Belajar Bagaimana AS Berupaya Meraih Peluang Menahan Laju Krisis Iklim

Jakarta, 13 September 2022 – Untuk memerangi krisis iklim, tindakan kita hari ini akan menentukan ekonomi, dan keberlanjutan umat manusia dalam jangka panjang. Laporan IPCC telah memberitahu kita bahwa waktu yang tersisa untuk kita dapat berupaya menahan suhu global pada 1,5 derajat celcius terbatas. Komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim telah didorong melalui forum internasional.

Setelah bergabung kembali dengan Perjanjian Paris selama pemerintahan Biden – Harris, Amerika Serikat (AS) secara aktif mendorong warga dunia untuk mengatasi perubahan iklim melalui kebijakan dan perencanaan pembangunan strategis. Baru-baru ini, AS baru saja mengeluarkan peraturan baru yaitu Inflation Reduction Act (IRA) untuk mendorong pemanfaatan teknologi energi bersih. Target AS adalah mengurangi 50-52% emisi GRK pada tahun 2030 dan menggunakan 100% listrik bersih pada tahun 2035 sebelum menjadi nol emisi karbon pada tahun 2050.

Nathan Hultman, direktur Center for Global Sustainability University of Maryland, dalam sesi kuliah umum yang terselenggara atas kerja sama  Kantor Staf Presiden Indonesia, dan Institute for Essential Services Reform mengatakan bahwa ia yakin bahwa kita dapat mencapai tingkat 1,5 derajat.

“Kita telah membuat beberapa kemajuan dan masih di jalur 1,5 derajat. Namun bukan berarti pekerjaan kita telah selesai. Kita memiliki lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan terutama melalui kebijakan,” kata Nathan.

Nathan menekankan perlunya pendekatan multi-stakeholder dalam menangani keadaan darurat iklim melalui transisi energi. Ia menjelaskan, pemerintah pusat merupakan pemangku kepentingan penting dalam menentukan arah transisi energi. Namun, dalam transisi energi kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah nasional karena gagasan transisi energi harus dipahami dan dilaksanakan oleh banyak aktor termasuk pemerintah tingkat daerah dan bahkan sektor swasta.

“Misalnya di AS pada masa pemerintahan Trump tidak begitu banyak terjadi kemajuan (kebijakan iklim), tetapi ada beberapa kemajuan di tingkat sub-nasional yang mendorong kebijakan nasional di pemerintahan mendatang,” jelasnya.

Menyadari bahwa sebagian besar negara demokratis memiliki pemangku kepentingan yang sama, pendekatan ‘All in’ ini dapat diduplikasi di negara lain. Setiap negara berbeda, tetapi masing-masing dari kita memiliki kesempatan untuk berbuat lebih banyak.

Memainkan peran strategis sebagai pemimpin G20 tahun ini, Indonesia memiliki peran krusial dalam mencapai tujuan iklim global. Dengan mengajukan komitmen iklim yang lebih ambisius, mempercepat energi terbarukan ke dalam sistem, dan mengadopsi kendaraan listrik dalam jumlah besar, Indonesia dapat menginspirasi negara lain untuk menunjukkan tindakan nyata dalam mengatasi krisis iklim.

Setiap negara perlu mencari cara strategis untuk melakukan transisi, perlu untuk belajar dan menggali inspirasi dari negara lain. Komitmen global untuk mendukung pendanaan transisi energi harus dipenuhi untuk membantu negara-negara berkembang dalam menjalankan transisi dengan lancar.

Hageng Nugroho, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden menekankan peran kolaborasi global untuk mencapai target net zero.

“Indonesia berencana untuk menjadi net zero pada 2060, dan dalam mencapainya kita menghadapi beberapa kendala dari teknologi hingga pendanaan. Setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan oleh suatu negara untuk menghindari dampak fatal krisis iklim. Pertama, memenuhi target NDC, mendorong partisipasi warga dan pemangku kepentingan potensial dalam transisi energi,   memperkuat kemitraan global, dan mendorong pembangunan ekonomi hijau,”

Hageng menambahkan, poin terpenting adalah memastikan komitmen itu diwujudkan dalam tindakan, bukan hanya pada level kebijakan.

C20 Desak Perusahaan Utilitas Segera Lakukan Transisi Energi

press release
From left to right: Vivian Lee (SFOC), Fabby Tumiwa (IESR), Federico Lopez De Alba (CFE), Dennis Volk (BNetza), Philippe Benoit (Columbia University) photo by IESR

Bali, 30 Agustus 2022 – Sebagai kontributor utama emisi GRK di sektor energi, Civil of Twenty (C20) Indonesia mendesak perusahaan listrik untuk menetapkan target yang terukur, dan peta jalan mitigasi iklim yang jelas untuk mencapai bebas emisi pada tahun 2050. Civil of Twenty (C20) Indonesia mengundang energi para ahli dan perwakilan dari perusahaan pembangkit listrik G20 untuk membahas dan mendesak strategi jangka panjang agar diusulkan oleh perusahaan pembangkit listrik untuk mempercepat transisi energi bersih di negara masing-masing agar selaras dengan jalur 1,5 derajat Celcius.

Risnawati Utami, Sous-Sherpa C20 Indonesia, dalam sambutan pembukaannya menekankan pentingnya kepemimpinan Indonesia untuk mempromosikan dan melibatkan semua masyarakat sipil untuk mempengaruhi komitmen dan kebijakan negara-negara anggota dalam mengadopsi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kerjasama internasional pengurangan risiko iklim.

“Peran kerja sama internasional melibatkan tanggung jawab pemerintah untuk bekerja sama secara internasional, untuk mendesak implementasi rencana dan strategi untuk mengurangi risiko iklim,” kata Utami dalam webinar C20 bertajuk “Role of G20 Power Utilities in Climate Mitigation Efforts” (29/8).

Mahmoud Mohieldin, COP27 High-Level Champion, menyatakan sekitar 800 juta orang di dunia masih hidup tanpa akses listrik. Dia sangat mendorong tersedianya kebijakan yang memadai, implementasi yang efektif, serta lokalisasi dan pembiayaan sebagai solusi untuk mengatasi masalah energi dan mitigasi krisis iklim.

“Perjanjian Paris perlu diselaraskan dan diintegrasikan dengan kerangka SDG, jika tidak, kita akan menderita karena rekondisi yang buruk dan pendekatan parsial,” kata Moheildin.

Ia berharap, dalam COP27 yang akan diadakan di Mesir, lebih banyak negara akan mengambil pendekatan yang lebih holistik menuju keberlanjutan yang berfokus pada gagasan dan inisiatif implementasi pada dimensi regional, lokalisasi, dan keuangan.

