Berpacu dalam Momentum Transisi Energi Indonesia

Jakarta, 15 Desember 2022 – Berbagai peristiwa geopolitik dunia sepanjang 2022 telah mempengaruhi naiknya harga komoditas energi fosil. Sebagai sektor yang mempengaruhi dan menggerakkan sektor lain, sektor energi memainkan peran penting dalam berbagai aspek mulai dari sosial-ekonomi hingga politik. Krisis energi global di 2022 dapat menjadi peluang yang Indonesia manfaatkan untuk mempercepat transisi energi. 

Pasar energi Indonesia yang masih banyak bergantung pada subsidi membuat Indonesia kurang merasakan dampak krisis energi global akibat melambungnya harga komoditas fosil. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kapasitas fiskal pemerintah tidak lagi seluas 2-3 tahun ke belakang mengingat begitu banyak subsidi energi yang dikeluarkan .

Hal ini disampaikan oleh Dannif Danusaputro, Direktur Utama PT Pertamina New & Renewable Energy dalam acara peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2023, oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), Kamis 15 Desember 2022. 

“Ruang fiskal yang semakin sempit mau tidak mau akan memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tidak populer dan hal ini dapat ditangkap sebagai momentum akselerasi energi terbarukan,” jelas Danif.

Bukan hanya krisis energi global yang dapat menjadi momentum akselerasi energi terbarukan, tapi juga masuknya  komitmen pendanaan transisi energi di Indonesia. Dalam KTT G20 bulan November 2022, Indonesia mendapatkan pendanaan transisi energi sebesar 20 miliar dolar melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Dana ini dikucurkan oleh International Partners Group yang terdiri dari negara-negara G7 ditambah dengan Denmark dan Norwegia. 

Suzanty Sitorus, Direktur Eksekutif Viriya ENB, mengatakan bahwa dana JETP belum cukup untuk membiayai proses transisi energi di Indonesia, namun bukan berarti perannya menjadi tidak penting. 

“Yang lebih penting adalah (dana ini) mau untuk apa. Apakah USD 20 billion ini akan meletakkan dasar-dasar untuk kita bisa bertransisi lebih cepat atau tidak,” kata Suzanty. 

Dirinya menambahkan penting bagi Indonesia untuk belajar dari Afrika Selatan (penerima pendanaan JETP sebelumnya), tentang investment plan yang sesuai dengan kebutuhan negara penerima. 

Harris, Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, menyatakan bahwa sejak KTT G20, minat pengusaha untuk berinvestasi pada energi terbarukan terutama panas bumi meningkat. Hal ini merupakan hal baik untuk mengejar target energi terbarukan di RUPTL.

“RUPTL yang saat ini ada, saya rasa belum perlu dinaikkan targetnya tapi kita harus pastikan target yang ada sebanyak 51% (20,9 GW) benar-benar tercapai,” kata Harris.

Ditambahkannya, penting untuk memastikan target RUPTL tercapai karena beberapa kali pemerintah tidak mencapai target RUPTL. 

Selain penambahan kapasitas terpasang energi terbarukan, efisiensi energi juga menjadi salah satu strategi untuk mencapai status net-zero emission terutama pada sektor industri. Dijelaskan oleh Octavianus Bramantya, anggota tim kerja harian Net Zero Hub, KADIN, bahwa sektor industri sudah cukup aware dengan kebutuhan untuk bertransisi ke sumber energi yang lebih bersih namun mereka masih menunggu kepastian regulasi. 

“Ada ledakan gerakan net-zero dari companies. Perusahaan tidak lagi bersaing melalui price dan product quality, namun karena ada penilaian carbon footprint untuk ekspor, maka perusahaan sudah mulai terpacu untuk memikirkan carbon footprint mereka,” kata Bramantya. 

Perusahaan yang bergerak di pasar luar negeri (foreign market) sudah memikirkan tentang hal ini. Untuk perusahaan lokal masih menganggap perhitungan karbon ini sebagai halangan, sehingga menjadi tantangan bagi salah satunya KADIN Net-Zero Hub untuk membantu merestrukturisasi nilai capex dan menunjukkan bahwa low carbon development justru menguntungkan. 

PLTS Berkembang Lambat di 2022, Pemerintah Perlu Pacu Implementasi Kebijakan yang Mendukung PLTS

press release

Fabby Tumiwa menyampaikan kata sambutan pada acara Shine Bright: Advancing G20 Solar Leadership

 

Jakarta, 27 Oktober 2022 – Untuk dapat mengejar tercapainya target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 dan dekarbonisasi sistem energi pada 2060 atau lebih cepat, Indonesia perlu meningkatkan dan mengimplementasikan kebijakan yang mendorong pengembangan energi terbarukan dengan cepat, terutama energi surya. Pemanfaatan energi surya diyakini merupakan strategi yang cepat dan tepat untuk mencapai target tersebut. Mengulas secara lengkap perkembangan energi surya sepanjang 2022 dan memberikan proyeksi di 2023, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengeluarkan laporan terbaru berjudul Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia menyampaikan bahwa berdasarkan data IRENA, biaya listrik (levelized cost of electricity/LCOE) telah menurun signifikan hingga 88% antara 2010 dan 2021, dari USD 41,7/kWh menjadi USD 4,7/kWh.

“Namun berdasarkan praktik di sektor industri saat ini, kami mendapatkan penawaran hingga USD 3/kWh, termasuk USD 4/kWh biaya baterai,” ungkap Arifin dalam acara Shine Bright: Advancing G20 Solar Leadership yang diselenggarakan oleh IESR dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, dan berkolaborasi dengan International Solar Alliance, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia.

Lebih lanjut, ia memaparkan berdasarkan peta jalan transisi energi di Indonesia, energi surya memainkan peran penting dalam ketenagalistrikan di Indonesia dengan 421 GW dari 700 GW berasal dari surya.

“Perlu dukungan dari produsen dan industri lokal untuk memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), mengingat Indonesia memiliki potensi mineral dan bahan penting untuk pembangkit listrik tenaga surya, baterai, dan kabel listrik. Selain itu, aspek kemudahan akses pembiayaan terjangkau, insentif, dan fasilitas pembiayaan lainnya sangat penting untuk menyediakan pembiayaan studi kelayakan dan peningkatan investasi energi terbarukan seperti energi surya,” jelas Arifin.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyampaikan bahwa secara umum, Indonesia memperlihatkan kemajuan sejak 2018 meski tergolong lambat dalam mendorong pengembangan energi surya. Menurutnya, perlu sejumlah reformasi di sisi regulasi dan implementasinya terutama menjelang tenggat waktu realisasikan target yang hanya tinggal 3 tahun.

