Energi Terbarukan Perlu Merajai Asia Tenggara

Jakarta, 27 Maret 2024– Asia Tenggara tergolong kawasan dengan perekonomian yang menduduki peringkat ke-5 terbesar di dunia pada 2022. Aktivitas ekonomi yang tinggi di kawasan Asia Tenggara, membuat proyeksi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan mencapai 60 persen pada 2050. Penurunan emisi kawasan akan berdampak signifikan terhadap upaya pengurangan emisi global. Sayangnya, upaya penurunan emisi dengan pemanfaatan energi terbarukan di Asia Tenggara belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Konferensi Internasional Revision 2024 di Tokyo (14/3) menyebutkan negara yang tergabung dalam ASEAN mempunyai target untuk mencapai bauran energi terbarukan di kawasan sebesar 23 persen pada 2025. Namun, menurutnya, target ini tidak selaras dengan Persetujuan Paris.

“Agar memenuhi Persetujuan Paris, bauran energi terbarukan harus mencapai 55 persen, dengan energi terbarukan variabel (variable renewable energy, VRE) berkontribusi sebesar 42 persen. Kecuali Vietnam, Kamboja, dan Filipina, negara-negara lain belum mencapai penetrasi energi terbarukan sebesar 5 persen. Kabar baiknya, pada tahun 2023, negara-negara ASEAN akan memiliki lebih dari 28 GW kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dan angin yang beroperasi, atau meningkat 20 persen dari kapasitas yang beroperasi sejak tahun lalu. Saat ini, kapasitas tersebut mencapai 9 persen dari total kapasitas listrik negara-negara ASEAN. Namun, agar negara-negara ASEAN dapat mencapai target tersebut, mereka perlu memasang lebih banyak energi terbarukan,” jelas Fabby.

Fabby melanjutkan, sumber daya energi terbarukan di Asia Tenggara tergolong melimpah , dengan 40-50 kali lebih besar dari kebutuhan energi tahun ini. Pemanfaatan PLTS terapung dapat menjadi salah satu pilihan strategis dalam dekarbonisasi sistem energi di kawasan. Ia mengurai, setidaknya terdapat potensi teknis PLTS terapung sebesar 134 hingga 278 GW untuk waduk, 343 hingga 768 GW untuk permukaan air alami seperti sungai, danau, laut. Potensi teknis ini bervariasi di setiap negara. Ia menilai, penghitungan yang rinci mengenai potensi teknis pasar dan ekonomi, serta  potensi tekno-ekonomi spesifik lokasi harus dilakukan untuk mengembangkan PLTS terapung.

Ia juga menyoroti kawasan Asia Tenggara perlu mempunyai kebijakan yang lebih ambisius, memberikan dukungan anggaran dan insentif yang kuat, dan menciptakan lebih banyak kebijakan yang menarik investasi. Investasi tahunan rata-rata dalam kapasitas energi terbarukan harus ditingkatkan hingga lima kali lipat menjadi USD 73 miliar per tahun.

Fabby menegaskan negara-negara di Asia Tenggara harus meningkatkan ambisi mereka untuk memenuhi target Persetujuan Paris. Sebagai langkah dekat, ASEAN perlu mencapai 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025, dan 40 persen pada 2030.

“Banyak kajian menunjukkan Asia Tenggara punya potensi energi terbarukan yang besar dan cukup untuk dekarbonisasi. Namun secara kebijakan dan aksi saat ini dinilai masih kurang untuk mencapai dekarbonisasi pada 2050.  Investasi yang sangat besar untuk energi terbarukan mengharuskan setiap negara untuk mereformasi kebijakan dan mengelola risiko yang terkait dengan proyek energi terbarukan, agar dapat menarik dan memobilisasi investor,” imbuh Fabby.

Lebih jauh, ia mendorong agar tidak meneruskan narasi yang menitikberatkan pada mempertahankan energi fosil sebagai pembangkit beban puncak (baseload), dan mengaitkannya dengan upaya menjaga ketahanan energi, serta mengesampingkan energi terbarukan. Menurutnya, narasi semacam ini justru mengganggu dan tidak sejalan dengan semangat Persetujuan Paris.

