Indonesia’s Ahok bags top job at state energy giant Pertamina – is a return to politics next?

23 November 2019//9.00

Former Jakarta governor Basuki Tjahaja Purnama, best known as Ahok, has been named the new president commissioner of Indonesian state energy giant PT Pertamina, sparking speculation of a return to politics following his jailing in 2017 for blasphemy.

The Christian and ethnic Chinese politician, who was released in January after serving a controversial two-year term behind bars for insulting Islam, was officially awarded the position on Friday following days of rumour among Indonesia’s political elite.

He will replace outgoing president commissioner Tanri Abeng.

The appointment was met with mixed reaction among economists and analysts in Jakarta. Some praised the move, saying it would help weed out corruption at Pertamina, which as of March had assets worth at least US$65 billion.

“I think if Ahok is going to fit into a state-owned enterprise, he is going to be the top man, since I can’t see him working well with someone over him,” said Keith Loveard, an analyst at Concord Consulting. “[But it might be] difficult at one of the really big firms like Pertamina where a degree of industry knowledge is helpful.

“He has experience in managing a large organisation and has demonstrated his capacity for searching out inefficiency and corruption. As long as he doesn’t get too opinionated – and we all know he has a habit of speaking out a lot – he is going to be a credit to the organisation.”

Ahok was first floated as a likely pick for the position earlier this month, and since then Indonesian media have responded positively.

Indonesian President Joko Widodo, himself a former governor of Jakarta until he handed the position to Ahok in 2014, has recently praised his record. “We know [the quality] of his work,” he said last Saturday, referring to Ahok’s performance as vice-governor between 2012 and 2014.

Ahok became the head of the capital by default in October 2014 when Widodo became president, and he served until 2017, building a reputation as a straight talker who was keen to cut red tape.

Gunarto Myrdal, an economist at Bank Maybank Indonesia in Jakarta, said Ahok had shown professionalism and integrity in the past, and was qualified for the position.

“A key figure like him would be fit to be a leader or executive at a strategic enterprise such as Pertamina or [electricity provider] Perusahaan Listrik Negara,” he said.

Ahok’s blasphemy conviction was the result of a comment he made while campaigning for re-election as Jakarta governor. He did not appeal against the sentence and opted to serve the term at a prison in Depok just outside the capital. He subsequently lost the election.

Born in Manggar in East Belitung island, he is a member of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI), which is Widodo’s political vehicle and the party with the most seats in the Indonesian legislature. The organisation is chaired by Megawati Sukarnoputri, daughter of late president Sukarno.

Ahok’s return to public life has sparked talk in recent days of a possible political comeback, but Loveard poured cold water on that idea.

“No, I don’t think that will happen. There has been a degree of protest even over a job for him in a state-owned enterprise, and I don’t believe any political party would want to take the risk of stirring up the hornets’ nest once more.”

Mohamad Qodari, an analyst and executive director of political consulting firm Indo Barometer, said Ahok’s political future had been terminated as he was now perceived in a negative light by many Indonesians, especially Muslims.

“I don’t see Ahok having a chance of returning to the political arena if you define political life as running for mayor or regent, for example. His name is now negative to the public due to his straight-talking behaviour.”

Fabby Tumiwa, executive director of the Institute for Essential Service Reform, said Ahok’s appointment raised concerns about the lack of clear procedures and criteria for talent scouting at state enterprises, especially at the policy decision level.

“I have not seen President Widodo announce anything on the criteria for picking executives,” Fabby said.

Rini Soemarno, the former cabinet minister previously in charge of state enterprises, had failed to implement proper mechanisms for hiring and firing, Fabby added, and executives at Pertamina had been appointed in a process seen as fishy. “Not to mention that state enterprises have been cash cows for political elites and bureaucrats,” he said.

Corporate organisational structure in Indonesia differs from that in many other countries. Indonesian firms have a board of commissioners chaired by a president commissioner. The board supervises management policies and advises the company’s board of directors, which is responsible for daily management and operations. The CEO, referred to as the president director in Indonesia, chairs the board of directors.