“PLTS atap dengan potensi teknis mencapai 655 GWp untuk bangunan rumah saja, bisa dibangun dengan cepat, melibatkan investasi dari masyarakat, tanpa membebani pemerintah. Selain mengharapkan tambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan dari implementasi RUPTL PLN 2021-2030, PLTS atap dapat menutupi kesenjangan dengan target bauran energi terbarukan di 2025 sebesar 3 hingga 4 GW,” ujar Fabby.  

Fabby menambahkan, yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan PLN adalah tidak menghalangi perizinan instalasi PLTS atap dan mendukung pemanfaatan PLTS Atap oleh industri, bisnis dan rumah tangga dengan memberikan kemudahan. 

“Ketersediaan pendanaan berupa kredit lunak dari lembaga keuangan dapat mendukung adopsi PLTS atap skala rumah tangga. Selain itu mendorong pemanfaatan PLTS di kawasan industri dan di wilayah usaha non-PLN juga perlu dilakukan, ” saran  Fabby. 

Berdasarkan catatan ISEO 2023, kemajuan energi surya Indonesia juga terlihat dari turunnya harga listrik PLTS yang diperoleh melalui perjanjian pembelian tenaga listrik (power purchase agreement (PPA)) yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dengan pengembang listrik swasta. Antara rentang 2015 dan 2022, harga PPA PLTS telah turun sekitar 78% dari USD 0,25/kWh menjadi USD 0,056/kWh. 

IESR meyakini seiring dengan bertambahnya proyek PLTS skala besar, turunnya harga modul surya, dan membaiknya iklim investasi, harga investasi PLTS per unit akan terus turun, mendekati trend harga di dunia. 

Tidak hanya itu, dari sisi perkembangan project pipeline untuk PLTS skala besar, saat ini terdapat delapan proyek dengan total kapasitas 585 MWp (telah dilelangkan).

“Dalam hal PLTS berskala utilitas, Indonesia memiliki potensi  PLTS terapung. Pengembangannya di masa depan dapat menjadikan Indonesia sebagai leader, dan sekaligus mewujudkan kepemimpinan Indonesia dalam hal transisi energi dan pemanfaatan energi surya di G20 dan  di ASEAN,” tegas Fabby.

Dr. Ajay Mathur, Director General, International Solar Alliance menuturkan energi surya merupakan sumber energi yang potensial untuk dikembangkan menimbang harga teknologinya yang semakin kompetitif. 

“International Solar Alliance (ISA) bangga dapat bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) untuk menjadikan listrik tenaga surya sebagai sumber energi pilihan di seluruh dunia. Energi surya merupakan sumber energi bersih yang tersedia secara berlimpah, dan juga krusial untuk mendorong aksi iklim internasional karena biayanya yang menurun dengan cepat,” jelas Mathur. 

Pada saat yang sama, IESR dan ISA menandatangani nota kesepakatan untuk akselerasi pemanfaatan energi surya di Indonesia. ISA merupakan lembaga internasioanl yang telah mempunyai berbagai pengalaman dan mempunyai anggota dari berbagai negara serta telah melakukan berbagai inovasi dan fasilitasi untuk mendukung pengembangan energi surya secara global. Lingkup kerjasama ISA bersama dengan IESR ini mencakup pemetaan industri surya dalam negeri, peningkatan kapasitas, dan identifikasi skema pembiayaan.

ISEO 2023 menilai penetapan patokan harga tertinggi pada Perpres No. 112/2022 diharapkan dapat memberikan ruang yang lebih leluasa bagi pengembang untuk mengajukan penawarannya. Perpres ini telah dirancang sejak 2019 dan mulanya mempertimbangkan instrumen feed-in-tariff untuk mendorong perkembangan energi terbarukan, khususnya skala kecil. Untuk mendorong implementasi efektif Perpres 112/2022, diperlukan mekanisme lelang yang jelas dan transparan, jadwal pelelangan yang teratur dan terencana, serta memberikan kepastian regulasi dan kemudahan perizinan.

ISEO 2023 mencatat bahwa aturan TKDN masih menjadi salah satu hambatan utama dalam lelang PLTS di Indonesia. Berdasarkan Permenperin No. 5/2017, nilai TKDN minimal barang untuk komponen modul surya harus mencapai minimal 60% sejak 1 Januari 2019. Namun, realisasi nilai TKDN modul surya saat ini baru mencapai 47,5%. Di samping pencapaian nilai TKDN, efisiensi dan harga panel surya domestik masih belum sesuai ketentuan standar bankability pembiayaan internasional. 

“Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ketentuan nilai TKDN modul surya berdasarkan kesiapan industri sambil mempersiapkan kebijakan industri modul surya jangka panjang untuk dekarbonisasi sistem energi Indonesia,” ungkap Daniel Kurniawan, Peneliti, Spesialis Teknologi & Material Fotovoltaik IESR dan Penulis Utama ISEO 2023.

Di sisi adopsi, meskipun Kementerian ESDM telah menerbitkan Permen ESDM No. 26/2021, beberapa ketetapan di dalamnya urung dilakukan, sehingga menyebabkan pertumbuhan PLTS yang lambat. Kelebihan pasokan listrik PLN ditengarai menjadi penyebab pembatasan pemanfaatan PLTS atap 10 sampai 15 persen dari kapasitas oleh PLN di awal 2022. Jika hal ini  terus berlanjut, maka akan menyulitkan realisasi target PLTS yang pemerintah telah tetapkan, seperti target PSN PLTS atap 3,6 GW pemerintah pada tahun 2025, dan  2,3 GWp project pipeline surya dari 31 deklarator di Indonesia Solar Summit 2022.

“Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM beserta PLN, perlu segera memberikan jalan keluar untuk permasalahan tersebut. Tidak untuk menghambat adopsi pada tahap adopsi yang masih sangat awal, tetapi untuk mengasuh pertumbuhan PLTS atap hingga masuk ke tahap pasar yang berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai dengan menyediakan lingkungan kebijakan yang stabil untuk pertumbuhan pasar dan pengembangan industri PLTS,” tandas Daniel.

Laporan Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023 diluncurkan perdana pada tahun ini. Semula progres perkembangan energi surya dalam kerangka transisi energi terintegrasi pada laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO).

Menyediakan Pembiayaan Terjangkau untuk Transisi Energi

Jakarta, 27 Juni 2022 – Transisi energi menjadi perhatian dunia akhir-akhir ini. Seiring dengan meningkatnya desakan untuk mengatasi perubahan iklim, transisi energi menjadi salah satu tindakan kunci dalam menjaga suhu global. Pembakaran bahan bakar fosil diyakini sebagai salah satu pencemar GRK terbesar yang menyebabkan kenaikan suhu. Oleh karena itu, mengubah sistem energi menjadi sistem energi terbarukan sangat penting untuk mengurangi emisi polusi.

Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam seminar G20 bertajuk “Unlocking Innovative Financing Scheme and Islamic Finance, to Accelerate a Just Energy Transition in Emerging Economies” mengatakan bahwa selama ini transisi energi merupakan tantangan.

“Dengan adanya Covid-19 dan eskalasi konflik antara Ukraina dan Rusia, transisi energi menjadi tantangan terutama bagi Indonesia sebagai presiden G20 tahun ini,” katanya.

Menteri Tasrif menambahkan, dengan strategi yang komprehensif, Indonesia dapat mendorong transisi energi. Pembiayaan menjadi salah satu masalah karena Indonesia membutuhkan sekitar 1 triliun USD pada tahun 2060 untuk transisi energi.

Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin mendorong pengembangan obligasi syariah untuk mendanai transisi energi. Ia juga menekankan peran keuangan syariah dalam transisi energi.

“Salah satu potensi pembiayaan transisi adalah Sukuk/Obligasi Syariah sebagai instrumen penghimpunan dana dari masyarakat untuk transisi energi. Inovasi dan promosi sukuk perlu ditingkatkan agar masyarakat lebih tertarik untuk berinvestasi,” kata Amin.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa Indonesia saat ini sedang mencari cara strategis untuk membiayai transisi energi melalui berbagai skema.

“Kami baru saja meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) dengan ADB untuk mendukung penghentian penggunaan batubara. Kami juga akan menerapkan mekanisme penetapan pajak karbon untuk PLTU batubara, serta mengembangkan pembiayaan campuran (blended finance). Sejak 2018 Indonesia telah menerbitkan sukuk hijau, dan dialokasikan untuk sektor hijau dan proyek mitigasi iklim,” pungkasnya.

Sri Mulyani juga menambahkan, untuk memenuhi target NDC Indonesia, APBN hanya mampu menutup sekitar 34% dari anggaran yang dibutuhkan. Selebihnya, kita perlu mencari cara, untuk membiayai transisi.

Sistem ekonomi berbasis fosil telah mendukung perekonomian Indonesia selama beberapa dekade. Tidak hanya ekonomi, sistem kelistrikan dan energi juga didominasi oleh bahan bakar fosil. Tidak heran mengubahnya menjadi sistem berbasis energi terbarukan terasa penuh tantangan, juga membutuhkan investasi besar. Namun kita juga tidak bisa hanya tinggal dalam ekonomi berbasis fosil. Permintaan batu bara di seluruh dunia akan menurun seiring dengan menguatnya komitmen iklim, dan daerah penghasil batu bara akan segera merasakan dampaknya pada tahun 2030. Batubara telah mendatangkan pendapatan bagi Indonesia khususnya untuk provinsi penghasil batu bara, bertransformasi dari batu bara berarti kita akan kehilangan pendapatan ini. Hal ini harus diantisipasi atau akan ada dampak bencana pada transisi batubara.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform menyoroti bahwa menyediakan dana yang cukup untuk transisi tidak hanya mengatasi masalah keuangan tetapi juga dampak dari transisi energi itu sendiri.

“Ini (pembiayaan transisi) menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai transisi yang adil dan inklusif yang mengarah pada pemerataan pembangunan,” kata Fabby.

Selain mencari pembiayaan yang terjangkau, harus ada perubahan perilaku dari lembaga keuangan. Lembaga keuangan Indonesia kebanyakan tidak memiliki kemampuan teknis untuk menilai risiko proyek energi terbarukan. Hal ini perlu segera diantisipasi. Amjad Abdulla, Head of Partnership IRENA, menekankan hal ini.

Dalam hal pensiun batu bara, pemerintah perlu menghitung berapa banyak biaya yang bisa diakomodasi oleh skema transisi yang adil, dan berapa banyak yang belum terakomodasi sehingga kita perlu mempersiapkannya; ini termasuk untuk meningkatkan keterampilan pekerja, menciptakan diversifikasi ekonomi, dll.

Udetanshu, analis Climate Transition, mengatakan selain anggaran yang harus disiapkan, pemerintah juga perlu memastikan agar tenaga kerja lokal yang sebelumnya bekerja di PLTU atau sektor batubara mendapatkan lapangan pekerjaan baru.

“Jika memungkinkan, pembangkit baru (yang merupakan pembangkit energi terbarukan) harus dibangun di dekat pembangkit lama, untuk memastikan bahwa lebih banyak pekerja lokal yang dipekerjakan dalam proyek tersebut,” katanya.

Menyiapkan Angkatan Kerja yang Akan Terdampak Pengurangan Permintaan Energi Fosil

Jakarta, 6 Juli 2022 – Komitmen global untuk mengurangi penggunaan energi fosil, serta ambisi iklim yang meningkat dari negara-negara pengguna batubara seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Afrika Selatan membuat permintaan batubara global turun secara signifikan. 

Sebagai salah satu negara pengekspor batubara terbesar di dunia, Indonesia perlu mencermati hal ini. Batubara banyak berkontribusi pada penerimaan nasional bukan pajak (PNBP) secara nasional, bagi daerah-daerah penghasil batubara, peran komoditas batubara untuk pendapatan daerah dapat sangat besar. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mencoba melihat implikasi dari kebijakan penghapusan penggunaan batubara dan iklim global dan domestik terhadap perekonomian Indonesia, khususnya bagi para pekerja di sektor tersebut melalui kajian “Mendefinisikan Pekerjaan Masa Depan: Implikasi penghapusan penggunaan batubara terhadap sektor ketenagakerjaan dan transformasi ekonomi di wilayah penghasil batubara Indonesia”.  

Kajian ini juga bertujuan melihat peluang transformasi ekonomi di daerah yang bergantung pada batubara dan memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi pekerja. Julius Christian, penulis kajian ini menjelaskan bahwa data Kementerian ESDM menunjukkan pada tahun 2020 terdapat 167.380 pekerja pada sektor pertambangan batubara. Secara demografi, pekerja ini rata-rata berusia di bawah 40 tahun, sehingga akan masih berada pada usia produktif pada 10 tahun ke depan. 

“Dari sisi tenaga kerja, karena kebanyakan berusia muda terdapat kesempatan untuk melakukan pelatihan untuk persiapan masuk ke industri lain,” kata Julius.

Menyiapkan transformasi ekonomi setelah era ekonomi batubara ini penuh tantangan namun harus tetap dilakukan. Hal ini untuk mengantisipasi permintaan batubara yang dapat turun lebih drastis. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyatakan bahwa jika negara-negara di dunia memiliki aksi iklim yang lebih ambisius untuk mengejar target persetujuan Paris, akan ada penurunan permintaan batubara sebesar 20% pada 2030, 60% pada 2040, dan 90% pada 2050. 