Peringkat Kebijakan dan Aksi Iklim Indonesia Turun di 2023

Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Policy, IESR memaparkan hasil penilaian CAT terhadap kebijakan, target dan aksi iklim Indonesia

Jakarta, 31 Januari 2024 – Laporan Climate Action Tracker (CAT) menilai peringkat kebijakan dan aksi serta target iklim Indonesia yang terdapat dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2023 adalah “sama sekali tidak memadai” (critically insufficient) untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Peringkat ini turun dari tahun 2022 di mana Indonesia mendapat peringkat “sangat tidak memadai” (highly insufficient). 

Institute for Essential Services Reform (IESR), sebagai kolaborator dalam CAT, mengungkapkan bahwa dengan peringkat “sama sekali tidak memadai” secara target Enhanced NDC, Indonesia berpotensi mengeluarkan emisi gas rumah kaca sebesar  1.800 juta ton setara karbon dioksida untuk target dengan upaya sendiri (unconditional) dan 1.700 juta ton setara karbon dioksida dengan target bantuan internasional (conditional) pada tahun 2030. Jumlah emisi ini belum termasuk emisi dari sektor kehutanan dan lahan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyebutkan penurunan peringkat Indonesia menjadi “sama sekali tidak memadai” dikarenakan peningkatan konsumsi batubara yang digunakan untuk hilirisasi sektor pertambangan. Ia menekankan bahwa peringkat paling bawah dalam sistem penilaian CAT ini, mengindikasikan target dan kebijakan iklim saat ini akan memicu kenaikan emisi di atas 4 derajat Celcius.

“Indonesia membutuhkan aksi yang terukur dan nyata untuk bertransisi dari energi fosil dan melakukan akselerasi transisi energi ke energi terbarukan pada dekade ini,” ungkap Fabby dalam sambutannya pada peluncuran laporan Climate Action Tracker Assessment Indonesia dan Climate Transparency Implementation Check yang diselenggarakan oleh IESR (30/1).

Sepanjang periode 2022-2023, pemerintah Indonesia telah membuat kemajuan terkait aksi mitigasi iklim, salah satunya mendorong pengembangan energi terbarukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Selain itu, target nir emisi (net zero) dan  target penyerapan emisi di sektor hutan dan lahan (FOLU net sink) 2030 yang dikeluarkan pemerintah juga merupakan komitmen positif, dan kebijakan yang ambisius dibutuhkan untuk mewujudkannya. 

Naiknya emisi tahun 2022 sekitar 200 juta ton setara karbon dioksida; salah satunya disebabkan oleh meningkatnya konsumsi batubara. Emisi dari PLTU captive, PLTU yang dioperasikan oleh perusahaan utilitas di luar PLN, diperkirakan akan meningkatkan emisi sekitar 100 juta ton pada 2030. Kebijakan iklim indonesia saat ini akan menempatkan Indonesia pada tingkat emisi sebesar 1.487-1.628 MtCO2e (di luar sektor hutan dan lahan) pada 2030. 

Selain itu, Indonesia telah menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menargetkan bauran energi terbarukan lebih tinggi dari 34% pada 2030. Meskipun demikian JETP ini belum menempatkan Indonesia selaras dengan target Persetujuan Paris.

Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Policy, IESR, menjelaskan agar sejalan dengan Persetujuan Paris emisi sektor ketenagalistrikan harus turun menjadi 140-150 juta ton setara karbon dioksida pada 2030, dan nir emisi pada tahun 2040.

“Indonesia perlu menerapkan reformasi kunci yang disarankan dalam dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif JETP (CIPP) serta merumuskan dan mengimplementasikan jalur dekarbonisasi yang ambisius untuk pembangkit listrik di luar jaringan (captive),” jelas Delima.

Mempertimbangkan kontribusi sektor ketenagalistrikan dan mempunyai potensi yang strategis untuk dekarbonisasi, IESR juga melakukan pengecekan secara implementasi kebijakan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Kebijakan ini merupakan acuan utama Indonesia dalam pengembangan ketenagalistrikan domestik, yang mana dapat juga digunakan untuk pemantauan dan evaluasi pengembangan energi terbarukan. Akbar Bagaskara, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR memaparkan secara umum penilaian terhadap RUKN adalah “sedang” (medium) yang berarti RUKN telah memiliki basis hukum yang jelas yakni Permen ESDM 143/2019, namun secara implementasi banyak menemui hambatan, di antaranya target bauran energi terbarukan yang sering tidak tercapai per tahunnya. 

