Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Selamat Tahun Baru 2020! Apa harapan anda di 2020? Kami di IESR berharap di tahun ini energi terbarukan dapat bangkit kembali setelah mati suri selama 3 tahun terakhir. Mengapa kebangkitan energi terbarukan menjadi harapan kami? 

Pertama, membangun energi terbarukan adalah amanat UU No. 30/2007 tentang Energi, yang kemudian diturunkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Tujuannya adalah menjamin kemandirian dan ketahanan energi nasional. Pasal 9 butir (f) dari PP tersebut mentargetkan bauran energi baru dan terbarukan mencapai 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Ini adalah kebijakan dan target pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. 

Kedua, peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatannya dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik. Hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia yang meratifikasi Paris Agreement dengan UU No. 16/2016, yang juga memuat komitmen Indonesia menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri dan tambahan 12%, menjadi 41% dengan dukungan internasional. Sektor kelistrikan adalah salah satu kontributor utama emisi GRK. Berdasarkan kajian KESDM dan UNDP (2018), emisi GRK sub-sektor pembangkitan listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017 dan diperkirakan hingga 2030 akan tumbuh sebesar 10,1% per tahun. Dengan demikian pada 2030, emisi GRK diproyeksikan mencapai 699 MtCO2e (BAU). Dengan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi sebesar 20% maka emisi GRK dapat turun 36% dari skenario business as usual. Dengan itu faktor emisi listrik nasional turun dari 1,005 tCO2e/MWh menjadi 0,729 tCO2e/MWh. Oleh karena itu adanya peningkatan energi terbarukan yang signifikan menunjukan Indonesia turut berperan mengurangi risiko iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan. 

Ketiga, dengan memperbesar pemanfaatan energi terbarukan, biaya pasokan energi jangka panjang akan semakin rendah dan terjangkau. Berbeda dengan pembangkitan energi fosil yang cenderung naik dari tahun ke tahun karena harga bahan bakar, pengaruh nilai tukar dan inflasi, biaya O&M pembangkit energi terbarukan khususnya surya, angin dan hidro relatif rendah dan kenaikan terjaga. Capital expenditure (capex) pembangkit PLTS, PLT Angin skala besar juga cenderung turun. Oleh karena itu memperbesar porsi energi terbarukan dalam pasokan tenaga listrik dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik.   

Pengembangan pembangkit energi terbarukan selama lima tahun terakhir nyaris mandek.

Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) 2020 yang diluncurkan IESR bulan lalu mencatat penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan 2015-2019 hanya mencapai 1,6 GW, lebih rendah dari periode 2010-2014 yang mencapai 1,8 GW. Ini kabar yang kurang baik karena dibandingkan target kebijakan, penambahan kapasitas ini hanya 10-15% dari yang seharusnya terbangun sesuai target RPJMN 2015-2019.  

Praktis sejak berlakunya Permen ESDM No. 12/2017, yang kemudian digantikan dengan Permen ESDM No. 50/2017, pengembangan energi terbarukan mandek. Dari 75 PPA yang ditandatangani sepanjang 2017-2018, terdapat 5 proyek yang diterminasi dan 27 proyek lainnya belum memperoleh pendanaan. Sebagian besar proyek yang berjalan, tidak menggunakan mekanisme harga yang diatur di dua Permen tersebut dan kemungkinan bisa berjalan karena menggunakan pendanaan sendiri atau instrumen pembiayaan korporat. 

Yang lebih parah lagi adalah Permen No. 50/2017 telah menyebabkan para pelaku usaha swasta asing dan domestik kehilangan kepercayaan terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia. Para investor yang datang ke Indonesia pada 2015 dan 2016 karena melihat adanya peluang investasi di bidang energi terbarukan, secara perlahan angkat kaki dan mencoba peruntungan di negara tetangga, Vietnam, yang pada 2017 dan 2018 justru mengeluarkan kebijakan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik surya dan angin. Kebijakan ini menjadi insentif bagi para investor yang berbondong-bondong memanfaatkannya.  

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua, ada harapan pengembangan energi terbarukan. Sejauh ini ada sejumlah sinyal positif yang mengindikasikan pemerintah memiliki keinginan yang kuat mendorong energi terbarukan Indikasinya saat memperkenalkan Menteri ESDM yang baru pada Oktober 2019 lalu, Joko Widodo memerintahkannya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Selain itu, pada saat menghadiri Indonesia Mining Award pada bulan November tahun lalu, Presiden menyatakan bahwa dunia sudah bergerak menuju pada pemanfaatan energi yang ramah lingkungan ketimbang menggunakan batubara

Terlepas dari pernyataan dan sikap politik tersebut, Presiden Joko Widodo sesungguhnya menghadapi tantangan untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 8% menjadi 23% pada 2025 seperti yang ditargetkan dalam Perpres No. 22/2017. Ini artinya, dalam lima tahun mendatang akan jadi ajang pembuktian apakah Presiden Joko Widodo mampu membangun pembangkit energi terbarukan dari 8 GW menjadi 30-35 GW dan pemanfaatan BBN untuk mengganti BBM.

Apa saja tantangan yang dihadapi Presiden Joko Widodo dan kabinetnya dan apa yang perlu dilakukan?

