Hari Bumi, Agenda Iklim dan Energi Indonesia Ke Depannya

Jakarta, 10 Mei 2023 – Perayaan Hari Bumi mengingatkan kita bahwa hanya ada satu bumi yang kita pijak, yang menyediakan banyak manfaat bagi manusia, sehingga wajib hukumnya bagi kita untuk melestarikannya bagi generasi ke depan. Untuk alasan tersebut, meningkatkan kesadaran akan isu lingkungan menjadi penting dan harus kita tempatkan sebagai agenda kebijakan utama, seperti isu polusi udara, pengelolaan sampah, degradasi hutan, dan tentunya perubahan iklim yang merupakan ancaman bagi keberadaan manusia dan dapat membawa kita ke arah bencana global (Hugell etc, 2022). 

Perubahan iklim telah menjadi isu signifikan karena dampaknya akan menyebabkan masalah baru bagi peradaban manusia, entah secara perlahan atau melalui kejadian yang ekstrim, yang akan menyebabkan kerugian dan kerusakan tidak hanya secara ekonomi – (pendapatan dan aset fisik) namun juga non ekonomi (individu, masyarakat, dan lingkungan) (Loss and Damage Online Guideline, UNFCCC.INT). Terlebih lagi, kenaikan suhu global di atas 2 derajat pada tahun 2100 akan berdampak pada manusia, flora fauna, dan ekosistem (Reuters, 2021), yang berarti semua negara akan beresiko terkena dampak perubahan iklim, dan diperlukan adanya ambisi kolektif untuk aksi iklim yang merefleksikan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) tiap negara sebagaimana ditetapkan oleh Persetujuan Paris (2015).

Dalam konteks Indonesia, berdasarkan Indeks Adaptasi Global Notre Dame (ND-GAIN, 2020) yang meringkaskan kerentanan sebuah negara akan perubahan iklim dengan kesiapannya untuk berubah, menempatkan Indonesia pada ranking 101. Ini menandakan Indonesia tengah berada di posisi rentan dan perlu mengubah struktur masyarakatnya lewat penguatan mitigasi dan aksi adaptasi untuk memungkinkan pembangunan yang tahan iklim. Dalam konteks kebijakan iklim, Indonesia telah memperbaharui NDCnya sejak proses Persetujuan Paris (2015), yaitu Intended NDC (2015), NDC Pertama (2016), NDC Diperbarui (Updated NDC, 2021), dan NDC Ditingkatkan (Enhanced NDC,2022). Walau telah diperbarui beberapa kali, kebijakan iklim Indonesia dianggap kurang ambisius. Pandangan ini sesuai dengan Climate Action Tracker (CAT) di mana nilai Indonesia akan kebijakan iklimnya masih sangat tidak memadai – yang artinya kebijakan dan komitmen iklim Indonesia tidak konsisten dengan ambang batas 1,5 derajat Persetujuan Paris dan justru menyebabkan kenaikan, bukan penurunan emisi.

Dalam kebijakan terbarunya, Indonesia telah menetapkan target penurunan emisinya pada 2030 sebanyak 31,89% (dengan usaha sendiri) dan 43,20% (dengan dukungan internasional dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya (NDC Diperbarui, 2021) – sebesar 29% (usaha sendiri dan 41% (dengan dukungan internasional). Berkaitan dengan sektor energi, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi sebesar 12,5% (dengan usaha sendiri) dan 15,5% (dengan dukungan internasional). Pengurangan emisi dari sektor ini penting sebagai komponen penting dari pembangunan ekonomi nasional. Ini tidak hanya mencakup kelistrikan namun juga pendinginan, komersil, rumah tangga, transportasi, pemanasan, produksi, bangunan, dan memasak (SEforALL). Singkatnya, pengurangan emisi yang berhasil melalui transisi energi akan memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan iklim dan agenda ekonomi hijau.

Dari perspektif teknis dan ekonomis, menaikkan ambisi iklim Indonesia dan mencapai emisi Net Zero dalam sistem energi Indonesia pada 2050 dapat diraih melihat banyaknya potensi energi terbarukan dan sumber energi terbarukan lokal yang dapat digunakan di Indonesia, terutama energi surya yang dapat memenuhi kebutuhan energi di Indonesia (IESR, 2021). Secara detail, Kementrian ESDM telah mencatat potensi energi terbarukan Indonesia sebesar 3.686 GW, dengan pembagian tenaga surya (3.295), mikrohidro (95), bioenergi (57), turbin angin (115), geotermal (24), dan ombak (60) namun per Desember 2022, realisasinya hanya sebesar 12,56 GW. 

