Tahun 2022, Indonesia Perlu Kejar Kesiapan Ekosistem Transisi Energi

press release

Jakarta, 21 Desember 2021 –  Kurang kondusifnya iklim investasi energi terbarukan di Indonesia, dan komitmen politik yang tidak konsisten dapat membuat pencapaian target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 terkendala. Hingga Q3 2021, bauran energi terbarukan masih di angka 11.2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pemerintah Indonesia perlu secara serius mempersiapkan ekosistem transisi energi yang mampu mempercepat dekarbonisasi sistem energi di Indonesia mencapai bebas emisi karbon pada 2050.

Pada 2021, pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih berjalan lambat dan tidak on track dengan target 23% bauran energi terbarukan di 2025. IESR dalam laporan tahunan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menemukan bahwa hingga September 2021, total kapasitas terpasang energi terbarukan hanya mencapai 10.827 MW atau bertambah sekitar 400 MW. Sementara untuk mencapai target KEN dan RUEN di 2025 kapasitas pembangkit energi terbarukan diperkirakan harus minimal mencapai 24.000 MW atau sekitar 2-3 GW penambahan kapasitas energi terbarukan setiap tahunnya. Sedangkan agar sesuai dengan Persetujuan Paris, dibutuhkan setidaknya 11-13 GW pembangkit energi terbarukan untuk  mendekarbonisasi sistem energi di Indonesia yang mencakup sektor pembangkitan listrik, transportasi dan industri pada tahun 2050. Selain itu, pemanfaatan energi surya pun terbilang tidak signifikan, hanya meningkat 18 MW yang didominasi PLTS atap. Bandingkan dengan kebutuhan 10-11 GW PLTS atap tiap tahunnya untuk mendorong bebas emisi pada 2045 di sektor ketenagalistrikan. IESR memandang PLTS atap merupakan peluang untuk memaksimalkan kontribusi masyarakat dan badan usaha untuk ikut berinvestasi dalam proses dekarbonisasi.

Upaya dekarbonisasi sistem transportasi dengan adopsi kendaraan listrik dan penggunaan bahan bakar nabati juga masih jauh dari target yang ditetapkan. Penjualan kendaraan listrik masih di bawah 1% dari total penjualan kendaraan. Hanya sekitar 2.000 mobil listrik dan 5.000 mobil listrik sepeda motor terdaftar, sementara total mobil dan sepeda motor listrik perlu mencapai 1,7 juta dan 100 juta pada tahun 2030. Bahan bakar nabati pun masih terbatas pada pengembangan biodiesel yang masih belum ekonomis dan terkendala dengan isu keberlanjutan (sustainability). Implementasi B40, dari yang semula B30, yang direncanakan di tahun 2022 pun dinilai akan terkendala melihat harga minyak sawit saat ini.

“Pemerintah harus memfokuskan pada upaya memperkuat komitmen politik untuk dekarbonisasi dengan merevisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) agar selaras dengan tujuan Net-Zero Emission (NZE), dan memperbaiki kualitas regulasi untuk meningkatkan daya tarik investasi, memangkas hambatan perizinan, dan mengakselerasi pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di luar PLN dengan mendorong gotong royong warga masyarakat dan bisnis berinvestasi pada pembangkit energi terbarukan terdistribusi dan efisiensi energi. Dengan demikian 23% bauran energi terbarukan di 2025 dapat tercapai,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Dekarbonisasi sistem energi di Indonesia membutuhkan kesiapan ekosistem yang mendukung.Temuan IESR dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menilai kesiapan ekosistem untuk beralih ke energi terbarukan masih sangat rendah. Menggunakan Kerangka Kesiapan Transisi Energi, IESR menilai empat indikator yaitu dukungan kebijakan dan regulasi, teknologi dan ekonomi, iklim dan realisasi investasi, dan sosial.