Pertama, kebutuhan me-mobilisasi investasi publik dan swasta.  Diperlukan investasi $70-90 miliar (~ Rp. 1000 triliun) untuk membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan dan infrastruktur pendukungnya. Hanya 10%-15% dari kebutuhan investasi ini yang dapat dipenuhi oleh BUMN dan anggaran publik. Sisanya harus berasal dari swasta/investor asing dan domestik. Untuk menarik investasi, khususnya investasi asing, pemerintah harus meningkatkan kondisi iklim investasi dengan mengeluarkan kebijakan yang transparan, terukur, dan pasti. Kebijakan tidak transparan dan regulasi yang tidak konsisten dengan kebijakan ataupun target kebijakan menjadi penyebab investor dan perbankan menganggap investasi di sektor energi terbarukan beresiko dan tidak menarik. Regulasi Indonesia harus dapat memberikan insentif yang lebih baik, risiko yang lebih rendah dan kepastian investasi jangka panjang yang lebih baik.  

Kedua, daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia yang rendah. Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh EY, secara konsisten menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dari 40 negara yang dikaji. Pada RECAI edisi Oktober 2019, Indonesia berada di peringkat 38. Tiga negara Asia Tenggara, Thailand, Filipina dan Vietnam memiliki peringkat yang lebih baik dari Indonesia. 

Selain itu penilaian atas 5 indikator dan 11 sub-parameter atas daya tarik investasi yang dilakukan IESR yang dilaporkan dalam ICEO 2020 menghasilkan penilaian 6 dari 11 sub-parameter dianggap tidak memadai (insufficient). Penilaian menunjukan pemerintah harus bekerja keras dalam 1-2 tahun mendatang, tidak saja membuat kebijakan yang tepat dan regulasi yang menarik dan terukur, tapi juga melakukan reformasi fundamental yang berkaitan dengan reformasi struktur industri kelistrikan, mandatory pemanfaatan energi terbarukan yang agresif, dukungan pembiayaan dari lembaga finansial lokal dan penyiapan instrumen mitigasi risiko, serta pelaksanaan kebijakan TKDN yang rasional dan instrumen untuk memfasilitasi transfer teknologi serta peningkatan kemampuan EPC domestik. 

Ketiga, bertambahnya kapasitas pembangkit thermal, khususnya PLTU. Pada 2019-2028, direncanakan dibangun 27 GW PLTU batubara dan mulut tambang, dimana 22 GW dibangun pada 2019-2025. Dengan perkembangan laju permintaan listrik PLN saat ini yang berada di bawah 5%, jauh di bawah proyeksi laju permintaan listrik dalam RUPTL, maka diperlukan koreksi terhadap rencana pembangunan pembangkit thermal untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan listrik 5 tahun terakhir, kami memproyeksikan pertumbuhan permintaan listrik berada di kisaran ~5% per tahun dalam lima tahun mendatang sehingga tambahan pembangkit baru sekitar 4 GW per tahun (rata-rata). Oleh karena itu untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan hingga mencapai 23-30% dari total kapasitas pembangkit PLN pada 2025, sekitar 3-4,5 GW pembangkit energi terbarukan harus masuk di sistem PLN setiap tahunnya. Ini berarti setelah 2020, pembangunan PLTU batubara harus mulai dikurangi dibarengi dengan phasing out pembangkit-pembangkit thermal tua dan yang efisiensinya rendah. Tanpa melakukan ini, PLN akan kesulitan memasukan tambahan 20-22 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. 

Mengubah rencana pembangunan pembangkit listrik terutama menunda atau membatalkan PLTU batubara tentunya bukan keputusan yang mudah bagi Menteri ESDM yang akan memutuskan RUPTL 2020-2029 dalam dua bulan mendatang. Perubahan ini dapat mengguncang berbagai macam kepentingan, terutama pemilik tambang dan pembangkit batubara yang berharap dapat mengoptimalkan aset tambang yang mereka miliki. Tapi disinilah kualitas kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan menteri-menterinya akan diuji. Menarik tentunya memperhatikan langkah dan strategi pemerintah (jika ada) dalam hal merumuskan kebijakan dan instrumen regulasi untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan politik dan bisnis dalam rangka memajukan energi terbarukan di Indonesia dan memastikan Indonesia berada di jalur transisi energi yang berkelanjutan. 

Jakarta, 2 Januari 2020

 

Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy

Brown to Green Report 2019: 

Strategi Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy dalam Menangani Perubahan Iklim sebagai Upaya Pencapaian Paris Agreement

Jakarta, 19 November 2019 — IESR. Emisi karbon dari negara-negara G20 terus meningkat sebagai akibat dari tingginya penggunaan bahan bakar fosil dalam penyediaan energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan, tidak satupun dari mereka memiliki rencana penurunan emisi karbon yang selaras dengan pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1.5°C. Meskipun mereka memiliki kemampuan teknis dalam meningkatkan upaya pencegahan perubahan iklim dalam mencapai target Paris Agreement, rencana aksi mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC negara-negara G20 tidak ada yang menempatkan mereka berada di jalur 1.5°C.

Apabila negara-negara G20 tidak melakukan peningkatan ambisi iklimnya dan melakukan transformasi perekonomian, dan dengan dokumen NDC yang ada saat ini, suhu bumi akan meningkat lebih dari 3°C. Pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1,5°C diindikasi akan mengurangi dampak negatif di berbagai sektor di negara G20 lebih dari 70%. Kerugian yang saat ini dilanda oleh negara G20 akibat perubahan cuaca yang ekstrim yakni kematian sebanyak 16.000 jiwa dan kerugian ekonomi sebesar US$ 142 triliun setiap tahunnya. 

