IESR Turut Meramaikan Puncak Kegiatan Peringatan Hari Bumi Tahun 2023

IESR turut meramaikan perayaan Hari Bumi tahun 2023

Cilacap, 12 Mei 2023 –  Dalam rangka peringatan Hari Bumi yang jatuh setiap tanggal 22 April, Institute for Essential Services Reform (IESR) turut serta meramaikan puncak kegiatan peringatan Hari Bumi tahun 2023 di Desa Bulupayung, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap pada Jumat (12/5/2023). Kegiatan tersebut mengusung tema “Invest in Our Planet Through Sustainable Mining”. 

Selama acara berlangsung, tim IESR memberikan edukasi tentang bagaimana kontribusi pemanfaatan energi ramah lingkungan khususnya dalam skala rumah tangga (PLTS atap) dan mengimplementasikan potensi energi terbarukan di sekitar mereka. Publikasi dan kajian-kajian IESR yang relevan di Jawa Tengah turut dibagikan kepada para pengunjung yang hadir dalam kegiatan tersebut. Pengunjung juga diajak untuk meramaikan photobooth dengan mengusung tema #InvestInOurPlanet.

Dalam sambutan pembukaan acara tersebut, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengingatkan pentingnya melestarikan sumber daya alam sehingga terus bermanfaat bagi manusia.

“Sumber daya alam adalah kunci roda perekonomian berjalan, segala sesuatu yang berada di alam dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan serta kesejahteraan, dan sebagai manusia kita wajib menjaga dan melestarikannya,” terang Ganjar Pranowo. 

Sementara itu, Boedyo Dharmawan, Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinas ESDM Jawa Tengah, menjelaskan beberapa rangkaian kegiatan lainnya selama puncak kegiatan  peringatan Hari Bumi tahun 2023. Boedyo menjelaskan, rangkaian acara tersebut bertujuan untuk melindungi bumi dari kepunahan, terutama sumber daya alam yang telah dimanfaatkan. 

 “Di momen rangkaian hari bumi ini ada beberapa poin penting kegiatan yang kita lakukan, pengukuhan Paguyuban Penambang Slamet Selatan, bantuan 4000 bibit pohon, penghargaan terhadap pelaku tambang skala kecil hingga besar yang memenuhi kaidah-kaidah Good Mining Practice (GMP), kaidah teknis dan lingkungan. Selain itu juga dilakukan penganugerahaan Desa Mandiri Energi (DME); dan Gerakan Hemat Energi dan Air (HEA). Semoga pengelolaan bumi berkelanjutan bisa dilakukan demi generasi masa depan,” ucapnya. 

Staf Program Regional Akses Energi Berkelanjutan IESR, Riina Syivarulli berharap para peserta dan pengunjung kegiatan dapat semakin menyadari pentingnya kesadaran dan mengambil langkah nyata untuk menjaga kelestarian lingkungan setelah mengunjungi booth IESR.

“Pada kesempatan ini, IESR mengenalkan platform Jejakkarbonku.id untuk mengetahui emisi karbon dari kegiatan kita sehari-hari. Selain itu, ada juga platform Solar Hub apabila ada pengunjung yang ingin mengetahui tentang PLTS atap. Banyak pengunjung yang mencoba kedua platform tersebut dan beberapa pengunjung mengatakan tertarik memasang PLTS atap. Semoga semakin banyak yang tertarik untuk memasang PLTS atap sebagai salah satu upaya mengurangi emisi dan memanfaatkan energi terbarukan dari rumah,” tutur Riina.

Insentif Perlu untuk Dorong Pasar Kendaraan Listrik

Jakarta, 11 Mei 2023 – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, pemberian insentif kendaraan listrik dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai salah satu strategi untuk membuka atau mengembangkan industri kendaraan listrik itu sendiri. Meski demikian, Fabby menekankan, pemberian insentif kendaraan listrik ini bukanlah solusi untuk mengatasi masalah kemacetan. Hal ini dikatakan Fabby Tumiwa saat menjadi narasumber di program acara Mining Zone, CNBC Indonesia TV pada Kamis (11/5/2023). 