Erick Thohir, who took over as the minister for state enterprises this month, did not respond to requests for comment. Neither did his two vice-ministers, Budi Gunadi Sadikin and Kartika Wirjoatmodjo.

Artikel asli

Waduk untuk Pembangkit, PLN Menanti Kerja Sama Kementerian PUPR

14 November 2019//19:08 WIB

Bisnis.com, JAKARTA – PT PLN (Persero) mengaku telah mengajukan permohonan kerja sama ke Kementerian PUPR untuk mendapatkan ijin memanfaatkan waduk eksisting sebagai pembangkitan.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengatakan pembangunan pembangkit dengan memanfaatkan waduk eksisting akan mempercepat realisasi bauran EBT. Setidaknya, produsen listrik tidak perlu membangun bendungan maupun waduk untuk membangun PLTA sehingga waktu konstruksi dapat dipersingkat.

Sripeni mengatakan dengan memanfaatkan waduk milik Kementerian PUPR, pembangunan pembangkit listrik tenaga hydro dapat dilakukan dalam waktu tiga tahun atau lebih singkat dari biasanya yang selama lima tahun. Pada satu tahun pertama pengadaan pembangkit listrik tenaga hydro, PLN akan melakukan studi kelayakan (feasibility study/FS).

Setelah itu, dua tahun selanjutnya akan dilakukan pembangunan pembangkitan. Artinya, dalam tiga tahun saja, pembangkit tersebut sudah dapat beroperasi komersial (commercial operation date/COD).

Menurutnya, selain dapat mempersingkat waktu pengadaan pembangkitan, waduk yang dibangun Kementerian PUPR juga memiliki ukuran-ukuran besar sehingga potensi listrik yang dihasilkan juga akan sebanding besarnya.

“Tiga [tahun] sudah jadi dengan memanfaatkan itu, cuma masalahnya waduk ada yang memang secara teknis bisa dimanfaatkan, masih cukup lahan untuk plant stall atau teknologi-teknologi, masih ada yang perlu kita kaji dan kita perlu detailkan,” katanya, Kamis (14/11/2019).

Sripeni menegaskan rencana memanfaatkan waduk tersebut sangat penting untuk mempercepat bauran EBT 23% pada 2025. Apabila mendorong realisasi pengadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) akan membutuhkan waktu tujuh tahun.

Sementara itu, jika memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) maupun pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) , diakuinya, bisa lebih cepat. Hanya saja, sifat PLTS dan PLTB adalah intermiten sehingga tetap perlu dibangun pembangkit yang mampu menjadi beban dasar (base load).

PLN juga memiliki pilihan untuk memanfaatkan sumber daya biomassa setempat. Hanya saja, listrik yang diproduksi biasanya kecil dan juga memperlukan sosialisasi ke masyarakat.

“23% pada 2025, itu mesti kita rinci, karena ebt ini relatif. Saya lagi nunggu Menteri PUPR dan PLN sudah mengajukan permohonan kerja sama,” katanya.

Direktur Perencanaan PLN Syofvi Felienty Roekman mengatakan pihaknya menarget pada tahun depan kerja sama dengan Kementerian PUPR tersebut sudah dapat dilakukan.

Rencananya, salah satu lokasi yang potensi airnya akan dimanfaatkan sebagai waduk sekaligus pembangkit listrik  berada di Kalimantan Timur. Pembangunan pembangkit listrik tenaga hidro di Kalimantan Tiur bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik ibukota baru.

Menurutnya, meskipun nota kesepahaman belum ditandatangi, pihaknya dengan Kementerian PUPR telah melakukan diskusi panjang untuk membahas rencana tersebut. Rencana tersebut dinilai harusnya bisa terealisasi tahun depan mengingat kebutuhan listrik yang cukup besar di sejumlah lokasi, terutama ibu kota baru di Kalimantan Timur.