Fabby Tumiwa, Co-chair C20 Indonesia dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa sebagai pemimpin Kepresidenan G20, Indonesia harus mengambil tindakan tegas dalam mengatur utilitas listriknya untuk menerapkan transisi energi.

“Setiap negara harus menemukan caranya sendiri untuk menghadapi transisi energi. Perusahaan utilitas menghadapi tantangan serius, seperti perubahan iklim yang berdampak pada pengoperasian sistem energi, permintaan konsumen yang menuntut lebih banyak listrik terbarukan dengan harga terjangkau, peningkatan kemampuan tenaga kerja yang berkaitan dengan energi terbarukan, hadirnya regulasi untuk membatasi emisi karbon, teknologi baru yang muncul yang menciptakan ketidakpastian dalam model bisnis utilitas saat ini, ”kata Fabby.

Fabby menambahkan bahwa utilitas perlu beradaptasi lebih cepat dihadapkan oleh waktu yang singkat dalam mengatasi krisis iklim. Pembelajaran dan berbagi keahlian di antara anggota G20 sangat penting agar utilitas dapat segera mengimplementasikan solusi mengatasi krisis iklim.

Philippe Benoit dari Global Energy Policy, Columbia University memaparkan bahwa karena BUMN di sektor energi (Stated-owned Power Companies/SPC) memainkan peran penting dalam mengurangi emisi GRK, pemerintah perlu mereformasi-nya dengan mempengaruhi BUMN di sektor energi melalui beragam opsi kebijakan dan intervensi yang ditargetkan secara langsung dan tidak langsung.

“Pemerintah dapat mendukung aksi rendah karbon BUMN energi dengan menyediakan sumber daya untuk BUMN energi dan melakukan advokasi sebagai bagian dari tekanan eksternal. Namun, yang paling mudah bagi pemerintah yang berkomitmen pada kebijakan iklim adalah menggunakan kekuatan pemegang saham dalam perusahaan pemerintah tersebut. Misalnya, arahan formal melalui keputusan dan instruksi Dewan, pengangkatan dan pemberhentian manajemen senior, ”kata Benoit.

Dia menambahkan bahwa reformasinya lain dari BUMN energi seperti menyediakan sumber daya untuk tindakan rendah karbon BUMN energi dengan arahan pemerintah yang jelas dan konsisten, pembiayaan, infrastruktur pelengkap, dukungan administratif dan pengembangan kapasitas untuk BUMN energi.

“BUMN energi perlu berpartisipasi dalam transisi rendah karbon, sebagai mitra, bukan musuh, dan sebagai enabler, bukan hanya produsen. Memberdayakan aksi rendah karbon BUMN energi adalah kunci untuk mencapai tujuan iklim nasional dan global,” katanya.

Joojin Kim, Managing Director Solutions for Our Climate (SFOC) memaparkan pandangan G20 untuk mengakomodasi lebih banyak energi terbarukan dalam sistem tenaga listrik. Dia menggarisbawahi urgensi peningkatan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan melalui penyusunan kerangka tata kelola.

“Kita berada dalam momen penting dan utilitas negara di G20 harus menunjukkan kepemimpinan untuk menyatukan komunitas internasional di sekitar solusi untuk krisis iklim. Banyak negara G20, terutama di Asia, mengalami pengurangan energi terbarukan yang signifikan. Di tengah situasi energi global saat ini, pembatasan menimbulkan ketidakpastian yang berlanjut serta kerugian ekonomi. Untuk mengatasi tantangan seperti itu, negara-negara harus membentuk kerangka tata kelola yang akan memastikan akses yang adil dan kompensasi untuk teknologi yang berkontribusi pada fleksibilitas jaringan untuk mengurangi pengeluaran bahan bakar fosil dan meningkatkan energi terbarukan dalam bauran listrik, ”kata Joojin.

Evy Haryadi, Direktur Perencanaan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Indonesia, menyatakan untuk mencapai target net-zero Indonesia pada 2060 dengan melakukan pensiun dini PLTU batubara dan mengembangkan energi terbarukan membutuhkan investasi yang sangat besar.

“Indonesia membutuhkan investasi sekitar USD 600 miliar untuk netralitas karbon pada tahun 2060. Kami membutuhkan dukungan dana dari internasional. Namun,ternyata untuk membiayai transisi energi melalui inisiatif pensiun dini PLTU, belum ada skema pembiayaannya di pasar, yang ada hanyalah pembiayaan hijau. Dengan demikian, pembiayaan transisi masih membutuhkan beberapa kerangka regulasi, terutama dalam pembiayaan internasional,” kata Evy Haryadi.

Acara ini diselenggarakan oleh kelompok kerja C20 untuk lingkungan, keadilan iklim, dan transisi energi (ECEWG). C20 adalah salah satu kelompok keterlibatan di bawah G20 yang mewakili aspirasi masyarakat sipil.

Menyiapkan Angkatan Kerja yang Akan Terdampak Pengurangan Permintaan Energi Fosil

Jakarta, 6 Juli 2022 – Komitmen global untuk mengurangi penggunaan energi fosil, serta ambisi iklim yang meningkat dari negara-negara pengguna batubara seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Afrika Selatan membuat permintaan batubara global turun secara signifikan. 

Sebagai salah satu negara pengekspor batubara terbesar di dunia, Indonesia perlu mencermati hal ini. Batubara banyak berkontribusi pada penerimaan nasional bukan pajak (PNBP) secara nasional, bagi daerah-daerah penghasil batubara, peran komoditas batubara untuk pendapatan daerah dapat sangat besar. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mencoba melihat implikasi dari kebijakan penghapusan penggunaan batubara dan iklim global dan domestik terhadap perekonomian Indonesia, khususnya bagi para pekerja di sektor tersebut melalui kajian “Mendefinisikan Pekerjaan Masa Depan: Implikasi penghapusan penggunaan batubara terhadap sektor ketenagakerjaan dan transformasi ekonomi di wilayah penghasil batubara Indonesia”.  

Kajian ini juga bertujuan melihat peluang transformasi ekonomi di daerah yang bergantung pada batubara dan memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi pekerja. Julius Christian, penulis kajian ini menjelaskan bahwa data Kementerian ESDM menunjukkan pada tahun 2020 terdapat 167.380 pekerja pada sektor pertambangan batubara. Secara demografi, pekerja ini rata-rata berusia di bawah 40 tahun, sehingga akan masih berada pada usia produktif pada 10 tahun ke depan. 

“Dari sisi tenaga kerja, karena kebanyakan berusia muda terdapat kesempatan untuk melakukan pelatihan untuk persiapan masuk ke industri lain,” kata Julius.

