Ambisi Penurunan Emisi Indonesia Perlu Semakin Meningkat

press release

Jakarta, 4 Desember 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengharapkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (Conference of the Parties, COP-28) dapat memperkuat  komitmen semua negara, termasuk Indonesia, untuk memangkas emisi gas rumah kaca di 2030. Sesuai hasil Global Stocktake, janji dan realisasi penurunan emisi masih jauh untuk mencapai target Paris Agreement. Untuk itu, pasca COP-28 semua negara perlu meninjau kembali Nationally Determined Contribution (NDC)-nya serta membuat target mitigasi krisis iklim yang lebih ambisius.  

Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam sambutannya di COP-28 menyampaikan Indonesia berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) di 2060 atau lebih awal. Untuk itu, Jokowi berharap melalui COP-28 dapat terbangun kerjasama dan kolaborasi inklusif untuk mendukung pencapaian NZE tersebut. Ia menjelaskan Indonesia sedang mempercepat transisi energi, dengan pengembangan energi terbarukan, dan menurunkan penggunaan PLTU batubara. Upaya mencapai target NZE 2060 membutuhkan pembiayaan yang besar, lebih dari USD 1 triliun. Ia mengundang lebih banyak kolaborasi dan investasi untuk menyokong pembiayaan transisi energi yang berbunga rendah. Menurutnya, menuntaskan masalah pendanaan transisi energi merupakan cara menyelesaikan masalah dunia.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang investasi yang besar untuk bertransisi energi perlu didukung dengan kebijakan yang mendukung. Indonesia semestinya dapat mengeluarkan kebijakan dan komitmen yang lebih ambisius dengan semakin sempitnya waktu untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius sesuai Persetujuan Paris. Berdasarkan laporan diskusi Inventarisasi Global atau Global Stocktake UNFCCC tahun 2023, komitmen negara-negara di dunia yang tercantum pada NDC-nya tidak sejalan dengan Persetujuan Paris. Hal ini akan menyulitkan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global sebesar 43 persen di 2030 dari tingkat emisi 2010  dan 60 persen di 2035 dan nir emisi pada 2050. Tidak hanya itu, dengan target NDC yang disampaikan pada COP27, suhu bumi pada 2050 diperkirakan melampaui target Persetujuan Paris.

“Indonesia perlu menyampaikan target penurunan emisi yang lebih ambisius dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim dalam Second NDC (SNDC) yang rencananya akan disampaikan 2025. Agar selaras dengan target 1,5°C, tingkat emisi pada 2030 harus maksimal 850 juta ton untuk seluruh sektor. Sementara itu, di sektor kelistrikan, transisi energi ditandai dengan target 44% bauran energi terbarukan di 2030. Meskipun target bauran energi terbarukan tersebut tercapai, belum dapat membuat emisi sektor kelistrikan mencapai level di bawah 200 juta ton CO2, sesuai dengan jalur 1,5°C. Untuk itu, selain penambahan energi terbarukan, masih diperlukan pengakhiran operasi PLTU, 8 sampai 9 GW sebelum 2030 untuk menurunkan emisi pada level tersebut,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Pada 2025, Indonesia perlu meningkatkan ambisinya dalam Enhanced NDC yang saat ini hanya membidik target penurunan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri  (unconditional) dan 43,2% dengan bantuan internasional (conditional) pada tahun 2030. Target ini dibuat dengan membandingkan proyeksi business as usual (BAU) 2010. Sementara,  IESR, dengan menggunakan proyeksi dari data emisi tahun 2020, menemukan bahwa Indonesia dapat menetapkan target ambisi iklim tanpa syarat (unconditional NDC) sebesar 26% hingga 2030. Peningkatan target ambisi ini lebih tinggi dari target saat ini dan bertujuan agar Pemerintah Indonesia dapat tetap menetapkan target ambisi iklim yang lebih relevan untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris agar pemanasan global tidak melebihi 1,5°C.

“Banyak peluang yang Indonesia dapat lakukan agar meningkatkan pencapaian target bauran energi terbarukan yang sejalan dengan Persetujuan Paris. Misalnya dengan menyesuaikan penyusunan SNDC dengan prinsip-prinsip NDC dalam Article 4 Line 13 dari Persetujuan Paris yakni mempromosikan integritas lingkungan hidup, transparansi, akurasi, keutuhan, keterbandingan, konsistensi, dan memastikan terhindar penghitungan ganda, menggunakan metode-metode yang layak untuk mencapai upaya dekarbonisasi, dan mempercepat dekarbonisasi keluar dari penggunaan bahan bakar fosil,” ujar Wira A Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR. 