Semua negara anggota G20, termasuk Indonesia, dapat meningkatkan ambisi iklimnya dalam upaya penurunan emisi karbon dan mencapai net-zero emission economy untuk mencapai Paris Agreement, dengan langkah yang taktis dan komitmen serta kemauan politik yang kuat. Hal ini merupakan salah satu pesan kunci dari Brown to Green Report 2019: The G20 Transition Towards a Net-Zero Emissions Economy yang diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform di Jakarta pada 19 November 2019. Peluncuran laporan yang diikuti dengan diskusi panel ini dihadiri sedikitnya 140 peserta yang berasal dari kementerian dan lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, pelaku bisnis, asosiasi, akademisi, dan masyarakat umum, serta rekan-rekan jurnalis.

Laporan Brown to Green 2019 merupakan sebuah laporan tahunan yang disusun oleh Climate Transparency dengan didukung oleh Federal Ministry of Environment Nature Conservation and Nuclear Safety. Dengan menggunakan 80 indikator penilaian terkait adaptasi, mitigasi dan pembiayaan perubahan iklim untuk dapat mencapai target 1,5°C, laporan ini mengukur aksi iklim dari negara-negara G20 dan bagaimana proses transisi mereka menuju net-zero emissions economy. Sebagai anggota dari kemitraan Climate Transparency, IESR mengukur kinerja Indonesia dalam upaya mengatasi perubahan iklim serta bagaimana Indonesia dapat melakukan transisi perekonomiannya, dibandingkan dengan negara anggota G20 lain.

Membuka acara ini, Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR) menyampaikan bahwa laporan ini memperlihatkan Indonesia masih cukup tertinggal dalam upaya mencapai Paris Agreement. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pembangunan dan investasi untuk mendorong perekonomian Indonesia menjadi lebih hijau, khususnya investasi di pembangkit listrik, transportasi, dan industri manufaktur. Di samping itu, Indonesia membutuhkan strategi untuk membuat ekonomi Indonesia lebih resilient terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR

Ditegaskan dalam pidato pembukaan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Jend. TNI. (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, bahwa Indonesia berkomitmen dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 dan juga peningkatan kontribusi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi di 2025. “Indonesia berkomitmen untuk menempatkan energi baru dan terbarukan dalam kebijakan negara. Penentu kebijakan harus membuat kebijakan yang tidak mencederai anak cucu” pernyataan Luhut dalam pidatonya.

Ia pun menjelaskan beberapa strategi investasi dan bisnis yang akan diterapkan Indonesia dalam mendorong perekonomian hijau, yakni teknologi yang masuk ke Indonesia harus yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan; harus ada transfer teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah produk mentah yang menjadi komoditas ekspor Indonesia; serta investor harus mengembangkan pelatihan bagi tenaga kerja lokal. Secara khusus, ada beberapa program yang disiapkan pemerintah untuk mendorong perekonomian hijau yaitu biodiesel dan green fuel untuk non listrik, kendaraan listrik, pembangkit listrik energi terbarukan, mendekatkan industri dengan sumber energi, dan pelibatan pihak swasta dalam proyek carbon credit.

Prof. Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga turut hadir dalam peluncuran ini, memberikan Keynote Speech kedua setelah Menteri Kemenko Maritim dan Investasi. Prof Emil turut menekankan bahwa Laporan Brown to Green ini mencerminkan kenyataan yang ada mengingat kebijakan energi Indonesia sudah dicanangkan hingga ke 2050 tapi tidak ada yang menunjukkan bagaimana dampak dari emisi karbon dapat diatasi. 

Prof. Emil Salim, Guru Besar FE UI

“Persoalan climate change adalah persoalan nasional yang sedang sama-sama kita hadapi. Namun, sayangnya faktor lingkungan tidak menjadi pertimbangan penting dalam Rencana Umum Energi Nasional, tapi justru menumpukan pembangunan pada energi konvensional. Jadi pola struktur energi kita didominasi minyak bumi, batu bara dan energi terbarukan hanya kurang dari separuh. Padahal potensinya tinggi. Jika kita merasa Rencana Umum Energi Nasional tersebut tidak tepat maka keinginan saya adalah, bagaimana komposisi energi terbarukan bisa dapat tingkatkan.” ujar Prof. Emil Salim.

Senior ekonom Indonesia ini pun menyoroti peran PLN sebagai BUMN yang menilai bahwa pihak swasta tidak dapat mengembangkan sumber energinya dengan alasan perizinan yang hanya dimiliki oleh PLN, sehingga teknologi pembangkit listrik surya atap masih terhambat hingga saat ini.Beliau menekankan bahwa laporan IESR ini harus dijadikan sebagai lampu kuning bagi seluruh pemangku kebijakan tak sekedar dokumen untuk dibaca. Indonesia tertinggal dalam urusan yang terkait dengan climate change, kebijakan energi sebagai alternatif harus segera dibuat, imbuhnya. 

Erina Mursanti, Program Manager IESR – Green Economy

Beberapa poin penting dalam paparan kedua keynote speech tersebut, selaras dengan isi dari laporan Brown to Green yang dipaparkan langsung oleh Manajer Program, Green Economy, IESR, Erina Mursanti. Laporan ini memperlihatkan posisi Indonesia untuk menuju 1,5°C berdasarkan compatible fair share emission ranges yang merupakan analisa adaptasi dari metodologi Climate Action Tracker yang juga merupakan mitra internasional dari Climate Transparency. Metodologi ini tidak memasukkan LULUCF emission karena tidak semua negara G20 memiliki emisi dari LULUCF (Land Use, Land-Use Change and Forestry) atau penggunaan lahan dan hutan. 

