Aksi Komprehensif untuk Transisi Energi Indonesia

Jakarta, 12 Desember 2023 – Perjalanan transisi energi Indonesia pada tahun 2023 memasuki fase konsolidasi, yang berarti sejumlah kebijakan yang muncul dalam kurun waktu 2020-2023 perlu untuk disinkronisasi agar pelaksanaannya dapat mempercepat langkah menuju satu tujuan besar yaitu membatasi peningkatan suhu bumi pada level 1,5 derajat celcius sesuai Persetujuan Paris.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam media briefing (12/12) yang diselenggarakan oleh IESR secara daring menyatakan terdapat sejumlah kondisi pendukung (enabling condition) yang menentukan keberhasilan transisi energi.

“Ada 4 enabling condition supaya transisi energi sukses yaitu, kerangka kebijakan dan regulasi, dukungan pendanaan dan investasi, aplikasi teknologi, serta dampak sosial dan dukungan masyarakat,” kata Fabby.

Fabby juga menambahkan bahwa terdapat sejumlah inisiatif transisi energi sejak tahun 2020 seperti RUPTL 2021, kesepakatan Energy Transition Mechanism (ETM), hingga Just Energy Transition Partnership (JETP). Adanya berbagai kesepakatan ini baik mengingat hingga 2020, tidak ada aturan terkait transisi energi, namun yang paling penting adalah implementasi dari berbagai kebijakan tersebut.

Pintoko Aji, analis energi terbarukan IESR, menyampaikan bahwa transisi energi (Indonesia) harus dilakukan secara menyeluruh pada semua sektor tidak terbatas pada sektor ketenagalistrikan saja.

“Tujuan akhir (ultimate goal) dari transisi energi ini adalah penurunan emisi maka upaya transisi energinya harus menyeluruh tidak terbatas pada sektor energi saja. Industri dan transportasi misalnya juga perlu mulai digarap karena saat ini belum banyak kebijakan yang konkret (actionable) pada sektor tersebut,” kata Pintoko.

Yunus Saefulhak, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Dewan Energi Nasional (DEN), dalam forum yang sama juga menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang mengerjakan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk menyelaraskan berbagai target nasional dengan perkembangan komitmen transisi energi secara internasional dan strateginya.

“Revisi ini urgent untuk dilakukan karena kebijakan energi perlu selaras dengan kebijakan perubahan iklim, juga telah tersusun grand strategi energi nasional sebagai masukan pembaruan KEN & RUEN,” kata Yunus.

Salah satu poin pembaruan KEN adalah bauran energi baru terbarukan di tahun 2025 mencapai 17 – 19 persen, dan tahun 2060 mencapai 70-72 persen.

Berbagai perkembangan kebijakan maupun target-target yang disesuaikan perlu untuk terus dipantau dan dikawal. Institute for Essential Services Reform melakukan pemantauan berbagai perkembangan di sektor energi Indonesia sejak tahun 2017 dan menuangkannya dalam laporan utama bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook. Pada tahun 2023 ini IESR kembali akan dan meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2024, pada tanggal 15 Desember 2023. Ikuti peluncurannya baik secara langsung (kapasitas terbatas) maupun melalui daring dengan melakukan registrasi di s.id/IETO2024

Refleksi Kewenangan Pemerintah Daerah untuk Transisi Energi pada Forum Energi Daerah 2023

Jakarta, 7 November 2023 – Peran pemerintah daerah dalam percepatan transisi energi diharapkan semakin signifikan. Kementerian Dalam Negeri sebagai badan induk yang memfasilitasi para pemerintah daerah berusaha memfasilitasi kebutuhan ini dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 11 tahun 2023 tentang urusan pemerintahan konkuren tambahan di bidang energi dan sumber daya mineral pada sub-bidang energi terbarukan. 

Adanya payung hukum untuk pemerintah daerah ini diharapkan dapat memberikan kewenangan tambahan bagi pemerintah daerah, dan secara linier berdampak pada percepatan transisi energi. 