“Penurunan produksi ini juga harus diantisipasi sebab pasti akan berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja di sektor batubara,” Fabby mengingatkan. 

Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif APBI (Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia), juga menambahkan bahwa untuk menyasar pekerja-pekerja yang potensial terdampak, perlu melakukan pemetaan cadangan batubara berdasarkan perusahaan. 

“Supaya proses transformasi ini efektif dan efisien, kita dapat melakukan pemetaan cadangan untuk tiap perusahaan sehingga terlihat umur operasinya seberapa panjang lagi. Untuk perusahaan-perusahaan kecil mungkin pada tahun 2030-2040 sudah habis masa operasinya jadi dapat didahulukan untuk pekerjanya mendapat pelatihan,” jelas Hendra yang hadir dalam diskusi kelompok terpumpun peluncuran kajian “Mendefinisikan Ulang Pekerjaan Masa Depan”.

Invasi Rusia Dapat Mempengaruhi Transisi Energi di ASEAN

Jakarta, 5 April 2022 – Invasi Rusia ke Ukraina selama sebulan terakhir memicu beragam reaksi global, terutama pada masalah keamanan energi. Rusia dikenal sebagai eksportir minyak dan gas global, dengan invasi yang terjadi, para pemimpin global mengambil sikap untuk memberikan sanksi untuk tidak membeli gas dari Rusia. Apakah ini baik atau buruk? Mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melihat dampaknya, namun satu hal yang pasti, sanksi Rusia menjadi salah satu pemicu bagi negara-negara Uni Eropa (UE) untuk mempercepat transisi energinya dan memastikan energy security serta mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa tindakan UE untuk memastikan keamanan energi mereka mempercepat transisi.

“Negara-negara UE mencoba mengurangi ketergantungan mereka pada bahan bakar fosil dengan mengembangkan teknologi seperti hidrogen hijau untuk memastikan keamanan energi mereka. Ini adalah kabar baik bagi kawasan UE namun memiliki efek domino karena negara-negara seperti Jerman berkomitmen untuk mendukung transisi energi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Situasi saat ini dapat mempengaruhi kecepatan dan pendanaan untuk transisi energi di negara-negara berkembang,” jelasnya.

Pendanaan yang cukup sangat penting untuk dekarbonisasi seluruh sistem energi. Pendanaan yang cukup berarti pemerintah akan mampu membangun infrastruktur energi rendah karbon yang modern. Karena sebagian besar negara berkembang terletak di kawasan Asia Tenggara, daerah ini telah menjadi hotspot untuk dekarbonisasi. Sebagai salah satu wilayah terpadat, permintaan energi di Asia Tenggara terus meningkat. Memastikan kawasan memiliki pendanaan yang cukup untuk mengubah sistem energinya menjadi sistem yang lebih bersih akan menjadi salah satu faktor penentu dekarbonisasi global.

Terdiri dari sepuluh negara, ASEAN memiliki karakteristik yang berbeda dalam mengembangkan mekanisme transisi energi berdasarkan prioritas nasional masing-masing negara. Berbagai situasi tersebut menciptakan peluang yang berbeda, satu kesamaannya adalah sumber energi terbarukan, terutama surya, tersedia melimpah. Fabby menambahkan, energi surya dalam waktu dekat akan menjadi komoditas seperti minyak dan gas saat ini.

“Oleh karena itu, penting bagi ASEAN untuk memiliki fasilitas manufaktur (untuk panel surya). Untuk memastikan transfer teknologi operasional bagi fasilitas manufaktur dari produsen utama adalah suatu keharusan, ”kata Fabby.

Sara Jane Ahmed, Founder, Financial Futures Center Advisor, Vulnerable 20 Group of Finance Ministers, menambahkan bahwa kemitraan akan menjadi kunci bagi negara-negara ASEAN dalam mempercepat transisi energi.

“Saat ini, Cina sebenarnya dapat berperan lebih besar dengan menyediakan dana dan mentransfer teknologinya ke negara-negara ASEAN,” ujarnya.

Kepemimpinan Kepala Daerah Menentukan Cepatnya Langkah Transisi Energi di Indonesia

Jakarta, 9 Maret 2022 – Kementerian ESDM mencatat adanya peningkatan sebesar 217 MW pada pertengahan tahun 2021. Hal ini membuat total kapasitas pembangkit energi terbarukan pada September 2021 sebesar 10.807 MW. Secara nasional, bauran energi Indonesia masih didominasi oleh energi fosil mencapai 85%. Pemerintah Indonesia berinisiatif untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan pada bauran energi salah satunya melalui dokumen RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) 2021 – 2030. Dalam dokumen ini pemerintah menargetkan penambahan listrik dari pembangkit energi terbarukan sebesar 51,6% atau 20.923 MW. Kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan sektor swasta menjadi penting dilakukan untuk mencapai target RUPTL dan akselerasi transisi energi di Indonesia. Fokus pemerintah Indonesia untuk menambah kapasitas terpasang energi terbarukan salah satunya dengan memasukkan PLTS atap pada program strategi nasional.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, dalam sambutannya pada Forum Gubernur untuk Transisi Energi, sebagai bagian pra-acara Indonesia Solar Summit 2022, yang diselenggarakan pada 9 Maret 2022 oleh Dewan Energi Nasional bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan peran pemerintah daerah dalam transisi energi Indonesia.

“Pemerintah daerah diharapkan dapat membuat kebijakan yang lebih berpihak pada pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan mendukung upaya penghematan energi. Dukungan dapat dilihat dari  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RPJMD yang berorientasi transisi energi dan akselerasi ekonomi berbasis energi hijau akan menjadi faktor kunci keberhasilan transisi energi di daerah. Rencana Umum Energi Daerah (RUED) juga akan menjadi acuan melakukan transisi energi di daerah.”

Sebanyak 22 provinsi telah memiliki Perda RUED hingga bulan Maret 2022. Salah satu diantaranya adalah provinsi Sulawesi Tenggara. Pemerintah Sulawesi Tenggara telah mengeluarkan Surat Himbauan Gubernur Sulawesi Tenggara Tentang Pembangunan Instalasi PLTS Atap.

“Pemerintah Sulawesi Tenggara sudah melakukan upaya mendorong investasi dan pengembangan energi baru terbarukan melalui PLTS dan pembangkit listrik panas bumi (PLTP), semoga menjadi role model di seluruh Indonesia,” ungkap Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi.

