Dialog Transisi Berkeadilan: Mengidentifikasi Peran Sektor Swasta dalam Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Tayangan Tunda


Latar Belakang

Indonesia merupakan negara penghasil batubara ketiga terbesar setelah India dan China di tahun 2022. Menurut penuturan Kementerian ESDM, Indonesia menargetkan produksi batubara sebesar 694.5 juta ton pada 2023, naik 0.47% lebih tinggi dari target tahun sebelumnya. Hingga bulan Oktober 2023, produksi batubara Indonesia sudah mencapai 567.2 ton atau 81.67% dari target produksi tahun ini. Batubara di Indonesia kebanyakan akan dijual ke pasar ekspor (75%-80%) dan dikonsumsi di dalam negeri (20%-25%). Akan tetapi, dengan adanya tren transisi energi, permintaan batubara Indonesia terlihat menurun, salah satunya dari India. India menurunkan permintaan batubaranya dari Indonesia dari 8.43 juta ton menjadi 6.11 juta ton per Juni 2023. 

Selain adanya tren penurunan permintaan batubara dari luar negeri, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan beberapa komitmen yang akan mempengaruhi penggunaan batubara ke depannya yang sejalan dengan agenda transisi energi menuju energi terbarukan. Pada tahun 2022, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Pembangkit Tenaga Listrik yang secara eksplisit menetapkan pelarangan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara mulai tahun 2030. Komitmen ini mendapatkan dukungan melalui penandatanganan perjanjian kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) antara Indonesia dengan IPG dan GFANZ. Melalui dokumen CIPP, Pemerintah Indonesia bermaksud untuk mencapai puncak emisi di sektor ketenagalistrikan di 290 MT CO2 dan bauran energi terbarukan sebesar 34% di tahun 2030. Selain itu, dokumen ini juga menyatakan bahwa Indonesia harus mengupayakan proses transisi energi berkeadilan dimana dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup juga menjadi perhatian bagi para pemangku kebijakan. Adanya kebijakan nasional dan global juga berpotensi dapat mempengaruhi bisnis perusahaan dan juga struktur sosial-ekonomi masyarakat di sekitar daerah pertambangan.

Kegiatan industri ekstraktif seringkali menjadi sumber utama dari pendapatan daerah, namun di samping itu juga menimbulkan kerugian baik secara ekonomi, sosial-masyarakat dan juga lingkungan. Dengan adanya agenda transisi energi, pemerintah berencana untuk membatasi konsumsi batubara sehingga akan berdampak kepada penutupan tambang batubara yang lebih cepat dan mempengaruhi kegiatan masyarakat setempat. Dalam UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kegiatan pascatambang,  pelaku usaha wajib untuk mengembalikan keadaan alam dan lingkungan setempat seperti keadaan awal. Hal ini juga tertuang pada UU No.40/2007 yang mewajibkan perseroan di bidang sumber daya alam untuk melakukan kegiatan Tanggung Jawab Sosial dimana banyak diasosiasikan dengan pemberdayaan masyarakat. Dengan mengintegrasikan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi masyarakat terhadap rencana perusahaan, diharapkan masyarakat dapat secara mandiri membangun kegiatan ekonomi mereka dan dapat lepas dari ketergantungan dari perusahaan. Sehingga, peran perusahaan dan pemerintah daerah menjadi penting untuk aktivitas pasca-tambang.

Oleh karena itu, IESR bermaksud mengundang para pelaku usaha untuk dapat memberikan informasi dan strategi perencanaan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat  dan lingkungan sebagai persiapan kegiatan pascatambang. Dengan adanya acara ini diharapkan juga dapat memperkuat perencanaan pascatambang antara pemerintah dan pemilik usaha dalam agenda transisi energi berkeadilan.