Sri Retnowati, Analis Kebijakan Ahli Muda Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I, Kementerian Dalam Negeri menegaskan dengan terbitnya Perpres 11 tahun 2023 diharapkan pemerintah daerah dapat lebih leluasa dalam mengambil program inisiatif.

“Keterbatasan kewenangan itu berkorelasi erat dengan keterbatasan anggaran, maka melalui instrumen kebijakan, kami memberikan kewenangan lebih pada daerah,” kata Retno.

Retno menambahkan bahwa pihaknya masih mendapatkan keluhan bahwa Peraturan Presiden No 11/2023 ini masih belum efektif berjalan, terutama menyangkut dengan kapasitas fiskal yang belum dapat digunakan. Retno mengungkapkan bahwa hal ini membuat beberapa daerah memilih untuk tidak segera menjalankan Perpres 11/2023.

Ariansyah, Perwakilan Dinas ESDM Sumatera Selatan, menyoroti tentang pembagian kewenangan perizinan industri. Jika seluruh perizinan industri berkumpul di pemerintah pusat, sulit bagi pemerintah daerah untuk mengawasi dan menindak tegas pelaku industri yang tidak mendukung agenda pemerintah, seperti penggunaan energi yang kurang efisien atau tidak melakukan praktik-praktik konservasi energi. 

Menyoroti perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang sedang dikerjakan oleh Dewan Energi Nasional, Ariansah memandang perlunya ketentuan mengenai konservasi energi untuk menyokong pencapaian bauran energi daerah.

“Dalam draf RPP KEN yang baru kami melihat poin konservasi energi dihapus, jika hal ini berlaku maka bauran energi terbarukan Sumatera Selatan akan turun, karena bauran energi terbarukan Sumsel yang mencapai 23% saat ini banyak disumbang dari industri-industri yang kita minta untuk melakukan konservasi energi,” kata Ariansyah. 

Yunus Saefulhak, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Dewan Energi Nasional (DEN) dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa tujuan besar dari revisi kebijakan energi di Indonesia ini untuk meningkatkan ketahanan energi sekaligus menyediakan energi dengan harga terjangkau.

“Selain itu, (revisi KEN-red) bertujuan juga untuk memenuhi kebutuhan energi yang rasional untuk mencapai target human development index dan ekonomi tinggi sebagai negara maju, dan terwujudnya dekarbonisasi dan transisi energi untuk mencapai peak emission sebelum 2045 dan NZE di tahun 2060,” kata Yunus.

Metodologi Evaluasi Implementasi Kebijakan: Mekanisme yang Sangat Dibutuhkan

New York, 21 September 2023 – Komunitas global mendesak para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan serius guna mengatasi dampak perubahan iklim. Menjelang COP 27 di Mesir tahun lalu, beberapa negara memperbarui komitmen mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai status emisi nol bersih. Namun demikian, masih terdapat kesenjangan antara komitmen dan implementasi kebijakan serta tindakan untuk mencapai target yang telah ditentukan.

Untuk mengamati, menilai, dan memantau kemajuan suatu negara dalam implementasi kebijakan, Climate Transparency, sebuah kemitraan global antara organisasi penelitian dan Organisasi Masyarakat Sipil di negara-negara G20, telah mengembangkan metodologi untuk meninjau implementasi kebijakan dalam empat kategori: status hukum, institusi & tata kelola, sumber daya, dan pengawasan.

Yvonne Deng, Pakar Strategi Energi dan Iklim dari 7Gen Consulting, menekankan pentingnya memiliki instrumen pemantauan untuk meninjau kebijakan saat ini dan perannya dalam mencapai target iklim.

“Kami (Climate Transparency) menganalisis kesenjangan dan mendalami pendekatan sektoral untuk merekomendasikan kebijakan sektoral apa yang harus diambil suatu negara untuk mencapai ambisi tersebut,” kata Yvonne.

