Refleksi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023

Jakarta, 20 Oktober 2023 – Berpindahnya tongkat kepemimpinan ASEAN pada Laos menandakan berakhirnya kepemimpinan Indonesia di kawasan ASEAN. Sejumlah kemajuan seperti adanya kerjasama dengan pihak eksternal non ASEAN, serta adanya beberapa peluang kerjasama antar negara anggota ASEAN menjadi satu catatan baik. Namun, catatan baik ini belum diimbangi dengan meningkatnya komitmen untuk menahan laju perubahan iklim yang dampaknya kian terasa.

Dalam Diskusi Publik Refleksi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023: Menuju Regional Frontrunner dalam Isu Iklim dan Transisi Energi, Wira Agung Swadana, Program Manajer Ekonomi Hijau Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa selama masa kepemimpinan Indonesia, kerjasama atau aksi yang disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN masih yang bersifat infrastruktur. 

“Hasil dari KTT ASEAN 2023 dan pertemuan terkait energi dan iklim lainnya, bisa dilihat masih kurang fokus terhadap isu energi terbarukan. Misalnya saja belum ada komitmen bersama untuk peningkatan pembangunan ekosistem energi surya atau hydro power yang lebih bersih,” kata Wira.

Selain ekosistem untuk energi terbarukan, Wira juga mengatakan beberapa isu yang ‘luput’ dari perhatian para petinggi negara ASEAN seperti isu bahan mineral kritis (critical mineral), dan transportasi elektrik yang rendah karbon dan berkelanjutan.

Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Moekti Handajani (Kuki) Soejachmoen, menjelaskan fenomena tingginya kontribusi emisi dari sektor energi di negara-negara ASEAN.

“Energi merupakan engine untuk pembangunan, maka jika pembangunan masih menggunakan pola pengadaan energi dengan skema business as usual (tinggi fosil-red), emisi pasti akan naik signifikan. Di satu sisi seluruh negara anggota ASEAN butuh melakukan pembangunan namun harus menjaga emisinya,” jelas Kuki.

Kuki kemudian menambahkan bahwa dibutuhkan peran teknologi yang memungkinkan untuk tetap melakukan pembangunan dan menjaga jumlah emisi yang dilepas tetap rendah. Pemanfaatan teknologi ini akan membawa konsekuensi finansial.

Dengan melihat permasalahan ini, Kuki menekankan penting bagi ASEAN sebagai satu kesatuan kawasan untuk menyusun strategi komprehensif untuk mencapai target NDC tiap-tiap negara dan mendorong tercapainya Net Zero Emission. Dari strategi tersebut dapat dikelompokkan aksi-aksi mitigasi yang dapat dikerjakan sendiri, yang membutuhkan dukungan keuangan internasional, yang unit reduksi emisinya dapat dijual dan yang perlu tambahan pembelian unit reduksi emisi. 

Koordinator Diplomasi Energi dan Iklim IESR, Arief Rosadi menyoroti kecenderungan ASEAN yang terkesan lambat dalam mengambil posisi-posisi diplomasi strategis sehingga menciptakan berbagai kesenjangan (gaps) seperti kesenjangan kelembagaan, kesenjangan ambisi, kesenjangan implementasi, dan kesenjangan partisipasi. Menurutnya Indonesia dapat menggunakan posisinya untuk menguatkan diplomasi iklim dan energinya serta berkontribusi pada pembenahan kesenjangan di ASEAN 

“Peningkatan ambisi iklim dalam penguatan strategi diplomasi iklim dan energi Indonesia menjadi modalitas bagi Indonesia untuk mendorong hal yang sama di negara lainnya di tingkat regional, bilateral maupun multilateral. Selain itu pembenahan kesenjangan tersebut dapat dilakukan dengan mendorong penyelesaian kesenjangannya di tingkat regional dalam proses internal ASEAN,” imbuh Arief.

Atur Strategi untuk Siasati Dampak Penghentian PLTU Batubara

Jakarta, 27 September 2023 – Naiknya komitmen iklim Indonesia dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) membawa sejumlah implikasi antara lain rencana penghentian dini operasi PLTU batubara untuk menekan emisi. Rencana ini membawa beberapa dampak antara lain menurunnya pendapatan daerah penghasil batubara sekaligus pendapatan nasional, potensi pemutusan hubungan kerja secara masif, maupun dampak sosial ekonomi lain. 

Dalam seminar hybrid, berjudul “Sunset PLTU dan Industri Batubara: Meninjau Arah & Dampak Multisektoral dalam Transisi Energi Berkeadilan” (27/9), Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa agenda transisi energi baik Indonesia maupun negara-negara tujuan ekspor batubara Indonesia akan berdampak pada sejumlah aspek di Indonesia.

“Ada tiga faktor yang dapat dilihat dari transisi energi pada daerah penghasil batubara: keterkaitan antara ekonomi lokal dengan batubara, kesiapan sumber daya manusia yang ada, dan opsi alternatif perekonomian yang bisa dikembangkan di daerah itu, dan bagaimana rencana mitigasi bisa disusun,” kata Fabby.

Dalam materi paparan yang disampaikan Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan IESR, dijelaskan bahwa peran industri batubara pada perekonomian daerah penghasil batubara cukup signifikan.