Tujuan

Kegiatan ini memiliki beberapa tujuan yaitu:

  1. Mendapatkan dan menyebarkan informasi terkait program reklamasi pascatambang baik dari sisi perencanaan dan implementasi serta tantangan yang dihadapi untuk menuju transisi berkeadilan;
  2. Mendapatkan dan menyebarkan informasi mengenai peran pelaku usaha atau industri dalam mempersiapkan dampak transisi energi kepada masyarakat dan lingkungan sekitar;
  3. Identifikasi bentuk kolaborasi kegiatan pasca tambang untuk mengembangkan berdasarkan potensi ekonomi, sumber daya alam, dan manusia melalui penerapan transisi berkeadilant;

 


Materi Presentasi

Reklamasi dan Pascatambang – Koordinator PPNS Minerba – Dr. Y. Sulistiyohadi

Reklamasi-dan-Pascatambang-Koordinator-PPNS-Minerba

Unduh

Reklamasi Pasca Tambang Ombilin1 – Yulfaizon

Reklamasi-Pasca-Tambang-Ombilin1-IESR

Unduh

Webinar Pentingnya Transisi Energi untuk Anak-Anak dan Orang Muda

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara keempat yang memiliki jumlah anak terbanyak di dunia. Sekitar sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia merupakan anak-anak. Menurut data Proyeksi Penduduk Interim 2020-2023 BPS, pada tahun 2022 jumlah anak-anak berusia 0-17 tahun sebesar 29,15% atau 79.486.424 orang. Sedangkan untuk orang muda berusia 15-34 tahun kurang lebih sebesar 89 juta orang. Menurut studi yang dilakukan oleh Save the Children pada 2020 ditemukan bahwa anak-anak yang lahir di 2020 akan mengalami bencana 3,4 kali lebih sering dari generasi yang lahir di tahun 1960. Bencana-bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim ini seperti gelombang panas, banjir, kebakaran hutan, kekeringan, dan gagal panen. Menurut studi dari UNICEF juga menyatakan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar bagi kesehatan, nutrisi, pendidikan, dan masa depan anak-anak dan orang muda. 

Mitigasi iklim menjadi salah satu hal penting yang perlu dipertimbangkan, khususnya di sektor energi. Saat ini, pendidihan global diakibatkan emisi yang dihasilkan oleh pembakaran energi fosil. Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat bergantung pada energi fossil, khususnya batubara. Dengan kondisi demikian, Indonesia masih belum dapat memiliki ambisi iklim yang ambisius. Di sisi lain, menurut buku Mulai dari Sini: Memahami Transisi Energi di Indonesia (2023) pembangkit listrik berbasis energi fosil menyebabkan dampak negatif kepada iklim. Misalnya, emisi karbon dioksida (CO2), gas metana, dan gas-gas lainnya. Emisi ini yang nantinya akan hujan asam, peningkatan efek rumah kaca hingga pemanasan global yang berkontribusi pada fenomena perubahan iklim yang terjadi saat ini.

Proses transisi energi tidak hanya akan mengubah sistem energi yang ada, akan tetapi juga berpotensi untuk mengubah sistem sosial-ekonomi masyarakat sekitar. Oleh karena itu, transisi energi harus melibatkan semua pihak termasuk masyarakat untuk mengurangi potensi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang diakibatkan. Keterlibatan anak-anak dan orang muda menjadi salah satu pihak yang penting dalam proses transisi ini. Menurut studi “Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions” yang dilakukan IESR, sektor pertambangan merupakan salah satu sektor yang paling diminati oleh orang muda yang ada di Kab. Paser dan Kab. Muara Enim. Akan tetapi, dengan adanya tren transisi energi, diperkirakan ke depannya industri batubara akan mulai berkurang akibat adanya penurunan permintaan batubara di global. 

Oleh karena itu, IESR bermaksud untuk mengadakan webinar mengenai pentingnya transisi energi bagi anak-anak dan orang muda. Acara ini merupakan rangkaian dari pre-Youth Climate Conference, yaitu konferensi anak-anak dan orang muda untuk menyuarakan mengenai isu krisis iklim kepada pemimpin Indonesia. Harapannya melalui webinar ini, IESR dapat memberikan perspektif dan pemahaman yang lebih dalam mengenai pentingnya isu transisi energi bagi masa depan anak-anak dan orang muda.