Apalagi, rencana memanfaatkan waduk sebagai pembangkit listrik di Kalimantan Timur sejalan dengan harapan pemerintah yang menginginkan pemanfaatan energi baru terbarukan 100% sebagai sumber bahan bakar pembangkit listrik di ibu kota baru.

Adapun berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 – 2028, potensi energi primer di Kalimantan Timur meliputi cadangan Batu Bara 25 miliar ton, Uranium, Cadangan Gas Bumi 46 triliun standard cubic feet (TSCF), cadangan Minyak Bumi 985 Million Stock Tank Barrels (MMSTB), potensi Gas Metan Batu Bara (CBM) 108 TSCF, Air 830 MW, Bioenergi 13,5 MW, dan Surya 0,7 MW.

Pemerintah melalui Kementerian ESDM memprediksi kebutuhan tambahan tenaga listrik di ibu kota baru yakni sekitar 1.196 MW. Sedangkan, untuk menjamin keandalan dengan cadangan atau reserve margin 30%, dibutuhkan pembangunan pembangkit sekitar 1.555 MW.

Sembari menunggu nota kesepahaman tersebut diteken, PLN saat ini juga sedang menyusun rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2020 -2029 yang nantinya akan memetakan sejumlah lokasi yang akan menerapkan kerja sama tersebut. Penentuan lokasi sangat penting lantaran tidak lokasi yang berpotensi dibangun waduk memiliki kebutuhan listrik yang tinggi.

PLN perlu memetakan demand atau kebutuhan listrik sebelum menentukan lokasi mana yang waduknya dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan. Hingga saat ini, lokasi yang dapat dipastikan untuk dilakukan pemanfaatan waduk sebagai pembangkitan adalah di Kalimantan Timur.

“Kemarin yang diminta Kalimantan Timur karena ingginya suplai EBT sesuai kebutuhan, ekpektasinya untuk mendukung ibu kota baru,” katanya.

PLN akan mengincar pembangunan pembangkit listrik pada waduk-waduk baru yang akan dibangun. Pasalnya, waduk-waduk eksting saat ini memiliki debit air kecil sehingga tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk pembangkitan.

Apabila kerja sama tersebut disepakati, PLN dan PUPR akan duduk bersama dalam mengembangkan desain waduk sehingga dapat sesuai untuk memenuhi kebutuhan pembangkitan.

“Waktu pertama kali bangun aduk, kita merencanakan un sudah harus duduk bersama-sama membahas berapa debiy mau bikin bendungan, desainnya sama, kita sebut joint planning,” katanya.

Terpisah, Kementerian ESDM mengaku mendukung rencana PLN melakukan kerja sama dengan Kementerian PUPR dalam membangun pembangkitan di waduk maupun bendungan.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris mengatakan sebenarnya kerja sama dalam pemanfaatan nilai tambah waduk telah dilakukan. Hanya saja kerja sama tersebut dilakukan antara Kementerian ESDM dengan Kementerian PUPR dengan pemanfaatan nilai tambah waduk berupa pemenuhan air baku, untuk irigasi, dan pembangkit listrik.

Dalam perjalanannya, pemanfaatan waduk untuk pembangkit listrik menjadi terkendala sejak dirilisnya peraturan menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi baru terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Beleid tersebut mewajibkan setiap pembangunan pembangkit EBT harus dilakukan melalui mekanisme pengadanaan yang memerlukan proses seleksi.

Di lain sisi, lantaran waduk yang dibangun merupakan aset Kementerian PUPR, juga dilakukan pelelangan untuk konstruksi. Dua mekanisme lelang tersebut menjadi tumpang tindih dan menghambat pengembangan waduk sebagai pembangkitan.

“Nah memang potensi itu banyak, kan ada ratusan waduk bisa dikembangkan dan melalui kementerian pupr dilakukan semacam meningkatkan nilai tambah aset dengan mengundang partispasi swasta mengembangkan PLTMH, rencana listrik jual ke PLN, konsepnya seperti itu kmren ad kendala kita lagi berproses,” katanya.