“Kontribusi PDRB antara 50% dan 70% di Muara Enim dan Paser, namun multiplier effectnya tidak terlalu besar,” kata Ilham.

Dalam ruang lingkup kebijakan nasional, Kementerian PPM/Bappenas sedang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang salah satu poinnya adalah transformasi ekonomi.

“Transisi energi menjadi bagian dari transformasi ekonomi hijau, maka dalam draf RPJP ini transisi ini tidak hanya dilihat dari sektor energi,” jelas Nizhar Marizi, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan, Bappenas.

Grita Anindarini, Deputi Direktur Bidang Program, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), menekankan peran penting kerangka kebijakan dan implementasi dari berbagai aturan yang sudah ada.

“Transisi energi berkeadilan membutuhkan transformasi kebijakan yang sangat besar ketenagakerjaan, lingkungan, energi, financing. Saat ini sudah ada beberapa aturan kebijakan tentang transisi energi namun dalam implementasinya masih menemui berbagai kendala,” jelas Grita.

Haris Retno Susmiyati, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, mengakui ketergantungan ekonomi pada komoditas batubara bukan hal yang baik. Ia menyebut pada tahun 2015 saat harga batubara turun drastis, perekonomian Kalimantan Timur ikut terpuruk.

“Secara aturan, kewajiban perusahaan untuk menyetor royalti kepada pemerintah hanya 13,5% dari angka itu pemerintah daerah hanya mendapat 5% saja, maka sebenarnya yang menikmati keuntungan batubara bukanlah daerah penghasil batubara,” kata Retno.

Memiliki konteks yang mirip dengan Kalimantan Timur, provinsi Jambi, juga mulai berancang-ancang untuk bertransisi. Disampaikan oleh Ahmad Subhan, Kabid Perekonomian dan Sumber Daya Alam, Bappeda Jambi bahwa meski bukan daerah utama penghasil batubara, kontribusi sektor batubara pada PDRB cukup signifikan.

“Batubara memang signifikan untuk menopang ekonomi, namun apabila ada substitusi yang lebih relevan dengan keadaan daerah, bisa ditelaah lebih lanjut. Untuk transisi ini, kami di provinsi Jambi mendukung namun tidak drastis. Kita juga menunggu substitusi untuk transformasi ekonominya,” kata Ahmad.

Transisi Energi di Tengah Kepungan Tambang Batubara

Samarinda, 7 September 2023 –  Transisi energi adalah sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Tren dunia saat ini menunjukkan bahwa bumi semakin panas dan untuk membatasi meningginya temperatur bumi diperlukan solusi terstruktur di antaranya dengan transisi energi, yang melibatkan berbagai sektor dan multi-stakeholder.

Masyarakat dan komunitas menjadi salah satu aktor kunci dalam transisi energi yang dapat menginisiasi pengembangan energi terbarukan untuk menjawab kebutuhan energinya. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerjasama dengan proyek Clean Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur mengadakan kegiatan Jelajah Energi Kalimantan Timur (Kaltim) untuk melihat secara langsung dan lebih dekat perkembangan berbagai inisiatif penggunaan energi terbarukan di Provinsi Kalimantan Timur.

Rangkaian kegiatan Jelajah Energi ini diawali dengan workshop, dilanjutkan dengan kunjungan pada sejumlah tempat. Pada hari pertama kunjungan, rombongan Jelajah Energi Kaltim melihat PLTS atap pada kantor Pertamina Hulu Mahakam, TPAS Manggar, dan PLTU Kariangau Teluk Balikpapan.

Perjalanan “Jelajah Energi Kalimantan Timur” berlanjut pada hari kedua dimulai dengan kunjungan ke Desa Mulawarman untuk melihat bagaimana masyarakat memanfaatkan kotoran ternak untuk membuat biogas. Biogas yang ada di desa Mulawarman ini merupakan biogas rumahan bantuan dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur. 

Desa Mulawarman berada di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Tambang batubara mengelilingi, Desa Mulawarman. Kondisi ini sempat membuat warga desa Mulawarman meminta untuk direlokasi.

Pemerintah Daerah Kalimantan Timur mulai memberikan perhatian pada desa Mulawarman untuk membantu perekonomian warga desa Mulawarman, salah satunya dengan mengembangkan kelompok ternak dan bantuan instalasi biogas.

Pada tahun 2021, Dinas ESDM Kalimantan Timur memberikan bantuan instalasi biogas kepada kelompok ternak (yang telah disurvey) yang berada di desa tersebut, yang berjumlah 20 peternak. Hal ini membuat masyarakat tidak perlu membayar iuran per bulan untuk penggunaan biogas ini. 

Masyarakat pengguna biogas ini segera merasakan dampak positif, seperti  adanya penghematan biaya untuk bahan bakar untuk memasak. Zaenal Abidin, warga Desa Mulawarman, yang juga merupakan penerima manfaat dari bantuan instalasi biogas, mengatakan, bahwa sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan memasak, keluarganya bisa menghabiskan hingga 4 tabung LPG atau elpiji 3 kg dalam satu bulan. Kini, ia dapat memotong kebutuhan elpijinya menjadi hanya 1 tabung elpiji 3 kg saja.