“Sekalipun semua kegiatan mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC Indonesia dilaksanakan, negara ini tetap berada pada jalur suhu bumi 3°C atau bahkan 4°C, jadi bisa disimpulkan kita masih berada jauh dari jalur 1,5°C.” terang Erina, memaparkan salah satu hasil laporan ini. Laporan ini menunjukkan, selama tahun 2019, ada dua kemajuan Indonesia dalam melakukan transformasi perekonomian yakni adanya peraturan presiden mengenai kendaraan listrik serta pembentukan badan pengelola dana lingkungan hidup terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Meskipun demikian, sayangnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2019-2028 menunjukkan bahwa kontribusi dari batubara dalam pembangkit listrik naik sebesar 0,2% dibandingkan dengan rencana tahun lalu. 

Terkait rencana pembangunan jangka panjang, laporan ini menemukan bahwa Indonesia belum memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang terintegrasi dengan rencana penurunan jumlah emisi gas rumah kaca. Indonesia telah mengeluarkan studi low carbon development initiative namun studi ini belum didokumentasikan secara resmi sebagai dokumen pembangunan pemerintah Indonesia. 

Dilaporkan bahwa Indonesia sudah memiliki target kontribusi energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan, namun implementasi upaya pencapaian target tidak koheren dengan beberapa kebijakan yang sudah ada. Namun Indonesia belum memiliki target atau kebijakan terkait penghapusan batubara secara bertahap, padahal indikator ini merupakan faktor penting demi menanggulangi perubahan iklim. 

Dalam sektor transportasi, hanya satu hal yang cukup bagus dimiliki oleh Indonesia yaitu adanya beberapa instrumen yang mendukung pengalihan pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum. 

Indonesia belum mempunyai instrumen pembiayaan perubahan iklim yang cukup memuaskan. Catatan penting dari temuan ini adalah Indonesia masih memberikan subsidi kepada bahan bakar fosil yang sangat besar. Demi tercapainya suhu bumi pada 1,5°C Indonesia harus mulai menghapus subsidi tersebut dan memperkenalkan skema pajak karbon. Dana APBN juga semestinya sudah tidak digunakan lagi untuk membiayai proyek – proyek berbahan bakar fosil. Strategi pembangunan jangka panjang Indonesia harus diperjelas agar dapat mengakomodasi pembiayaan jangka panjang untuk perubahan iklim. 

Sebelum menutup paparannya, Erina Mursanti mengingatkan bahwa demi meningkatkan Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia dan untuk berada di jalur 1,5°C, ada tiga hal yang dapat dilakukan negara yaitu: (a) Mengurangi jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menaikkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030. Hal ini sangat penting menurut Erina, karena: merupakan solusi yang layak (mungkin dilakukan) secara teknis tanpa mengurangi keandalan jaringan transmisi (jika daya energi terbarukan sangat besar). Komitmen dan kemauan politik (political will) dalam hal ini sangat dibutuhkan. (b) Meningkatkan tingkat efisiensi dari peralatan rumah tangga & industri termasuk penerangan karena hal ini berkontribusi sekitar 25 GW pada tahun 2030. (c) Indonesia harus melakukan moratorium pembebasan lahan hutan secara permanen termasuk untuk hutan primer, sekunder dan restorasi hutan gambut. 

 

(dari Kiri ke Kanan) Dr. Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi, CSIS, Erina Mursanti, Program Manager Green Economy, IESR, Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Kemenko Marves, Dr. Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, KESDM, Kuki H. Soejachmoen.

Galeri acara Peluncuran Brown to Green 2019:

Diskusi Panel: Strategi Indonesia menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050

Menindaklanjuti hasil laporan ini, diskusi panel pun dilakukan dengan mengusung topik Strategi Indonesia Menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050 dan menghadirkan para panelis yang terdiri dari: Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) – Yose Rizal Damuri; Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – Emma Rachmawati; Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang – Saleh Abdurrahman; dan Direktur Eksekutif, IESR – Fabby Tumiwa.

Yose Rizal Damuri, dalam hal ini mengaitkan political will dengan dinamika sosial politik Indonesia yang tidak banyak terafiliasi dengan isu lingkungan. Survei CSIS yang dilakukan di awal tahun mengenai persepsi sosial dan politik terhadap isu emisi menemukan bahwa hanya 1,68% dari 2.000 responden Indonesia yang menjawab bahwa isu lingkungan merupakan salah satu prioritas pembangunan. Yose melanjutkan, di ranah politik, sayang sekali hanya satu partai yang memasukkan kata lingkungan dari visi misi mereka namun sayangnya partai ini tidak masuk ke dalam DPR. Sangat disayangkan politisi – politisi belum banyak berperan di seputar isu lingkungan, padahal mereka punya peran penting dalam memberikan legalitas demi dukungan pendanaan.

Mengamini pernyataan Prof. Emil Salim di keynote speechnya, Yose juga menilai bahwa PLN masih menjadi salah satu penghalang utama untuk pengembangan teknologi energi terbarukan yang berhubungan dengan kelistrikan, karena semestinya menurut Yose, PLN seharusnya bertindak sebagai penyedia jasa bukan sebagai regulator. Political will pun sangat dibutuhkan dalam memecahkan kendala regulasi yang menghambat pengembangan energi terbarukan seperti solar rooftop atau kendaraan listrik.