Dukungan kebijakan dan regulasi energi yang kurang efektif dalam mendongkrak pengembangan energi terbarukan di Indonesia, mencitrakan komitmen politik pemerintah yang rendah terhadap energi terbarukan. Meski pada 2021, pemerintah berkomitmen untuk menaikkan porsi bauran energi terbarukan menjadi 51% di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan melakukan kaji ulang pensiun dini pada 9,2 GW PLTU batubara, upaya tersebut belum cukup ambisius untuk mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini, sesuai Persetujuan Paris. Lebih lanjut, komitmen ini perlu diterjemahkan dengan rencana implementasi yang jelas di tahun 2022.

“Memang pada 2021 sudah ada beberapa dokumen kebijakan yang dikeluarkankan seperti LTS dan RUPTL, namun kami menilai target-target tersebut masih jauh dari cukup untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1.50C. Selain itu, penting untuk dilakukan perubahan terhadap beberapa regulasi seperti tarif energi terbarukan, serta mekanisme lelang dan pengadaan yang lebih terjadwal dan transparan dari PLN, supaya target-target tersebut dapat tercapai,” ujar Julius Christian, Peneliti & Spesialis Bahan Bakar Bersih sekaligus Penulis Utama laporan IETO 2022.

Kebijakan energi di Indonesia juga belum memberikan rasa aman bagi pengembang untuk berinvestasi di energi terbarukan. Permen ESDM No 10/2017 menyerahkan risiko sepenuhnya kepada pengembang bila terjadi perubahan kebijakan pemerintah. Peraturan ESDM No. 50/2017 menyebabkan proyek energi terbarukan dipandang sebagai proyek yang sulit mendapat pendanaan dari bank (unbankable). Tidak hanya itu, Peraturan Presiden tentang tarif energi baru dan terbarukan yang urung disahkan tahun ini menyebabkan ketidakpastian dan menghambat investasi proyek energi terbarukan di Indonesia.

Kebijakan yang kurang mendukung berdampak pada investasi energi terbarukan di tahun yang tidak signifikan, hanya mencapai USD 1,17 miliar dibandingkan tahun 2020 sebesar USD 1,12 miliar. Jumlah ini sangat rendah bila disandingkan dengan kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sistem energi sesuai kajian IESR, sebanyak USD 20-25 Miliar per tahun menuju 2030.

Ditinjau secara teknis dan ekonomis, secara global, baik teknologi maupun biaya energi terbarukan semakin kompetitif dalam beberapa tahun terakhir. Hasil lelang PLTS terakhir menghasilkan biaya listrik USD 0,04/kWh, lebih rendah dari rata-rata PLTU batubara yang menelan biaya USD 0,05-0,07/kWh. Saratnya subsidi dan dukungan regulasi pemerintah terhadap PLTU batubara disinyalir membuat biaya PLTU batubara rendah. Jika menggunakan harga pasar aktual, dengan harga batubara USD 150/ton (September 2021), biaya pembangkitan listrik PLTU bisa mencapai USD 0,09-0,11/kWh. 

Meskipun proyek energi terbarukan sudah semakin ekonomis, investasi energi terbarukan masih dinilai kurang atraktif.

“Hal utama yang perlu disorot adalah ketidak-familiaran bank-bank dan investor lokal terhadap risiko proyek energi terbarukan yang sebenarnya lebih rendah daripada proyek energi fosil, menimbang harga teknologi secara tren globalnya yang juga semakin menurun. Lamanya proses perizinan dan kompleksitas mekanisme pengadaan juga dilihat sebagai kedua hal yang sering kali membuat biaya pendanaan proyek energi terbarukan menjadi lebih tinggi daripada yang direncanakan sehingga pengembang sulit menentukan angka kebutuhan investasi yang tepat dan pasti untuk diajukan kepada para institusi pendanaan,” tandas Handriyanti D. Puspitarini, Peneliti Senior Energi Terbarukan, IESR yang juga terlibat dalam penulisan IETO 2022.