“Untuk masak sehari-hari ini (biogas, red) sudah cukup. Tapi jika ada acara-acara seperti pengajian begitu masih harus menggunakan gas elpiji,” kata Zaenal Abidin.

Zaenal juga menambahkan bahwa proses memasak menggunakan bahan bakar biogas ini sedikit lebih lama dibandingkan menggunakan elpiji.

Bantuan instalasi biogas ini juga dibarengi dengan transfer pengetahuan tentang teknologi pada para peternak. Sehingga para penerima manfaat dapat mendeteksi kendala-kendala teknis yang berpotensi muncul dari penggunaan instalasi biogas rumahan ini.

Rombongan Jelajah Energi Kalimantan Timur melanjutkan perjalanan menuju Desa Menamang Kanan, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. Perjalanan menuju Desa Menamang Kanan memakan waktu hampir 3 jam dengan kondisi jalan berdebu berat yang mengakibatkan jarak pandang menjadi sangat terbatas.

Dalam satu tahun terakhir, warga Desa Menamang Kanan berhasil menikmati listrik dari PLTS terpusat bantuan dari Dinas ESDM Kalimantan Timur dengan kapasitas 87 kWp. PLTS ini menyuplai kebutuhan listrik dasar untuk 600 kepala keluarga Desa Menamang Kanan. 

Sebelumnya, warga Desa Menamang Kanan bergantung pada suplai listrik dari PLT Diesel yang disediakan oleh salah satu program CSR perusahaan yang beroperasi di sekitar desa Untuk operasional pembangkit diesel ini, dibutuhkan 70 liter BBM setiap harinya untuk menghidupkan listrik selama 4 jam. 

Zapir, Sekretaris Desa Menamang Kanan, menjelaskan meski listrik dari PLTS ini sudah menambah akses listrik  di Desa Menamang Kanan, namun penggunaannya masih terbatas untuk penerangan dan alat elektronik ringan saja.

“Jadi baru untuk penerangan saja, sama paling kipas angin. Kalau untuk TV atau kulkas masih belum bisa,” ujar Zapir.

Zapir berharap kapasitas PLTS atap terpusat ini dapat ditingkatkan ke depannya supaya warga desa dapat memanfaatkan listrik untuk aktivitas produktif yang berpotensi membawa nilai ekonomis. Bukan terbatas hanya pada penerangan.

Menilik Pasar Tenaga Surya di Negara-Negara Anggota ASEAN

Jakarta, 25 Juli 2023 – Asia Tenggara telah menjadi titik fokus bagi pembangunan ekonomi dan pertumbuhan energi. Meningkatnya permintaan energi di kawasan ASEAN diharapkan dapat dipenuhi melalui perluasan penggunaan energi terbarukan. Khususnya, negara-negara ASEAN tertentu telah mencapai kemajuan penting dalam pengembangan energi terbarukan, seperti dicontohkan oleh pertumbuhan eksponensial energi surya Vietnam selama beberapa tahun terakhir.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essentials Services Reform dan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia mengatakan bahwa ASEAN harus menjalin kerja sama yang kuat dalam mengembangkan kemampuan manufaktur energi surya (PLTS).

“Negara-negara di Asia Tenggara harus memastikan akses yang terjangkau ke teknologi ini dengan membangun manufaktur PLTS dan rantai pasokan yang mencakup ingot silikon, wafer, sel, dan komponen lain seperti kaca besi temper rendah, serta keseimbangan komponen sistem seperti inverter dan controller,”

Fabby menambahkan, kawasan Asia Tenggara berpotensi menjadi pusat manufaktur panel surya yang dapat memenuhi kebutuhan domestik dan global. Saat ini, tujuh negara Asia Tenggara telah memiliki kapasitas produksi dalam berbagai level, dengan total kapasitas produksi modul surya tahunan sebesar 70 GW, dengan Vietnam memasok setengah dari kapasitas tersebut.

Monika Merdekawati, Analis Riset Pengembangan Energi Terbarukan Berkelanjutan, ASEAN Centre of Energy (ACE) dalam acara ASEAN Solar Summit 2023 menjelaskan bahwa meskipun adopsi energi surya di ASEAN sedang meningkat, laju pertumbuhannya tidak cukup untuk mempercepat transisi energi. Langkah luar biasa Vietnam dalam menambah kapasitas tenaga suryanya telah dikaitkan dengan upaya diversifikasi dalam rencana pengembangan energi terbarukannya dalam PDP8 (dokumen perencanaan energi Vietnam).

“Mirip dengan Thailand yang mulai memasukkan pengembangan biomassa dalam rencana program prioritasnya,” kata Monika.

Monika lebih lanjut menyoroti perlunya Indonesia untuk menyusun strategi inovatif untuk mencapai tujuannya mencapai bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025.

Dalam konteks Indonesia, perusahaan listrik milik negara, PT PLN, sangat bergantung pada RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) 2021-2030 yang dikenal sebagai “RUPTL hijau” untuk mempercepat upaya energi terbarukan.

Warsono, EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan, PT PLN pada kesempatan yang sama mengatakan, PLN menargetkan memasukkan 5 GW energi terbarukan pada tahun 2030.