Direktur Institute For Essential Services (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kerja sama antara PLN dan Kementerian PUPR dalam memanfaatkan waduk sebagai pembangkitan seharusnya sudah dimulai sejak lama. Setidaknya, selain dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga hydro, waduk tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai PLTS terapung maupun pump storage.

PLTA pump strorage akan menyokong atau menjadi cadangan sumber daya pembangkit energi baru terbarukan (ebt) yang bersifat intermiten atau tidak stabil. Pump Storage akan memanfaatkan air yang dibendung untuk mengerakkan turbin dalam menghasilkan listrik.

“Menurut saya ini hal yang bagus untuk diterapkan, sepanjang layak teknis dan ekonomisnya. Waduk yang dirancang multipurpose bisa saja dikembangkan menjadi pembangkit listrik ,” katanya.

Artikel asli

Solar Langka, Pengusaha Angkutan Tekor Rp800 Juta

Sabtu, 16 November 2019//10:35

FAJAR.CO.ID,SURABAYA– Dampak sulitnya mencari solar bersubsidi kian meluas. Di Surabaya, misalnya, banyak angkutan yang telat masuk Pelabuhan Tanjung Perak gara-gara bahan bakar langka. Banyaknya truk yang ketinggalan kapal menghambat arus pengiriman barang.

Ketua Organda Khusus Pelabuhan Tanjung Perak Kody Lamahayu menjelaskan, ada beberapa jenis barang yang pengirimannya sedikit terlambat. Contohnya sembako, besi, dan kayu. ”Kebanyakan diangkut ke Kalimantan dan Sulawesi,” katanya.

Kelangkaan solar, menurut Kody, membuat pengusaha angkutan yang beroperasi di kawasan pelabuhan kelimpungan. Sebagian terpaksa meliburkan armadanya. Mereka mengaku tidak mampu membeli bahan bakar jenis dexlite yang lebih mahal dua kali lipat. ”Pekan depan kami akan rapat. Jika masih langka, kami akan berhenti beroperasi,” ucap Kody. Dia mengungkapkan, banyak pemilik angkutan yang kena tegur pengguna jasa gara-gara barang yang dikirimnya molor.

Ketua DPC Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Surabaya Putra Lingga membeberkan, dalam sehari truk bisa mengangkut barang dua kali. Setelah solar langka, kendaraan hanya bisa sekali melakukan perjalanan.

”Ruginya rata-rata Rp 500 ribu sehari,” katanya. Menurut Putra, saat ini ada 1.600 anggota Aptrindo Surabaya. Jika dijumlahkan, total kerugian mencapai Rp 800 juta dalam sehari. ”Namun, perlu ditegaskan, saat ini kami masih memutuskan untuk jalan. Tidak ada stop operasi,” tambah dia.

Hal senada diungkapkan Sekjen Aptrindo Jatim Eddo Adrian Wijaya. Dia mengaku tidak pernah diberi perincian mengenai berapa solar yang bisa didistribusikan hingga akhir tahun. Karena tidak ada sosialisasi, sebagian besar pengusaha menolak pembatasan solar. Ketika saat ini stok solar menipis, mereka ingin ada komunikasi yang transparan, baik dari pemerintah maupun Pertamina.

”Karena kami ini, mau enggak mau, harus menaikkan tarif pengiriman barang 40 sampai 60 persen. Harga dexlite kan mahal lebih dari 100 persennya solar,” ujarnya. Padahal, rata-rata klien menolak kenaikan tarif tersebut. Sementara pengusaha truk tidak memiliki solusi lain selain menaikkan tarif pengiriman barang.