Menyiapkan transformasi ekonomi setelah era ekonomi batubara ini penuh tantangan namun harus tetap dilakukan. Hal ini untuk mengantisipasi permintaan batubara yang dapat turun lebih drastis. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyatakan bahwa jika negara-negara di dunia memiliki aksi iklim yang lebih ambisius untuk mengejar target persetujuan Paris, akan ada penurunan permintaan batubara sebesar 20% pada 2030, 60% pada 2040, dan 90% pada 2050. 

“Penurunan produksi ini juga harus diantisipasi sebab pasti akan berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja di sektor batubara,” Fabby mengingatkan. 

Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif APBI (Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia), juga menambahkan bahwa untuk menyasar pekerja-pekerja yang potensial terdampak, perlu melakukan pemetaan cadangan batubara berdasarkan perusahaan. 

“Supaya proses transformasi ini efektif dan efisien, kita dapat melakukan pemetaan cadangan untuk tiap perusahaan sehingga terlihat umur operasinya seberapa panjang lagi. Untuk perusahaan-perusahaan kecil mungkin pada tahun 2030-2040 sudah habis masa operasinya jadi dapat didahulukan untuk pekerjanya mendapat pelatihan,” jelas Hendra yang hadir dalam diskusi kelompok terpumpun peluncuran kajian “Mendefinisikan Ulang Pekerjaan Masa Depan”.

C20 Indonesia Dorong Transisi Energi Berkeadilan

Jakarta, 30 Juni 2022 – Transisi energi merupakan salah satu isu prioritas dari presidensi G20 Indonesia tahun 2022 ini. Peran sebagai pemimpin kelompok negara G20 ini tentu momentum strategis bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmennya dalam melakukan transisi energi. Persetujuan Paris pada 2015 telah menyepakati untuk menahan kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, bahkan berusaha supaya di level 1,5 derajat. Untuk itu, semua pihak harus menekan emisinya dari sektor-sektor yang tinggi emisi seperti energi dan mencapai status karbon netral pada pertengahan abad ini.

Untuk menggali berbagai perspektif tentang transisi energi, engagement group Civil 20 menggelar workshop bertajuk “Making a Just Energy Transition for All” mengundang engagement group Think 20 (T20), Science 20 (S20) dan Business 20 (B20). Hadir pula sebagai panelis,Widhyawan Prawiraatmadja, mantan gubernur Indonesia untuk OPEC. 

Dari diskusi yang berjalan, seluruh narasumber sepakat untuk meletakkan aspek manusia sebagai poros dari transisi energi. Disampaikan Vivian Sunwoo Lee, koordinator Internasional C20, bahwa C20 terus menyuarakan pentingnya untuk segera beralih dari sistem energi berbasis fosil ke sistem energi berbasis energi terbarukan. 

“Terdapat sejumlah risiko terutama dari sisi finansial dan ekonomi dari infrastruktur energi fosil yang berpotensi menjadi aset terdampar jika kita tidak segera bergegas melakukan transisi energi,” katanya. Vivian juga menyoroti besarnya subsidi energi fosil yang masih diberikan oleh negara-negara G20.

Profesor Yunita Winarto, co-chair Task Force 5 S20 menyatakan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam merencanakan dan melaksanakan transisi energi.

“Pendekatan interdisipliner akan menggeser paradigma dari eksploitatif-ekstraktif menjadi environmentally friendly-resilient, dari ekonomi linier ke ekonomi sirkular, dan dari good governance ke proper governance. Dengan begitu niscaya akan tercipta satu keseimbangan sesuai prinsip planet, people, & prosperity for all,” jelas  Yunita.

Moekti H. Soejachmoen, Lead co-chair Task Force 3 T20, menjelaskan pentingnya instrumen nilai ekonomi karbon dalam konteks transisi energi. 

“Pertumbuhan permintaan energi itu pasti akan terus tumbuh. Itu tidak terelakkan lagi, maka kita harus mencari berbagai cara supaya kebutuhan energi ini terpenuhi, namun di sisi lain kebutuhan kita untuk menurunkan emisi juga tercapai. Maka instrumen nilai ekonomi karbon ini menjadi penting,” jelas Moekti.

Moekti juga menambahkan penting bagi Indonesia untuk memastikan isu yang didorong dalam presidensi G20 tahun ini masih tetap dibahas di tahun-tahun selanjutnya. Mengingat transisi energi merupakan suatu proses yang panjang dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. 

Transisi energi akan mengubah total wajah sektor energi Indonesia. Oki Muraza, Policy Manager Task Force Energy Sustainability and Climate, B20, menjelaskan bahwa faktor keterjangkauan harus menjadi salah satu pertimbangan utama dalam melakukan transisi energi.

“Kita harus memastikan faktor keterjangkauan (affordability) dari energi saat proses transisi ini berjalan dapat terjaga. Selain itu, kita juga perlu memperhatikan orang-orang yang saat ini bekerja di sektor hidrokarbon, bagaimana mereka dapat di training supaya tidak kehilangan pekerjaan dalam transisi energi,” jelas Oki.

Widhyawan Prawiraatmadja mengingatkan bahwa perlu adanya penyelarasan persepsi, aturan dan kebijakan di level kementerian terkait transisi energi dan pencapaian komitmen Indonesia di kancah internasional seperti NDC. Hal ini selain untuk percepatan pencapaian target-target nasional maupun internasional, juga untuk memberikan sinyal yang senada pada investor. 

“Jika sinyal yang dikirimkan pada investor tidak seragam, tentu persepsi para investor adalah risiko berinvestasi di Indonesia tinggi, dan bukan tidak mungkin membuat mereka berpikir panjang untuk berinvestasi,” tutur Widhyawan.

Pemerintah Daerah Berpotensi Besar Kembangkan Obligasi Daerah untuk Pembangunan Hijau

Selain APBN dan APBD, pemerintah daerah kini dapat berinovasi untuk membiayai belanja infrastruktur, terutama yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs),  dengan menerbitkan obligasi daerah dan/atau sukuk daerah sebagai sumber keuangan berkelanjutan.

Hal tersebut dijelaskan oleh Istiana Maftuchah, Perwakilan Otoritas Jasa Keuangan dalam workshop “Perkenalan terhadap Pembiayaan Berkelanjutan dan Obligasi Daerah”  yang dilaksanakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), dengan didukung oleh Kedutaan Besar Inggris Jakarta secara daring (9/3).

“Dorongan global sangat terasa hingga saat ini, apalagi kita menghadapi pandemi Covid-19 dan arah industri jasa keuangan sudah mengarah ke sustainability, dan sekarang sudah ada perubahan paradigma: People, Profit, Planet,” ujar Istiana.

Menurutnya, perkembangan ini mengikuti komitmen Indonesia terhadap SDGs dan juga Persetujuan Paris yang sudah diratifikasi dalam UU No. 16/2016. Ia menandaskan bahwa ketertarikan investor terhadap produk hijau semakin besar dan tidak hanya fokus kepada profit saja.