Tujuan

Kegiatan webinar ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:

  1. Meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya transisi energi pada kalangan anak-anak dan orang muda, khususnya mengenai isu ketenagalistrikan dan transisi berkeadilan;
  2. Menyediakan wadah diskusi mengenai dampak transisi energi bagi anak-anak dan orang muda.

 

Implementing the Energy Transition: Policies in Colombia, Germany, India, Indonesia and South Africa

Latar Belakang

Semua negara perlu meningkatkan ambisinya untuk mengurangi emisi secara efektif, pada tingkat yang sesuai dengan status pembangunannya.

Namun, target yang ambisius saja tidak cukup; kebijakan harus dibuat dan diimplementasikan secara efektif. Climate Transparency telah merancang Climate Policy Implementation Check untuk menilai, mengawasi, dan memantau status implementasi instrumen kebijakan dalam empat kategori: status hukum, lembaga dan tata kelola, sumber daya, dan pengawasan.

Dengan difasilitasi oleh Climate Emergency Collaboration Group, kami menganalisis implementasi berbagai kebijakan iklim di sektor energi di India, Afrika Selatan, Indonesia, Kolombia, dan Jerman.

Menjelang COP28, kami akan mendiskusikan berbagai kemungkinan dan implikasi kerja sama internasional untuk mengimplementasikan transisi energi secara efektif dari batu bara menuju masa depan energi terbarukan. Dengan keterkaitan yang kuat antara produksi dan konsumsi batubara, negara-negara yang kami analisis menjadi contoh peluang dan tantangan untuk melakukan transformasi yang sukses, dan mereka akan menjadi kunci dalam perdebatan mengenai bagaimana mengubah hubungan internasional yang sudah berlangsung lama dari ‘Brown to Green.’

Agenda

  1. Kebijakan Spesifik terkait Transisi Energi di India, Afrika Selatan, Indonesia, Kolombia, dan Jerman: Status dan prospek implementasi
  2. Implikasi internasional dari transisi energi domestik

Bahasa

Kegiatan ini menggunakan bahasa inggris

Inventarisasi Aksi Perubahan Iklim di Asia Tenggara

Johor Bahru, 15 November 2023 – Dalam mencapai agenda transisi energi global, berbagai pihak kawasan Asia Tenggara mengambil langkah-langkah aksi iklim termasuk aktor non-negara. Partisipasi penuh makna dari aktor non-negara sangat penting dalam mencermati kebijakan yang sedang berjalan dan memberikan masukan untuk perbaikan di masa depan.

Inventarisasi menjadi kegiatan penting untuk melihat kemajuan mitigasi dan komitmen iklim saat ini. Hasil penilaian tersebut kemudian dapat digunakan untuk merancang rekomendasi kebijakan yang kuat. Aktor non-negara dapat memperkaya nuansa inventarisasi global dengan menyelaraskan aksi iklim dengan kepentingan komunitas global.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau di Institute for Essentials Services Reform (IESR) menyoroti hal-hal penting yang dapat diambil dari survei global pertama pada Asia Pacific Climate Week 2023 dalam sesi “Integrating the role of NSAs focused on the thematic areas–Adaptation, Finance, and Mitigation”. Ketidakseimbangan pertumbuhan emisi global dibandingkan dengan rencana mitigasi iklim membuat kebutuhan untuk bertransformasi secara sistematis menguat.

“Kita memerlukan ambisi iklim yang lebih besar yang diikuti dengan tindakan dan dukungan pada aksi mitigasi iklim di kawasan (Asia Tenggara-red),” katanya.

Wira menambahkan bahwa untuk mencapai emisi net-zero memerlukan transformasi sistematis di semua sektor, dan kita perlu memanfaatkan setiap peluang untuk mencapai output yang lebih tinggi. Sektor bisnis dan komersial merupakan aktor penting dalam mempercepat transisi energi karena mereka mengonsumsi energi dalam jumlah besar. Selain itu, beberapa industri (terutama yang terlibat dalam rantai pasok berskala multinasional), mempunyai kewajiban untuk menghijaukan proses bisnisnya.