Selain itu, beberapa daerah memiliki target energi terbarukan yang cukup tinggi seperti Sumatera Barat sebesar 51,7% pada tahun 2025. Audy Joinaldy, Wakil Gubernur Sumatera Barat dalam kesempatan yang sama menyatakan pihaknya tengah mengupayakan diversifikasi sumber energi dan salah satu yang menjadi prioritas adalah pemasangan PLTS atap

“Tiap tahunnya kami memasang PLTS khususnya untuk rumah tangga yang belum mendapat listrik PLN. Pemasangan PLTS juga dilakukan di gedung-gedung pemerintahan, juga PLTS terapung di danau Singkarak,” jelasnya.

Audy menambahkan, salah satu kendala besar bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan energi terbarukan adalah akses pendanaan yang terbatas. Maka perlu asistensi dari pemerintah pusat untuk akses finansial. 

Menanggapi hal tersebut, Musri, anggota Dewan Energi Nasional, menyebutkan pemerintah telah mengeluarkan aturan pendukung seperti Peraturan Menteri ESDM 26/2021 yang diharapkan dapat menarik konsumen untuk menggunakan energi terbarukan seperti PLTS atap, namun ada permasalahan berikutnya yang menyangkut teknis seperti jaringan PLN.

“Jika kita berbicara tentang bauran energi, tentu saja hal ini bukan dari sektor ketenagalistrikan saja, sektor lain seperti transportasi juga ikut andil. Untuk mendorong transisi energi di Indonesia, kearifan lokal harus didorong supaya langkah-langkah yang diambil sesuai potensi dan konteks sosial setempat,” Musri menjelaskan.

Provinsi yang terletak di bagian timur Indonesia, Nusa Tenggara Barat, menargetkan 25% energi terbarukan pada bauran energinya di tahun 2025. Zainal Abe, Kepala Dinas ESDM Nusa Tenggara Barat, menjelaskan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun Peraturan Gubernur tentang energi hijau. 

“Harapan kedepannya, atap kantor-kantor pemerintahan, terutama Dinas ESDM dapat menggunakan PLTS atap,” tutur Zainal.

Kompas | Daya Beli Masyarakat Turun, Insentif Tarif Listrik Diusulkan

IESR mengusulkan pemberian insentif bagi pelanggan listrik rumah tangga golongan 450 VA dan 900 VA yang tidak mampu. Insentif tersebut berupa penggratisan tarif listrik untuk pemakaian 50 kWh pertama.

Oleh ARIS PRASETYO
·4 menit baca | Kompas


JAKARTA, KOMPAS — Penurunan tarif listrik maupun subsidi tarif untuk pelanggan rumah tangga miskin diusulkan sebagai insentif di tengah wabah Covid-19. Usulan ini disampaikan menyusul kian melemahnya daya beli masyarakat akibat terhentinya aktivitas ekonomi selama siaga Covid-19.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, wabah Covid-19 di Indonesia menyebabkan penghasilan kelompok masyarakat tertentu merosot. Kelompok itu adalah yang pendapatannya berbasis harian. Di situasi seperti ini, daya beli mereka kian melemah.

”Kami mengusulkan tarif listrik diturunkan, khususnya golongan 900 volt ampere. Bahkan, kalau perlu juga golongan 1.300 volt ampere. Usulan kami besaran penurunan sedikitnya Rp 100 per kilowatt jam selama tiga sampai enam bulan ke depan bergantung pada lamanya wabah,” ujar Tulus, Senin (30/3/2020), di Jakarta.

Penurunan tarif tersebut dapat mengurangi beban ekonomi masyarakat yang rentan terdampak wabah Covid-19.

Menurut Tulus, penurunan tarif itu dapat mengurangi beban ekonomi masyarakat yang rentan terdampak wabah Covid-19. Penurunan tarif di tengah merosotnya harga minyak mentah dunia diyakini tidak akan mengganggu biaya pokok penyediaan listrik.

Harga minyak mentah dunia adalah salah satu faktor penentu tarif listrik di Indonesia, selain harga batubara, kurs rupiah terhadap dollar AS, dan inflasi.

Grafis tarif listrik di Indonesia. Empat faktor penentu tarif listrik adalah harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dollar AS, harga batubara, dan inflasi.

 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, IESR sudah mengusulkan pemberian insentif bagi pelanggan listrik rumah tangga golongan 450 VA dan 900 VA yang tidak mampu. Insentif tersebut berupa penggratisan tarif listrik untuk pemakaian 50 kWh pertama.

”Mengapa batasannya 50 kWh? Dari berbagai penelitian, konsumsi listrik dalam kewajaran bagi rumah tangga miskin atau tidak mampu sebesar 40 kWh sampai 60 kWh per bulan. Jadi, negara harus menjamin hak energi kelompok tersebut,” kata Fabby.

Menurut Fabby, masyarakat golongan tersebut adalah salah satu golongan yang terdampak wabah Covid-19. Sebagian besar dari mereka bukan pekerja tetap yang mendapat upah rutin setiap bulan. Wabah Covid-19 yang sudah melemahkan aktivitas ekonomi global menyebabkan penghasilan harian mereka terganggu dan berpotensi kesulitan membayar tagihan listrik.

”Kami menghitung, kalau pembebasan tarif untuk pemakaian 50 kWh pertama per rumah tangga, dengan hitungan tarif listrik sekarang, diperlukan penambahan subsidi atau kompensasi kepada PLN sebesar Rp 2,2 triliun hingga Rp 2,3 triliun per bulan,” ucap Fabby.

Kalau pembebasan tarif untuk pemakaian 50 kWh pertama per rumah tangga, dengan hitungan tarif listrik sekarang, diperlukan penambahan subsidi atau kompensasi kepada PLN sebesar Rp 2,2 triliun hingga Rp 2,3 triliun per bulan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di sela-sela acara peluncuran Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Kamis (15/11/2018), di Jakarta. ICEF adalah sebuah forum gagasan untuk mendorong transformasi menuju pemanfaatan energi rendah karbon.

 

Pada 4 Maret 2020, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan tarif listrik untuk periode April sampai Juni 2020 tidak berubah. Alasan pemerintah, selain untuk menjaga daya beli masyarakat, hampir seluruh harga energi menurun di tengah wabah Covid-19 yang melanda dunia.

Dengan demikian, tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 1.300 VA dan 2.200 VA sebesar Rp 1.467 per kWh. Sementara tarif untuk rumah tangga mampu dengan daya 900 VA sebesar Rp 1.352 per kWh.

”Sampai Juni nanti tidak ada penyesuaian tarif. Ini sudah ditetapkan dengan pertimbangan kondisi keekonomian. Adanya wabah Covid-19, suka atau tidak, menyebabkan ekonomi tertekan,” ucap Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana.