“Kita sudah punya kebijakan hilirisasi, tidak boleh ekspor bijih nikel. Untuk itu, nikelnya harus diproduksi di Indonesia dan dari nikel kita sudah tahu diolah di smelter untuk menjadi baterai. Dengan kebijakan tersebut, saat ini terdapat beberapa perusahaan global yang menanamkan investasinya di Indonesia, di antaranya Korea dan China. Nah, tahapan berikutnya membangun kendaraan listrik. Misalnya jenis baterainya seperti Nickel-metal hydride (NiMH),” terang Fabby Tumiwa. 

Lebih lanjut, Fabby menuturkan, untuk menarik investasi pada kendaraan listrik, maka perlu diciptakan permintaan pasar (demand). Mengingat, saat ini permintaan kendaraan listrik di Indonesia masih kecil. Menurut Fabby, penjualan kendaraan listrik tidak lebih dari 25 ribu unit sejak dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpes) No 55 Tahun 2019. Berkaca dari hal tersebut, pemerintah perlu mengatur strategi agar bisa menumbuhkan permintaan kendaraan listrik.

“Dengan adanya demand, maka diharapkan produsen kendaraan listrik bisa berinvestasi di Indonesia. Namun demikian, patut diingat apabila kita ingin mendorong investasi di sisi hulu maka jenis insentifnya akan berbeda. Di lain sisi, apabila kita membangun pasar dari produknya, insentifnya juga berbeda. Makanya, insentif yang ada saat ini tidak bisa dibilang salah karena kita perlu melihat konteksnya,” ujar Fabby Tumiwa. 

Selain itu, Fabby menyatakan, dalam konteks penggunaan energi perlu ada substitusi impor bahan bakar minyak (BBM). Seperti diketahui, produksi minyak Indonesia terus menurun setiap tahunnya. Dengan kondisi seperti ini, kata Fabby, apabila tidak ada upaya untuk mengurangi konsumsi BBM maka sekitar lebih dari 60% kebutuhan BBM akan diimpor. Hal ini menjadi masalah cukup serius karena mengancam ketahanan pasokan energi nasional. 

“Dengan kondisi seperti itu, insentif kendaraan listrik menjadi juga bagian dari strategi mengurangi permintaan pertumbuhan BBM dengan cara teknologi kendaraannya yang digeser. Mengingat listrik bisa bersumber dari mana saja, termasuk energi terbarukan,” tegas Fabby Tumiwa. 

Tidak hanya itu, dalam konteks transisi energi, kata Fabby, industri otomotif cepat atau lambat akan mengalami perubahan. Apabila Indonesia berhasil dalam kendaraan listrik, maka produksi kendaraan konvensional akan turun dan hal ini bisa berimbas terhadap pengurangan lapangan pekerjaan. Seiring minat pasar yang menurun terhadap kendaraan konvensional, maka akan tercipta lapangan pekerjaan hijau (green jobs).

Energi Surya Mainkan Peran Penting dalam Transisi Energi Sistem Ketenagalistrikan

Alvin

Jakarta, 15 April 2023 – Strategi perencanaan yang matang diperlukan dalam mendorong penggunaan energi surya dalam sistem kelistrikan. Saat ini Indonesia telah memiliki  Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 dengan memperbesar porsi pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT). Target bauran EBT dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yakni sekitar 23% pada tahun 2025. Hal ini diungkapkan Alvin Putra Sisdwinugraha, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan di Institute for Essential Services Reform (IESR)  dalam acara Bincang Energi Surya #3, hasil kolaborasi antara Solar Scholars Indonesia (SSI), IESR, PPI Australia, Asosiasi Peneliti Indonesia Korea (APIK), Insygnia, dan Solarin. 

“Mengacu RUPTL tersebut, energi surya akan memainkan peran penting dalam ketenagalistrikan Indonesia untuk mencapai net zero emission (NZE), sementara skala utilitas masih menjadi penyumbang terbesar. Meski demikian, hal tersebut belum cukup bagi Indonesia untuk mengejar target dekarbonisasi tahun 2050,” ujar Alvin Putra Sisdwinugraha.

Beberapa klaster potensi di dalam RUPTL yakni sektor pertambangan, sektor wisata, sektor perikanan, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS atap), PLTS terapung, dan sektor lain dengan kapasitas total mencapai 2,1 Giga Watt (GW). Mengenai PLTS terapung, Alvin menuturkan, terbitnya Permen PU No 6 Tahun 2020 menjadi angin segar bagi perkembangan energi terbarukan di Indonesia karena memungkinkan penggunaan ruang pada daerah waduk/bendungan sekitar 5% pada ketinggian air normal. Dengan mengacu aturan tersebut, ESDM telah memetakan, potensi PLTS terapung 28,4 GW, dengan 4,8 GW dari PLTA yang telah ada. 