Afrika Selatan, salah satu negara yang mendapat perhatian global akhir-akhir ini sebagai penerima pertama pendanaan Just Energy Transition Partnership. Guy Cunliffe, Peneliti Sistem Energi di Universitas Cape Town menjelaskan bahwa sebagai negara yang menerima bantuan internasional, Afrika Selatan perlu menunjukkan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyeknya.

“Pemantauan implementasi sangat penting untuk menunjukkan keberhasilan implementasi dan sebagai negara penerima, hal ini juga merupakan cara untuk menampilkan kemajuan proyek yang berkomitmen,” katanya.

Guy menambahkan bahwa sebagai penerima JETP pertama, Afrika Selatan telah meningkatkan ambisi iklimnya dan mencoba mengintegrasikan kapasitas energi terbarukan secara signifikan ke dalam jaringan listriknya. Namun dalam implementasinya, negara tersebut mengalami kendala dalam hal pasokan listrik. Kendala ini ‘memaksa’ mereka untuk menyesuaikan rencana dan kebijakan sekaligus mengubah struktur pasar energi dengan cepat. Hal ini hanya mungkin terjadi dengan pemantauan kebijakan yang berkelanjutan.

Mirip dengan Afrika Selatan, Indonesia, sebagai salah satu produsen batubara terbesar, pembangkit listriknya didominasi oleh batubara. Pada tahun 2022, Indonesia memperbarui target penurunan emisi dalam enhanced NDC, dari 29% menjadi 31,89% (unconditional) dan 41% menjadi 43,2% (conditional).

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau di Institute for Essential Services Reform (IESR), mencatat bahwa selama masa transisi dari batubara, masih terdapat konflik kepentingan di antara para pemangku kepentingan, terutama karena kurangnya panduan yang jelas dari pemerintah mengenai transisi meliputi indikator dan arahan strategi.

“Meskipun Indonesia telah meningkatkan ambisinya dan tertuang dalam target NDC-nya, ekosistem pendukung (enabling environment) bagi para pengembang energi terbarukan masih belum cukup menarik. Masih belum ada insentif yang jelas bagi investor serta prosesnya yang masih cukup panjang,” jelas Wira.

RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) yang sedang dalam proses, meskipun diyakini akan memberikan kerangka kebijakan yang kuat, sampai batas tertentu masih berupaya untuk memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil dengan memasukkan teknologi CCS ke dalam opsi energi terbarukan.

Menakar Kesiapan Daerah Penghasil Batubara untuk Bertransisi

Jakarta, 1 September 2023 – Pada tahun 2022, Indonesia merupakan negara penghasil batubara terbesar ketiga di dunia. Hal ini membawa sejumlah dampak baik maupun buruk bagi Indonesia, khususnya daerah penghasil batubara, seperti Kabupaten Paser di Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim di Sumatera Selatan. Secara langsung sektor industri batubara berkontribusi pada Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). 

Kontribusi sektor batubara pada pendapatan daerah cukup besar. Di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur 70% PDRB-nya datang dari sektor batubara. Sektor batubara juga berkontribusi pada 20% APBD provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan di Kabupaten Muara Enim, industri batubara berkontribusi pada 50% PDRB, dan 20% APBD Provinsi Sumatera Selatan. 

Julius Christian, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa tren penurunan penggunaan dan permintaan batubara global akan semakin cepat seiring dengan naiknya komitmen iklim negara-negara tujuan ekspor batubara Indonesia seperti Tiongkok, India, dan Vietnam. 

“Jika negara-negara ini meningkatkan komitmen iklimnya menjadi kompatibel dengan target Persetujuan Paris, akan ada penurunan drastis dari batubara Indonesia. Hal ini tentu akan berdampak secara ekonomi dan sosial bagi daerah-daerah penghasil batubara Indonesia,” kata Julius.

Ketergantungan ekonomi pada satu sektor ini sudah menjadi perhatian pemerintah daerah. Hal ini dipaparkan dalam peluncuran Studi IESR berjudul “Transisi Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara” (1/9) Disampaikan Analis Sosial dan Ekonomi IESR, Martha Jesica, pemerintah daerah penghasil batubara terkadang tidak memahami risiko dari transisi energi. Namun mereka memahami bahwa ketergantungan ekonomi pada satu sektor tidaklah baik.