“Tantangan utama penerapan energi terbarukan, khususnya tenaga surya, adalah pemenuhan persyaratan kandungan lokal pada komponen PV. Artinya, kita perlu menumbuhkan industri lokal untuk komponen PV surya,” ujarnya. Lebih lanjut, PLN berkomitmen untuk menjamin keseimbangan antara pasokan dan permintaan energi.

Mohammad Nazri bin Mizayauddin, Chief Strategy Officer Otoritas Pengembangan Energi Berkelanjutan, Malaysia berbagi pandangannya tentang strategi Malaysia untuk meningkatkan penetrasi energi terbarukan.

“Orang-orang biasanya melihat PLTS berskala besar yang dipasang di darat (ground mounted), namun sekarang mari kita sadari potensi lain dari PLTS atap. Atap (rumah dan bangunan) itu sendiri adalah aset,” katanya.

Menurut Nazri, Malaysia selama ini menghadapi permasalahan terkait subsidi energi sehingga pemerintah harus memastikan bahwa pasarnya sudah cukup matang untuk secara perlahan menghentikan subsidi tersebut.

Eka Satria, Direktur dan CEO Medco Power Indonesia memaparkan korelasi yang sangat diperlukan antara pertumbuhan industri komponen panel surya dan meningkatnya permintaan pasar. Dia menekankan pentingnya menyusun daftar proyek potensial yang komprehensif untuk menanamkan kepercayaan investor.

“Untuk mempercepat penerapan energi surya, kita memerlukan industri PLTS yang kuat di Indonesia. Untuk menumbuhkan industri PLTS, diperlukan daftar panjang proyek yang berkomitmen untuk menjamin investor bahwa uang mereka tidak akan hilang,” jelas Eka.

Eko Agus Nugroho Direktur Industri Permesinan dan Mesin Pertanian Kementerian Perindustrian mengamini perkembangan teknologi sel surya yang semakin pesat, sehingga mendesak Indonesia untuk mempercepat langkahnya agar bisa mengikuti kemajuan tersebut.

“Saat ini ada 21 produsen lokal yang membuat modul surya dan total kapasitasnya masih di bawah 500 WP. Kementerian ingin memetakan kemampuan industri (tenaga surya) untuk memenuhi kebutuhan PLN dan pengembang lainnya,” ujarnya.

Eko juga mengungkapkan rencana pengumuman konsorsium yang didedikasikan untuk manufaktur industri tenaga surya lokal pada bulan-bulan ke depan.

Membandingkan Teknologi dan Biaya Rata-Rata Pembangkitan dengan Adil

Jakarta, 24 Maret 2023 – Perkembangan berbagai teknologi pembangkitan listrik energi terbarukan terus mengalami perkembangan yang berimbas pada harga listrik yang dihasilkan. Selain teknologi, beberapa jenis pembangkit tenaga listrik juga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain harga komoditas bahan bakar, juga situasi geopolitik. 

Dalam sambutan pembukaan untuk peluncuran laporan dan alat penghitung rata-rata biaya pembangkitan listrik (levelized cost of electricity, LCOE) dan biaya penyimpanan energi rata-rata (levelized cost of storage, LCOS), Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa terjadi dua kondisi yang bertolak belakang antara pembangkit energi terbarukan dan pembangkit fosil.

“Hampir semua pembangkit energi terbarukan harganya menurun. PLTS menurun 90% dan PLTB turun sekitar 80%. BBM atau fosil sampai saat ini harganya terus dipengaruhi tidak hanya oleh biaya, namun juga kondisi geopolitik. Pembangkit listrik energi terbarukan tidak akan terpengaruh oleh harga bahan bakar, karena tidak menggunakan bahan bakar,” katanya.

Penulis laporan “A 2023’s Update on The Levelized Cost of Electricity and Levelized Cost of Storage in Indonesia” His Muhammad Bintang memaparkan temuan senada. Menurutnya, di Indonesia listrik dari PLTU batubara dipercaya lebih murah daripada listrik dari pembangkit energi terbarukan padahal banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. 

“Harga listrik PLTU menjadi murah karena adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Kebijakan ini membuat PLTU memiliki biaya pembangkitan yang relatif murah dan stabil,” jelas Bintang.

Bintang menambahkan bahwa tanpa kebijakan DMO, harga listrik dari PLTU batubara dapat naik hingga tiga kali lipat saat harga batubara global naik. 

Kebijakan lain yang akan mempengaruhi besarnya biaya pembangkitan energi adalah penerapan nilai ekonomi karbon seperti carbon cap, dan pajak karbon. Penerapan nilai ekonomi karbon perlu dipastikan efektif dengan memastikan besaran kuota (cap) ataupun harga pajak karbon kompetitif. Penetapan nilai ekonomi karbon yang sesuai diharapkan akan menurunkan penggunaan energi fosil dan mendorong pengembangan energi terbarukan. 

Pada kesempatan yang sama, Mustaba Ari Suryoko, Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Aneka EBT, Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM menjelaskan bahwa perubahan pergerakan harga energi terbarukan di tingkat global sebenarnya terjadi juga di Indonesia. 

“Kami mengidentifikasi penurunan harga itu relatif berkaitan dengan teknologi. Misal di surya dan angin, PLTB terkait dengan feedstock, dan beberapa stagnan seperti hidro,” kata Mustaba.