“Meski potensinya cukup besar, sayangnya belum ada peraturan teknis khusus mengenai keamanan bendungan/waduk tersebut. Hal ini bisa berkaca dari pengembangan PLTS terapung di Cirata, Jawa Barat yang dikerjakan pengembang swasta,” terang Alvin. 

Di lain sisi, demi mendorong penggunaan energi surya, pemerintah telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Regulasi ini menjadi memperkuat komitmen pemerintah dalam menjalankan transisi energi untuk mencapai NZE. Salah satu hal yang dibahas dalam Perpres tersebut, ujar Alvin, penetapan harga listrik dari PLTS berdasarkan patokan harga tertinggi. 

“Walaupun tergantung terhadap skema pelelangan yang akan diterapkan Pemerintah dan PLN, penetapan harga PLTS berdasarkan patokan harga tertinggi diharapkan bisa memberikan ruang untuk PLTS berkapasitas kecil lebih berkembang,” terang Alvin. 

 

Berpacu dalam Waktu, Mendorong Percepatan Dekarbonisasi Sistem Energi Indonesia

Deon Arinaldo

Jakarta, 14 Maret 2023 – Pemerintah Indonesia perlu ambisius lagi untuk mendorong percepatan dekarbonisasi sistem energi agar kenaikan suhu bumi tidak melebihi dari 1.5°C. Sebagai negara yang meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia terikat secara hukum untuk mengintegrasikan kebijakannya untuk meraih netral karbon pada 2050. Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan, demi mendukung target global 1,5°C, emisi sistem energi Indonesia harus mencapai puncaknya sebelum tahun 2030 dan mencapai nol pada 2050. 

“Untuk itu, transisi sistem energi perlu direncanakan dan dimulai sejak awal. Sistem kelistrikan merupakan sektor yang paling siap untuk bertransisi karena pembangkit energi terbarukan tersedia dengan potensi melimpah, serta kompetitif dengan energi fosil,” terang Deon dalam acara Implementation of a Just Energy Transition in Indonesia yang diselenggarakan oleh International Institute for Sustainable Development pada Selasa (14/3/2023).

Mengutip studi IESR berjudul Deep Decarbonization of Indonesia Energy System, kata Deon, transisi sistem energi di Indonesia perlu mencapai tiga milestone di antaranya terdapat 100 GW panel surya, tidak ada PLTU baru kecuali 11 GW yang masuk dalam rencana pengembangan serta 2 GW prosumer panel surya dalam tahap pertama pada periode 2018-2030, kemudian pada tahap kedua yaitu 100% energi terbarukan, penyimpanan baterai skala utilitas, mulai memasang elektroliser 2 GW dan penyimpanan CO2 dan penangkapan karbon dari udara langsung (DAC) di periode 2030-2045, lalu pada tahap ketiga yaitu melanjutkan penggunaan 100% energi terbarukan setelah 2045.

“Untuk mencapai transisi sistem energi, energi terbarukan terutama surya mempunyai peran besar dalam pembangkitan listrik Indonesia, dalam skenario netral karbon,” papar Deon. 

Selain itu, Deon menekankan, transisi energi setidaknya membutuhkan pendekatan transformatif terhadap semua aspek, dari kebijakan, ekonomi, sosial hingga teknis. Misalnya saja dalam aspek kebijakan, setidaknya perlu mempertimbangkan langkah yang lebih jelas, tidak hanya sekadar BaU (business as usual). Indonesia sebagai negara berkembang juga bisa mengambil peran dalam transisi energi, namun di sisi lain terdapat tekanan bagi negara maju untuk menyediakan teknologi, dana dan bantuan.

“Demi mendukung target 1,5°C, tentunya perlu mengubah cara pandang kita, cara kita bekerja dan sistem energi itu sendiri. Untuk itu, diperlukan pesan yang lebih kuat dalam energy planning dan kebijakan,” jelas Deon. 

Dalam kesempatan yang sama, Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) menekankan, diperlukan adanya climate finance sebagai motor utama pencapaian netral karbon. Untuk itu, Indonesia perlu bantuan negara lain dalam rangka mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Demi mencapai target tersebut, kata Satya, Indonesia juga mempunyai strategi untuk dekarbonisasi di pembangkitan listrik. 