Eddo mengingatkan pemerintah agar memikirkan risiko inflasi yang timbul akibat menipisnya persediaan solar. Sebab, banyak pengiriman logistik yang tertunda, pembayaran sopir yang lebih mahal, dan pengeluaran untuk membeli dexlite yang membuat pengusaha tekor. Pengiriman barang untuk ekspor juga tertunda.

Akibatnya, harga barang semakin mahal. ”Ya artinya tidak hanya pengaruh ke kenaikan harga barang untuk domestik, tapi barang yang mau diekspor juga jadi lebih mahal. Belum lagi pengiriman barang ke luar negeri terlambat. Nanti bisa inflasi dan barang ekspor kita tidak bisa bersaing di pasaran,” jelasnya.

Akibat Pengurangan Kuota

Kosongnya stok solar bersubsidi di SPBU-SPBU telah menghambat aktivitas masyarakat dan pelaku bisnis. Kelangkaan solar tersebut ditengarai sebagai buntut lebih rendahnya kuota solar bersubsidi tahun ini jika dibandingkan dengan tahun lalu. Ditambah dugaan tidak optimalnya kontrol konsumsi dan distribusi.

”Hampir bisa diprediksi (kelangkaan solar, Red). Memang kuota tahun ini lebih rendah daripada tahun lalu. Padahal, seharusnya kuota tahun ini ditambah karena asumsi pertumbuhan ekonomi masih di atas 5 persen,” ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman kepada Jawa Pos kemarin (15/11).

Petugas SPBU Gunung Gedangan, Kota Mojokerto, bersantai karena stok solar kosong. (Sofan Kurniawan/Jawa Pos Radar Mojokerto)
Mengenai alasan lebih rendahnya kuota tahun ini daripada tahun lalu, Kyatmaja yang sebelumnya berdiskusi dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan bahwa anggaran 2019 tidak mencukupi. Karena itu, kuota solar bersubsidi diturunkan dari 15,6 juta kiloliter tahun lalu menjadi 14,5 juta kiloliter tahun ini.

”Angka tersebut sedari awal sudah disinyalir kurang. Kami mengkhawatirkan November dan Desember tersendat. Ternyata, benar-benar terjadi di lapangan,” ungkapnya.

Di samping masalah kuota tersebut, Kyat menyoroti kontrol distribusi dan konsumsi solar bersubsidi di lapangan. Pada kesempatan sebelumnya, Pertamina sempat menyinggung solar bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Dia berpendapat, memang ada berbagai kejanggalan di sejumlah titik kelangkaan solar.

”Pertamina pernah membeberkan bahwa ada dua daerah yang konsumsi solar subsidinya lebih tinggi daripada Pulau Jawa. Yaitu, Riau dan Kaltim. Ini kan aneh,” katanya.

Sebab, jumlah penduduk Jawa jauh lebih besar jika dibandingkan dengan Riau dan Kaltim. Selain itu, dua daerah tersebut didominasi sektor CPO (crude palm oil) dan pertambangan yang armada truknya tidak boleh menggunakan solar bersubsidi.

Secara regulasi, memang ada kendaraan-kendaraan yang dibatasi untuk menggunakan solar bersubsidi. Antara lain, kendaraan pengangkut hasil perkebunan (perkebunan besar), kehutanan, dan pertambangan dengan roda lebih dari enam, baik dalam kondisi bermuatan maupun kosong. Selanjutnya, larangan penggunaan solar bersubsidi juga diberlakukan pada mobil tangki BBM, CPO, dump truck, truk trailer, serta truk molen (pengangkut semen).

Aptrindo sudah mendapat laporan dari anggota di tiga daerah yang mengeluhkan kesulitan mendapatkan solar. Tiga daerah yang dimaksud adalah Banten, Surabaya, dan Jambi. Menurut Kyat, tak ada pilihan selain menunggu distribusi kembali normal. Pihaknya kini menginventarisasi daerah mana saja yang kesulitan solar untuk kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat.