Untuk menyimpulkan, sesuai dengan penjelasan di atas, Indonesia memerlukan komitmen yang lebih ambisius untuk menangani perubahan iklim dan mempercepat transisi energinya, dengan mempertimbangkan ancaman eksistensial dan situasi krisis yang dihadapi. Target iklim baru yang lebih ambisius akan memberikan sinyal positif terhadap semua pemangku kepentingan bahwa Indonesia serius mengenai penanganan isu ini dan dapat mendorong pemangku kepentingan di masyarakat untuk bekerja secara kolektif untuk membuat Indonesia lebih hijau. Komitmen ini tidak hanya menguntungkan Indonesia sebagai negara namun juga berdampak pada usaha menyelamatkan bumi ini dari dampak perubahan iklim.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Photo by Appolinary Kalashnikova on Unsplash

Kenaikan Target Penurunan Emisi di NDC Indonesia Masih Jauh untuk Mencegah Krisis Iklim

Jakarta, 6 Desember 2022- Indonesia telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) dengan meningkatkan  target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hanya sekitar 2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari  Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa, menemukan bahwa kenaikan tipis target NDC Indonesia tersebut masih  tidak mencukupi untuk mencegah  kenaikan suhu global 1,5°C. 

Pada Enhanced NDC, target penurunan emisi dengan upaya sendiri  (unconditional) meningkat dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. IESR dan CAT memandang seharusnya Indonesia dapat menetapkan target lebih ambisius lagi, terutama setelah dirilisnya Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyedian Tenaga Listrik.

“Indonesia masih ragu-ragu menetapkan target penurunan emisi yang ambisius dan bermain di zona aman. Target penurunan yang ditetapkan dalam Enhanced NDC (E-NDC) sangat mudah dicapai karena referensinya adalah proyeksi peningkatan emisi business as usual di 2030. Target penurunan emisi seharusnya berdasarkan tingkat emisi absolut berdasarkan tahun tertentu. Untuk selaras dengan ambisi 1,5°C, emisi dari sektor energi di 2030 harus setara dengan tingkat emisi dari sektor energi 2010,”  kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia.

Agar mencapai penurunan emisi yang signifikan, Indonesia perlu melakukan mitigasi yang lebih ambisius pada sektor yang penghasil emisi dominan yakni sektor energi, dan sektor hutan dan lahan. Mempunyai potensi energi terbarukan yang melimpah, bahkan hingga lebih dari 7 TW, Indonesia dapat memanfaatkannya menjadi sumber energi yang minim emisi.

Namun, hingga 2021, bauran energi terbarukan pada sistem energi di Indonesia masih 11,5%. IESR memandang dengan beberapa perkembangan dukungan internasional dan komitmen pemerintah terhadap pensiun dini PLTU batubara akan memberikan ruang yang leluasa bagi pengembangan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025, bahkan mencapai 40% di 2030. Dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia Energy System (2021), IESR menyimpulkan pada 2050,  pemanfaatan 100% energi terbarukan dalam sistem energi  Indonesia layak secara teknis dan ekonomis. 

“Status aksi iklim Indonesia dapat ditingkatkan dengan memastikan kebijakan iklim pada dekade ini diimplementasikan untuk memenuhi kontribusi yang adil berdasarkan upaya global (fairshare). Target NDC dengan bantuan internasional juga harus konsisten, setidaknya dengan  jalur optimal dengan biaya terendah untuk ambisi 1,5°C (global least cost pathways),”  jelas Delima Ramadhani, Koordinator Climate Action Tracker, IESR.

Menurutnya, dominasi PLTU batubara yang saat ini sekitar 61% di sistem energi Indonesia, perlu dikurangi secara signifikan  menjadi  hanya 10% PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan)  pada 2030 dan diakhiri operasinya secara bertahap hingga berhenti seluruhnya pada 2040.  Untuk itu, Indonesia harus meningkatkan komitmen iklimnya, dan bantuan internasional berperan besar untuk implementasi penghentian batubara yang sesuai dengan Persetujuan Paris.

Beberapa mekanisme pendanaan pengakhiran operasi batubara juga telah dibahas dan disepakati oleh Indonesia seperti dalam skema Energy Transition Mechanism, dan  Just Energy Transition Partnerships (JETP). IESR menganggap, walaupun masih belum selaras dengan target 1,5°C, kesepakatan JETP merupakan langkah maju dalam transisi energi di Indonesia. Komitmen pendanaan USD 20 miliar belum cukup untuk mencapai dekarbonisasi sektor energi yang setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030.

“Porsi dana hibah dalam pendanaan JETP perlu diperbesar, yang dapat dipakai untuk mempercepat penguatan ekosistem transisi energi dan penyiapan proyek. Selain itu, langkah selanjutnya setelah JETP disepakati adalah penyusunan rencana investasi yang dilakukan secara transparan serta mengarusutamakan prinsip berkeadilan dalam bertransisi energi dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok terdampak,” tutup Fabby. 

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. CAT telah memberikan analisis independen terhadap sekitar 40 negara sejak 2009. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.