“Apa yang dapat dilakukan pemerintah bagi dunia usaha (untuk mendekarbonisasi proses bisnis mereka) adalah menyediakan lingkungan yang mendukung jika mereka ingin beralih ke proses bisnis yang lebih berkelanjutan. Misalnya, pemerintah dapat memberikan insentif dan disinsentif berdasarkan pilihan sumber energi yang digunakan untuk menggerakkan dunia usaha,” tutup Wira.

Jingjing Gao, dari UNEP Copenhagen Climate Centre, menambahkan bahwa inisiatif yang dipimpin oleh sektor swasta patut diperhatikan dan diapresiasi. Namun saat ini, masih terdapat kesenjangan dalam penggabungan data secara keseluruhan dari sektor swasta.

Peningkatan Kapasitas untuk Para Pemangku Kepentingan di Era Transisi Berkeadilan

Jakarta, 26 Oktober 2023 – Transisi energi yang sedang digaungkan saat ini akan berpengaruh signifikan pada penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara. Berbagai negara telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sebagai salah satu aksi kunci transisi energinya. Hal ini perlu diwaspadai oleh negara-negara penghasil fosil seperti Indonesia, karena akan ada penurunan permintaan dari pasar global.

Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur merupakan daerah penghasil batubara terbesar di Indonesia. Batubara telah menjadi komponen pokok dalam pertumbuhan ekonomi kedua provinsi. Pada tahun 2022, batubara menyumbang 30-35% pada PDRB Kalimantan Timur dan 15% di Sumatera Selatan. kedua provinsi ini membutuhkan strategi khusus untuk melepaskan ketergantungan ekonomi dari batubara. Stefan Boessner, peneliti Stockholm Environmental Institute (SEI) dalam “Lokakarya Nasional Transisi yang Adil: Membangun Kapasitas Pemerintah untuk Transisi Batubara Berkelanjutan di Indonesia” mengatakan bahwa alternatif ekonomi tersedia dan dapat dikembangkan.

“Telah terdapat contoh suatu daerah berhasil mendiversifikasi perekonomiannya. Pemerintah akan membutuhkan dukungan peningkatan kapasitas dari pemerintah pusat,” katanya.

Stefan menambahkan Pemerintah Indonesia telah memulai membuat kerangka kebijakan yang menjadi dasar hukum dari transisi energi di Indonesia seperti target net zero emission, peraturan nilai ekonomi karbon, serta roadmap pensiun dini PLTU batubara. 

Dalam mempersiapkan transisi ini, perencanaan pembangunan, ekonomi, dan energi menjadi sangat penting. Keterlibatan berbagai elemen yang akan terdampak dalam transisi menjadi penting.

Martha Jessica, Analis Sosial dan Ekonomi Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan salah satu temuan awal studi yang saat ini sedang dilakukan IESR yaitu terdapat kesenjangan kapasitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga perencanaan transisi ini dirasa belum optimal.

“Untuk menghasilkan proses perencanaan dibutuhkan berbagai kapasitas yang unggul/memadai oleh pemerintah sebagai inisiator (pelaku awal) dan katalis dari transisi energi,” kata Martha.

Elisa Arond, peneliti SEI menambahkan bahwa pemerintah daerah dapat mengambil peran krusial untuk mendukung agenda transisi yang berkeadilan. Untuk melakukan semua ini tentu pemerintah daerah akan membutuhkan sejumlah dukungan dari pemerintah pusat. 

“Mereka (pemerintah daerah-red) membutuhkan dukungan keuangan baik dari pemerintah pusat maupun institusi internasional, dialog inklusi yang melibatkan aktor dengan latar belakang beragam, strategi pendanaan, dan akses informasi yang transparan tentang rencana penutupan tambang,” jelas Elisa.

Tavip Rubiyanto, Analis Kebijakan Ahli Madya selaku Koordinator ESDM, Ditjen Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri menjelaskan mengapa saat ini transisi energi terasa belum berjalan di daerah karena masih terbatasnya kewenangan daerah.