“Sebagai salah satu upaya keluar dari ketergantungan ini pemerintah daerah ini mendukung inisiatif CSR perusahaan dan mulai mengidentifikasi peluang diversifikasi ekonomi,” jelas Martha.

Ditambahkan oleh Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan IESR, bahwa persiapan kapasitas sumber daya manusia menjadi satu poin penting dalam bertransisi secara berkeadilan ini. 

“Mengingat akan ada perubahan dari sektor ekonomi yang familiar dengan mereka seperti pertambangan, menuju energi bersih perlu ada peningkatan kapasitas yang mencakup pendidikan (meliputi-red) literasi keuangan dan kualitas kesehatan,” tambahnya.

Perbedaan tingkat pendidikan menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat lokal di daerah penghasil batubara hanya dapat mengakses pekerjaan di tingkat sub-kontraktor. 

Dalam sesi tanggapan, Dedi Rustandi, Perencana Ahli Madya, Koordinator Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian PPN/Bappenas, menyampaikan pentingnya untuk mempersiapkan masyarakat untuk bertransisi. 

“Transisi energi merupakan keniscayaan. Saat ini menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan awareness masyarakat pada isu transisi energi. Cadangan batubara kita sebenarnya tidak terlalu banyak lagi.”

Dalam kesempatan yang sama, Aris Munandar, Analis Kebijakan Ahli Muda Sub-Koordinator 1 Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri menambahkan bahwa transisi energi  di daerah penghasil batubara tidak hanya terkait dengan sektor ESDM saja.

“Dari kami akan mendukung melalui RPJMD. Visi daerah akan menjadi sangat penting untuk dimasukkan dalam dokumen-dokumen strategis ini sebab 2024 akan menjadi tahun politik. Kepala daerah harus jeli melihat hal-hal apa saja yang harus dimasukkan dalam RPJMD,” imbuhnya.

Verania Andria, selaku Senior Adviser for Renewable Energy Strategic Programme UNDP/Ketua Just Transition Working Group JETP Indonesia, berpendapat bahwa terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam proses transisi batubara, salah satunya diversifikasi ekonomi.

“Hal yang penting untuk diperhatikan dalam diversifikasi ekonomi ini terkait dengan sumber finansial yang harus terus dieksplor, tidak bisa hanya bergantung dari dana CSR perusahaan batubara (seperti yang menjadi temuan studi-red),” katanya.

Hal senada juga diungkapkan Uka Wikarya, Head of Regional and Energy Resources Policy Research Group, LPEM UI. 

“Kualitas SDM sangat perlu untuk terus ditingkatkan melalui pendidikan dan peningkatan kualitas kesehatan. Untuk sektor ekonomi perlu mencari kegiatan atau UMKM yang independen (tidak bergantung operasionalnya pada aktivitas industri batubara-red), supaya intervensi yang dilakukan dapat berkelanjutan,” terang Uka.

Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah Libatkan IESR dalam Penyusunan Rancangan Renstra Tahun 2024 – 2026

Semarang, 1 Maret 2023 – Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah libatkan Institute for Essential Services Reform (IESR) sebagai peserta dalam Forum Perangkat Daerah Penyusunan Rancangan Rencana Strategis (Renstra) tahun 2024-2026. Kegiatan ini dilaksanakan di Kantor Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, dibuka dengan sambutan Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko dan dihadiri oleh perwakilan Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (Sekjen DEN), perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tingkat kab/kota Provinsi Jawa Tengah serta beberapa stakeholder terkait.

Sujarwanto Dwiatmoko berpendapat keterlibatan berbagai stakeholder dalam forum perangkat daerah menjadi sangat penting dalam landasan kebijakan daerah. Selain itu, dikeluarkannya Perpres terkait Penguatan Daerah tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menjadi arus utama pembangunan dan semangat bagi Jawa Tengah untuk membangun transisi energi bersama rakyat. Rakyat secara bergotong royong diharapkan mampu mewujudkan penyediaan energi mandiri untuk mencapai kedaulatan energi.