Menurut pandangan KLHK yang disampaikan oleh Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Emma Rachmawati, kemampuan ekonomi yang dimiliki negara-negara G20 berbeda dari satu dengan yang lainnya. “Kenapa negara berkembang seperti Indonesia kemudian dituntut untuk increase ambition? Indonesia juga mempertanyakan, negara maju penuhi dulu kewajiban nya, jangan lalu dibagi rata menjadi beban negara berkembang.”

“KLK saat ini sedang dalam proses penyusunan roadmap implementasi NDC, dimana NDC dirinci dalam kegiatan di sub-sektor untuk masing-masing sektor. Kita sudah pilah mana yang kemudian bisa dikontribusikan oleh Provinsi dan Kabupaten/ Kota, kemudian oleh swasta, sudah ada dalam road map tersebut. Kemudian juga kemarin kita sudah diskusi mengenai carbon pricing dan bagaimana peran swasta untuk pasar karbon.” imbuh Emma Rachmawati.

Di kesempatan yang sama, Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, merespon wajar jika Indonesia belum mencapai target NDC karena, menurutnya, pertumbuhan GDP Indonesia masih rendah; sehingga kesejahteraan masyarakat Indonesia harus didahulukan dengan terus menumbuhkan sektor manufaktur. Untuk mencapai kesejahteraan Indonesia itu harus bisa menjamin kesejahteraan sosial, maka sektor manufaktur harus terus tumbuh. Sektor manufaktur mendapatkan nilai tambah yang tinggi dan bisa menjangkau pekerja baru sampai 200-300 ribu orang. 

Saleh pun menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat melihat kebijakan dalam kurun waktu tahunan (yearly basis), karena kebijakan energi pada khususnya menyangkut sektor riil, dan harus mempertimbangkan faktor ekonomi. Strategi sektor energi dalam menuju nir emisi dapat dilakukan dengan: (i) mencari sumber energi yang memiliki big impact seperti biofuel, (ii) mengoptimalkan energy efficiency, (iii) memaksimalkan PLTS, PLTP, PLTA karena bisa mendorong ekonomi lokal.

Fabby Tumiwa, dalam sesi diskusi panel menyatakan Indonesia sebagai anggota negara G20 tentunya memiliki kondisi ekonomi yang berbeda dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, trajectory yang ada dalam NDC menunjukkan jika kita belum di jalur 1,5°, namun ada di jalur 3° – 4°C dikarenakan Indonesia meningkatkan pembangkit dari minyak bumi cukup masif, dimana sebagian besar dari pembangkit ini baru mulai beroperasi setelah 2023 – 2030 dengan berkekuatan 35.000 MW, meski Indonesia sudah memiliki aset pembangkit energi terbarukan namun tidak on-track sesuai target. Long-term decarbonisation menjadi catatan penting untuk pemerintah Indonesia khususnya BAPPENAS, KLHK dan sektor lain untuk membahas bagaimana target 2050

“Tidak hanya target-target mau turun berapa, tetapi kapan emisi akan peak dan kapan kita bisa mencapai net-zero emission. Ini penting karena bisa melihat apakah kita compatible dengan Paris Agreement.” imbuh Fabby. 


Brown to Green Report 2019 diluncurkan di Jakarta, Hotel Pullman Thamrin 19 Desember 2019.

Materi paparan dari kegiatan ini dapat di unduh di laman agenda 

Anda juga dapat mengunduh: 

Laporan Lengkap Brown to Green 2019 (Bahasa Inggris)

Ringkasan Eksekutif dan Profil Indonesia (Bahasa Inggris)

Laporan Brown to Green 2019 Profil Indonesia (Bahasa Indonesia)

RUU Migas Harus Segera Dibahas

RUU migrasJAKARTA–Pembahasan rancangan Undang Undang Migas harus segera dilakukan untuk menuntaskan berbagai persoalan di sektor energi, khususnya masalah tata kelola industri minyak dan gas bumi.

Ketua Badan Pengarah Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Fabby Tumiwa mendesak DPR khususnya Komisi VII untuk segera membahas RUU Migas. Menurutnya, sampai hari ini tidak ada perkembangan apa pun yang signifikan dari pembahasan RUU Migas tersebut.

Fabby yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) menyatakan akar berbagai persoalan di sektor migas adalah payung hukum yang masih memiliki banyak celah, baik dari sisi perencanaan, pengelolaan, pembinaan maupun pengawasan.

“Setidaknya ada beberapa isu kunci yang harus dimasukkan ke dalam pembahasan RUU Migas, yaitu perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas yang memungkinkan adanya proses check and balances badan pengawas, BUMN pengelola, Petroleum Fund, DMO, dana cadangan, cost recovery, participating interest, perlindungan atas dampak kegiatan migas, serta reformasi sistem informasi dan partisipasi,” katanya melalui keterangan resmi, Minggu (29/5/2016).

Adapun RUU Migas ditetapkan sebagai salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2016.

Sumber: http://industri.bisnis.com.