Wira menambahkan Indonesia perlu menarik dukungan internasional, berkolaborasi dalam teknologi dan pengetahuan, untuk mendorong pengembangan energi terbarukan agar dapat menerapkan temuan-temuan kunci dari Technical Dialogue of the first GST, khususnya di bidang mitigasi iklim. Utamanya, pada COP-28 juga didorong untuk meningkatkan target energi terbarukan tiga kali lipat lebih besar atau setara 11 TW pada 2030. 

Menurutnya, Indonesia dapat berkolaborasi dan memperkuat kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UAE). Terlebih, Masdar perusahaan asal Uni Emirat Arab, telah terlibat dalam pembangunan PLTS terapung Cirata dan berinvestasi di sektor energi panas bumi, seiring dengan statusnya sebagai investor strategis dalam penawaran umum perdana saham atau IPO PT Pertamina Geothermal Tbk. (PGEO) pada Februari 2023. 

“Kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara lain, termasuk UAE, sesungguhnya dapat membantu untuk upaya dekarbonisasi Indonesia untuk memitigasi dampak buruk dari perubahan iklim. Indonesia sudah memiliki berbagai kerja sama iklim, misalnya melalui mekanisme JETP dan berbagai kerja sama bilateral tetapi masih terdapat banyak kesenjangan untuk mendorong implementasi mitigasi dan adaptasi iklim yang lebih ambisius. Lebih khusus dalam hal pendanaan dan peningkatan kapasitas,” terang Wira. 

Sekilas tentang Global Stocktake bisa dilihat di sini

Transformasi Energi Indonesia Menuju Nir Emisi

Fabby Tumiwa dalam acara Green Press Community 2023 pada Rabu (8/11/2023)

Jakarta, 8 November 2023 –  Krisis iklim global menjadi tantangan terbesar yang dihadapi manusia pada abad ke-21. Krisis iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca telah menyebabkan kenaikan suhu global yang signifikan, dengan dampak yang semakin terasa, seperti peningkatan suhu, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, dan kerusakan ekosistem. Indonesia sebagai salah satu pihak yang menandatangani Persetujuan Paris telah berkomitmen  dalam pengurangan emisi.  Bahkan, Indonesia juga telah  menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (E-NDCs) dengan meningkatkan  target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Sebelumnya pada Updated NDC target penurunan emisi dengan upaya sendiri  (unconditional) 29% menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. 

Berkaca dari ENDC terbaru Indonesia, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan target iklim Indonesia belum selaras (compatible) dengan ambisi Persetujuan Paris mempertahankan kenaikan suhu bumi pada level 1,5C, serta tidak mencerminkan urgensi menghindari perubahan iklim yang dampaknya kini melanda seluruh dunia.

“Berdasarkan asesmen yang dilakukan oleh Climate Action Tracker (CAT), target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia dinilai tidak memadai (highly insufficient), mengarah ke 2,4ºC. Agar bisa disebut compatible, emisi GRK Indonesia harus mencapai 850 MtCO2 di 2030 dan NZE di 2050 – 2060. Caranya, kita perlu melakukan penurunan emisi di sektor energi yang lebih ambisius lagi,” terang Fabby Tumiwa dalam acara Green Press Community 2023 pada Rabu (8/11/2023). 

Fabby menuturkan, akselerasi penggunaan energi terbarukan memainkan peran kunci dalam mengurangi emisi GRK.  Berdasarkan studi IESR berjudul Beyond 443 GW  Indonesia’s Infinite Renewable Energy Potentials, potensi teknis energi terbarukan di Indonesia mencapai hampir 8.000 GW, dengan energi surya memiliki potensi terbesar sekitar 6.700-7.700 GW. Namun demikian, transisi energi membutuhkan dukungan secara regulasi, tekno-ekonomi, investasi dan sosial. 

“Potensi besar tersebut apabila dimanfaatkan secara optimal akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan energi di Indonesia. IESR telah memproyeksikan kebutuhan kapasitas energi mencapai 1600 GW pada 2050.  Lebih lanjut, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan listrik sebesar 1600 GW tersebut dari 100% energi terbarukan dan mencapai nir emisi pada 2050,” ujar Fabby Tumiwa. 