Pertemuan tersebut membahas empat isu strategis dan prioritas pembangunan daerah Jawa Tengah tahun 2024-2026 yang berkaitan dengan sektor ESDM yaitu 1) Perekonomian tangguh yang berdaya saing dan berkelanjutan, 2) Sumber Daya Manusia (SDM) yang berdaya saing, berkarakter dan adaptif,  3) Ketahanan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup, 4) Tata kelola pemerintahan yang dinamis.

Sujarwanto menambahkan, ada beberapa poin yang perlu ditekankan dalam isu strategis seperti perekonomian yang tangguh, SDM Jawa Tengah yang berdaya saing, berkarakter, dan adaptif.

“Ekonominya tangguh, artinya dalam ketangguhannya kita tidak hanya memiliki daya saing (competitiveness), tetapi juga berorientasi berkelanjutan. Selain itu, SDM Jawa Tengah harus berkarakter, mampu beradaptasi dan memiliki perencanaan dalam menghadapi berbagai perubahan yang disruptif, penuh ketidakpastian, kerentanan dan kompleksitas skala nasional maupun global,” lanjut Sujarwanto.

Ia juga menekankan isu strategis untuk aspek SDA dan lingkungan hidup yang meliputi salah satunya aspek ketahanan energi.

“Pada aspek ketahanan energi, khususnya EBT di Jawa Tengah harus dipercepat perkembangannya, harus ada kesepakatan dari semua unsur dan negara harus ikut terlibat di dalamnya. Ini perlu ada perubahan persepsi dan mindset yang tinggi terkait EBT dari banyak pihak,” urainya lagi.

Ia menuturkan pula tentang  empat fokus ketahanan energi daerah yang mencakup 1) Ketersediaan sumber energi (availability), 2) Keterjangkauan biaya investasi energi (affordability), 3) Kemampuan mengakses energi (accessibility) dan 4) Penerimaan masyarakat terhadap energi (acceptability).

Lebih jauh, Sujarwanto menyebutkan bahwa Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah menitikberatkan pembangunan tiga tahun akan bergerak untuk mewujudkan ekonomi yang berdaya saing. 

Energy for economy, energy for productivity”. Ini diartikan bahwa energi yang ada saat ini di masyarakat tidak hanya dinikmati untuk penerangan, tetapi juga harus bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas mereka. Semakin banyak orang per kapita mengkonsumsi energi listrik, maka akan semakin produktif,” ungkapnya.

Kemandirian energi di tingkat masyarakat terus didorong melalui program Desa Mandiri Energi yang diinisiasi oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah. Program ini memanfaatkan potensi sumber energi lokal yang dimiliki setiap kab/kota di Provinsi Jawa Tengah untuk mendorong kemandirian dan kedaulatan energi. Data menunjukkan bahwa sebanyak 2353 desa atau 27,48% dari 7809 desa di Jawa Tengah sudah memiliki inisiatif kemandirian energi dan termasuk dalam kategori Desa Mandiri Energi (DME). Terdapat sekitar 36 pendamping energi yang akan ditempatkan di kab/kota untuk memperkuat DME dan kedaulatan energi Jawa Tengah.

Melalui program DME, Jawa Tengah bertekad untuk bertransisi energi bersama rakyat dan 60% energi akan dibangkitkan dari rakyat yang berada di wilayah kab/kota. Ada dua hal yang akan didorong pada program ini yaitu peningkatan edukasi masyarakat dan pembangunan EBT di daerah dan pelosok, seperti pembangunan biogas, PLTMH, Biogenic Swallow Gas (BSG) dan pompa pertanian yang dikonversi menggunakan surya dilengkapi baterai atau Pompa Air Tenaga Surya (PATS).

Imam Jauhari, perwakilan Bappeda Cilacap sepakat bahwa energi untuk kemampuan rakyat sangat penting. Senada, Sri Hartini, perwakilan Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah berpendapat program pompa air dengan tenaga surya (PATS) akan dapat membantu permasalahan masyarakat. 