Hingga 2025, PLN akan Perbesar Porsi Energi Terbarukan

Untuk melancarkan rencana tersebut, PLN akan mengoptimalkan peran dan fungsi anak usaha perseroan yakni PLN Geothermal. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Untuk melancarkan rencana tersebut, PLN akan mengoptimalkan peran dan fungsi anak usaha perseroan yakni PLN Geothermal. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jakarta, CNN Indonesia — PT PLN (Persero) telah menyelesaikan rancangan mengenai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk periode 2016-2025. Dalam rancangannya, manajemen PLN mengusulkan agar komposisi bauran energi (energy mix) mengalami perubahan dari RUPTL periode 2015-2024.

Rinciannya:

  1. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebesar 34 gigawatt (GW), turun 8 GW dari rencana sebelumnya.
  2. Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) sebesar 13 GW, meningkat 4 GW dari rencana sebelumnya.
  3. Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) sebesar 5 GW, tidak mengalami perubahan.
  4. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sebesar 6 GW, naik 1 GW.
  5. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Mikrohidro (PLTM) sebesar 14 GW, naik 5 GW dari rencana sebelumnya.
  6. Pembangkit Listrik Energi Terbarukan lainnya sebesar 6 GW dari sebelumnya yang tidak diproyeksikan.

“Kami sudah lakukan beberapa kali konsultasi publik dan itu yang sedang dikritisi. Diskusi dengan masyarakat kelistrikan, masyarakat energi, DEN, tentu guidance dari ESDM. Semoga publik bisa accept,” ujar Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur dan Bali Amin Subekti di Jakarta, Rabu (30/3).

Amin mengakui, dalam rancangan RUPTL periode 2016-2025 PLN akan memprioritaskan pada pemanfaatan energi baru terbarukan.

Meski begitu ia bilang, persetujuan untuk mengimplementasikan rencana ini harus lebih mendapat persetujuan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) khususnya Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan (DJK).

“Kita akan ikuti guidance dari pemerintah. EBT kita juga sebagian sudah jalan,” tutur pria yang pernah berkiprah bersama Menteri ESDM Sudirman Said di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.

Menyusul implementasi RUPTL teranyar, Amin menambahkan pihaknya juga akan mengoptimalkan peran dan fungsi anak usaha perseroan yakni PLN Geothermal.

Ke depan, katanya jajaran PLN mewacanakan mengubah PLN Geothermal menjadi PLN Energi Baru dan Terbarukan.

“Nanti anggaran dasarnya diubah pembeliannya yang non geotermal bisa ikut di adopt,” tandasnya. (gir)

Sumber: cnnindonesia.com.

Batubara Dominan, Pemerintah Diminta Evaluasi Bauran Energi untuk Program Listrik 35.000 MW

 

Batubara Dominan, Pemerintah Diminta Evaluasi Bauran Energi untuk Program Listrik 35.000 MWJAKARTA, KOMPAS.com – Bauran energi dalam megaproyek 35.000 megawatt (MW) dikritisi.

Pasalnya, komposisi batubara dalam proyek tersebut terlalu dominan dan kurang ideal untuk pengembangan industri pendukungnya.

Pengamat ketenagalistrikan dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, industri tambang batubara saat ini sudah memasuki tahap mapan (mature) dan tergantung pada keseimbangan pasokan dan permintaan.

Kalau permintaan tinggi, maka lazimnya pasokan akan mengikuti, apalagi sumberdaya di Indonesia cukup besar.

“Tapi yang perlu diperhatikan adalah untuk jangka panjang. Permintaan batubara diprediksikan turun, karena kalau dilihat dalam 10 tahun terakhir pembangunan PLTU secara global menurun,” kata Fabby kepada KOMPAS.com, Jakarta, Senin (7/3/2016).

Selain pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang menurun tersebut, regulasi di sektor energi juga mengarah pada pengendalian perubahan iklim.

Atas dasar itu, pertumbuhan pembangunan PLTU dalam 10-15 tahun yang akan datang, diperkirakan alami stagnasi.
(Baca : Pemerintah Diminta Beli Lebih Mahal agar Pasokan Batubara untuk PLTU Terjaga)

Menurut Fabby, permintaan batubara akan terancam, seiring menurunnya pembangunan PLTU.

Batubara Dominan, Pemerintah Diminta Evaluasi Bauran Energi untuk Program Listrik

Daripada menggenjot sektor tambang untuk menyediakan kebutuhan batubara bagi PLTU, pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan sektor energi baru terbarukan.

Dia bilang, sebaiknya pemerintah lebih rasional dalam menerapkan bauran energi di megaproyek 35.000 MW.

“Agar ekspansi tambang batubara tidak terlalu banyak, dan permintaan batubara juga tidak melonjak,” ujar Fabby.

Sebagai informasi, dalam rencana megaproyek 35.000 MW, porsi dari PLTU batubara sebanyak 20.000 MW.

Sampai saat ini sudah ada penandatanganan kontrak power purchase agreement (PPA) sebesar 17.000 MW, dengan 10.000 MW di antaranya dari batubara.

Sumber: Kompas.com.

Pengembangan Thorium di Indonesia Masih Perlu Pertimbangan

Pengembangan Thorium di Indonesia Masih Perlu PertimbanganJAKARTA, JITUNEWS.COM – Dinilai belum banyak yang melakukan riset, penggunaan Thorium sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia masih harus dipertimbangkan lagi.Pengamat Energi, Fabby Tumiwa me

ngatakan, selama ini baru Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang melakukan riset untuk Thorium. Menurutnya, sejumlah wilayah yang berpotensi memiliki sumber (resource) Thorium antara lain Bangka Belitong (Babel), Kalimantan Barat (Kalbar) dan Sulawesi Barat (Sulbar).