“Kita mencoba masih memanfaatkan energi fosil namun dengan teknologi energi bersih. Namun demikian, kita juga terus mengakselerasi penggunaan energi terbarukan seperti kendaraan listrik dan pengembangan hidrogen. Sampai nanti waktunya energi terbarukan bisa digunakan sepenuhnya,” terang Satya. 

Efektivitas Insentif Kendaraan Listrik Butuh Dukungan Pemerintah untuk Mereformasi Kebijakan Lainnya

Jakarta, 8 Maret 2023 – Pemerintah pada 6 Maret 2023 menetapkan insentif Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) berupa bantuan pembelian KBLBB sebesar Rp7 juta per unit untuk 200.000 unit sepeda motor listrik baru dan Rp7 juta per unit untuk konversi menjadi motor listrik untuk 50.000 unit sepeda motor BBM. Sementara, insentif untuk mobil listrik belum ditentukan besaran pastinya namun pemerintah merencanakan untuk memberikan bantuan kepada pembelian 35.900 unit mobil listrik dan 138 bus listrik. Pemerintah pun telah menyiapkan mekanisme pemberian insentif yang hanya ditujukan bagi produsen yang telah mendaftarkan jenis kendaran listrik yang memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) 40%. Insentif ini direncanakan akan mulai berlaku pada 20 Maret 2023 hingga 30 Desember 2023. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik pemberian insentif ini untuk mendorong adopsi kendaraan listrik dan menumbuhkan industri kendaraan listrik dalam negeri sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih berkelanjutan, dan mengurangi laju permintaan BBM. Namun untuk mendorong adopsi kendaraan listrik yang lebih agresif dan menjamin efektivitas insentif diperlukan sejumlah reformasi kebijakan, di antaranya pengurangan subsidi BBM dan kebijakan untuk menghentikan secara bertahap (phase-out) kendaraan BBM, mulai dari kendaraan penumpang (passenger car) sebelum 2045, dan motor konvensional. IESR memandang, meskipun reformasi kebijakan tersebut bukan kebijakan populis, tapi perlu diambil oleh pemerintah dengan pertimbangan yang dalam.

Penggunaan kendaraan listrik  juga merupakan strategi untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC), dengan target adopsi kendaraan listrik roda dua dan roda tiga mencapai 13 juta unit dan kendaraan listrik roda empat sebanyak 2 juta unit pada 2030. 

“Pemberian insentif ini merupakan langkah awal yang baik untuk meningkatkan permintaan kendaraan listrik. Dengan adanya persyaratan TKDN 40%, dapat mendorong investasi di sisi manufaktur dan rantai pasok komponen kendaraan listrik. Diharapkan dengan ini dapat tercapai skala keekonomian produksi kendaraan listrik dan mendorong kompetisi yang bisa berdampak pada penurunan harga kendaraan listrik sehingga mendongkrak adopsi kendaraan listrik lebih banyak lagi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Fabby menambahkan adanya insentif konversi ke motor listrik diharapkan dapat membangun kapasitas teknisi dan bengkel konversi, serta menarik minat pelaku usaha untuk mengusahakan proses konversi dengan skala yang lebih besar.

“Temuan IESR, terdapat 6 juta unit motor konvensional per tahun dapat dikonversi ke motor listrik pada 2030. Untuk itu diperlukan ratusan bengkel konversi tersertifikasi, teknisi terampil untuk mengerjakan ini. Dukungan rantai pasok baterai, motor listrik, dan komponen lainnya sangat perlu sehingga biaya konversi semakin terjangkau oleh masyarakat,” jelas Fabby.

Selain persyaratan TKDN bagi produsen kendaraan listrik, IESR menyarankan agar pemerintah dapat menambahkan syarat performa kendaraan listrik dalam pemberian insentif di tahun depan.  

“Pemerintah dapat menambahkan syarat tambahan yang berkaitan dengan performa kendaraan listrik untuk mendorong peningkatan keandalan kendaraan listrik serta ekosistem riset dan pengembangan dari industri kendaraan listrik yang ada di Indonesia, Standar tersebut misalnya jarak tempuh kendaraan, kapasitas baterai minimal, dan efisiensi konversi,” ungkap Faris Adnan, Peneliti IESR.