“Harapan kami, tentunya sinergitas antara OPD terjalin dengan baik, misal mengatasi persoalan banjir di masyarakat berarti Dinas ESDM sinergi dengan PSDA. Kemudian dari pemerintah provinsi, kab/kota harus benar-benar koordinasi bisa memenuhi kebutuhan masyarakat,”kata Sri Hartini.

Selain itu, Wahyudin Noor Aly, perwakilan Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah juga menambahkan bahwa potensi yang ada di Jawa Tengah harus didorong dan ditingkatkan untuk mengejar dan mencapai target bauran energi Jawa Tengah. Menurutnya, perkembangan teknologi yang semakin pesat dan tingginya potensi SDA di Jawa Tengah, masih berhadapan dengan kurangnya praktik konservasi energi.

“Daerah harus merancang anggaran khusus untuk energi mandiri, kenapa, supaya energi ini bisa dinikmati semua warga Jawa Tengah. Satu desa bisa bikin energi sendiri, dipakai sendiri, bayar sendiri, ini akan lebih murah,” imbuh Wahyudin Noor Aly

Menurut Wahyudin Noor Aly, Dinas ESDM perlu melakukan terobosan dan memimpin dalam membuka peluang untuk menarik banyak investor. Permasalahan yang ada di daerah dan kab/kota perlu dilandaskan di Renstra dan Rencana Jangka Panjang (Renja). Sehingga, keterlibatan, keaktifan seluruh stakeholder dan dinas kab/kota berperan penting dalam menentukan rancangan Renstra dan Renja Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah.

Di sisi lain, IESR akan mendukung penuh program transisi energi di Provinsi Jawa Tengah Pada program DME, IESR akan ikut terlibat dalam pemberian edukasi kepada pendamping energi di 35 kab/kota melalui kegiatan capacity building. Melalui kegiatan peningkatan kapasitas ini, selain menambah pengetahuan juga dapat membangun kesadaran, mindset dan persepsi masyarakat untuk menggali peluang dan memanfaatkan potensi energi terbarukan di sekitar wilayah mereka.

Mengupayakan Ruang untuk Energi Terbarukan

Jakarta, 15 Juni 2022 – Indonesia telah berkomitmen untuk tidak lagi membangun batubara kecuali yang sudah dalam proses kontrak. Dalam COP 26 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan bahwa Indonesia siap mempensiunkan 9,2 GW PLTU batubara jika ada bantuan internasional. Kementerian ESDM membidik PLTU tua yang efisiensinya telah menurun. Untuk mengejar bauran energi 23% pada 2025, selain mengeksekusi rencana penambahan kapasitas energi terbarukan dalam RUPTL, masih dibutuhkan setidaknya 18 GW energi surya hingga tahun 2025 untuk memenuhi target 23% energi terbarukan pada bauran energi nasional.

Alternatif lain yang dapat diambil yaitu mengintegrasikan energi terbarukan pada sistem kelistrikan yang ada sekarang dengan memodifikasi PLTU menjadi lebih fleksibel. Dalam laporan terbaru Institute for Essential Services Reform, berjudul Flexible Thermal Power Plant: An Analysis of Operating Coal-Fired Power Plants Flexibly to Enable the High-Level Variable Renewables in Indonesia’s Power System, dijelaskan bahwa operasi PLTU secara fleksibel dapat dilakukan di Indonesia dengan terlebih dahulu melakukan retrofit pada unit PLTU tersebut. 

Proses retrofitting PLTU akan membuat operasi PLTU menjadi lebih fleksibel dengan mengurangi beban minimum (minimum load). Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya operasional yang muncul akibat bertambahnya proses start-up/shutdown sebagai konsekuensi bertambahnya variabel energi terbarukan dalam jaringan. Dua negara yang telah melakukan operasi PLTU secara fleksibel adalah Jerman dan India.