Di pihak lain, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menduga kelangkaan itu memang terjadi by design. Pertamina sengaja mengendalikan volume distribusi. Terutama untuk solar. ”Solar disubsidi dengan kuota tertentu. Saya duga kuotanya sudah mau habis. Jadi, peredarannya harus dikendalikan supaya subsidinya tidak membengkak,” ulasnya.

Dalam subsidi tersebut, Pertamina memiliki perhitungan soal interval kuota yang harus diberikan. Sementara saat ini kuota itu diduga sudah melebihi ambang batas. ”Makanya dikendalikan. Terlebih, akhir tahun kan masih 1,5 bulan lagi,” ucapnya.

Karena dikhawatirkan bikin rugi dan berpengaruh ke keuangan internal, diambil langkah tersebut. Dengan begitu, diharapkan pengguna beralih ke Pertamina dex atau lainnya yang harganya lebih mahal.

Sementara itu, Pertamina tak memberikan jawaban saat dimintai konfirmasi oleh Jawa Pos. VP Corporate Communications Pertamina Fajriyah Usman hanya memberikan keterangan resmi yang berisi pernyataan bahwa Pertamina akan memastikan ketersediaan solar bersubsidi di SPBU untuk mencukupi kebutuhan konsumen.

”Untuk menjaga keandalan distribusi ke masyarakat, Pertamina menambah sekitar 20 persen suplai solar untuk memastikan pemerataan penyaluran dan percepatan distribusi,” ujar Fajriyah kemarin. (JPC)

Artikel asli

IESR: Posisi Dirut Definitif PLN Berikan Kepastian

Kamis, 31 Oktober 2019 01:32 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan direktur utama (dirut) dan direksi definitif akan memberikan kepastian bagi PLN dan juga mitra-mitra PLN. Fabby menyampaikan posisi Sripeni Inten Cahyani yang hingga kini masih menjabat sebagai pelaksana tugas (plt) dirut PLN dirasa belum cukup ideal dalam melakukan sejumlah program di PLN lantaran persoalan status.

Meskipun begitu, kata Fabby, penting bagi Menteri BUMN Erick Thohir mempunyai konsep untuk memperkuat tata kelola PLN dan struktur manajemen yang dapat membuat PLN efektif mengatasi tantangan ke depan. Ini termasuk mencari kriteria direksi yang dapat menghadapi tantangan tersebut.

“Jadi walaupun ada urgensi tapi sebaiknya tidak buru-buru atau grasa-grusu, tapi saya harapkan di awal 2020 sudah ada direksi (PLN) definitif,” lanjutnya.

Pantauan Republika.co.id, Plt Dirut PLN Sripeni Inten Cahyani terlihat mendatangi Kantor Kementerian BUMN pada Rabu (30/10) sekira pukul 13.00 WIB. Inten didampingi Direktur Pengadaan Strategis I PLN Djoko Rahardjo Abumanan. Inten enggan memberikan jawaban saat ditanya tentang wacana adanya dirut definitif PLN. Dia menilai kehadirannya ke Kantor Kementerian BUMN tidak ada kaitannya dengan posisi dirut PLN yang masih lowong.

“Menghadap Pak Deputi (Kementerian BUMN), mau konsolidasi, update saja,” kata Inten.

Artikel asli

Batubara Masuk Komponen Tarif Listrik

Rabu, 30 Oktober 2019/ 22:46 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Keputusan pemerintah memasukkan harga patokan batubara menjadi salah satu faktor dalam penentuan penyesuaian tarif listrik menuai tanggapan dari sejumlah pihak.

Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan ketiga atas Permen ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero).

Dengan beleid yang diteken oleh Menteri ESDM Ignatius Jonan pada 10 Oktober 2019 saat itu, PLN dapat melakukan penyesuaian tarif pada 13 golongan pelanggan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, pemerintah perlu memperhatikan aspek transparansi.

“Perlu dijelaskan kepada publik berapa harga energi primernya, dan komponen lainnya berapa sehingga nanti bisa diawasi. Jika dalam keseluruhan biaya produksi turun ya tarif turun, dan sebaliknya,” sebut Fabby kepada Kontan.co.id, Rabu (30/10).