Dijelaskan oleh Mustaba, Kementerian ESDM saat ini sedang menyusun aturan setara UU untuk pengembangan energi terbarukan. Sebelumnya dalam Perpres No. 112/2022 diamanatkan untuk mengadakan evaluasi harga. Adanya perangkat penghitung LCOE dan LCOS akan membantu dalam melakukan evaluasi tersebut, tentu dengan menyesuaikan asumsi yang digunakan sebagai parameter. 

Salah satu aktor kunci pengembangan energi terbarukan dan transisi energi pada umumnya adalah PLN yang bertindak sebagai offtaker dari listrik yang dihasilkan pembangkit. Perkembangan teknologi yang berimbas pada harga listrik ini pun tidak luput dari perhatian PLN. 

Disampaikan Cita Dewi, EVP Energi Baru dan Terbarukan PT PLN, tren penurunan harga listrik dari pembangkit energi terbarukan masuk dalam pantauan PLN.

“PLN menyambut baik hal ini, karena kami menyadari untuk melakukan transisi energi kita butuh banyak pembangkit EBT,” jelas Cita.

Selain pembangkit PLN juga memiliki mandat untuk membangun ekosistem energi terbarukan serta memastikan proyek-proyek pengembangan energi terbarukan dalam RUPTL terlaksana dengan baik.

Menilik lebih dalam ke sisi teknologi, penurunan harga energi surya salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan efisiensi modul surya.

“Adanya peningkatan efisiensi modul surya ini meningkatkan produksi energi surya tanpa menambah biayanya. Selain itu perkembangan teknologi mekanik seperti nano cell juga bisa menurunkan biaya produksi atau biaya jual. Hal ini nantinya akan menurunkan biaya modul surya secara signifikan,” terang Andhika Prastawa, Peneliti Teknik Utama BRIN.

Evvy Kartini, founder National Battery Research Institute, mengingatkan juga tentang pentingnya peran teknologi penyimpanan atau baterai dalam ekosistem transisi energi. 

“Harga dari transisi energi ini akan bergantung pada baterai. Ambil contoh kendaraan listrik, 45% harga dari kendaraan listrik adalah harga baterai, sehingga jika baterainya murah harganya akan turun.”

Selain perkembangan teknologi, keteraturan jadwal lelang juga menjadi faktor penting dalam memastikan pengembangan energi terbarukan. 

“Terkait risiko pengembangan PLTS di indonesia, di setiap tahap tentu ada resikonya. Di tahap pengembangan, kami mengharapkan adanya certainty, seperti ketersediaan informasi tentang jadwal lelang dan kapasitasnya dalam satu tahun seperti yang dilakukan di negara lain,” kata Refi Kunaefi, Managing Director Akuo Energy Indonesia.

Merencanakan Penyediaan Listrik Sesuai Persetujuan Paris

Jakarta, 24 November 2022 – Listrik telah menjadi kebutuhan primer sekaligus penggerak ekonomi bagi seluruh orang. Permintaan listrik diprediksi akan terus meningkat baik dari sektor industri maupun dari sektor residensial. Demi memenuhi permintaan tersebut serta menurunkan emisi di sektor energi, perencanaan dengan pemanfaatan energi terbarukan yang lebih besar patut dirancang dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik). 

Dalam RUPTL 2021-2030, PLN berencana untuk menambah kapasitas energi terbarukan hingga 51,6%. Sayangnya besaran target ini belum cukup untuk memenuhi target Persetujuan Paris, yaitu membatasi emisi dan kenaikan suhu global pada tingkat 1,5 derajat celcius. 

Akbar Bagaskara, peneliti sistem kelistrikan IESR, dalam peluncuran laporan studi Enabling High Share of Renewable Energy in Indonesia’s Power System by 2030 menjelaskan bahwa sebagai negara yang berada pada peringkat 10 besar penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menurunkan emisinya secara sistematis. 

“Elektrifikasi pada semua sektor mulai dari industri, transportasi, dan sektor lainnya serta pemanfaatan energi terbarukan secara maksimal adalah kunci utama untuk menurunkan emisi Indonesia untuk kemudian mengejar target Paris Agreement,” jelas Akbar.

Akbar menjelaskan bahwa kapasitas energi terbarukan yang dapat ditambahkan ke dalam sistem mencapai 129 GW terdiri dari energi surya sebesar 112,1 GW, energi air 9,2 GW, panas bumi 5,2 GW, energi bayu (angin) 1,5 GW, dan biomassa sebesar 1 GW.

Akbar juga menambahkan studi ini merupakan kelanjutan dari studi Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang diluncurkan IESR pada tahun 2021 lalu yang melihat kemungkinan sistem energi Indonesia mencapai status net zero emission (NZE) dengan menggunakan 100% energi terbarukan. 

Kamia Handayani, EVP Energy Transition and Sustainability PT PLN, menjelaskan bahwa RUPTL 2021-2030 memang belum sesuai untuk mengejar target Paris Agreement. 

“RUPTL memang belum sepenuhnya align dengan persetujuan Paris karena masih ada batubara yang terlibat. Kami (PLN) memiliki beberapa skenario untuk mencapai NZE, berdasarkan roadmap NZE PLN sampai 2060, CCS bisa menjadi teknologi yang dimanfaatkan. Namun, kami harus terus melihat perkembangan teknologi kedepannya untuk memenuhi target NZE,” kata Kamia.

Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst IEEFA, menambahkan bahwa untuk align dengan target Paris Agreement, perlu ada satu badan yang memonitor pelaksanaan dan pembangunan energi terbarukan.

“Perlu ada suatu badan yang memastikan target pembangunan dan pengadaan energi terbarukan yang misalnya dikeluarkan pemerintah di sistem ketenagalistrikan sehingga curtailment dapat diantisipasi,” tutur Elrika. 

Ikhsan Asa’ad, Ketua Dewan Eksekutif PJCI, menyoroti pentingnya membangun industri energi terbarukan seperti surya dalam negeri yang kuat untuk memenuhi target energi terbarukan yang ambisius.

“Harga renewable saat ini masih relatif lebih mahal daripada listrik PLN, namun semakin masifnya penggunaan diharapkan harganya makin kompetitif. Industri lokal harus mulai disiapkan untuk memenuhi kenaikan kebutuhan komponen energi terbarukan di dalam negeri,” tegasnya. 

Eko Adhi Setiyawan, Dosen, Universitas Indonesia, mengatakan perlu adanya manajemen permintaan (demand management) untuk memobilisasi pelanggan. Selain itu perlu untuk menerjemahkan terminologi Paris Agreement dalam target yang lebih konkrit.

Komitmen Pensiun PLTU Batubara Perlu Ditindaklanjuti Segera

press release

Raditya Wiranegara (kanan), Peneliti Senior IESR, menjelaskan tentang temuan dari laporan “Financing Indonesia’s coal phase-out report” pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022

Jakarta, 11 Oktober 2022 –  Ketetapan pemerintah pada Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022 untuk tidak lagi membangun PLTU baru, serta membatasi pengoperasian seluruh PLTU batubara paling lama  hingga 2050, perlu didukung dengan kesiapan secara politik, pembiayaan, dan sosial.

Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama dengan Universitas Maryland, agar sesuai dengan Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan temperatur rata-rata di bawah 1,5 derajat Celcius, Indonesia dapat segera melakukan pensiun dini sebanyak 4,5 GW PLTU batubara dalam jangka waktu 2022-2023.

“Manfaat yang bisa diraih dari skenario pensiun dini PLTU sekitar 2-4 kali lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk mempensiunkan PLTU batubara tersebut,” ungkap Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022.

Selain itu, ia juga menjelaskan percepatan pensiun PLTU batubara dapat menghindarkan kematian mencapai 168 ribu jiwa hingga 2050 serta total penghematan biaya kesehatan yang bisa didapat sekitar USD 60 miliar hingga 2050.

Lebih jauh, Raditya menjelaskan sebagian besar biaya yang dibutuhkan untuk pensiun batubara mencakup biaya aset terbengkalai dengan dua pertiganya terkait pemensiunan PLTU milik IPP.

Sambil menunggu seluruh PLTU dipensiunkan seluruhnya pada 2045, Raditya melanjutkan, pemerintah dapat melangsungkan pengoperasian PLTU batubara yang fleksibel untuk memberi ruang bagi energi terbarukan untuk masuk ke dalam sistem energi Indonesia.

Koben Calhoun, Principal Carbon Free Electricity, Global South Program, RMI menambahkan dengan mengutip kajian IESR yang menyebutkan bahwa untuk dekarbonisasi sektor energi di Indonesia pada 2050 diperlukan sebanyak USD 25 miliar/tahun hingga 2030 dan USD 60 miliar/tahun hingga 2050 untuk investasi ke energi terbarukan, elektrifikasi,  dan infrastruktur pendukung.

“Terdapat 3 pilar pendekatan untuk membiayai transisi batubara, pertama dengan memodali transisi batubara, maka akan muncul peluang untuk berinvestasi kembali pada energi bersih dan membiayai transisi energi yang berkeadilan bagi masyarakat,” jelas Calhoun.

Menurutnya, Indonesia dapat memimpin transisi energi yang ambisius dan mendemonstrasikan mobilisasi keuangan dengan komitmen pemerintah yang ambisius, kepemimpinan terhadap platform dan dana transisi energi, mempunyai peta jalan pensiun dini yang jelas yang didahului dengan penerapan pilot (percontohan) proyek serta mempunyai struktur keuangan campuran (blended finance) untuk menurunkan biaya modal dan mobilisasi keuangan untuk transisi energi. Memastikan kebutuhan pendanaan dan juga kepentingan dan tujuan dari calon investor, yang cenderung membiayai energi terbarukan dan tidak mau lagi membiayai proyek batubara, menjadi penting untuk bisa membuka keran pendanaan. 

Architrandi Priambodo, Senior Energy Specialist, Asian Development Bank mengungkapkan pula, pensiun dini PLTU batubara, selain akan mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan, juga menurunkan biaya pembangkitan secara keseluruhan dalam jangka panjang.

Ia menjelaskan hal ini merupakan salah satu tujuan dari program Energy Transition Mechanism (ETM)  untuk mempercepat penghentian atau repurposing PLTU batubara, terutama bagian dari aset PLTU yang bisa di utilisasi lebih lanjut, misalnya transmisi, dan gardu induk.