“Untuk itu, Kemendagri sudah menginisiasi penyusunan Perpres No. 11 Tahun 2023 untuk menguatkan kewenangan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang ESDM, khususnya di sub-bidang energi terbarukan,” katanya.

Brilian Faisal, perwakilan Bappeda Provinsi Sumatera Selatan menyambung dengan harapan bahwa konsep transisi energi berkeadilan harus berkaitan dengan akses dan infrastruktur. 

“Di daerah kami juga belum membuat produk turunan dari berbagai aturan terkait transisi energi ini karena untuk membuatnya kami perlu merevisi RUED, secara kewenangan banyak kewenangan ada di bidang ESDM,” kata Brilian.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR menyatakan bahwa lokakarya ini merupakan momen yang tepat sebagai persiapan penyusunan RPJMN dan RPJMD yang harus memuat agenda transisi batubara ini.

“Transisi ini membutuhkan beberapa hal seperti perencanaan dan pendanaan dan harus masuk dalam agenda pembangunan daerah supaya bisa mendapat pendanaan dari pemerintah,” kata Wira.

Mewujudkan Demokratisasi Energi melalui Energi Surya

Jakarta, 5 Oktober 2023 – Energi menjadi kebutuhan pokok manusia bukan hanya untuk menunjang aktivitas sehari-hari namun yang lebih penting untuk meningkatkan aktivitas produktif. Energi surya merupakan sumber energi terbarukan yang dapat mewujudkan  demokratisasi energi.

Energi surya memenuhi beberapa aspek untuk demokratisasi energi seperti ketersediaan sumber dayanya sepanjang tahun, dan fleksibilitas skala pemasangannya. Untuk tujuan yang lebih mulia, dengan memasang panel surya,  penggunanya ikut berkontribusi pada pengurangan emisi dari sektor energi. Beragam alasan ini menunjukkan bahwa motivasi untuk menggunakan PLTS dapat bervariasi.

Hal ini sejalan dengan temuan survey pasar yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR), yang salah satunya menggali motivasi para responden untuk menggunakan PLTS. Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, dalam Seminar ‘Kebijakan dan Rencana Aksi Energi Surya Sebagai Wujud Komitmen EBT Menuju Indonesia’, Kamis 5 Oktober 2023, menjelaskan bahwa motivasi dapat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain.

“Pelaku UMKM di Jawa Tengah memilih PLTS atap karena tertarik dengan penghematannya sehingga uang tagihan listriknya dapat dialokasikan untuk hal lain. Sementara itu, pelaku bisnis di Bali memiliki kesadaran tinggi untuk memelihara harmoni dengan alam. Selain itu, mereka akan mendapatkan branding positif sebagai entitas bisnis yang ramah lingkungan,” kata Marlistya.

Untuk meningkatkan minat masyarakat dalam menggunakan energi surya, perlu diupayakan beberapa hal oleh pemangku kepentingan antara lain pemerintah dalam menciptakan ekosistem pendukung tumbuhnya energi terbarukan.

Tiga hal yang harus diupayakan untuk mendorong partisipasi lebih banyak pihak adalah pertama, regulasi yang jelas dan mendukung serta dikomunikasikan dengan baik sehingga masyarakat mendapatkan informasi terkait aturan PLTS dengan mudah dan tidak simpang siur. Kedua, adanya contoh pengguna dan akses yang mudah pada penyedia layanan; ketiga, memberikan insentif dan perbanyak akses pembiayaan.

Dalam forum yang sama, Dedi Rustandi, Perencana Ahli Madya Koordinator Bidang EBT Kementerian Bappenas menyatakan bahwa capaian energi surya masih di bawah RUPTL.

“Terdapat sejumlah penyebab utama ya antara lain pandemi yang membuat demand listrik tidak tumbuh signifikan, ada ketidakpastian iklim investasi bagi dunia usaha, juga adanya keterlambatan pengadaan proyek (terkait tata kelola),” kata Dedi.

Dedi mengakui bahwa di sisi pemerintah sejumlah kebijakan masih belum efektif berjalan sehingga mengakibatkan belum optimalnya pemanfaatan energi surya di Indonesia.