Lebih lanjut, Faris menambahkan hal menarik lainnya dari insentif kendaraan listrik ini adalah prioritas pemberian insentif bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM), khususnya penerima Kredit Usaha Kecil (KUR) dan Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM), termasuk pelanggan listrik 450-900 VA. Namun menurutnya pengendara motor penyedia transportasi online atau penyedia jasa logistik perlu pula menjadi prioritas.

“Pengendara ojek online atau logistik perlu diprioritaskan dalam pemberian bantuan ini, karena mereka memiliki jarak tempuh yang jauh per harinya sehingga manfaat ekonomi yang didapat bagi pengguna maupun pemerintah akan lebih besar. Jumlah bantuan yang ditawarkan pun perlu didorong lebih tinggi dibandingkan jumlah bantuan bagi penerima awam, yakni di atas Rp 7 juta,” urai Faris.

Ia juga menyoroti kapasitas daya terpasang calon pembeli prioritas. Charger baterai motor listrik sendiri memerlukan daya hingga 400W. Artinya jika melakukan pengisian daya baterai, maka akan banyak peralatan elektronik yang tidak bisa dipasang pada saat bersamaan. 

“Hal ini bisa diantisipasi dengan pemberian peningkatan daya tambahan saat pembeli prioritas membeli kendaraan listrik yang mendapat bantuan pemerintah, ” kata Faris. 

IESR memandang penggunaan KBLBB bahkan dapat nol emisi jika sumber pengisian dayanya berasal dari energi terbarukan. Berdasarkan analisis IESR dalam laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023, emisi yang dikeluarkan motor listrik dan mobil listrik lebih rendah 18% dan  25% dibandingkan motor dan mobil BBM. Namun, jika pengembangan energi terbarukan hanya mengacu pada RUPTL PLN 2021-2030, maka penurunan emisi dari motor listrik dan mobil listrik diproyeksikan tidak signifikan, hanya berkisar 6% dan 8% saja pada 2030.

“Dengan beberapa komitmen pemerintah serta dukungan transisi energi seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), momentum ini bisa dipakai untuk juga mengakselerasi transisi sistem kelistrikan dengan membangun energi terbarukan dan menghentikan operasi PLTU batubara lebih dini. Akibatnya tentu faktor emisi jaringan yang lebih rendah sehingga manfaat kendaraan listrik untuk dekarbonisasi makin maksimal” jelas Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR.

Deon menambahkan kajian IESR bahkan melihat dengan kombinasi elektrifikasi transportasi dan juga akselerasi pengembangan energi terbarukan, bauran energi terbarukan Indonesia bahkan bisa melebihi 34% target bauran ET yang dicanangkan di JETP.***

Implementasi Perdagangan Karbon Perlu Diikuti Pengetatan Batas Atas Emisi

press release

Jakarta, 1 Maret 2023 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai mengimplementasikan mekanisme perdagangan karbon di sektor pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) batubara pada 22/2/2023. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik implementasi perdagangan karbon ini sebagai sebuah langkah maju, dengan catatan perlunya  pengetatan batas atas emisi di masa depan. Selain itu, hasil perdagangan karbon dapat menjadi sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang apabila dialokasikan dengan tepat dapat mendorong investasi energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi. 

Perdagangan karbon akhirnya diberlakukan setelah diujicobakan di sejumlah PLTU di 2021. Pemerintah pun telah menetapkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) mulai dari PLTU non mulut tambang (MT)/MT berkapasitas 25 MW sampai dengan 100 MW sebesar 1,297 ton CO2e/MWh,  hingga PLTU non MT berkapasitas besar dari 400 MW sebesar 0,911 ton CO2e/MWh.

“Walaupun skema perdagangan karbon sudah tepat diterapkan di Indonesia, batas atas emisi karbon yang ditetapkan pemerintah saat ini masih relatif tinggi dan tidak diperlukan upaya pemilik PLTU untuk memenuhinya. Sebagai gambaran intensitas emisi karbon di PLTU di negara tetangga 20%-40% lebih rendah dibandingkan Indonesia. Ini membuka peluang pengetatan batas emisi PLTU di masa depan,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

IESR memandang dengan adanya penentuan pembatasan kuota bagi PLTU ini akan meningkatkan kesadaran bagi para pelaku usaha terhadap emisi yang dihasilkan dan mengatur operasional PLTU secara lebih efisien.  