“Thorium belum banyak risetnya di Indonesia. Sejauh ini Batan baru melakukan eksplorasi Thorium di Babel, Kalbar, Sulbar,” ungkap Fabby saat dihubungi JITUNEWS.COM, Jakarta, Jum’at (5/1).

Akan tetapi, Fabby mengakui, sebagai bahan bakar alternatif PLTN, Thorium memiliki kekuatan energi yang lebih tinggi dari Uranium. Untuk itu, menurutnya, keberadaan Thorium perlu segera dipublikasikan.

“Indonesia punya resource Thorium dan bisa dimanfaatkan. Karena Thorium memiliki densitas energi yang lebih tinggi dari Uranium,” ujarnya.

Meski begitu, dirinya merasa akan sangat sulit mengembangkan Thorium di Indonesia. Pasalnya, beberapa negara yang lebih dahulu melakukan riset seperti Amerika Serikat (AS) dan Jerman sejak tahun 60-an, sampai saat ini belum ada yang bisa mengkomersialkan.

“Sekarang memang lebih banyak riset untuk PLTN Thorium di India, China, kanada, Brazil, Norwegia, dan lain-lain. Tapi teknologinya belum ada yang komersial,” jelas Fabby.

Dirinya menggambil contoh, India sebagai negara yang sudah melakukan riset selama 20 tahun, baru akan merencanakan memiliki PLTN Thorium komersial pada 2035-2040 mendatang. Sehingga banyak kalangan menilai, pengembangan Thorium membutuhkan waktu yang sangat lama.

Sebelumnya, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Djarot Sulistio Wisnusubroto mengungkapkan, Indonesia memiliki sekitar 210.000-280.000 ton Thorium yang masih tersimpan di dalam tanah.

Sekadar informasi, Thorium adalah salah satu jenis nuklir dengan limbah radio aktif yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan Uranium.

Baca juga: Ini ‘Harta Karun’ Energi Milik Indonesia

Penulis: Citra Fitri Mardiana
Editor: Deni Muhtarudin

Sumber: jitunews.com.

Pemerintah Perkuat Tugas PLN Di Proyek 35.000 MW

JAKARTA. Meski masih banyak janji dalam paket ekonomi I hingga VIII yang belum terealisir, pemerintah kembali mengeluarkan paket kebijakan ekonomi ke IX.

Salah satu poin penting dalam paket itu adalah kewenangan yang luas bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam mega proyek 35.000 Megawatt (MW).

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Menteri ESDM Sudirman Said (kanan), Dirut PLN Sofyan Basir (kedua kiri), Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua kanan), serta CEO Karpowership Orhan Remzi Karadeniz (tengah) secara simbolis melepas Kapal Pembangkit Listrik Marine Vessel Power Plant "Marine Vessel Power Plant (MVPP) "Karadeniz Powership Zeynep Sultan" berkapasitas 120 Mega Watt (MW) di Pelabuhan Nusantara Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/12). Kapal tersebut berkapasitas 120 Megawatt (MW) buatan Turki tahun 2014 dan disewa PT PLN selama lima tahun untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik di Gorontalo - Sulawesi Utara. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/15.
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Menteri ESDM Sudirman Said (kanan), Dirut PLN Sofyan Basir (kedua kiri), Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua kanan), serta CEO Karpowership Orhan Remzi Karadeniz (tengah) secara simbolis melepas Kapal Pembangkit Listrik Marine Vessel Power Plant “Marine Vessel Power Plant (MVPP) “Karadeniz Powership Zeynep Sultan” berkapasitas 120 Mega Watt (MW) di Pelabuhan Nusantara Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/12). Kapal tersebut berkapasitas 120 Megawatt (MW) buatan Turki tahun 2014 dan disewa PT PLN selama lima tahun untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik di Gorontalo – Sulawesi Utara. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/15.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, berbagai kemudahan bagi PLN akan diatur melalui Peraturan Presiden (perpres). Di antara kemudahan yang diberikan berkaitan dengan pendanaan.

Untuk membantu PLN dalam mendanai proyek listrik, pemerintah memberikan bantuan pendanaan lewat beberapa pilihan. “Melalui penyertaan modal negara, penerusan pinjaman pemerintah, penerbitan obligasi, atau pinjaman lembaga keuangan,” kata Darmin, Rabu (27/1).

Fasilitas kemudahan lain ialah pembebasan pajak hasil atas revaluasi aset dan mengurangi jumlah deviden yang harus disetor ke negara.

Dengan keleluasaan ini, PLN memiliki kebebasan berinovasi dalam pengadaan barang dan jasa di sektor kelistrikan yang menggunakan anggaran internalnya. “Misal, kalau dia mau buat kemitraan dengan kelompok lain, misalnya China atau Jepang, dengan perpres ini PLN diberi payung hukum kuat supaya tender bisa cepat,” kata dia.

Utamakan produk lokal

Namun, PLN juga wajib mengutamakan penggunaan barang dan jasa dalam negeri lewat proses pengadaan yang inovatif. Misal, dengan pengadaan secara openbook, pemberian preferensi harga kepada penyedia barang/jasa dengan tingkat kandungan dalam negeri yang tinggi serta penerapan pengadaan yang memungkinkan pabrikan di dalam negeri.