IESR: Indonesia Butuh Paket Kebijakan Komprehensif untuk Transisi Energi

Jakarta, 27 Juni 2023 – Urgensi untuk mengubah sistem energi menjadi lebih bersih, lebih berkelanjutan menjadi semakin penting, seperti yang digarisbawahi oleh laporan sintesis IPCC, yang menyatakan bahwa suhu global telah meningkat 1,1 derajat Celcius. Energi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi telah menjadi faktor kunci dalam kegiatan ekonomi sejak awal penambangan mineral fosil. Namun, peralihan ke sistem energi yang lebih bersih membawa konsekuensi penurunan permintaan batu bara, yang menjadi ancaman serius bagi daerah yang sangat bergantung pada ekonomi batu bara.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam diskusi panel ASEAN Sustainable Energy Finance pada Selasa, 27 Juni 2023, menekankan situasi di beberapa provinsi di Indonesia yang perlu mempertimbangkan aliran ekonomi alternatif, sebagai pendapatan asli daerah mereka saat ini berasal dari kegiatan pertambangan batubara.

“Beberapa provinsi perlu kita perhatikan seperti Kalimantan Timur yang memproduksi 40% batubara Indonesia, dan Sumatera Selatan yang memproduksi 15%. Kita perlu membangun kapasitas lokal untuk menghasilkan pendapatan dari sektor selain batu bara,” kata Fabby.

Fabby menambahkan, pemerintah perlu menyiapkan paket pembiayaan transisi yang komprehensif. Pendanaan harus mencakup tidak hanya biaya teknis untuk pensiunnya armada batubara, pengembangan energi terbarukan, peremajaan jaringan, tetapi juga mempersiapkan masyarakat, terutama mereka yang bekerja di industri pertambangan batubara, untuk beradaptasi dengan pasar tenaga kerja baru. Ini termasuk pelatihan ulang untuk menyelaraskan keterampilan mereka dengan kebutuhan pasar.

“Pemerintah pusat harus memberikan bantuan khusus bagi daerah yang sangat bergantung pada ekonomi batubara,” tegas Fabby.

Eunjoo Park-Minc, Penasihat Senior Lembaga Keuangan Asia Tenggara dari Financial Futures Center (FFC), menyetujui peran penting pemerintah selama masa transisi, terutama dalam merancang kerangka kebijakan yang mendukung yang memungkinkan sektor swasta untuk berpartisipasi.

“Peran investor dalam masa transisi ini adalah mengembangkan mekanisme pembiayaan yang inovatif. Untuk membuatnya lebih katalitik, kita membutuhkan kerangka kebijakan yang mendukung untuk membuatnya bekerja,”katanya.

Selain itu, Eunjoo menunjukkan perlunya kerjasama internasional, karena sebagian besar proyek (transisi energi) berlangsung di negara berkembang sedangkan pembiayaan terutama berasal dari negara maju.

Asian Development Bank (ADB) sebagai salah satu bank multilateral yang mendanai transisi energi menekankan pentingnya aspek keadilan. Hal ini dijelaskan oleh Veronica Joffre, Senior Gender and Social Development Specialist di ADB.

“Salah satu aspek ETM (Energy Transition Mechanisms) adalah keadilan. Hal ini berarti potensi dampak sosial harus dikaji mendalam dan dikelola, termasuk ketenagakerjaan, rantai pasok, dan lingkungan,” kata Veronica.

Dia menambahkan bahwa untuk mencapai emisi net-zero adalah jalan untuk masa depan, untuk itu transisi menuju kesana harus dirancang secara sadar.