Data PLN hingga 2019, jumlah pelanggan listrik PLN mencapai 74,92 juta pelanggan. Dari 38 golongan tarif pelanggan PLN, sebanyak 25 golongan adalah penerima subsidi listrik. Golongan terbesar penerima subsidi listrik adalah rumah tangga 450 VA sebanyak 27,95 juta pelanggan. Berikutnya, rumah tangga 900 VA tak mampu sebanyak 8,04 juta pelanggan.

Dalam delapan tahun terakhir, pemerintah berhasil menekan angka subsidi listrik lewat verifikasi data pelanggan. Selama kurun 2011-2014, angka subsidi listrik berkisar Rp 93 triliun hingga Rp 103 triliun. Sejak 2015 hingga 2018, anggaran subsidi berhasil ditekan menjadi Rp 45 triliun hingga Rp 56 triliun.

Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy

Brown to Green Report 2019: 

Strategi Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy dalam Menangani Perubahan Iklim sebagai Upaya Pencapaian Paris Agreement

Jakarta, 19 November 2019 — IESR. Emisi karbon dari negara-negara G20 terus meningkat sebagai akibat dari tingginya penggunaan bahan bakar fosil dalam penyediaan energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan, tidak satupun dari mereka memiliki rencana penurunan emisi karbon yang selaras dengan pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1.5°C. Meskipun mereka memiliki kemampuan teknis dalam meningkatkan upaya pencegahan perubahan iklim dalam mencapai target Paris Agreement, rencana aksi mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC negara-negara G20 tidak ada yang menempatkan mereka berada di jalur 1.5°C.

Apabila negara-negara G20 tidak melakukan peningkatan ambisi iklimnya dan melakukan transformasi perekonomian, dan dengan dokumen NDC yang ada saat ini, suhu bumi akan meningkat lebih dari 3°C. Pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1,5°C diindikasi akan mengurangi dampak negatif di berbagai sektor di negara G20 lebih dari 70%. Kerugian yang saat ini dilanda oleh negara G20 akibat perubahan cuaca yang ekstrim yakni kematian sebanyak 16.000 jiwa dan kerugian ekonomi sebesar US$ 142 triliun setiap tahunnya. 

Semua negara anggota G20, termasuk Indonesia, dapat meningkatkan ambisi iklimnya dalam upaya penurunan emisi karbon dan mencapai net-zero emission economy untuk mencapai Paris Agreement, dengan langkah yang taktis dan komitmen serta kemauan politik yang kuat. Hal ini merupakan salah satu pesan kunci dari Brown to Green Report 2019: The G20 Transition Towards a Net-Zero Emissions Economy yang diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform di Jakarta pada 19 November 2019. Peluncuran laporan yang diikuti dengan diskusi panel ini dihadiri sedikitnya 140 peserta yang berasal dari kementerian dan lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, pelaku bisnis, asosiasi, akademisi, dan masyarakat umum, serta rekan-rekan jurnalis.

Laporan Brown to Green 2019 merupakan sebuah laporan tahunan yang disusun oleh Climate Transparency dengan didukung oleh Federal Ministry of Environment Nature Conservation and Nuclear Safety. Dengan menggunakan 80 indikator penilaian terkait adaptasi, mitigasi dan pembiayaan perubahan iklim untuk dapat mencapai target 1,5°C, laporan ini mengukur aksi iklim dari negara-negara G20 dan bagaimana proses transisi mereka menuju net-zero emissions economy. Sebagai anggota dari kemitraan Climate Transparency, IESR mengukur kinerja Indonesia dalam upaya mengatasi perubahan iklim serta bagaimana Indonesia dapat melakukan transisi perekonomiannya, dibandingkan dengan negara anggota G20 lain.

Membuka acara ini, Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR) menyampaikan bahwa laporan ini memperlihatkan Indonesia masih cukup tertinggal dalam upaya mencapai Paris Agreement. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pembangunan dan investasi untuk mendorong perekonomian Indonesia menjadi lebih hijau, khususnya investasi di pembangkit listrik, transportasi, dan industri manufaktur. Di samping itu, Indonesia membutuhkan strategi untuk membuat ekonomi Indonesia lebih resilient terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR

Ditegaskan dalam pidato pembukaan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Jend. TNI. (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, bahwa Indonesia berkomitmen dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 dan juga peningkatan kontribusi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi di 2025. “Indonesia berkomitmen untuk menempatkan energi baru dan terbarukan dalam kebijakan negara. Penentu kebijakan harus membuat kebijakan yang tidak mencederai anak cucu” pernyataan Luhut dalam pidatonya.

Ia pun menjelaskan beberapa strategi investasi dan bisnis yang akan diterapkan Indonesia dalam mendorong perekonomian hijau, yakni teknologi yang masuk ke Indonesia harus yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan; harus ada transfer teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah produk mentah yang menjadi komoditas ekspor Indonesia; serta investor harus mengembangkan pelatihan bagi tenaga kerja lokal. Secara khusus, ada beberapa program yang disiapkan pemerintah untuk mendorong perekonomian hijau yaitu biodiesel dan green fuel untuk non listrik, kendaraan listrik, pembangkit listrik energi terbarukan, mendekatkan industri dengan sumber energi, dan pelibatan pihak swasta dalam proyek carbon credit.

Prof. Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga turut hadir dalam peluncuran ini, memberikan Keynote Speech kedua setelah Menteri Kemenko Maritim dan Investasi. Prof Emil turut menekankan bahwa Laporan Brown to Green ini mencerminkan kenyataan yang ada mengingat kebijakan energi Indonesia sudah dicanangkan hingga ke 2050 tapi tidak ada yang menunjukkan bagaimana dampak dari emisi karbon dapat diatasi. 

Prof. Emil Salim, Guru Besar FE UI

“Persoalan climate change adalah persoalan nasional yang sedang sama-sama kita hadapi. Namun, sayangnya faktor lingkungan tidak menjadi pertimbangan penting dalam Rencana Umum Energi Nasional, tapi justru menumpukan pembangunan pada energi konvensional. Jadi pola struktur energi kita didominasi minyak bumi, batu bara dan energi terbarukan hanya kurang dari separuh. Padahal potensinya tinggi. Jika kita merasa Rencana Umum Energi Nasional tersebut tidak tepat maka keinginan saya adalah, bagaimana komposisi energi terbarukan bisa dapat tingkatkan.” ujar Prof. Emil Salim.

Senior ekonom Indonesia ini pun menyoroti peran PLN sebagai BUMN yang menilai bahwa pihak swasta tidak dapat mengembangkan sumber energinya dengan alasan perizinan yang hanya dimiliki oleh PLN, sehingga teknologi pembangkit listrik surya atap masih terhambat hingga saat ini.Beliau menekankan bahwa laporan IESR ini harus dijadikan sebagai lampu kuning bagi seluruh pemangku kebijakan tak sekedar dokumen untuk dibaca. Indonesia tertinggal dalam urusan yang terkait dengan climate change, kebijakan energi sebagai alternatif harus segera dibuat, imbuhnya. 