“Sulitnya Indonesia dalam mencapai target tahunan bauran energi terbarukan seharusnya menjadi bahan evaluasi dan urgensi bagi pemerintah untuk menyiapkan strategi dan inovasi yang progresif untuk mencapai target-target tersebut dan sesuai dengan Persetujuan Paris,” kata Akbar.

Ia menjelaskan beberapa hal yang perlu pemerintah lakukan dalam meningkatkan implementasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah pertama, dengan meningkatkan keberadaan undang-undang pendukung untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik. Kedua, menyediakan perangkat yang jelas dan komprehensif mulai dari proses perencanaan, pengadaan, dan pelaporan, terutama untuk pemegang area bisnis selain PLN. Ketiga, menciptakan model pendapatan baru untuk PLN. Keempat, memperbaiki kerangka kerja keuangan berkelanjutan PLN untuk mendorong lebih banyak sumber pembiayaan.

Media Briefing: Mempersiapkan Transisi Energi Indonesia & Antisipasi Implikasinya Dan Peluncuran The Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023

Siaran Ulang


Latar Belakang

Selama 2021-2022, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah mengeluarkan laporan dari tiga working group yang kesemuanya seragam menyampaikan bahwa sudah terdapat bukti-bukti sains terkait krisis iklim dan dampaknya pada bumi. Salah satu temuan kunci dari laporan tersebut adalah emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia telah menyumbang kenaikan suhu rata-rata bumi sebesar 1,1 0C sejak tahun 1850-1900 dan berpotensi untuk naik melebihi 1,5 0C dalam waktu 20 tahun mendatang. Lebih lanjut, laporan tersebut juga menjabarkan opsi mitigasi yang bisa ditempuh dan skala perubahan yang perlu terjadi, terutama dalam dekade ini agar tetap berada di jalur 1,5 0C.

Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui UU no 16/2016. Artinya, Indonesia secara legal telah mengikatkan diri untuk mengatasi tantangan perubahan iklim dengan mendukung upaya global dalam membatasi kenaikan temperatur rata-rata sebesar 1.5 0C dibawah level rata-rata temperatur sebelum masa industri. Dalam salah satu model IPCC, untuk membatasi kenaikan temperatur dibawah 1.5 0C maka emisi GRK harus dikurangi sebesar 45% pada tahun 2030 dibandingkan level emisi GRK di tahun 2010, dan mencapai net zero pada tahun 20501. Sebagai negara yang telah meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia telah menyatakan kembali komitmennya untuk berkontribusi mengatasi krisis iklim. Target penurunan emisi GRK Indonesia dengan kemampuan sendiri pada Updated  NDC  (UNDC)  sebesar 29% meningkat ke 31,89% pada ENDC, sedangkan target dengan  dukungan  internasional  pada  UNDC  sebesar  41%  meningkat  ke  43,20%  pada ENDC.

Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) dan University of Maryland (2022) menemukan bahwa 9,2 GW batu bara harus dihapuskan dari jaringan utilitas milik negara (PLN) sebelum tahun 2030 dan semua pembangkit batu bara yang tidak dapat dihentikan harus dihentikan pada tahun 2045 paling lambat, untuk menempatkan Indonesia pada jalur yang tepat untuk mencapai target suhu global Perjanjian Paris 1,5°C. Studi tersebut juga menyimpulkan bahwa emisi batubara harus mulai mengalami penurunan sebelum akhir dekade ini2. Ada beberapa inisiatif dan langkah-langkah untuk mendukung dan mewujudkan pensiun dini PLTU Indonesia. Selain Mekanisme Transisi.

Energi (ETM) yang diluncurkan pada COP-26, selama KTT G20, Indonesia dan Kelompok Kemitraan Internasional (IPG) juga telah menandatangani kesepakatan Just Energy Transition  Partnership  (JETP),  yang  bertujuan  untuk  memenuhi  emisi  puncak  sektor ketenagalistrikan target sebesar 290 juta metrik ton CO2 (MtCO2) pada tahun 2030, mencapai bauran energi terbarukan sebesar 34% pada tahun 2030, dan sektor ketenagalistrikan menjadi net-zero pada tahun 2050.