Istiana memaparkan bahwa terdapat peluang investasi hijau kini menjadi global tren di emerging countries, hingga USD 23 triliun untuk sektor energi terbarukan, transportasi, pengolahan limbah, dan bangunan hijau.

“Untuk pemenuhan kebutuhan investasi dan pembiayaan SDGs Indonesia (2020-2030) dibutuhkan sekitar Rp 67 triliun dengan komposisi 62% dari pemerintah dan 38% dari non pemerintah,” jelas Isti.

Demi mencapai target tersebut, OJK mengeluarkan peta jalan keuangan berkelanjutan, diantaranya dengan terbitnya Peraturan OJK (POJK) 51/03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik dan POJK 60/04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond).

“POJK 60 adalah efek dan utang yang hasilnya akan mendanai kegiatan yang berwawasan lingkungan. Di situ ada 11 kategori kegiatan berwawasan lingkungan, kita tambahkan satu sektor yaitu UMKM, jadi total ada 12 kegiatan berwawasan lingkungan,” imbuh Istiana.

Hadir dalam kesempatan yang sama, Ferike Indah Arika, Analis Kebijakan Ahli Muda, Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM), Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan kembali membahas kebutuhan akan pendanaan yang inovatif untuk pembangunan hijau.

Ferike menuturkan bahwa semenjak tahun 2016, Kemenkeu mengadakan identifikasi anggaran pemerintah yang diarahkan untuk pengendalian perubahan iklim serta untuk mengukur dan mengevaluasi penganggaran itu. Ternyata, rata-rata belanja kementerian dan lembaga (K/L) untuk perubahan iklim mencapai hingga Rp 86,7 triliun.

“Itu adalah angka yang besar yaitu setara dengan 34% kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim pada Second Biennial Update Report (Rp 266,2 triliun per tahun),” ulasnya.

Mengingat APBN Indonesia yang sangat terbatas, maka agar investasi hijau mengalir ke Indonesia, Kemenkeu telah menerbitkan kebijakan fiskal untuk pengendalian perubahan iklim, mencakup 3 kebijakan yakni kebijakan pendapatan negara, kebijakan belanja negara dan kebijakan pembiayaan.

Ferike menjelaskan bahwa dalam kebijakan pendapatan negara, hal yang paling berubah signifikan adalah fasilitas tax holiday dimana sebelumnya persentase pengurangan pajaknya 10-100%, kini menjadi 100%. Ditambah lagi, mengenai jangka waktu tax holiday yang semula dari 5-15 tahun menjadi 20 tahun tergantung nilai investasinya.

Dari aspek kebijakan pembiayaan, Kemenkeu menerbitkan Sovereign Green Sukuk untuk membiayai proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pemerintah.

“Di awal 2018 kami menerbitkan 1st Global Green Sukuk senilai USD 2.25 miliar. Sementara di November 2020, Green Sukuk yang terbit senilai Rp 5.42 Triliun,” papar Ferike.

Selanjutnya, Kemenkeu sedang mempertimbangkan penerapan Carbon Pricing, di antaranya untuk mempromosikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan mendorong Investasi Hijau

“Peraturan terkait Carbon Pricing ini sedang dalam pembahasan yang dikoordinasikan oleh Kemenko Marves dan peraturan tersebut akan berbentuk Perpres,” tandasnya.

 

Peluang Pemerintah Daerah Manfaatkan Obligasi Daerah untuk Pembangunan Hijau

Simon Saimima, Kasubdit Fasilitasi Dana Alokasi Khusus (DAK), Direktorat Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah, Ditjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri menjelaskan mengenai Green Bonds atau Obligasi Daerah.

Sesuai dengan kebijakan penerbitan obligasi daerah, Simon menjelaskan bahwa merupakan hak daerah untuk memberikan pinjaman daerah dengan sinkronisasi dengan RPJMD dan aturan yang terkait.

Selanjutnya, pinjaman daerah akan dibayarkan kembali dari Pemda dalam bentuk obligasi di pasar modal. Green Bonds atau obligasi masuk dalam kategori pinjaman jangka panjang.

Simon memaparkan bahwa tentu obligasi diterbitkan di pasar modal, namun sebagai penjamin adalah pemerintah daerah dalam bentuk aset dan kegiatan yang akan dilakukan di provinsi tertentu. Daerah bertanggung jawab atas segala risiko akibat penerbitan obligasi tersebut.

Secara prosedural, kepala daerah dan DPRD perlu memberikan persetujuan untuk penerbitan obligasi. DPD pun ikut dilibatkan dalam proses tersebut.

“Dokumen untuk persyaratan obligasi daerah ada 9 dokumen, dan ini harus dipenuhi untuk memenuhi syarat dari Kementerian Dalam Negeri,”ungkapnya.

Obligasi yang telah terbit menjadi kewajiban Pemda untuk membayarkan pokok pinjaman dan kupon sesuai dengan perjanjian. Bila tidak membayar, maka Pemda pun akan mendapat sanksi administratif.

Russell Marsh, Green Finance Lead, ASEAN Low Carbon Energy Programme Ernst and Young dalam presentasinya menjelaskan bahwa meskipun kebutuhan akan pendanaan yang berkelanjutan semakin meningkat, namun pihaknya mengidentifikasi tantangan dalam perkembangannya.

Pertama, kurangnya kesadaran dan pemahaman akan risiko lingkungan, sosial dan tata Kelola (LST) dan pentingnya keuangan berkelanjutan baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Kedua, kurangnya definisi, pengukuran, standar dan pengungkapan yang seragam agar lembaga jasa keuangan dapat mengevaluasi proyek-proyek berkelanjutan potensial dan agar pemilik proyek dapat menyusun dokumen pendukung. Ketiga, kurangnya koordinasi antara para pemangku kepentingan dalam implementasi regulasi. Keempat, obligasi berwawasan lingkungan atau green bond bisa saja tidak menciptakan additionality, misalnya hanya membiayai proyek berwawasan lingkungan yang sebelumnya tidak dibiayai.

Adapun beberapa solusi yang Russel tawarkan yakni memberi insentif bagi keuangan berkelanjutan, pengembangan keuangan transisi serta meningkatkan pemahaman dan mambangun kapasitas lembaga jasa keuangan dan pemilik proyek.

 

Kendala Pemerintah Daerah dan Instansi Keuangan dalam Menerbitkan Obligasi untuk Mendukung Pembangunan Hijau

Hadir sebagai narasumber pada workshop hari kedua (10/3) adalah Darwin Trisna Djajawinata, Direktur Operasional & Keuangan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI); serta Rahul Sheth, Executive Director, Head of Sustainable Bonds Standard Chartered Bank. 