Diskusi Publik Menjadikan Energi Hijau dan Rendah Karbon untuk Mendukung Pertumbuhan Berkelanjutan: Memajukan Peran Masyarakat Sipil dalam Kerja Sama Transisi Energi di Asia Tenggara selama Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023

Latar Belakang

Setelah berkesempatan menjadi tuan rumah G20 tahun lalu, kali ini Indonesia kembali dipercaya untuk menjadi Ketua ASEAN di tahun 2023, yang sebelumnya dipegang oleh Kamboja. Ini merupakan kali keempat bagi Indonesia untuk menjadi ketua ASEAN, dengan tema utama “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”. Dalam tema tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyebutkan bahwa akan ada dua hal yang disoroti oleh pemerintah Indonesia selama masa kepemimpinannya, yaitu peningkatan relevansi ASEAN baik di dalam maupun di luar kawasan, serta mentransformasi ASEAN menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global (Kementerian Perdagangan, 2023). Menlu Retno juga menekankan bahwa isu Myanmar-yang telah menjadi duri dalam daging selama putaran negosiasi ASEAN-tidak boleh “menyandera proses pembangunan masyarakat ASEAN” dan Indonesia akan menjalankan peran kepemimpinannya dengan optimisme dan pandangan yang positif (Kementerian Luar Negeri, 2023).

 

Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 juga akan melanjutkan beberapa prioritas dari G20 tahun lalu, seperti transformasi digital, energi berkelanjutan, dan pemulihan ekonomi global. Beberapa prioritas isu di bidang energi yang dirumuskan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berkaitan erat dengan rencana ASEAN Power Grid, sebuah proyek interkonektivitas listrik regional sebagai upaya untuk menjaga kestabilan pasokan energi di ASEAN (ESDM, 2023). Terkait dengan isu perubahan iklim, Indonesia telah ditunjuk sebagai ketua Kelompok Kerja ASEAN untuk Bahan Kimia dan Limbah untuk tahun 2022-2024. Dalam kerangka kerja kelompok kerja ini, terdapat Rencana Kerja Kerja Sama ASEAN Plus Three yang mencakup isu-isu sampah laut, perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan kota berkelanjutan (Media Indonesia, 2022).

 

Keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023 akan menjadi tantangan tersendiri, mengingat ASEAN sebagai sebuah institusi saat ini sedang berada di bawah sorotan baik dari dalam maupun luar kawasan. Menurut survei yang dilakukan oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute (2022), sekitar 82,6% warga negara ASEAN menganggap ASEAN mulai tidak relevan dan tidak efisien dalam menjalankan perannya sebagai organisasi regional. Survei yang sama juga melaporkan bahwa 73% warga ASEAN merasa bahwa ASEAN saat ini menjadi ajang perebutan pengaruh negara-negara besar. Dikhawatirkan bahwa negara-negara anggota ASEAN akan menjadi proksi kekuatan besar. Oleh karena itu, diperlukan usaha kolaboratif untuk memperkuat kapasitas kelembagaan ASEAN. Dengan keberhasilan Indonesia menjadi ketua G20 tahun lalu, diharapkan keketuaan Indonesia akan menghasilkan ASEAN yang lebih mudah beradaptasi dengan isu-isu penting abad ini, termasuk transisi energi dan perubahan iklim.

 

Dalam rangka memajukan keketuaan Indonesia di ASEAN 2023, Institute of Essential Services Reform akan menyelenggarakan diskusi publik yang ditujukan bagi organisasi masyarakat sipil di seluruh negara anggota ASEAN, khususnya di sektor iklim dan energi. Diskusi publik ini diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkenalkan isu-isu prioritas keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 dan proses pengambilan keputusan di ASEAN sebagai sebuah institusi. Oleh karena itu, diharapkan acara ini dapat menjadi wadah bagi organisasi masyarakat sipil untuk secara aktif menyuarakan aspirasinya kepada ASEAN dan juga kesempatan untuk memperkuat jaringan organisasi masyarakat sipil di ASEAN.

Tujuan

  1. Pengenalan agenda-agenda keketuaan Indonesia di ASEAN 2023, khususnya terkait isu transisi energi dan perubahan iklim.
  2. Penjelasan mengenai struktur pengambilan keputusan di ASEAN dan bagaimana masyarakat sipil dapat mengambil bagian dalam proses tersebut.
  3. Menggali aspirasi dan persepsi organisasi masyarakat sipil di negara-negara anggota ASEAN terhadap agenda Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023.