Lebih lanjut, perdagangan karbon ini juga mengatur tentang penggantian atau pembelian karbon (carbon offset) jika unit pembangkit menghasilkan emisi melebihi dari Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Pembangkit ini harus membeli emisi dari unit PLTU yang menghasilkan emisi di bawah PTBAE-PU dan atau membeli Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE GRK). 

“Untuk meningkatkan integritas mekanisme offset dan dampak penurunan emisi secara nyata dengan menggunakan instrumen SPE, pemerintah harus memastikan standar aktivitas penurunan emisi yang bisa diperjualbelikan di pasar karbon. Disarankan agar SPE diutamakan berasal dari pembangkit energi terbarukan, untuk menyelaraskan instrumen ini dengan upaya transisi energi untuk mencapai NZE 2060 atau lebih awal. Instrumen SPE ini bisa menjadi insentif bagi pelaku usaha dan masyarakat membangun pembangkit energi terbarukan,” tambah Fabby.

IESR mengusulkan agar SPE dilakukan untuk mengakselerasi instalasi PLTS atap oleh konsumen. Listrik yang dihasilkan oleh PLTS atap dan diekspor ke jaringan bisa menjadi SPE, dan dipakai untuk offset karbon. Pendapatan dari penjualan SPE dapat meningkatkan daya tarik konsumen untuk memasang PLTS atap. 

Bagi pelaku usaha yang lalai mengikuti perdagangan karbon dengan tidak menyampaikan rencana monitoring emisi GRK dan revisi laporan emisi GRK maka akan diberikan peringatan tertulis dari Menteri ESDM dan diberikan alokasi PTBAE-PU untuk perdagangan karbon berikutnya sebesar 75%.

“Adanya sanksi pembatasan kuota yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pelaku usaha yang melanggar aturan merupakan bentuk nyata bahwa pemerintah berkomitmen perdagangan karbon sebagai instrumen untuk mengurangi emisi. Namun, dalam pelaksanaannya diperlukan pemantauan yang ketat,” jelas Farah Vianda, Koordinator Proyek Pembiayaan Berkelanjutan, Ekonomi Hijau IESR .

Pemerintah telah menetapkan nilai PTBAE-PU kepada 99 unit PLTU batubara dari 42 perusahaan yang akan menjadi peserta perdagangan karbon, dengan total kapasitas terpasang mencapai 33.569 MW. Nilai karbon yang diperdagangkan antar unit PLTU di dalam negeri harganya diperkirakan mulai dari US$ 2 hingga US$ 18 per ton.

“Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai harga karbon dapat segera diterbitkan untuk memberi kepastian aktivitas perdagangan karbon. Diharapkan harga karbon yang diterapkan tidak terlalu jauh dari rata-rata harga global,”imbuh Farah.

Pengawasan publik terhadap pelaksanaan perdagangan karbon juga perlu dibangun. Upaya masuknya mekanisme perdagangan karbon dalam perdagangan bursa, yang saat ini sedang dikaji oleh Bursa Efek Indonesia, akan membuat harga karbon semakin kompetitif dan mempromosikan transparansi sehingga dapat menarik investor dan mengarusutamakan prinsip pembiayaan berkelanjutan.***

Skema Power Wheeling Akan Ciptakan Pasar Energi Terbarukan

Fabby Tumiwa

Jakarta, 28 Februari 2023 – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyoroti skema power wheeling yang terdapat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Namun, skema tersebut telah dicabut dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET. Power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta atau Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri. Fabby memaparkan, power wheeling dibutuhkan agar selaras dengan upaya Indonesia untuk meningkatkan energi terbarukan. 

“Pemerintah telah menargetkan pencapaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% di tahun 2025, baik untuk listrik dan bahan bakar cair. Kemudian, tahun 2021, Presiden Jokowi menetapkan adanya target NZE tahun 2060 atau lebih awal. Target ini yang mendorong terjadinya transisi energi untuk bisa melakukan dekarbonisasi di sektor energi. Konsekuensi dari hal tersebut, energi terbarukan perlu dikembangkan secara besar-besaran,” tegas Fabby Tumiwa dalam webinar “Energi Baru dan Energi Terbarukan untuk Kemakmuran Semua” yang diselenggarakan oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS), pada Selasa (28/2/2023).

