan Daerah untuk Transisi Berkeadilan

press release

Jakarta, 26 Oktober 2023 –  Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Stockholm Environment Institute (SEI) melakukan kolaborasi studi mengenai analisis kapasitas institusi pemerintah pusat dan daerah untuk transisi batubara berkelanjutan di Indonesia. 

Temuan awal dari studi ini menunjukkan bahwa dari delapan kapasitas ideal yang perlu dimiliki pemerintah untuk mendukung transisi energi, baik pemerintah nasional maupun pemerintah daerah memiliki kekuatan kapasitas yang berbeda. Pemerintah nasional dinilai telah mempunyai kesadaran untuk bertransisi energi, sementara pemerintah daerah memiliki kapasitas yang memadai untuk mengimplementasikan transisi energi. Namun, baik pemerintah nasional maupun daerah masih memerlukan peningkatan kapasitas di tujuh macam kapasitas lainnya.

Wira Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR menjelaskan, transisi energi berkeadilan memerlukan kesiapan perencanaan dan implementasi yang matang. Untuk itu, kapasitas yang mumpuni dan saling melengkapi, serta kolaborasi yang erat antar pemerintah nasional dan pemerintah daerah menjadi hal yang krusial. 

“Pemerintah nasional dapat memainkan perannya dalam menetapkan regulasi yang mendukung pelaksanaan transisi energi berkeadilan, menarik investasi dan pembiayaan transisi energi melalui berbagai kerjasama internasional. Sementara , pemerintah daerah dapat mengambil peran sebagai koordinator dan stimulator dalam proses transisi energi karena mereka yang mengetahui kondisi lapangan dan berinteraksi langsung dengan warga,” ujar Wira Swadana dalam Lokakarya Nasional tentang Transisi yang Berkeadilan: Membangun Kapasitas untuk Transisi Batubara yang Berkelanjutan di Indonesia. 

IESR mengkaji delapan kapasitas pemerintah yaitu kesadaran, pengetahuan teknis, pelibatan pemangku kepentingan, komunikasi, jaringan multilevel (networking), finansial, penguasaan instrumental dalam penataan dan penguatan organisasi, dan pengimplementasian transisi energi. Berdasarkan analisis awal IESR, pemerintah nasional memerlukan peningkatan kapasitas di bagian pengetahuan teknis, komunikasi dan membangun jaringan multilevel (networking). Sementara pemerintah daerah juga masih cenderung lemah dalam pengetahuan teknis tentang bertransisi energi, finansial, dan kewenangan yang termasuk dalam kapasitas instrumental.

Martha Jesica, Analis Bidang Sosial dan Ekonomi IESR memaparkan tiga hal utama yang menjadi kesenjangan peningkatan kapasitas pemerintah di tingkat nasional dan daerah. Pertama, mutasi tenaga kerja yang cepat sehingga membatasi pertukaran informasi. Kedua, minimnya kesadaran mengenai dampak batubara dan pembangunan ekonomi. Ketiga, proses birokrasi yang kompleks dalam komunikasi bertingkat atau multilevel antar pemerintah. 

“Agar kesenjangan kapasitas pemerintah nasional dan daerah dapat diatasi, misalnya di kapasitas pengetahuan teknis, maka perlu adanya perubahan paradigma dari ekonomi yang berpusat pada batubara menjadi ekonomi hijau karena pengembangan ekonomi masa depan akan menuju pengembangan berkelanjutan dan adil. Selain itu, perlu pula melibatkan aktor di luar pemerintah dalam perencanaan, seperti kelompok masyarakat sipil (nasional dan lokal) untuk bertukar pengetahuan mengenai transisi energi ini,” kata Martha. 

Stefan Bößner, Peneliti Stockholm Environment Institute menuturkan, pemerintah dapat memperkuat kapasitasnya dalam pembuatan kebijakan dan peraturan yang mendukung inisiatif dan teknologi yang rendah karbon. Ia juga menyebut bahwa diversifikasi ekonomi menjadi solusi kunci untuk melakukan transisi energi berkeadilan. 

“Pilihan diversifikasi ekonomi tersebut tersedia di Indonesia. Misalnya saja daerah penghasil batubara bisa mengembangkan wisata lingkungan, dan memanfaatkan penggunaan lokasi pertambangan untuk instalasi energi surya atau sebagai penyimpanan energi,” ujar Stefan.