Transisi energi tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas energi terbarukan, tetapi juga menciptakan kesempatan baru dan transformasi energi yang berkeadilan dan inklusif. Terlebih, teknologi dekarbonisasi dan energi terbarukan telah semakin murah dan terjangkau. Untuk itu, Fabby mendorong agar pemerintah segera membuat perencanaan yang lebih ambisius untuk mencegah krisis iklim di Indonesia.

Aksi Konservasi Energi Masih Jadi PR Dekarbonisasi Indonesia

Jakarta, 12 Oktober 2023 – Konservasi energi merupakan salah satu upaya dekarbonisasi yang dapat dilakukan dengan biaya minimal dan upaya yang relatif lebih kecil dibandingkan pembangunan pembangkit baru. Sayangnya, upaya ini masih menjadi prioritas kedua dalam agenda dekarbonisasi Indonesia. 

Demi mendorong percepatan aksi konservasi energi pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2023 yang mengatur tentang konservasi energi pada berbagai sektor. Tavip Rubiyanto, Kasubid ESDM Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I, Ditjen Bina Bangda, Kementerian Dalam Negeri menjelaskan bahwa kebutuhan energi Indonesia akan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi per kapita. 

Menurutnya, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen internasional untuk membatasi pelepasan gas rumah kaca dan terus melakukan penambahan kapasitas energi terbarukan. Namun, rencana ini masih terkendala dengan besarnya investasi awal. 

“Dalam PP 33/2023 ini, kami memberi mandat bagi pemerintah daerah, badan usaha, masyarakat, dan swasta untuk ikut ambil bagian dalam aksi konservasi energi,” kata Tavip dalam diskusi kelompok terpumpun yang dilaksanakan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada hari Kamis, 12 Oktober 2023.

Tavip menambahkan adanya pengaturan kewenangan bagi pemerintah daerah ini diharapkan memberi ruang yang cukup bagi pemerintah daerah untuk mengusulkan dan menjalankan program-program yang bersifat konservasi energi.

Koordinator Kelompok Bimbingan Teknis dan Kerjasama Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Hendro Gunawan menjelaskan penting bagi suatu entitas untuk melakukan manajemen energi.

“Untuk sektor swasta dan industri, bahkan sudah sampai pada sertifikasi seperti ISO 50001 (manajemen industri) karena selain meningkatkan branding, juga sebagai semacam persyaratan untuk tetap eksis di industri,” kata Hendro.

Terkait dengan basis penerapan manajemen energi yang masih bersifat sukarela, Iwan Prijanto, chairperson Green Building Council Indonesia (GBCI), menegaskan pentingnya skema insentif bagi pemilik gedung yang akan melakukan sertifikasi bangunan hijau. Khususnya bagi pemilik gedung perkantoran sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca tertinggi.

“Saya sebenarnya merasa miris, karena gedung pertama yang tersertifikasi di tahun 2011, dan penambahannya sangat lambat. Tidak adanya insentif maupun disinsentif bagi pemilik gedung menjadi salah satu alasan lambatnya pertumbuhan bangunan hijau,” jelas Iwan.

Dyah Perwitasari, Perencana Junior Kementerian Bappenas yang hadir dalam diskusi tersebut juga turut menyoroti standar keberhasilan konservasi energi yang perlu dipikirkan bersama. 

“Selain standar pencapaiannya yang perlu kita pikirkan lagi, komunikasi atau sosialisasi tentang penghematan energi untuk masyarakat juga sangat penting, contohnya indikator label hemat energi pada alat-alat elektronik yang dipakai di rumah tangga,” katanya.

Koran Jakarta | Emisi dari PLTU Perlu Diaudit

Pemerintah perlu mengaudit emisi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) karena polusi udara di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) dipicu oleh pembangkit listrik dari energi kotor. Jika langkah tegas tidak dilakukan, dampak buruk dari pencemaran udara ini kian meluas.

Baca selengkapnya di Koran Jakarta.

Koran Jakarta | Picu Berbagai Penyakit, Polusi Udara di Jakarta Semakin Mengkhawatirkan

Penduduk di sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) diimbau mewaspadai bahaya polusi karena berpotensi menimbulkan sejumlah penyakit. Jakarta sendiri dalam beberapa waktu terakhir selalu menjadi kota paling polutif di dunia akibat dikepung PLTU batubara ditambah emisi kendaraan bermotor yang tidak terkendali.

Baca selengkapnya di Koran Jakarta.