Erina Mursanti, Program Manager IESR – Green Economy

Beberapa poin penting dalam paparan kedua keynote speech tersebut, selaras dengan isi dari laporan Brown to Green yang dipaparkan langsung oleh Manajer Program, Green Economy, IESR, Erina Mursanti. Laporan ini memperlihatkan posisi Indonesia untuk menuju 1,5°C berdasarkan compatible fair share emission ranges yang merupakan analisa adaptasi dari metodologi Climate Action Tracker yang juga merupakan mitra internasional dari Climate Transparency. Metodologi ini tidak memasukkan LULUCF emission karena tidak semua negara G20 memiliki emisi dari LULUCF (Land Use, Land-Use Change and Forestry) atau penggunaan lahan dan hutan. 

“Sekalipun semua kegiatan mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC Indonesia dilaksanakan, negara ini tetap berada pada jalur suhu bumi 3°C atau bahkan 4°C, jadi bisa disimpulkan kita masih berada jauh dari jalur 1,5°C.” terang Erina, memaparkan salah satu hasil laporan ini. Laporan ini menunjukkan, selama tahun 2019, ada dua kemajuan Indonesia dalam melakukan transformasi perekonomian yakni adanya peraturan presiden mengenai kendaraan listrik serta pembentukan badan pengelola dana lingkungan hidup terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Meskipun demikian, sayangnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2019-2028 menunjukkan bahwa kontribusi dari batubara dalam pembangkit listrik naik sebesar 0,2% dibandingkan dengan rencana tahun lalu. 

Terkait rencana pembangunan jangka panjang, laporan ini menemukan bahwa Indonesia belum memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang terintegrasi dengan rencana penurunan jumlah emisi gas rumah kaca. Indonesia telah mengeluarkan studi low carbon development initiative namun studi ini belum didokumentasikan secara resmi sebagai dokumen pembangunan pemerintah Indonesia. 

Dilaporkan bahwa Indonesia sudah memiliki target kontribusi energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan, namun implementasi upaya pencapaian target tidak koheren dengan beberapa kebijakan yang sudah ada. Namun Indonesia belum memiliki target atau kebijakan terkait penghapusan batubara secara bertahap, padahal indikator ini merupakan faktor penting demi menanggulangi perubahan iklim. 

Dalam sektor transportasi, hanya satu hal yang cukup bagus dimiliki oleh Indonesia yaitu adanya beberapa instrumen yang mendukung pengalihan pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum. 

Indonesia belum mempunyai instrumen pembiayaan perubahan iklim yang cukup memuaskan. Catatan penting dari temuan ini adalah Indonesia masih memberikan subsidi kepada bahan bakar fosil yang sangat besar. Demi tercapainya suhu bumi pada 1,5°C Indonesia harus mulai menghapus subsidi tersebut dan memperkenalkan skema pajak karbon. Dana APBN juga semestinya sudah tidak digunakan lagi untuk membiayai proyek – proyek berbahan bakar fosil. Strategi pembangunan jangka panjang Indonesia harus diperjelas agar dapat mengakomodasi pembiayaan jangka panjang untuk perubahan iklim. 

Sebelum menutup paparannya, Erina Mursanti mengingatkan bahwa demi meningkatkan Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia dan untuk berada di jalur 1,5°C, ada tiga hal yang dapat dilakukan negara yaitu: (a) Mengurangi jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menaikkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030. Hal ini sangat penting menurut Erina, karena: merupakan solusi yang layak (mungkin dilakukan) secara teknis tanpa mengurangi keandalan jaringan transmisi (jika daya energi terbarukan sangat besar). Komitmen dan kemauan politik (political will) dalam hal ini sangat dibutuhkan. (b) Meningkatkan tingkat efisiensi dari peralatan rumah tangga & industri termasuk penerangan karena hal ini berkontribusi sekitar 25 GW pada tahun 2030. (c) Indonesia harus melakukan moratorium pembebasan lahan hutan secara permanen termasuk untuk hutan primer, sekunder dan restorasi hutan gambut. 

 

(dari Kiri ke Kanan) Dr. Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi, CSIS, Erina Mursanti, Program Manager Green Economy, IESR, Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Kemenko Marves, Dr. Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, KESDM, Kuki H. Soejachmoen.

Galeri acara Peluncuran Brown to Green 2019:

Diskusi Panel: Strategi Indonesia menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050

Menindaklanjuti hasil laporan ini, diskusi panel pun dilakukan dengan mengusung topik Strategi Indonesia Menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050 dan menghadirkan para panelis yang terdiri dari: Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) – Yose Rizal Damuri; Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – Emma Rachmawati; Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang – Saleh Abdurrahman; dan Direktur Eksekutif, IESR – Fabby Tumiwa.

Yose Rizal Damuri, dalam hal ini mengaitkan political will dengan dinamika sosial politik Indonesia yang tidak banyak terafiliasi dengan isu lingkungan. Survei CSIS yang dilakukan di awal tahun mengenai persepsi sosial dan politik terhadap isu emisi menemukan bahwa hanya 1,68% dari 2.000 responden Indonesia yang menjawab bahwa isu lingkungan merupakan salah satu prioritas pembangunan. Yose melanjutkan, di ranah politik, sayang sekali hanya satu partai yang memasukkan kata lingkungan dari visi misi mereka namun sayangnya partai ini tidak masuk ke dalam DPR. Sangat disayangkan politisi – politisi belum banyak berperan di seputar isu lingkungan, padahal mereka punya peran penting dalam memberikan legalitas demi dukungan pendanaan.

Mengamini pernyataan Prof. Emil Salim di keynote speechnya, Yose juga menilai bahwa PLN masih menjadi salah satu penghalang utama untuk pengembangan teknologi energi terbarukan yang berhubungan dengan kelistrikan, karena semestinya menurut Yose, PLN seharusnya bertindak sebagai penyedia jasa bukan sebagai regulator. Political will pun sangat dibutuhkan dalam memecahkan kendala regulasi yang menghambat pengembangan energi terbarukan seperti solar rooftop atau kendaraan listrik.

Menurut pandangan KLHK yang disampaikan oleh Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Emma Rachmawati, kemampuan ekonomi yang dimiliki negara-negara G20 berbeda dari satu dengan yang lainnya. “Kenapa negara berkembang seperti Indonesia kemudian dituntut untuk increase ambition? Indonesia juga mempertanyakan, negara maju penuhi dulu kewajiban nya, jangan lalu dibagi rata menjadi beban negara berkembang.”