Lebih jauh Fabby menjelaskan, penetapan tarif biasanya didasari dengan asumsi atau acuan harga energi primer yang menyumbang terhadap produksi listrik PLN. Perubahan pada energi primer ini lah yang akan berdampak pada naik atau turunnya tarif selain komponen inflasi dan nilai tukar.

Poin tersebut yang dinilai Fabby penting untuk disampaikan kepada publik. Fabby menilai kehadiran komponen batubara akan berdampak positif bagi PLN.

Dalam catatan Kontan.co.id, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku tak lagi bersikeras meminta perpanjangan harga patokan batubara untuk kelistrikan sebesar US$ 70 per ton yang akan berlaku hingga akhir tahun ini.

Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengungkapkan, pihaknya mengambil langkah tersebut lantaran pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menetapkan 13 golongan tarif tenaga listrik yang akan terkena penyesuaian tarif alias tariff adjustment.

“Nggak (meminta diperpanjang harga patokan batubara US$ 70 per ton) kalau sudah ada tariff adjustment. Karena memperhitungkan bagaimana fluktuasi harga batubara acuan sebagai indikator kebijakan (penyesuain tarif),” ungkap Sripeni saat ditemui di peluncuran SPKLU di kawasan BSD, Serpong, Senin (28/10).

Tariff adjustment tersebut bisa dilaksanakan setiap tiga bulan apabila terjadi perubahan, baik peningkatan maupun penurunan salah satu dan/atau beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik.

Beleid tersebut menyebutkan empat faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian BPP, yakni: nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah (kurs), Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, dan harga patokan batubara.

Artinya, turun atau naiknya tarif listrik untuk 13 golongan tersebut bergantung dari pergerakan harga keempat komponen tersebut.

“Jadi ini kan sebagai antisipasi karena harga patokan berakhir di tahun ini. Saat ini harga batubara sedang rendah, dan saat yang tepat untuk merumuskan kembali,” kata Sripeni.

Saat ini, harga batubara yang tercermin dari Harga Batubara Acuan (HBA) memang terus menurun di bawah harga patokan US$ 70 per ton. Bahkan, HBA Oktober 2019 telah menyentuh US$ 64,8 per ton, terendah dalam tiga tahun terakhir.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berharap kehadiran aturan ini dapat berdampak positif bagi industri batubara.

“Kami berharap PLN dapat membeli batubara dengan harga pasar, dengan demikian akan turut mendukung perbaikan kondisi batubara nasional,” jelas Hendra kepada Kontan.co.id, Rabu (30/10).

Lebih jauh Hendra menjelaskan, harga batubara berpeluang membaik pada November mendatang kendati tidak signifikan. Menurut Hendra, jelang akhir tahun di mana memasuki musim dingin, permintaan batubara akan cenderung meningkat.

Artikel asli

Semiloka : Memperkuat Kontribusi Non-State Actors (NSA) untuk Percepatan Implementasi Aksi Perubahan Iklim di Indonesia

Aryaduta, 14 April 2016

Aksi-aksi perubahan iklim memerlukan pendekatan dan solusi inovatif yang melebihi dominasi pemerintah atau yang biasa dikenal dengan top-down approach. Peran dari non-state actors (pelaku-pelaku non-pemerintah) dilihat penting untuk mengisi kesenjangan (gap) dari pencapaian ambisi aksi mitigasi antara sebelum dan sesudah tahun 2020. Laporan UNEP pada tahun 2015 menyimpulkan bahwa komitmen aksi yang dilakukan oleh pelaku-pelaku non-pemerintah dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 2,9 Gton CO2-eq di tahun 2020[1], hampir setengah dari komitmen aksi mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh pemerintah.[2]

Paris Agreement telah menempatkan landasan yang kuat bagi inisiatif pelaku non-pemerintah (pemerintah lokal, kota, inisiatif swasta atau bisnis, dan organisasi non-pemerintah serta komunitas) untuk berpartisipasi dalam pencapaian tujuan tertinggi konvensi perubahan iklim, yaitu untuk membatasi kenaikan temperatur rata-rata lebih dari 2 derajat. Para pelaku non-pemerintah dapat melakukan aksi mitigasi dengan mengisi kesenjangan yang disebabkan oleh kurangnya aksi yang dilakukan oleh pemerintah yang tergabung di dalam UNFCCC.