“Di Jerman PLTU yang diretrofit adalah PLTU tua. Salah satu strategi yang dilakukan adalah memberikan insentif pada pembangkit listrik thermal. Sementara di India, operasi PLTU fleksibel masih dalam tahap pilot project, dan saat ini sedang menyiapkan instrumen kebijakan pasar seperti Jerman,” jelas Raditya Wiranegara, penulis laporan Flexible Thermal Power Plant. 

Raditya menambahkan bahwa biaya pembangkitan PLTU fleksibel lebih rendah daripada gas turbine atau combine cycle sehingga dapat dipertimbangkan sebagai opsi untuk pembangkit dalam periode transisi dengan efisien dan mengusahakan ruang untuk energi terbarukan.

Bayu Nugroho, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, menyatakan operasi PLTU fleksibel ini sangat mungkin dilakukan di Indonesia, namun perlu dilakukan sejumlah persiapan sebelumnya. 

“Untuk mencapai NZE 2060 kita harus menempuh berbagai upaya. Salah satunya yang saat ini sedang disiapkan pemerintah adalah mekanisme pajak karbon. Skema ini juga bisa dilakukan, kami (Kementerian ESDM) perlu meramu semuanya agar dapat berjalan maksimal,” jelas Bayu dalam diskusi panel peluncuran laporan ini.

Arief Sugianto, VP Pengendalian RUPTL PLN, mengemukakan sejumlah prasyarat jika ingin membuat PLTU di Indonesia beroperasi secara fleksibel.

“Pertama kita perlu memikirkan insentif apa yang akan diberikan pada PLTU yang akan dioperasikan secara fleksibel, dan siapa yang akan menanggung subsidi tersebut,” katanya.

Arief menambahkan, untuk konteks PLN yang menggunakan skema take or pay dalam jual beli listrik dengan IPP agak sulit untuk langsung menerapkan operasi PLTU fleksibel ini sebab biaya retrofit yang harus dikeluarkan di awal akan membebani pemerintah atau pelanggan. 

Dengan kondisi PLTU yang masih mendominasi pembangkitan listrik di Indonesia saat ini, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk meningkatkan bauran energi terbarukan antara lain mengurangi kapasitas PLTU dan mengoperasikan PLTU secara fleksibel.

“Kami melihat terdapat 5 GW kapasitas PLTU yang sudah tua (di atas 35 tahun) sebagai low-hanging fruit yang dapat dipensiunkan segera, sebab secara efisiensi sudah turun dan sarat emisi,” terang Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menambahkan bahwa mengoperasikan PLTU secara fleksibel dapat membuka ruang bagi energi terbarukan untuk masuk dalam jaringan.

Dimitri Pescia, Program Lead Southeast Asia, Agora Energiewende, mengingatkan bahwa PLTU fleksibel bukanlah sumber energi bersih meskipun mungkin menghasilkan emisi yang lebih kecil dari PLTU biasa.

“PLTU fleksibel bukanlah sumber energi bersih, namun hal ini memberi ruang integrasi bagi energi terbarukan secara efisien, maka dapat dijadikan solusi sementara untuk bertransisi menuju sistem energi terbarukan,” tutur Dimitri.

Dimitri menjelaskan lebih lanjut bahwa teknologi yang digunakan dalam operasi PLTU fleksibel cukup kompleks dan tetap menghasilkan emisi, maka instrumen nilai ekonomi karbon menjadi elemen penting untuk menjaga keseimbangan dan harus segera beralih ke sistem energi terbarukan.

Mengupayakan Literasi Transisi Energi Sedari Dini

Tangerang Selatan, 23 Mei 2022 – Transisi energi merupakan sebuah agenda global yang dampaknya akan dirasakan dalam jangka waktu menengah-panjang. Melakukan riset, perjanjian, dan perumusan kebijakan merupakan berbagai upaya demi mendesak para pemangku kepentingan untuk melakukan sebuah aksi pada masa “sekarang” yang berdampak  dalam waktu dekat. Tentu dalam jangka panjang, transisi energi yang berkeadilan perlu terus didorong dan dilaksanakan sebagai  upaya mitigasi perubahan iklim.