Dalam upaya memperkuat aksi iklim Indonesia, Pemerintah Indonesia mendapatkan komitmen pendanaan dari program Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar USD 20 Milliar. Perumusan implementasi pendanaan tersebut diterjemahkan pada Comprehensive Investment Plant (CIP) yang berfokus pada area investasi terdiri atas pengembangan jaringan transmisi dan distribusi, pemensiunan dini PLTU batubara, percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe baseload, percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe variable, serta membangun rantai pasok energi terbarukan. Pemerintah telah menyelesaikan dokumen CIP dan akan melakukan konsultasi publik selama beberapa bulan kedepan.

Transisi energi dapat mengurangi eksposur Indonesia ke permasalahan serupa di masa depan. Kelancaran dan kesuksesan transisi energi ini perlu dukungan semua pihak termasuk masyarakat umum. Oleh karena itu, proses penyusunan transisi energi juga perlu memperhatikan aspek inklusivitas. Selain itu, penting untuk memperhatikan aspek pengelolaan dampak dan antisipasi implikasi dari proses transisi energi, misalnya pada pekerja PLTU yang masa operasionalnya diakhirkan lebih awal, penciptaan lapangan pekerjaan baru (green jobs) dan juga bagaimana transisi energi Indonesia juga dapat menopang pertumbuhan ekonomi (transisi industri fosil ke industri rendah karbon).

Untuk itu, dalam rangka membahas lebih dalam terkait kesiapan transisi energi di Indonesia dan peluncuran The-6th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), kami akan menyelenggarakan Media Briefing. Media briefing ini dilaksanakan untuk memberikan gambaran mengenai proses dan dampak transisi energi Indonesia serta menyampaikan rencana pelaksanaan IETD sebagai wadah diskusi berbasis fakta untuk mendukung formulasi kebijakan terbaik di sektor energi untuk mendukung target iklim yang lebih ambisius.

1 www.ipcc.ch/sr15/chapter/chapter-2/

2 IESR UMD, 2022, Financing Indonesia coal phase-out

 

Tujuan

  1. Untuk memberikan informasi tentang perkembangan dokumen Comprehensive Investment Plant (CIP) program JETP
  2. Untuk mendiskusikan implikasi dari proses transisi energi pada aspek sosial-ekonomi Indonesia dan langkah antisipasinya
  3. Untuk menyampaikan pelaksanaan acara Indonesia Energy Transition Dialogue 2023 tanggal 18-20 September 2023

Materi Presentasi

ESDM

130923-DEK-IETD-IESR-ESDM

Unduh

Faisal Basri

130923-DEK-IETD-IESR-Faisal-Basri

Unduh

CASE IESR: Indonesia Perlu Dorong Komitmen Lebih Kuat Negara ASEAN Untuk Penurunan Emisi GRK di Kawasan

press release

Jakarta, 15 Agustus 2023 – Menjadi Ketua ASEAN pada 2023 dan mempunyai kekuatan ekonomi besar di ASEAN, Indonesia dapat mendorong negara anggota ASEAN lainnya agar mempunyai kesepakatan bersama untuk mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang selaras dengan Persetujuan Paris serta memobilisasi dukungan dari negara ASEAN lain untuk mempunyai target pengakhiran operasional PLTU batubara secara bertahap sebelum tahun 2050. Hal ini disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) pada media briefing berjudul “Mengukur Ambisi Iklim ASEAN pada Keketuaan Indonesia ASEAN 2023”.

Menurut Fabby, pengurangan bahan bakar fosil dengan pelarangan pembangunan PLTU baru di Indonesia namun tetap mengizinkan pembangunan PLTU baru untuk keperluan industri dapat menghambat pencapaian bauran energi terbarukan yang lebih tinggi. Ia menekankan pemerintah Indonesia dapat mendorong komitmen yang lebih tegas untuk pengakhiran operasional PLTU batubara di negara ASEAN. Selain itu, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan energi terbarukan di ASEAN, terutama pengembangan energi surya. Ia mendorong pembahasan mengenai penyediaan rantai pasok yang terintegrasi patut disepakati pada ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) yang akan berlangsung dalam waktu dekat di Agustus 2023.