Laporan UNEP di tahun 2015 telah mengidentifikasi sekitar 180 inisiatif kerja sama internasional, mencakup lebih dari 20.000 organisasi yang bertujuan untuk mengurangi emisi GRK melalui berbagai macam aktivitas. Pelaku inisiatif-inisiatif ini termasuk di dalamnya adalah bisnis dan perusahaan, kota dan regio, serta inisiatif sektoral. Walau demikian, laporan yang sama juga mencatat bahwa terdapat beberapa area lain yang belum dapat diatasi melalui aksi-aksi spesifik, dikarenakan lingkup inisiatif yang sangat luas dan beragam; mulai dari dialog tingkat tinggi hingga aksi-aksi mitigasi yang konkrit.

Institute for Essential Services Reform (IESR) didukung oleh Climate Knowledge Development Network (CDKN) mengadakan semiloka pada tanggal 14 April 2016 yang lalu, sebagai langkah pertama untuk mengerti kealamian (nature) dari inisiatif-inisiatif yang dilakukan oleh para pelaku non-pemerintah (NSA) yang ada di Indonesia, bagaimana perkembangannya, dan pada saat yang bersamaan berupaya untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada terkait dengan aksi-aksi mitigasi yang dilakukan. Beberapa pertanyaan dasar yang diharapkan dapat terjawab melalui semiloka ini antara lain:

  1. Siapa dan di mana lokasi kerja mereka (bisnis, kelompok masyarakat sipil, kota atau daerah, inisiatif sektoral?)
  2. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh pelaku-pelaku non-pemerintah ini?
  3. Bagaimana inisiatif-inisiatif yang mereka lakukan dapat dikaitkan dengan UNFCCC?
  4. Apa yang menjadi target dari NSA tersebut dan apa yang telah dicapai (dalam hal penurunan emisi)?

Mengerti kealamian dari inisiatif NSA ini akan sangat berguna untuk pengembangan kerangka dalam rangka mengintegrasikan NSA ke dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang diperlukan untuk diajukan sesuai dengan Paris Agreement, serta untuk merancang mekanisme yang sesuai untuk tracking dan MRV, sehingga nantinya dapat dimasukkan ke dalam berbagai bentuk komunikasi Indonesia kepada UNFCCC, baik dalam bentuk biennial update report maupun national communication.

Semiloka ini terdiri dari tiga sesi dan menghadirkan beberapa narasumber, itu:

  1. Sesi 1: Framing session: Fabby Tumiwa, Institute for Essential Services Reform (IESR)
  2. Sesi 2: Aksi-aksi mitigasi yang dilakukan oleh pelaku-pelaku non-pemerintah:
  3. Ibu Sinta Kaniawati, Unilever
  4. Bapak Irvan Pulungan, ICLEI
  5. Ibu Indra Sari Wardhani, WWF Indonesia
  6. Sesi 3: Menjajaki kerangka MRV yang potensial di Indonesia:
  7. Bapak Hari Wibowo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
  8. Bapak Dr. Hardiv Situmeang, KNI-WEC
  9. Bapak Dicky Erwin Hendarto, Sekretariat JCM di Indonesia
  10. Bapak Paul Butarbutar, South Pole

[1] UNEP 2015. Climate commitments of sub-national actors and business: A quantitative assessment of their emission reduction impact. United Nations Environment Programme (UNEP), Nairobi

[2] http://www.ecofys.com.