Menurut Sofyan Basir, Dirur PLN, kehadiran Perpes yang memberikan kewenangan bagi PLN akan membuat perusahaan ini bisa mengambil keputusan urgent demi kepentingan masyarakat. Misal, soal pembebasan lahan. “Pemilik tanah tak mau lepas dengan harga NJOP, kami bisa mengambil untuk itu,”ujar Sofyan ke KONTAN kemarin.

Namun, Sofyan masih menunggu detil kewenangannya dalam Perpres tersebut. “Minggu depan, Perpresnya keluar,”ujar dia.

Pengamat ketenagalistrikan Fabby Tumiwa bilang, paket kebijakan kelistrikan ini akan mendorong PLN untuk lebih leluasa berekspansi. “Dengan Perpres ini peran dan tugas PLN semakin jelas,” ujarnya.

Tapi, Fabby menyarankan agar pemerintah tetap mengontrol PLN agar terhindar dari proyek titipan. Karenanya, peran menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk pengawasan tetap diperlukan.

Sumber: kontan.co.id.

Harga Energi Rendah, Pengamat Sebut Tarif Listrik Bisa Turun

Harga Energi Rendah, Pengamat Sebut Tarif Listrik Bisa TurunREPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengingatkan PT PLN (persero) untuk lebih fokus melakukan pembangunan pembangkit dan instalasi listrik di luar Pulau Jawa. Ia melihat pembangunan selama ini kurang menyentuh wilayah terpencil di daerah, khususnya luar Jawa.

Faisal juga menekankan PLN bisa menjadi pemersatu pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal pembangunan kelistrikan. “Titik berat PLN adalah menciptakan keadilan buat rakyat. PLN harus secara aktif membangun di daerah-daerah yang besar defisitnya,” kata Faisal akhir pekan ini.

Senada dengan Faisal, pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa juga menyatakan pertumbuhan permintaan listrik yang tinggi ada di luar Jawa. Untuk itu Fabby mengatakan, perencanaan korporat PLN terkait permintaan listrik harus dilakukan secara matang.

“Harus teliti dalam membaca demand untuk masing-masing wilayah. Sehingga strategis untuk alokasi anggaran PLN dan investasi dari IPP itu bisa efektif,” ujar Fabby.

Fabby menambahkan, berdasarkan berbagai kondisi global tersebut, harga energi primer yang digunakan PLN akan lebih murah untuk tahun 2016. Implikasinya, lanjutnya, adalah tarif listrik bisa turun lagi.

Mengenai aspek pada pendanaan sektor kelistrikan, Fabby menjelaskan bahwa di seluruh dunia saat ini tengah mengalami kesulitan. Beberapa negara tidak memberikan pinjaman untuk PLTU batubara maupun tambang batubara. Ratusan perusahaan investasi mengatakan akan menarik diri dari bisnis batubara dan hanya akan mendanai pembangkit berbasis clean energy.

Menurutnya, masih ada portfolio investasi di bidang clean energy yang belum masuk ke Indonesia. “Mungkin PLN harus membuat kajian-kajian yang lebih banyak dalam soal clean energy,” kata Fabby.

Sumber: republika.co.id.

Harga Listrik Diprediksi Turun Lagi Tahun Ini

Harga Listrik Diprediksi Turun Lagi Tahun IniTEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Institute Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan harga listrik PLN ada kemungkinan turun di 2016 ini. Menurut Fabby penurunan harga ini dipengaruhi oleh harga komoditi energi yang terus turun, terutama batu bara.

Fabby mengatakan ada beberapa hal yang mempengaruhi harga listrik. Harga listrik sangat dipengaruhi oleh volatilitas nilai tukar rupiah. Selain itu, stagnasi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi domestik juga berpengaruh.

Harga batu bara dunia kini memang terus turun. Harga batu bara tertinggi mencapai US$ 50 per ton – US$ 60 per ton. Pada 2016, diperkirakan harga tidak akan berbeda jauh dari tahun 2015. Karena itulah, menurut Fabby, ada kemungkinan harga listrik dapat kembali turun di tahun ini.

“Kalau kurs dolar stabil ada potensi harga listrik turun lagi,” kata Fabby di Jakarta, Jumat, 22 Januari 2016.

Penurunan harga ini, menurut Fabby, perlu diperhatikan. PLN dinilai perlu merancang perolehan pendapatannya untuk mengantisipasi hal ini. Pelambatan ekonomi global akan menyebabkan pengguna listrik dan pengusaha membuat keputusan yang berbeda.

Untuk mengatasi hal ini, Fabby menyarankan agar PLN beralih ke energi alternatif. Penggunaan energi alternatif, menurut Fabby, akan membantu iklim bisnis PLN dalan lima tahun ke depan.

Pada akhir Desember 2015, PLN mengumumkan penurunan tarif listrik tegangan rendah, meliputi rumah tangga, usaha skala menengah, dan kantor pemerintah skala menengah. Tarif turun dari Rp 1.509,38 menjadi Rp 1.409,16 per kWh. Adapun tarif listrik tegangan menengah, yang mencakup sektor usaha skala besar, kantor pemerintah skala besar, dan industri skala menengah tarifnya turun dari Rp 1.104,73 menjadi Rp 1.007,15 per kWh.

Untuk tarif listrik tegangan tinggi, yang meliputi sektor industri skala besar, tarif juga mengalami penurunan. Tarif turun dari Rp 1.059,99 menjadi Rp 970,35 per kWh.

Sumber: tempo.co.