Namun, pernahkah kita berpikir bahwa di masa depan, siapakah pihak yang paling terdampak dari pelaksanaan transisi energi? Tentu saja, generasi muda. Dengan demikian, adalah adil rasanya untuk sedari dini mengajarkan mereka untuk memahami konsep transisi energi. Sebab, kelak, para pembuat kebijakan  pada  2060, tahun di mana Indonesia menargetkan tercapainya net-zero emission, sekarang ini masih duduk di bangku sekolah.

Sebagai upaya nyata yang didasarkan pada pemahaman tersebut, proyek Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) di Indonesia mengadakan kegiatan bertajuk “Teaching for Future” yang dilakukan di Sekolah Santa Ursula BSD, tepatnya untuk murid-murid Kelas IX. Pada kegiatan ini, CASE berupaya untuk menanamkan pola pikir transisi energi dengan menginisiasi diskusi dan kegiatan belajar-mengajar aktif yang melibatkan siswa-siswi murid Sekolah Santa Ursula BSD. 

Hal yang dilakukan oleh CASE ini sejalan dengan upaya Sekolah Santa Ursula BSD dalam menanamkan pemahaman dan pendidikan mengenai perubahan iklim semenjak dini sebagaimana disampaikan oleh Ibu Irene Rosmawati, Kepala Sekolah Santa Ursula BSD. 

“Sekolah Santa Ursula secara aktif dan sistematis memberikan kegiatan belajar-mengajar terkait isu-isu perubahan iklim dan energi terbarukan. Hal ini diharapkan agar siswa-siswi memiliki pemahaman sebagai modal awal aksi nyata mereka di masa depan.”

Pada kegiatan Teaching for the Future tersebut, CASE mengundang George Hadi Santoso, Vice President Xurya Daya Indonesia, sebuah perusahaan penyedia jasa instalasi dan pengadaan sistem panel surya atap, untuk hadir secara langsung dan berdiskusi dengan siswa-siswi di Sekolah Santa Ursula. 

“Saya mengapresiasi secara khusus Sekolah Santa Ursula BSD dan CASE Project yang menginisiasi kegiatan ini dalam upaya mendukung proses transisi energi secara jangka panjang. Besar harapan saya, kehadiran saya disini bisa menjadi inspirasi untuk adik-adik dalam memilih karir dalam bidang green jobs di masa depan,” ujar George membuka sesi diskusi di dalam kelas.

Sekolah Santa Ursula BSD merupakan sekolah yang sudah berinisiatif dan sedang dalam proses instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dengan kapasitas setidaknya lebih dari 1 Megawatt peak (MWp). CASE Indonesia melihat inisiatif ini sebagai aksi nyata sekolah dalam mendukung transisi energi di Indonesia. Selain itu, CASE Indonesia berharap inisiatif ini dapat menjadi contoh riil untuk siswa-siswi terkait pemanfaatan energi terbarukan dan bagaimana aktor non-pemerintah dapat berperan untuk mendukung transisi energi. Berangkat dengan semangat yang sama (aksi nyata memerangi perubahan iklim), CASE dan Xurya juga mengajak murid-murid untuk memahami hal-hal lain yang dapat dilakukan di usia mereka untuk mendukung transisi energi, misalnya kebiasaan hemat energi.

Temuan yang menarik selama kegiatan berlangsung disampaikan oleh Agus Praditya Tampubolon, Manajer Program CASE dari IESR.  

“Menarik sekali bagaimana murid-murid sekolah menengah pertama dapat berfikir jauh terkait implementasi energi terbarukan, contohnya kami ditanyakan mengenai resiko ketergantungan impor panel surya jika Indonesia memanfaatkan energi surya secara intensif. Temuan seperti ini, bahwa murid-murid dapat berfikir jauh kedepan kami harapkan menjadi pertanda baik atas upaya transisi energi di Indonesia pada masa mendatang,” jelas Agus di akhir acara.