 

Dalam paparannya, Darwin banyak membahas tentang kriteria-kriteria proyek yang layak mendapat pembiayaan dari lembaga keuangan. Kelayakan proyek untuk dibiayai ini tergantung pada beberapa hal misal apakah suatu proyek infrastruktur itu masuk dalam RPJM daerah. 

 

“Untuk proyek-proyek yang bersifat pemenuhan hak dan pemberdayaan masyarakat miskin perlu perencanaan yang jauh lebih matang lagi karena pembiayaan ini kan bersifat pinjaman, dan tidak mungkin membebankan pinjaman ini pada warga miskin, maka pemda yang memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjamannya. Nah, skema-skema ini yang perlu direncanakan dengan cermat,” tandas Darwin

 

Kemampuan daerah dalam melihat sektor potensial untuk dikembangkan, menyusun proposal, dan mengelola hutang sangat menentukan kepercayaan lembaga keuangan. Terutama tentang prosedur penerbitan municipal bond (obligasi daerah) yang sangat bergantung pada rekam jejak daerah tersebut dalam mengelola hutang.

 

“Penerbitan municipal bond ini tergantung pada kemampuan daerah dalam mengelola hutang dengan baik, dan saat ini belum banyak daerah yang mampu mengelola hutangnya dengan baik,” tambah Darwin.

 

Rahul Sheth, Executive Director, Head of Sustainability dari Standard Chartered Bank menambahkan bahwa kesiapan dari daerah untuk menerbitkan obligasi ini berbeda-beda. Bagi daerah yang baru akan pertama kali menerbitkan obligasi perlu persiapan yang lebih matang. Dari sisi institusi keuangan, terdapat 2 jenis obligasi yang biasa diterbitkan untuk membiayai proyek-proyek dengan isu spesifik, yaitu green bond untuk membiayai proyek-proyek terkait lingkungan dan iklim, serta social bond untuk membiayai proyek-proyek sosial kemasyarakatan seperti infrastruktur dan  akses keuangan bagi UMKM. 

 

“Pasar social bond ini salah satu yang terbesar,” jelas Rahul. Hal ini menunjukkan potensi besar bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan obligasi daerah. Di ujung pemaparannya, Rahul menjawab pertanyaan peserta, Yugo dari Bank Kalsel, tentang tantangan yang kerap muncul saat penerbitan obligasi.

 

“Data dan otomatisasi data adalah tantangan yang kerap datang. Ketika data yang dimiliki lengkap berbagai hal dapat dilakukan dan dipantau secara otomatis seperti pajak, saldo, maupun laporan keuangan lainnya. Pengumpulan data dan manajemen data menjadi suatu proses yang kritis dalam industri ini,” pungkas Rahul.

 

Beberapa sharing dari peserta tentang kendala dalam menerbitkan obligasi daerah terkait tentang aturan seperti sovereign guarantee yang baru diberikan pada BUMN bukan BUMD yang otomatis menyulitkan pemerintah daerah dalam merencanakan penerbitan obligasi untuk proyek-proyek strategis.

JawaPos | IESR Dorong Pemanfaatan Batu Bara untuk Kebutuhan Domestik

20 Januari 2020, 18:23:46 WIB

JawaPos.com – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyebutkan bahwa saat ini banyak negara yang berlomba-lomba untuk memanfaatkan cadangan batu bara. Pasalnya, saat ini sedang terjadi transisi dari pemanfaatan energi fosil menjadi energi terbarukan.

“Ada transisi dari fosil fuel ke renewable (atau) energi terbarukan. Negara-negara yang menjadi tujuan ekspor kita beberapa juga punya batu bara, seperti Tiongkok dan India. Negara-negara tersebut juga ingin memanfaatkan batu bara mereka karena mereka tahu waktu pemanfaatan batu bara itu tinggal sedikit,” jelasnya di Balai Kartini, Jakarta, Senin (20/1).

Ia menyebutkan bahwa saat ini, dua negara tersebut tengah melakukan pembatasan ekspor. Tentu mereka ingin memanfaatkan batu bara sebagai energi alternatif di luar gas ataupun liquid natural gas (LNG).

“Jadi, mereka mencoba memodifikasi sumber daya alam, makanya sekarang Tiongkok atau India mengurangi ekspornya. Ini akan menjadi tren baru menurut saya,” tuturnya.

Indonesia diketahui sebagai salah satu pemain batu bara terbesar di dunia. Pada 2019 lalu produksi yang dihasilkan lebih dari 400 juta ton. Padahal, produksi untuk batu bara telah dibatasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Paling tidak kita bisa melihat dan regulasi itu tidak konsisten, seperti rencana energi nasional itu dengan tegas mengatakan membatasi produksi batu bara 400 juta ton di 2019. Kenapa perlu dibatasi? karena dampak pertambangan itu sangat dahsyat,” terangnya.

Di sisi lain, ada negara-negara yang terus menggenjot ekspor batu bara. “Rusia yang melakukan ekspor di sejumlah bagian di Asia Selatan. Afrika Selatan dan Kolombia juga masuk ke pasar Asia. Artinya produk batu bara Indonesia menghadapi saingan di pasar-pasar yang didominasi oleh Indonesia,” katanya.

Artikel asli

Indonesia ‘must stop building new coal plants by 2020’ to meet climate goals

2 December 2019

JAKARTA — Indonesia must stop building new coal-fired power plants by 2020 if it wants to do its part to cap global warming under the targets of the Paris climate agreement, new analysis shows.

The country is one of the few still actively planning and constructing new plants, putting it on a trajectory to miss its climate commitments, aimed at limiting global warming to 1.5 degrees Celsius (2.7 degrees Fahrenheit) above pre-industrial levels and achieving net-zero greenhouse gas emissions by 2050.

In an analysis of four scenarios, carried out by the Institute for Essential Services Reform (IESR), a Jakarta-based think tank, only one would see Indonesia contribute to those goals — and it starts with scrapping the dozens of coal-fired power plants being built or planned.

Achieving that goal, the IESR says, “would require that there are fewer coal plants installed capacity in Indonesia,” including “no more coal plants … built after 2020.”

“The 1.5 [degree] scenario would even need 2 gigawatts less of coal plant installed capacity from current existing capacity by 2020, meaning coal plant phase-out should happen this year,” it adds.

That scenario sees burning of coal phased out altogether by 2048 and the country’s total emissions peak by 2028 at 274 million tons of carbon dioxide equivalent (CO2e) before declining to zero by 2048.

A second, less stringent, scenario projects capping global warming at 2 degrees Celsius (3.6 degrees Fahrenheit) above pre-industrial levels. It too would require stopping building new coal-fired power plants by 2020.