“Kami harapkan pada AMEM, Indonesia bisa mengusulkan Indonesia menjadi pusat manufaktur PLTS mulai dari teknologi polisilikon hingga modul surya. Beberapa negara ASEAN sudah mengembangkan manufaktur, namun masih terbatas di sel dan modulnya. Selain itu pengembangan manufaktur ini belum terintegrasi. Sementara di Indonesia, bahan baku untuk pembuatan komponen PLTS tersedia di Indonesia, misalnya pasir silika. Sebagai Ketua ASEAN 2023. Indonesia dapat merekomendasikan ini sebagai kesepakatan bersama untuk membangun rantai pasok yang terintegrasi,” ungkapnya.

Ia menambahkan ancaman iklim menjadi semakin serius bagi negara-negara ASEAN yang berdampak luas terhadap ketahanan pangan, ketahanan energi, dan kemajuan pembangunan di kawasan. Jika tidak ada upaya serius untuk mengurangi emisi global, maka dampak perubahan iklim akan membuat pertumbuhan ekonomi melebihi 6% di kawasan Asia Tenggara akan semakin berat.

Berlianto Pandapotan Hasudungan, Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI mengakui selain tantangan geopolitik, krisis Myanmar, krisis iklim juga menjadi tantangan tambahan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di ASEAN. Ia memaparkan ketahanan energi melalui transisi energi ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada minyak bumi menjadi agenda penting dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN.

“Selain pengembangan kendaraan listrik, ASEAN sedang mengembangan interkoneksi energi antar negara anggota dan akan dimulai juga studi atas interkoneksi energi di kawasan,” jelasnya.

Shahnaz Nur Firdausi, Peneliti Iklim dan Energi, IESR memaparkan, kebijakan dan komitmen iklim Indonesia tidak konsisten dengan Persetujuan Paris yang ingin menjaga batas suhu 1,5°C, bahkan rawan menyebabkan peningkatan, bukan penurunan emisi. Hal ini bisa dilihat dari laporan Climate Action Tracker (CAT) yang menilai bahwa target dan kebijakan iklim Indonesia secara keseluruhan masih kategori sangat tak mencukupi (highly insufficient). Apabila semua negara mengikuti pendekatan kebijakan Indonesia, maka pemanasan global akan lebih dari 2°C hingga 3°C. 

“Untuk itu, kebijakan dan tindakan iklim Indonesia pada tahun 2030 membutuhkan perbaikan substansial agar konsisten dengan batas suhu 1,5°C. Indonesia perlu menaikkan target NDC menjadi 75% di bawah skenario NDC business as usual (BAU) di luar penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan (bersyarat) dan 62% (tidak bersyarat). Terlebih lagi, emisi Indonesia dari penggunaan lahan dan kehutanan telah mencapai hampir 50% dari total emisi selama 20 tahun terakhir,” papar Shahnaz.

Manajer Program Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia, Agus Tampubolon dalam kalimat penutup kembali menyatakan pentingnya kerjasama antar negara anggota ASEAN untuk mengakselerasi transisi energi.

“Indonesia bisa memimpin transisi energi di ASEAN dengan leading by example. Negara-negara anggota ASEAN memiliki potensi besar, kita bisa bekerja sama untuk rantai pasok, contohnya adalah pengembangan PLTS. Kita juga perlu memikirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan, dan untuk meningkatkan target iklimnya,” ujar Agus.

Bangun Kolaborasi Antar CSO di ASEAN untuk Akselerasi Transisi Energi

press release

Jakarta, 16 Mei 2023 – Sebagai Ketua ASEAN pada 2023, Indonesia dapat melibatkan peran masyarakat sipil dalam meningkatkan relevansi ASEAN di berbagai aspek yang selaras dengan tantangan pembangunan global, termasuk meningkatkan ambisi target iklim kawasan, pengembangan energi terbarukan  dan pembangunan yang berkelanjutan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa setelah sukses dengan agenda transisi energi di G20, Indonesia dapat mendorong kerja sama negara-negara ASEAN melakukan transisi energi yang selaras dengan target Persetujuan Paris dan membangun upaya bersama memperkuat resiliensi menghadapi berbagai ancaman dan dampak perubahan iklim melalui pembangunan berkelanjutan.  