Belajar Bagaimana AS Berupaya Meraih Peluang Menahan Laju Krisis Iklim

Jakarta, 13 September 2022 – Untuk memerangi krisis iklim, tindakan kita hari ini akan menentukan ekonomi, dan keberlanjutan umat manusia dalam jangka panjang. Laporan IPCC telah memberitahu kita bahwa waktu yang tersisa untuk kita dapat berupaya menahan suhu global pada 1,5 derajat celcius terbatas. Komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim telah didorong melalui forum internasional.

Setelah bergabung kembali dengan Perjanjian Paris selama pemerintahan Biden – Harris, Amerika Serikat (AS) secara aktif mendorong warga dunia untuk mengatasi perubahan iklim melalui kebijakan dan perencanaan pembangunan strategis. Baru-baru ini, AS baru saja mengeluarkan peraturan baru yaitu Inflation Reduction Act (IRA) untuk mendorong pemanfaatan teknologi energi bersih. Target AS adalah mengurangi 50-52% emisi GRK pada tahun 2030 dan menggunakan 100% listrik bersih pada tahun 2035 sebelum menjadi nol emisi karbon pada tahun 2050.

Nathan Hultman, direktur Center for Global Sustainability University of Maryland, dalam sesi kuliah umum yang terselenggara atas kerja sama  Kantor Staf Presiden Indonesia, dan Institute for Essential Services Reform mengatakan bahwa ia yakin bahwa kita dapat mencapai tingkat 1,5 derajat.

“Kita telah membuat beberapa kemajuan dan masih di jalur 1,5 derajat. Namun bukan berarti pekerjaan kita telah selesai. Kita memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan terutama melalui kebijakan,” kata Nathan.

Nathan menekankan perlunya pendekatan multi-stakeholder dalam menangani keadaan darurat iklim melalui transisi energi. Ia menjelaskan, pemerintah pusat merupakan pemangku kepentingan penting dalam menentukan arah transisi energi. Namun, dalam transisi energi kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah nasional karena gagasan transisi energi harus dipahami dan dilaksanakan oleh banyak aktor termasuk pemerintah tingkat daerah dan bahkan sektor swasta.

“Misalnya di AS pada masa pemerintahan Trump tidak begitu banyak terjadi kemajuan (kebijakan iklim), tetapi ada beberapa kemajuan di tingkat sub-nasional yang mendorong kebijakan nasional di pemerintahan mendatang,” jelasnya.

Menyadari bahwa sebagian besar negara demokratis memiliki pemangku kepentingan yang sama, pendekatan ‘All in’ ini dapat diduplikasi di negara lain. Setiap negara berbeda, tetapi masing-masing dari kita memiliki kesempatan untuk berbuat lebih banyak.

Memainkan peran strategis sebagai pemimpin G20 tahun ini, Indonesia memiliki peran krusial dalam mencapai tujuan iklim global. Dengan mengajukan komitmen iklim yang lebih ambisius, mempercepat energi terbarukan ke dalam sistem, dan mengadopsi kendaraan listrik dalam jumlah besar, Indonesia dapat menginspirasi negara lain untuk menunjukkan tindakan nyata dalam mengatasi krisis iklim.

Setiap negara perlu mencari cara strategis untuk melakukan transisi, perlu untuk belajar dan menggali inspirasi dari negara lain. Komitmen global untuk mendukung pendanaan transisi energi harus dipenuhi untuk membantu negara-negara berkembang dalam menjalankan transisi dengan lancar.

Hageng Nugroho, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden menekankan peran kolaborasi global untuk mencapai target net zero.

“Indonesia berencana untuk menjadi net zero pada 2060, dan dalam mencapainya kita menghadapi beberapa kendala dari teknologi hingga pendanaan. Setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan oleh suatu negara untuk menghindari dampak fatal krisis iklim. Pertama, memenuhi target NDC, mendorong partisipasi warga dan pemangku kepentingan potensial dalam transisi energi,   memperkuat kemitraan global, dan mendorong pembangunan ekonomi hijau,”

Hageng menambahkan, poin terpenting adalah memastikan komitmen itu diwujudkan dalam tindakan, bukan hanya pada level kebijakan.