Seiring dengan hal tersebut, Fabby menekankan konsep power wheeling bukanlah hal yang baru karena sebelumnya sudah diatur berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1/2015 dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 11/2021, namun aturan tersebut masih belum bisa dilaksanakan. Menurut Fabby, power wheeling dapat menciptakan pasar energi terbarukan sekaligus menjaga investasi industri/perusahaan di Indonesia. Salah satunya kelompok industri yang bergabung dalam RE100. 

Power wheeling bisa mendorong energi terbarukan karena memberikan insentif dari sisi supply dan demand. Namun demikian, power wheeling membutuhkan pengaturan lebih lanjut. Ketentuan tarif skema power wheeling di negara lain itu diatur oleh regulator, paling tidak rumusannya. Sementara aspek komersialnya diurus oleh business to business antara pihak yang ingin menggunakan dengan pemilik transmisi. Tidak hanya itu, power wheeling perlu masuk dalam undang-undang karena implikasi penerapan skema tersebut akan melibatkan sejumlah kementerian/lembaga. Untuk itu, tidak cukup hanya sampai peraturan menteri saja,” papar Fabby. 

 

Kembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi untuk Transisi Energi

FT

Jakarta, 24 Februari 2023 –  PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) akan menggelar penawaran saham perdana  atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia pada Jumat (24/2/2023). PGE akan melepas 25 persen saham dengan target perolehan dana hingga Rp 9,78 triliun. Dengan dana tersebut, PGE bakal mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan kapasitas 600 megawatt hingga 2027. Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, terdapat dua urgensi dari proses IPO saham PGE. Pertama, target Indonesia yang akan mengembangkan energi terbarukan dan melakukan transisi energi. Oleh karena itu, Indonesia perlu memanfaatkan semua sumber energi terbarukan yang dimiliki, apalagi Indonesia juga perlu mengurangi secara bertahap pengoperasionalan PLTU batubara sampai tahun 2050. Hal ini diungkapkannya ketika menjadi narasumber di acara Sapa Malam Indonesia, Kompas TV pada Kamis (23/2/2023).

“Urgensi yang kedua yakni mengenai PGE memiliki strategi bisnis dan perusahaan ini akan bertransformasi dari perusahaan minyak dan gas ke perusahaan energi. Salah satunya yang akan didorong pengembangan energi terbarukan, seperti panas bumi,” terang Fabby. 

Fabby mengungkapkan, Pertamina memiliki cadangan panas bumi yang cukup besar dan kualitas cadangannya cukup bagus. Hal ini lantaran Pertamina telah melakukan eksplornya sejak tahun 1980an. Lebih lanjut, Fabby menilai, selama ini cadangan tersebut tidak dapat dikembangkan secara maksimal karena beberapa faktor. Salah satu faktornya yakni pendanaan. Mengingat, pengembangan cadangan panas bumi membutuhkan investasi yang cukup besar karena harus melakukan eksplorasi (ngebor) dan memastikan berapa persen dari cadangan tersebut yang dapat digunakan untuk operasional listrik. 

“Di Indonesia, biaya pengeboran satu sumur saja memerlukan dana sekitar USD3-5 juta. Dengan tingkat rasio keberhasilan 30% dan kira-kira kita melakukan pengeboran tiga sumur maka dapat satu sumur yang berhasil untuk membangkitkan listrik sekitar 30 – 50 megawatt (MW), kita harus menghabiskan USD15 juta untuk pengeborannya. Belum mengenai infrastruktur dan sebagainya. Proses ini memakan waktu yang lama dari pengeboran sampai menjadi pembangkit listrik,” ujar Fabby. 

Menurut Fabby, Pertamina perlu mengoptimalkan potensi cadangan panas bumi yang ada. Untuk itu, Pertamina memerlukan dana. Dana tersebut bisa didapatkan dengan salah satunya melalui IPO saham. IPO menjadi langkah tepat untuk pengembangan Pertamina ke depan. 

“Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, totalnya sekitar 28 gigawatt (GW) atau 28 ribu megawatt (MW), yang baru termanfaatkan sampai hari ini kurang 10%. Jika kita bisa mengembangkan ini, maka diharapkan energi  terbarukan semakin kompetitif, terutama listrik dari panas bumi yang bisa lebih murah,” papar Fabby.