“KLK saat ini sedang dalam proses penyusunan roadmap implementasi NDC, dimana NDC dirinci dalam kegiatan di sub-sektor untuk masing-masing sektor. Kita sudah pilah mana yang kemudian bisa dikontribusikan oleh Provinsi dan Kabupaten/ Kota, kemudian oleh swasta, sudah ada dalam road map tersebut. Kemudian juga kemarin kita sudah diskusi mengenai carbon pricing dan bagaimana peran swasta untuk pasar karbon.” imbuh Emma Rachmawati.

Di kesempatan yang sama, Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, merespon wajar jika Indonesia belum mencapai target NDC karena, menurutnya, pertumbuhan GDP Indonesia masih rendah; sehingga kesejahteraan masyarakat Indonesia harus didahulukan dengan terus menumbuhkan sektor manufaktur. Untuk mencapai kesejahteraan Indonesia itu harus bisa menjamin kesejahteraan sosial, maka sektor manufaktur harus terus tumbuh. Sektor manufaktur mendapatkan nilai tambah yang tinggi dan bisa menjangkau pekerja baru sampai 200-300 ribu orang. 

Saleh pun menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat melihat kebijakan dalam kurun waktu tahunan (yearly basis), karena kebijakan energi pada khususnya menyangkut sektor riil, dan harus mempertimbangkan faktor ekonomi. Strategi sektor energi dalam menuju nir emisi dapat dilakukan dengan: (i) mencari sumber energi yang memiliki big impact seperti biofuel, (ii) mengoptimalkan energy efficiency, (iii) memaksimalkan PLTS, PLTP, PLTA karena bisa mendorong ekonomi lokal.

Fabby Tumiwa, dalam sesi diskusi panel menyatakan Indonesia sebagai anggota negara G20 tentunya memiliki kondisi ekonomi yang berbeda dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, trajectory yang ada dalam NDC menunjukkan jika kita belum di jalur 1,5°, namun ada di jalur 3° – 4°C dikarenakan Indonesia meningkatkan pembangkit dari minyak bumi cukup masif, dimana sebagian besar dari pembangkit ini baru mulai beroperasi setelah 2023 – 2030 dengan berkekuatan 35.000 MW, meski Indonesia sudah memiliki aset pembangkit energi terbarukan namun tidak on-track sesuai target. Long-term decarbonisation menjadi catatan penting untuk pemerintah Indonesia khususnya BAPPENAS, KLHK dan sektor lain untuk membahas bagaimana target 2050

“Tidak hanya target-target mau turun berapa, tetapi kapan emisi akan peak dan kapan kita bisa mencapai net-zero emission. Ini penting karena bisa melihat apakah kita compatible dengan Paris Agreement.” imbuh Fabby. 


Brown to Green Report 2019 diluncurkan di Jakarta, Hotel Pullman Thamrin 19 Desember 2019.

Materi paparan dari kegiatan ini dapat di unduh di laman agenda 

Anda juga dapat mengunduh: 

Laporan Lengkap Brown to Green 2019 (Bahasa Inggris)

Ringkasan Eksekutif dan Profil Indonesia (Bahasa Inggris)

Laporan Brown to Green 2019 Profil Indonesia (Bahasa Indonesia)

Virtual Reality, hadirkan dunia energi yang lebih ‘hidup’

Kontributor: Agus Tampubolon, Researcher

Virtual Reality: Inovasi perusahaan utilitas listrik untuk mengedukasi dan melibatkan diri dengan masyarakat


Perusahaan utilitas listrik di Indonesia hanya ada satu, yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang menguasai mayoritas pembangkitan listrik dan memiliki monopoli atas seluruh jaringan transmisi serta distribusi. Namun beda halnya dengan negara Jerman.

Jerman memiliki ribuan perusahaan pembangkit listrik, mulai dari skala besar hingga kecil, ratusan perusahaan distribusi, dan empat perusahaan transmisi. Salah satu dari perusahaan transmisi ini bernama TenneT yang memiliki dan mengendalikan jaringan transmisi tegangan tinggi sepanjang 23.000 km guna memastikan pasokan listrik yang handal untuk 41 juta konsumernya[1].

Energy Management Specialist, IESR – Agus Tampubolon, dalam lawatannya pada program Fellowship yang dikelola oleh Agora Energiewende dan Renewable Academy (renac) Jerman, berkesempatan berkunjung dan mengalami langsung teknologi pada perusahaan yang menawarkan inovasi ini.

TenneT memiliki kantor pusat di Bayreuth, Bayern dan memiliki kantor perwakilan di Berlin. Dan di kantor Berlin inilah terdapat salah satu inovasi TenneT terbaru yang diberi nama TenneT Virtual Vision.

Gambar 1 Papan permainan terintegrasi proyeksi visual untuk belajar tantangan-tantangan proyek-proyek infrastruktur listrik skala besar

TenneT Virtual Vision adalah konsep komunikasi interaktif menggunakan multimedia, seperti Augmented Reality dan Virtual Reality, guna menghadirkan dunia energi yang lebih hidup bagi para pengunjungnya dengan maksud tidak hanya sebagai sarana edukasi, namun juga berperan penting untuk menginspirasi khalayak umum.

TenneT Virtual Vision mengajak pengunjungnya untuk berpartisipasi aktif dan mencoba banyak hal. Selain itu ia juga memperkenalkan dunia operator sistem transmisi, yang pada umumnya terletak di lokasi laut lepas (misalnya di Laut Utara) ataupun di situs-situs yang sulit diakses masyarakat umum. TenneT Virtual Vision juga menyoroti aspek-aspek utama dari transisi energi Jerman serta pandangan-pandangan masyarakat terhadap topik itu. Dan dengan menggunakan proyeksi visual yang terintegrasi dengan papan permainan (board game), kesulitan-kesulitan yang dihadapi dari proses perencanaan proyek-proyek infrastruktur listrik besar dapat dijelaskan dengan cara yang menyenangkan dan interaktif.

Gambar 2 Sistem monitoring pembangkit-pembangkit yang terhubung ke jaringan TenneT

 

Gambar 3 Pemanfaatan teknologi Augmented Reality untuk menunjukkan proses pembangunan jaringan transmisi DC dari Utara ke Selatan Jerman

Gambar 4 Teknologi Virtual Reality yang membawa pengunjungnya ke salah satu pusat operasi PLTB lepas pantai TenneT di Laut Utara Jerman

Untuk mengetahui lebih lanjut atau ingin berkunjung langsung, silahkan kunjungi laman https://www.tennet.eu/

[1] https://www.tennet.eu/de/unternehmen/profil/ueber-tennet/