“Pada kajian kelayakan ETM yang sedang berlangsung juga dibahas tentang analisis keuangan dan struktur transaksi yang diantaranya mencakup mencakup struktur komersial dan hukum untuk secara efisien menghentikan aset PLTU,” papar Architrandi. 

Melli Darsa, Senior Partner, PwC Indonesia pada kesempatan yang sama mengungkapkan, jika kondisi politik mendukung, rencana pensiun dini PLTU batubara perlu diikuti dengan peraturan pelaksanaan yang terkait dengan teknis aspek pensiun dini PLTU sehingga memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi.

“Pemerintah telah berada pada arah yang benar dengan mengeluarkan Perpres. Para menteri terkait perlu segera menindaklanjuti. Namun keengganan mengambil risiko (untuk melakukan pensiun dini PLTU-red) masih terasa, terutama dari sisi dewan pimpinan PLN mungkin karena ketidakjelasan peran, karena sejauh ini pensiun dini PLTU sifatnya ditugaskan,” urai Melli.

ISEW terselenggara atas kerjasama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Institute for Essential Services Reform (IESR), dan Clean, Affordable, Secure Energy for Southeast Asia (CASE). CASE merupakan sebuah program kerjasama antar dua negara: Indonesia – Jerman (Direktorat Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, dan didanai oleh Kementerian Perekonomian dan Aksi Iklim Pemerintah Federasi Jerman). Sebelumnya, diskursus transisi energi di Indonesia secara rutin dilakukan pada acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), yang tahun ini berpartisipasi dalam ISEW 2022. Perdana dilakukan pada 2022, ISEW akan berlangsung selama 5 hari dari 10-14 Oktober 2022 dengan tema Reaching Indonesia’s Net Zero Energy System: Unite for Action and Strategy. Seluruh lapisan masyarakat dapat mengikuti kegiatan ini secara gratis di isew.live.

Belajar Bagaimana AS Berupaya Meraih Peluang Menahan Laju Krisis Iklim

Jakarta, 13 September 2022 – Untuk memerangi krisis iklim, tindakan kita hari ini akan menentukan ekonomi, dan keberlanjutan umat manusia dalam jangka panjang. Laporan IPCC telah memberitahu kita bahwa waktu yang tersisa untuk kita dapat berupaya menahan suhu global pada 1,5 derajat celcius terbatas. Komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim telah didorong melalui forum internasional.

Setelah bergabung kembali dengan Perjanjian Paris selama pemerintahan Biden – Harris, Amerika Serikat (AS) secara aktif mendorong warga dunia untuk mengatasi perubahan iklim melalui kebijakan dan perencanaan pembangunan strategis. Baru-baru ini, AS baru saja mengeluarkan peraturan baru yaitu Inflation Reduction Act (IRA) untuk mendorong pemanfaatan teknologi energi bersih. Target AS adalah mengurangi 50-52% emisi GRK pada tahun 2030 dan menggunakan 100% listrik bersih pada tahun 2035 sebelum menjadi nol emisi karbon pada tahun 2050.

Nathan Hultman, direktur Center for Global Sustainability University of Maryland, dalam sesi kuliah umum yang terselenggara atas kerja sama  Kantor Staf Presiden Indonesia, dan Institute for Essential Services Reform mengatakan bahwa ia yakin bahwa kita dapat mencapai tingkat 1,5 derajat.

“Kita telah membuat beberapa kemajuan dan masih di jalur 1,5 derajat. Namun bukan berarti pekerjaan kita telah selesai. Kita memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan terutama melalui kebijakan,” kata Nathan.

Nathan menekankan perlunya pendekatan multi-stakeholder dalam menangani keadaan darurat iklim melalui transisi energi. Ia menjelaskan, pemerintah pusat merupakan pemangku kepentingan penting dalam menentukan arah transisi energi. Namun, dalam transisi energi kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah nasional karena gagasan transisi energi harus dipahami dan dilaksanakan oleh banyak aktor termasuk pemerintah tingkat daerah dan bahkan sektor swasta.

“Misalnya di AS pada masa pemerintahan Trump tidak begitu banyak terjadi kemajuan (kebijakan iklim), tetapi ada beberapa kemajuan di tingkat sub-nasional yang mendorong kebijakan nasional di pemerintahan mendatang,” jelasnya.

Menyadari bahwa sebagian besar negara demokratis memiliki pemangku kepentingan yang sama, pendekatan ‘All in’ ini dapat diduplikasi di negara lain. Setiap negara berbeda, tetapi masing-masing dari kita memiliki kesempatan untuk berbuat lebih banyak.

Memainkan peran strategis sebagai pemimpin G20 tahun ini, Indonesia memiliki peran krusial dalam mencapai tujuan iklim global. Dengan mengajukan komitmen iklim yang lebih ambisius, mempercepat energi terbarukan ke dalam sistem, dan mengadopsi kendaraan listrik dalam jumlah besar, Indonesia dapat menginspirasi negara lain untuk menunjukkan tindakan nyata dalam mengatasi krisis iklim.