Sementara dari segi sosial, berdasarkan hasil survei yang IESR lakukan terhadap 1000 responden, terdapat peningkatan kesadaran dan dukungan untuk bertransisi energi ke energi bersih. Sebanyak 56% responden yang (sangat) setuju jika Indonesia berhenti menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik. Tiga sumber energi terbarukan tertinggi yang mendapat dukungan publik tertinggi adalah  matahari (68%), air (60%), dan angin (39%). 

IESR dalam laporan IETO 2022 mendorong pemerintah Indonesia untuk menangkap sentimen positif dari masyarakat Indonesia terhadap energi terbarukan melalui kerja sama dengan pihak swasta, industri, dan pemerintah provinsi di Indonesia. Beberapa provinsi di Indonesia seperti DKI Jakarta, Bali, Jawa Tengah dapat menjadi acuan dan pelajaran bagi provinsi lain dalam mengembangan lebih banyak lagi porsi energi terbarukan.

Fokus tahun 2022 dapat ditujukan untuk kebijakan dan regulasi yang meningkatkan transparansi proses lelang energi terbarukan, alokasi risiko yang jelas melalui standarisasi Project-Based Learning (PJBL) dan memperbaiki bankability proyek-proyek energi  terbarukan dengan instrumen derisking. Proses perizinan yang lebih efisien dan tepat waktu serta suku bunga yang lebih rendah untuk pinjaman proyek juga merupakan faktor penting untuk memangkas biaya pendanaan awal dan memperbaiki iklim investasi. 

Laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 dapat diunduh pada: s.id/IESR_IETO2022

Akselerasi Energi Bersih untuk Mewujudkan NZE di Sektor Energi 2050

press release

Jakarta, 20 Desember 2021 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022. IETO 2022 merupakan laporan tahunan yang mengulas perkembangan transisi energi di Indonesia serta memproyeksikan tantangan dan peluang sektor energi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca di tahun berikutnya. Di tahun ke-5 peluncuran laporan IETO, IESR juga menyoroti komitmen pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi sektor energi, inovasi kebijakan dan regulasi untuk menarik investasi energi terbarukan, dan peranan sektor swasta dan pemerintah daerah dalam mempercepat transisi energi di Indonesia.

IESR memandang bahwa dekarbonisasi menyeluruh sektor energi merupakan hal yang mutlak dilakukan. Dekarbonisasi harus selaras dengan target Persetujuan Paris yaitu  membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius. Menghasilkan sebanyak 34% dari total emisi pada tahun 2019 membuat sektor energi sebagai penghasil emisi terbesar kedua setelah Forest and Land Use (FOLU) di Indonesia. Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang terencana maka diproyeksikan sektor energi akan menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2030 dan mempersulit pencapaian target Persetujuan Paris. 

“Di tahun 2022, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berusaha keras meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mendorong efisiensi energi di bangunan dan industri. Pada 2025, pemerintah harus mencapai target 23% bauran energi terbarukan dan setelah itu harus mengejar emisi sektor energi mencapai puncaknya sebelum 2030. Kedua milestone ini menjadi indikasi apakah kita bisa mencapai dekarbonisasi di pertengahan abad ini,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.  

Pemerintah Indonesia telah menetapkan komitmennya untuk melakukan transisi energi dengan  memasukan porsi kapasitas pembangkit energi terbarukan yang lebih besar, 51 persen atau sebanyak 20.923 MW pada 2030 dalam RUPTL PLN 2021-2030. Sementara untuk selaras dengan  target dekarbonisasi 1,5℃, menurut kajian IESR, setidaknya perlu 140 GW energi terbarukan, yang didominasi PLTS pada 2030. 