The other scenarios are less ambitious in scope, such as retiring coal plants older than 30 years, and improving the efficiency of existing plants. But these scenarios would mean Indonesia falling short of its climate commitments and contributing to a global temperature rise of 2 to 3 degrees Celsius (3.6 to 5.4 degrees Fahrenheit).

And even then, said IESR executive director Fabby Tumiwa, “we still won’t reach net-zero emissions” by 2050.

The Cilacap coal power plant is located near a port for local fishermen. Image by Tommy Apriando/Mongabay-Indonesia.

Coal building spree

A landmark report by the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) last year warned that the world had until 2030 to cap global warming at 1.5 degrees Celsius to avoid catastrophic climate change impacts. In practice, this means global greenhouse gas emissions will have to drop by half over the next 10 years and reach net-zero around mid-century.

Much of Indonesia’s emissions to date have come from deforestation and land use change, particularly the burning of carbon-rich peatlands to make way for plantations of oil palm, pulpwood, and rubber. But under the current administration’s ambitious energy push, emissions from electricity generation are poised to dominate.

The country’s energy consumption growth is among the fastest in the world, and the government is relying mostly on coal-fired plants to feed that demand. In 2018, coal accounted for 60 percent of Indonesia’s energy mix.

Under the government’s latest electricity procurement plan, the installed capacity of coal plants in the country is expected to nearly double over the next decade from the current 28 gigawatts. Thirty-nine coal-fired power plants are currently under construction, and 68 have been announced, which will maintain coal’s dominance of the energy mix at nearly 55 percent by 2025.

Of six new power plants expected to go online this year, three are fired by coal. (The other three are small-capacity facilities powered by natural gas, hydro and solar, respectively.)

This trajectory risks trapping Indonesia in a high-carbon economy, says the IESR’s Fabby, because once a coal plant is built, it can remain in operation for up to 50 years.

“If we build fossil fuel infrastructure today, the emissions for the next half a century will be locked,” he said. “It’s estimated that our emissions from power plants will be at 700 to 800 million tons of CO2 in 2030.”

Coal spill from July 2018 along a beach in Indonesia’s Aceh province in Sumatra. Image by Junaidi Hanafiah/Mongabay-Indonesia.

Regional outlier

Indonesia’s coal plant building spree makes the country an outlier in Southeast Asia, where governments are increasingly taking a stand against the fossil fuel. Recent analysis by the Global Energy Monitor (GEM) identifies Indonesia as the only country in the region to build new coal energy infrastructure in the first half of 2019.

Thailand in January removed two major coal plants, the 800-megawatt Krabi and 2,200 MW Thepa facilities, from its energy development plan. It also shelved the 3,200 MW Thap Sakae project due to community resistance. The country’s plan also reduces the share of coal in the energy mix from 25 percent envisaged in the previous plan to just 12 percent.

Instead, Thailand is making a major pivot toward clean energy, announcing an ambitious plan to build the world’s largest floating solar farms to power Southeast Asia’s second-largest economy.

In the Philippines, which faces a similar challenge to Indonesia of meeting fast-growing demand for cheap electricity, President Rodrigo Duterte recently called on his department of energy to fast-track the development of renewable energy and reduce dependence on coal. In practice, however, the government still hasn’t issued an executive mandate that would compel the energy department to change its coal-dependent roadmap. And in October, Duterte inaugurated the country’s 21st coal-fired power plant.

And while the region as a whole is home to three of the world’s top 10 biggest networks of planned coal power plants, construction of new plants in Southeast Asia has actually fallen dramatically since peaking at 12,920 MW new installed capacity in 2016, according to the GEM. In 2018, only 2,744 MW of new coal-fired capacity entered into construction.

Christine Shearer, the director of the GEM’s coal program, said coal had become increasingly less attractive for investors in Southeast Asia.

“Coal power is facing something of a perfect storm,” she said. “Communities are rejecting it due to the high levels of pollution, renewable energy technology is undercutting it in terms of quality and cost, and financial institutions are backing away fast, making funding an increasing challenge for coal proponents.”

A worker walking by rows of solar panels at the Kayubihi Power Plant in Bangli, Bali. The Kayubihi Power Plant is the only solar-powered plant operating in Bali out of a total of three plants. Image by Anton Muhajir/Mongabay Indonesia.

Lack of renewable-friendly policies

While the IESR analysis makes clear that Indonesia must begin phasing out coal power as soon as possible if it wants to contribute to the global climate effort, Fabby said doing so will be challenging without a clear exit strategy. He noted that coal mining is an industry that generates significant revenue and jobs for several provinces.

“Of course coal power plants can’t just be closed down, because there’s going to be economic and financial consequences,” Fabby said. “We need energy transition. We also need to anticipate the economic consequences that might happen.”

While the government plans to increase the share of renewables in the energy mix from 7 percent at present to 23 percent by 2025, progress has been sluggish. There are currently no carbon disincentives to encourage investment in renewable energy, while coal-fired power plants continue to receive hefty subsidies.

The government has hitched its renewable wagon to biofuel made with palm oil — a controversial decision, given the deforestation attendant in the production of much of the country’s palm oil.

Fabby pointed to a key omission in the renewable transition for Indonesia, the only country in Asia that lies on the equator: solar power, which remains largely unexploited.

“What we need is the political will,” he said. “For example, Vietnam, in a matter of 12 months they built 4.5 GW of solar. Countries like Vietnam can do it. The key is for the government [in Indonesia] to have the political will, feed-in tariffs and [attractive] prices so that investors can enter.”

Vietnam has turned into a solar power champion in the region, hitting its solar target six years early thanks to the government’s feed-in tariff that ensures a price of 9.35 U.S. cents per kilowatt-hour — thereby giving producers a financial incentive to invest in the sector.

As a result, Vietnam is experiencing a solar boom, with energy consultant Wood Mackenzie predicting the country’s installed solar capacity will reach 5.5 GW by the end of 2019, representing 44 percent of the total for Southeast Asia.

Last year, Vietnam’s installed solar capacity was just 0.134 GW.

Indonesia can also look to India’s transition as an example, said Lauri Myllyvirta, the lead analyst at the Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA). Both countries share similar demographics and a reliance on coal in their energy mix. India, however, has had greater success developing its renewables and easing away from coal, thanks to competitive auctions, according to Myllyvirta.

“So you make renewable energy providers compete for the lowest price and scale up the industry to bring down cost,” he said.

But with no policies in place in Indonesia to bring down the cost of renewables, development of clean energy alternatives will remain expensive, he said.

“If I drink a cup of coffee or eat rice in Australia, the cost is 10 times more expensive [than in Indonesia],” Myllyvirta said. “But if I want to build a solar PV, it’s more expensive in Indonesia. So we can see that the condition [for renewables] in Indonesia isn’t optimal yet. And this isn’t caused by geographical condition, because Indonesia has a lot of sun.”