Setiap negara perlu mencari cara strategis untuk melakukan transisi, perlu untuk belajar dan menggali inspirasi dari negara lain. Komitmen global untuk mendukung pendanaan transisi energi harus dipenuhi untuk membantu negara-negara berkembang dalam menjalankan transisi dengan lancar.

Hageng Nugroho, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden menekankan peran kolaborasi global untuk mencapai target net zero.

“Indonesia berencana untuk menjadi net zero pada 2060, dan dalam mencapainya kita menghadapi beberapa kendala dari teknologi hingga pendanaan. Setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan oleh suatu negara untuk menghindari dampak fatal krisis iklim. Pertama, memenuhi target NDC, mendorong partisipasi warga dan pemangku kepentingan potensial dalam transisi energi,   memperkuat kemitraan global, dan mendorong pembangunan ekonomi hijau,”

Hageng menambahkan, poin terpenting adalah memastikan komitmen itu diwujudkan dalam tindakan, bukan hanya pada level kebijakan.

Kesiapan SDM Berkualitas dalam Menyongsong Orde Gigawatt Energi Surya

Jakarta, 20 April 2022Salah satu hal penting dalam membangun ekosistem PLTS di Indonesia adalah kesiapan sumber daya manusianya. Mengukur kesiapan Indonesia memasuki orde gigawatt, Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengelar webinar berjudul “Orde Gigawatt Energi Surya, Siapkah Indonesia?” dalam rangkaian Indonesia Solar Summit 2022.

Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menargetkan kapasitas PLTS sebesar 6,5 GW di 2025. Hal ini membuka peluang bagi tingginya permintaan PLTS. Bahkan RUEN pun memandatkan untuk pemanfaatan sel surya minimum sebesar 30 persen dari luas atap dari seluruh bangunan pemerintah, dan sebesar 25 persen dari luas atap bangunan rumah mewah. 

Anthony Utomo, Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia memandang kesempatan ini perlu diimbangi dengan ketersediaan tenaga kerja lokal untuk menyediakan, memasang, memelihara dan merawat PLTS.

“AESI dalam program solarpreneur bekerja sama dengan universitas agar pelatihan (terkait PLTS atap) tersedia kepada masyarakat, pemasangan dapat dilayani dengan baik dan ujungnya dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru,” jelas Anthony.

Ratna Muntiowati, Direktur Pemasaran, TotalEnergies Renewables DG menandaskan bahwa melihat perkembangan PLTS makin marak di Asia Tenggara, maka ke depannya pasar PLTS tidak hanya di Indonesia. Oleh sebab itu, menurutnya, kurikulum tentang energi terbarukan bisa diterapkan di seluruh bidang ilmu.

“Tantangan yang kita hadapi dalam instalasi di atas bangunan ialah struktur bangunan tidak terlalu kuat. Hal ini bisa juga dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan.Bahkan saat ini, Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk civil construction, sudah memasukkan ketentuan untuk instalasi solar panel. Ini yang bisa diimplementasikan oleh lembaga pendidikan. Sehingga saat ada instalasi atau desain pabrik baru (untuk PLTS atap), sudah diperhitungkan sesuai SNI,”ujarnya.

Daniel Pianka, Universitas Kristen Immanuel (UNKRIM), Yogyakarta sepakat bahwa pelatihan dan edukasi energi terbarukan memainkan peran penting dalam membangun SDM yang berkualitas. Berdasarkan pembelajaran dari pemasangan 10 kWp panel surya di universitasnya, Daniel mengungkapkan bahwa kemampuan SDM yang mumpuni dalam melakukan instalasi panel surya turut menentukan keawetan sistem panel surya yang digunakan.

“Instalasi yang belum baik misalnya menyambungkan kabel hanya dengan isolasi (perekat) akan membuat kabel mudah terbakar jika ada daya yang tinggi. Instalasi yang berkualitas akan membuat sistem surya panel bisa digunakan lebih lama,” tuturnya.

Lebih lanjut, Daniel menjelaskan UKRIM telah membangun program energi. Program ini bertujuan untuk melatih mahasiswa, yang dominan berasal dari daerah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) untuk menjadi teknisi, melakukan instalasi yang rumit dan merawat PLTS.

“Program ini diharapkan mampu menghasilkan SDM yang terlatih dan termotivasi untuk terjun dalam sektor energi terbarukan, menciptakan banyak proyek energi berkelanjutan, gaya hidup yang lebih baik dan emisi karbon yang rendah,” tukasnya.

Di sisi lain, Eng Purnomo Sejati, Kepala SMK Ora et Labora, BSD menuturkan pihaknya senantiasa beradaptasi terhadap dinamika sektor energi di Indonesia. Semula, sekolahnya dirancang untuk memenuhi kebutuhan SDM pembangunan PLTU 35 GW. Namun, penyesuaian target baru terkait energi terbarukan maupun rencana moratorium PLTU, mendorong lembaga pendidikan yang ia pimpin bertransformasi menuju energi terbarukan.

“Sejak tahun lalu, kami bermanuver untuk membuka area lain seperti energi terbarukan dan surya. Kami sudah melakukan penetrasi dan bermitra dengan perusahaan terkait. Kami juga ingin mengembangkan kendaraan listrik, industrial internet of things (IIOT), dan perawatan gedung dan fasilitas. Bidang ini kami lihat yang akan sustain ke depan,” papar Purnomo.