IESR memandang untuk mencapai target yang besar perlu evaluasi yang serius terhadap kualitas kebijakan dan regulasi yang ada saat ini. Dalam lima tahun terakhir, sejak PP No. 79/2014 tentang KEN disahkan,  laju pertumbuhan energi terbarukan cenderung lambat. Data dari IETO 2022 menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir, energi terbarukan rata-rata hanya bertambah 400 MW.  Selain itu, pemerintah Indonesia juga masih memberikan tempat bagi batubara dalam skenario transisinya seperti dalam program penggunaan CCS/CCUS pada PLTU batubara, gasifikasi batubara, bahkan co firing batubara. Menurut IESR, penggunaan teknologi  CCS/CCUS pada PLTU akan berdampak pada harga listrik lebih mahal dan meningkatnya risiko potensi aset terdampar yang lebih besar karena biaya yang tidak kompetitif. Selain itu, penerapan teknologi co-firing dan clean coal technology seperti PLTU Ultra-supercritical menghasilkan penurunan emisi yang tidak signifikan, sehingga membuat penggunaan teknologi ini dipertanyakan efektivitasnya.

“Biaya pembangkitan listrik dari penggunaan CCS pada PLTU akan bersaing dengan teknologi energi terbarukan dengan storage. Sejauh ini, PLTU dengan CCS yang beroperasi di dunia masih punya kendala pada operasi dan pencapaian penurunan emisinya. Bahkan salah satu proyek PLTU dengan CCS tersebut, seperti Petra Nova di Texas ditutup setelah baru beroperasi selama kurang lebih 4 tahun. Jadi, kesiapan teknologi saat ini, serta proyeksi harga teknologi dalam dekade mendatang harusnya menjadi pertimbangan utama, dan jelas bahwa prioritas harus diberikan pada teknologi dengan biaya paling kompetitif yaitu energi terbarukan,” jelas Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR.

Lebih lanjut, salah satu Penulis IETO 2022, Handriyanti Diah Puspitarini menuturkan bahwa meski belum mencapai target yang ditetapkan, kapasitas terpasang energi terbarukan terutama dari PLTS menggeliat naik hingga 17,9 MWp, dan kendaraan listrik seperti motor listrik mengalami sedikit kenaikan sebanyak 5.486 unit dan mobil listrik sebanyak  2,012 unit. Hal ini dapat menjadi potensi yang perlu dikembangkan di tahun 2022.

“Pemerintah Indonesia perlu mendorong pengembangkan teknologi yang diproduksi secara lokal untuk menangkap peluang lebih besar seperti penurunan CAPEX proyek energi terbarukan. Selain itu, pengembang lebih mudah mendapatkan teknologi dengan kualitas tinggi dan harga yang murah tanpa perlu impor. Dengan demikian, akan banyak investasi bukan hanya pada proyek energi terbarukan sendiri, tetapi ke sektor industri di Indonesia secara umum,” ujar Handriyanti Diah Puspitarini, Peneliti Senior Energi Terbarukan, IESR.

IESR menyadari bahwa dekarbonisasi sektor energi membutuhkan biaya yang besar, sekitar  USD 20-25 miliar per tahun sesuai kajian IESR tentang Dekarbonisasi Sistem energi Indonesia (IESR, 2021). IETO 2022 mengulas sejumlah peluang pendanaan tersedia dari entitas swasta atau publik untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang dapat digunakan untuk membiayai transisi energi. Peluang pendanaan ini termasuk insentif pemerintah (fiskal dan non-fiskal), bantuan pembiayaan internasional, dan mekanisme pembiayaan yang lebih tidak konvensional seperti green bond/sukuk, obligasi daerah, keuangan syariah, dan blended finance

“Pendanaan energi terbarukan seharusnya tidak dianggap sebagai beban melainkan sebuah kesempatan dan strategi untuk mengalihkan investasi dari fosil ke energi terbarukan. Ada banyak sumber pendanaan yang bisa menjadi sumber investasi energi terbarukan. Pemerintah dapat menggunakan APBNnya untuk menarik investasi dari sumber pendanaan tersebut, misalnya dengan melakukan pemetaan sumber daya energi terbarukan, melakukan riset teknologi, dan mengadakan pilot project untuk projek baru energi terbarukan yang belum dikembangkan seperti energi laut, serta menyediakan instrument derisking untuk menarik investasi,” tutup Fabby.

Perkembangan transisi energi secara lengkap akan dibahas dalam IETO 2022