ASEAN sendiri telah memiliki Kelompok Kerja ASEAN untuk Perubahan Iklim (ASEAN Working Group on Climate Change/ AWGCC and ASEAN Working Group on Forest and Climate Change/AWGFCC) dan ASEAN Energy Cooperation. Namun untuk mencapai target  mitigasi iklim dan pengembangan energi terbarukan dibutuhkan upaya ekstra dan kerja sama antara kelompok kerja, serta kolaborasi  dengan organisasi masyarakat sipil dan komunitas lintas negara agar dapat meningkatkan kontribusi mereka di kawasan.

IESR berpendapat Indonesia dapat memainkan peranannya sebagai Ketua ASEAN untuk memberi ruang kepada masyarakat sipil di tingkat regional, agar terlibat dalam proses agenda keketuaannya di tahun 2023, khususnya untuk isu energi dan iklim

“Sebagai salah satu organisasi regional yang diproyeksikan mengalami pertumbuhan ekonomi 4,7% di 2023 di tengah permintaan global yang melemah, menunjukkan bahwa ASEAN menjadi kawasan yang menjanjikan untuk berinvestasi, khususnya di sektor energi terbarukan. Memanfaatkan kepemimpinannya di ASEAN, Indonesia dapat mendorong dan merangkul organisasi masyarakat sipil di ASEAN untuk  berfokus pada transisi energi, serta menginisiasi kolaborasi konkret dalam waktu dekat dan bersama-sama dapat berkontribusi dalam mempercepat transisi energi di kawasan dan mengatasi perubahan iklim,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada diskusi publik “Making Energy Green and Low Carbon to Support Sustainable Growth: Advancing the Role of Civil Society in Southeast Asia Energy Transition During Indonesia ASEAN Chairmanship 2023” yang diselenggarakan oleh IESR.

Pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN perlu selaras dengan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan Persetujuan Paris. ASEAN sendiri mempunyai target untuk  mengejar 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025. Di sisi lain, menurut IEA, 80% bauran energi primer negara di kawasan Asia Tenggara masih berasal dari energi fosil.  Penurunan biaya energi energi terbarukan diprediksi oleh IEA dapat meningkatkan penetrasi energi terbarukan di ASEAN hingga 70% pada 2040. Hal ini akan mampu terwujud jika tercipta koordinasi dan kolaborasi yang intensif antara pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat sipil, dan pemangku bisnis) di ASEAN khususnya dalam proses pembuatan kebijakan regional.

Hanya saja, menurut Arief Rosadi, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim IESR, hingga saat ini, ASEAN tidak memiliki jalur formal bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan aspirasi, khususnya untuk isu iklim dan energi. Untuk itu, Indonesia perlu memimpin ASEAN agar menyediakan ruang dialog yang inklusif dan konstruktif bagi masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan di regional. 

“Langkah nyata yang dapat dilakukan sekarang adalah meningkatkan intensitas komunikasi antar masyarakat sipil di kawasan, untuk berbagi informasi serta perkembangan terbaru di masing-masing negara terkait isu energi dan iklim. Hal ini bertujuan untuk memperkokoh, solidaritas dan rasa kepemilikan terhadap ASEAN sebagai kawasan bersama,” ungkap Arief.

Menurutnya, Indonesia dapat mendorong lebih banyak diskusi publik yang menitikberatkan pada pertukaran pengetahuan, rekomendasi kebijakan berbasis data yang mendukung percepatan transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan di tingkat kawasan dan menyediakan peluang pengembangan kapasitas SDM di sektor energi terbarukan.

“Hal lain yang perlu dilakukan adalah penguatan kolaborasi akar rumput dan jaringan masyarakat sipil di tingkat regional. Adanya kolaborasi tersebut dapat membantu dapat pencapaian agenda iklim dan transisi energi di kawasan melalui berbagi praktik baik dan pengetahuan teknis.” kata Arief.