Kuntoro Mangkusubroto, a former energy adviser to the Indonesian government and now head of the IESR-affiliated Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), agreed that Indonesia risked being left behind in the global transition from coal to renewables without a drastic change in its policies.

“There needs to be a regulation that’s revolutionary,” he said as quoted by local media. “In a short time, coal will become the enemy of the world. Yet Indonesia still depends on coal for its power plants. This has to change immediately.”

Note: This article is adapted from an article published on Nov. 10, 2019, at our Indonesian website: https://www.mongabay.co.id/2019/11/10/bangun-pltu-dan-lepas-hutan-bakal-gagalkan-komitmen-iklim-indonesia-bagaimana-cara-capai-target/

 

Artikel Asli

Indonesia’s Ahok bags top job at state energy giant Pertamina – is a return to politics next?

23 November 2019//9.00

Former Jakarta governor Basuki Tjahaja Purnama, best known as Ahok, has been named the new president commissioner of Indonesian state energy giant PT Pertamina, sparking speculation of a return to politics following his jailing in 2017 for blasphemy.

The Christian and ethnic Chinese politician, who was released in January after serving a controversial two-year term behind bars for insulting Islam, was officially awarded the position on Friday following days of rumour among Indonesia’s political elite.

He will replace outgoing president commissioner Tanri Abeng.

The appointment was met with mixed reaction among economists and analysts in Jakarta. Some praised the move, saying it would help weed out corruption at Pertamina, which as of March had assets worth at least US$65 billion.

“I think if Ahok is going to fit into a state-owned enterprise, he is going to be the top man, since I can’t see him working well with someone over him,” said Keith Loveard, an analyst at Concord Consulting. “[But it might be] difficult at one of the really big firms like Pertamina where a degree of industry knowledge is helpful.

“He has experience in managing a large organisation and has demonstrated his capacity for searching out inefficiency and corruption. As long as he doesn’t get too opinionated – and we all know he has a habit of speaking out a lot – he is going to be a credit to the organisation.”

Ahok was first floated as a likely pick for the position earlier this month, and since then Indonesian media have responded positively.

Indonesian President Joko Widodo, himself a former governor of Jakarta until he handed the position to Ahok in 2014, has recently praised his record. “We know [the quality] of his work,” he said last Saturday, referring to Ahok’s performance as vice-governor between 2012 and 2014.

Ahok became the head of the capital by default in October 2014 when Widodo became president, and he served until 2017, building a reputation as a straight talker who was keen to cut red tape.

Gunarto Myrdal, an economist at Bank Maybank Indonesia in Jakarta, said Ahok had shown professionalism and integrity in the past, and was qualified for the position.

“A key figure like him would be fit to be a leader or executive at a strategic enterprise such as Pertamina or [electricity provider] Perusahaan Listrik Negara,” he said.

Ahok’s blasphemy conviction was the result of a comment he made while campaigning for re-election as Jakarta governor. He did not appeal against the sentence and opted to serve the term at a prison in Depok just outside the capital. He subsequently lost the election.

Born in Manggar in East Belitung island, he is a member of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI), which is Widodo’s political vehicle and the party with the most seats in the Indonesian legislature. The organisation is chaired by Megawati Sukarnoputri, daughter of late president Sukarno.

Ahok’s return to public life has sparked talk in recent days of a possible political comeback, but Loveard poured cold water on that idea.

“No, I don’t think that will happen. There has been a degree of protest even over a job for him in a state-owned enterprise, and I don’t believe any political party would want to take the risk of stirring up the hornets’ nest once more.”

Mohamad Qodari, an analyst and executive director of political consulting firm Indo Barometer, said Ahok’s political future had been terminated as he was now perceived in a negative light by many Indonesians, especially Muslims.

“I don’t see Ahok having a chance of returning to the political arena if you define political life as running for mayor or regent, for example. His name is now negative to the public due to his straight-talking behaviour.”

Fabby Tumiwa, executive director of the Institute for Essential Service Reform, said Ahok’s appointment raised concerns about the lack of clear procedures and criteria for talent scouting at state enterprises, especially at the policy decision level.

“I have not seen President Widodo announce anything on the criteria for picking executives,” Fabby said.

Rini Soemarno, the former cabinet minister previously in charge of state enterprises, had failed to implement proper mechanisms for hiring and firing, Fabby added, and executives at Pertamina had been appointed in a process seen as fishy. “Not to mention that state enterprises have been cash cows for political elites and bureaucrats,” he said.

Corporate organisational structure in Indonesia differs from that in many other countries. Indonesian firms have a board of commissioners chaired by a president commissioner. The board supervises management policies and advises the company’s board of directors, which is responsible for daily management and operations. The CEO, referred to as the president director in Indonesia, chairs the board of directors.

Erick Thohir, who took over as the minister for state enterprises this month, did not respond to requests for comment. Neither did his two vice-ministers, Budi Gunadi Sadikin and Kartika Wirjoatmodjo.

Artikel asli

Waduk untuk Pembangkit, PLN Menanti Kerja Sama Kementerian PUPR

14 November 2019//19:08 WIB

Bisnis.com, JAKARTA – PT PLN (Persero) mengaku telah mengajukan permohonan kerja sama ke Kementerian PUPR untuk mendapatkan ijin memanfaatkan waduk eksisting sebagai pembangkitan.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengatakan pembangunan pembangkit dengan memanfaatkan waduk eksisting akan mempercepat realisasi bauran EBT. Setidaknya, produsen listrik tidak perlu membangun bendungan maupun waduk untuk membangun PLTA sehingga waktu konstruksi dapat dipersingkat.

Sripeni mengatakan dengan memanfaatkan waduk milik Kementerian PUPR, pembangunan pembangkit listrik tenaga hydro dapat dilakukan dalam waktu tiga tahun atau lebih singkat dari biasanya yang selama lima tahun. Pada satu tahun pertama pengadaan pembangkit listrik tenaga hydro, PLN akan melakukan studi kelayakan (feasibility study/FS).

Setelah itu, dua tahun selanjutnya akan dilakukan pembangunan pembangkitan. Artinya, dalam tiga tahun saja, pembangkit tersebut sudah dapat beroperasi komersial (commercial operation date/COD).

Menurutnya, selain dapat mempersingkat waktu pengadaan pembangkitan, waduk yang dibangun Kementerian PUPR juga memiliki ukuran-ukuran besar sehingga potensi listrik yang dihasilkan juga akan sebanding besarnya.

“Tiga [tahun] sudah jadi dengan memanfaatkan itu, cuma masalahnya waduk ada yang memang secara teknis bisa dimanfaatkan, masih cukup lahan untuk plant stall atau teknologi-teknologi, masih ada yang perlu kita kaji dan kita perlu detailkan,” katanya, Kamis (14/11/2019).

Sripeni menegaskan rencana memanfaatkan waduk tersebut sangat penting untuk mempercepat bauran EBT 23% pada 2025. Apabila mendorong realisasi pengadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) akan membutuhkan waktu tujuh tahun.

Sementara itu, jika memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) maupun pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) , diakuinya, bisa lebih cepat. Hanya saja, sifat PLTS dan PLTB adalah intermiten sehingga tetap perlu dibangun pembangkit yang mampu menjadi beban dasar (base load).

PLN juga memiliki pilihan untuk memanfaatkan sumber daya biomassa setempat. Hanya saja, listrik yang diproduksi biasanya kecil dan juga memperlukan sosialisasi ke masyarakat.

“23% pada 2025, itu mesti kita rinci, karena ebt ini relatif. Saya lagi nunggu Menteri PUPR dan PLN sudah mengajukan permohonan kerja sama,” katanya.

Direktur Perencanaan PLN Syofvi Felienty Roekman mengatakan pihaknya menarget pada tahun depan kerja sama dengan Kementerian PUPR tersebut sudah dapat dilakukan.

Rencananya, salah satu lokasi yang potensi airnya akan dimanfaatkan sebagai waduk sekaligus pembangkit listrik  berada di Kalimantan Timur. Pembangunan pembangkit listrik tenaga hidro di Kalimantan Tiur bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik ibukota baru.

Menurutnya, meskipun nota kesepahaman belum ditandatangi, pihaknya dengan Kementerian PUPR telah melakukan diskusi panjang untuk membahas rencana tersebut. Rencana tersebut dinilai harusnya bisa terealisasi tahun depan mengingat kebutuhan listrik yang cukup besar di sejumlah lokasi, terutama ibu kota baru di Kalimantan Timur.

Apalagi, rencana memanfaatkan waduk sebagai pembangkit listrik di Kalimantan Timur sejalan dengan harapan pemerintah yang menginginkan pemanfaatan energi baru terbarukan 100% sebagai sumber bahan bakar pembangkit listrik di ibu kota baru.

Adapun berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 – 2028, potensi energi primer di Kalimantan Timur meliputi cadangan Batu Bara 25 miliar ton, Uranium, Cadangan Gas Bumi 46 triliun standard cubic feet (TSCF), cadangan Minyak Bumi 985 Million Stock Tank Barrels (MMSTB), potensi Gas Metan Batu Bara (CBM) 108 TSCF, Air 830 MW, Bioenergi 13,5 MW, dan Surya 0,7 MW.

Pemerintah melalui Kementerian ESDM memprediksi kebutuhan tambahan tenaga listrik di ibu kota baru yakni sekitar 1.196 MW. Sedangkan, untuk menjamin keandalan dengan cadangan atau reserve margin 30%, dibutuhkan pembangunan pembangkit sekitar 1.555 MW.

Sembari menunggu nota kesepahaman tersebut diteken, PLN saat ini juga sedang menyusun rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2020 -2029 yang nantinya akan memetakan sejumlah lokasi yang akan menerapkan kerja sama tersebut. Penentuan lokasi sangat penting lantaran tidak lokasi yang berpotensi dibangun waduk memiliki kebutuhan listrik yang tinggi.

PLN perlu memetakan demand atau kebutuhan listrik sebelum menentukan lokasi mana yang waduknya dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan. Hingga saat ini, lokasi yang dapat dipastikan untuk dilakukan pemanfaatan waduk sebagai pembangkitan adalah di Kalimantan Timur.

“Kemarin yang diminta Kalimantan Timur karena ingginya suplai EBT sesuai kebutuhan, ekpektasinya untuk mendukung ibu kota baru,” katanya.

PLN akan mengincar pembangunan pembangkit listrik pada waduk-waduk baru yang akan dibangun. Pasalnya, waduk-waduk eksting saat ini memiliki debit air kecil sehingga tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk pembangkitan.

Apabila kerja sama tersebut disepakati, PLN dan PUPR akan duduk bersama dalam mengembangkan desain waduk sehingga dapat sesuai untuk memenuhi kebutuhan pembangkitan.

“Waktu pertama kali bangun aduk, kita merencanakan un sudah harus duduk bersama-sama membahas berapa debiy mau bikin bendungan, desainnya sama, kita sebut joint planning,” katanya.

Terpisah, Kementerian ESDM mengaku mendukung rencana PLN melakukan kerja sama dengan Kementerian PUPR dalam membangun pembangkitan di waduk maupun bendungan.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris mengatakan sebenarnya kerja sama dalam pemanfaatan nilai tambah waduk telah dilakukan. Hanya saja kerja sama tersebut dilakukan antara Kementerian ESDM dengan Kementerian PUPR dengan pemanfaatan nilai tambah waduk berupa pemenuhan air baku, untuk irigasi, dan pembangkit listrik.

Dalam perjalanannya, pemanfaatan waduk untuk pembangkit listrik menjadi terkendala sejak dirilisnya peraturan menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi baru terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Beleid tersebut mewajibkan setiap pembangunan pembangkit EBT harus dilakukan melalui mekanisme pengadanaan yang memerlukan proses seleksi.

Di lain sisi, lantaran waduk yang dibangun merupakan aset Kementerian PUPR, juga dilakukan pelelangan untuk konstruksi. Dua mekanisme lelang tersebut menjadi tumpang tindih dan menghambat pengembangan waduk sebagai pembangkitan.

“Nah memang potensi itu banyak, kan ada ratusan waduk bisa dikembangkan dan melalui kementerian pupr dilakukan semacam meningkatkan nilai tambah aset dengan mengundang partispasi swasta mengembangkan PLTMH, rencana listrik jual ke PLN, konsepnya seperti itu kmren ad kendala kita lagi berproses,” katanya.

Direktur Institute For Essential Services (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan kerja sama antara PLN dan Kementerian PUPR dalam memanfaatkan waduk sebagai pembangkitan seharusnya sudah dimulai sejak lama. Setidaknya, selain dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik tenaga hydro, waduk tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai PLTS terapung maupun pump storage.

PLTA pump strorage akan menyokong atau menjadi cadangan sumber daya pembangkit energi baru terbarukan (ebt) yang bersifat intermiten atau tidak stabil. Pump Storage akan memanfaatkan air yang dibendung untuk mengerakkan turbin dalam menghasilkan listrik.

“Menurut saya ini hal yang bagus untuk diterapkan, sepanjang layak teknis dan ekonomisnya. Waduk yang dirancang multipurpose bisa saja dikembangkan menjadi pembangkit listrik ,” katanya.

Artikel asli