IEVO 2023: Bangun Ekosistem Kendaraan Listrik Indonesia

Jakarta, 21 Februari 2023 – Dekarbonisasi sektor transportasi merupakan strategi krusial dalam mitigasi perubahan iklim untuk mencegah kenaikan temperatur bumi melebihi 1,5 derajat Celsius. Di Indonesia, selain pemanfaatan bahan bakar nabati, elektrifikasi kendaraan dapat memangkas 23% emisi gas rumah kaca (GRK) yang berasal dari sektor transportasi. 

Institute for Essential Services Reform (IESR)  memandang pembangunan ekosistem kendaraan listrik mutlak dilakukan untuk meningkatkan minat masyarakat untuk mengadopsi kendaraan listrik, mempercepat pemerataan infrastruktur dan pengembangan industri kendaraan listrik dalam negeri.

IESR dalam laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023 mencatat ketergantungan terhadap  impor bahan bakar telah memicu terjadinya inflasi pada akhir tahun 2022 akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Konsumsi BBM meningkat rata-rata 1,2 juta kiloliter per tahun antara 2015 dan 2020.

“Kenaikan nilai impor BBM menyebabkan devisa tergerus, melemahnya nilai tukar dan memaksa pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga BBM, yang berdampak pada inflasi. Karena penyesuaian harga BBM tidak populer secara politik dan berdampak pada daya beli masyarakat, lazimnya pemerintah menjadikan ini sebagai pilihan terakhir dan untuk menutupi selisih harga jual dan biaya pengadaan BBM. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah menggerus kapasitas fiskal APBN. Berbagai dampak ini bisa dihindari jika impor BBM dipangkas drastis. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan penggunaan kendaraan listrik dan mensubstitusi kendaraan motor berbahan bakar minyak,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar minyak, kendaraan listrik lebih baik dalam menekan emisi dan rendah biaya operasional. Analisis IESR menunjukkan kendaraan listrik mengeluarkan emisi 7% lebih sedikit dan biaya operasional per km-nya 14% lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak. Hanya saja, karena ketersediaan model kendaraan listrik yang terbatas, infrastruktur yang minim, serta investasi awal yang tinggi, membuat masyarakat enggan beralih ke kendaraan listrik.

“Pemerintah perlu melihat aspek pasokan (supply) dari industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) dan tidak hanya permintaan (demand) masyarakat saja. Insentif potongan pajak bagi mobil listrik dan Rp7 juta bagi motor listrik sudah tepat, namun eligibilitas merek (brand) mobil/motor apa saja yang bisa menjadi penerima insentif harus diperhatikan. Pemberian insentif ini harus dikaitkan dengan pengembangan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), hanya brand dengan kandungan TKDN tertentu yang boleh memperoleh insentif tersebut,” ungkap Ilham R F Surya, Peneliti Kebijakan Lingkungan, IESR  yang juga merupakan salah satu penulis IEVO 2023

Lebih lanjut Ilham juga melihat bahwa, konversi motor listrik dapat menjadi alternatif lain elektrifikasi dengan harga yang lebih murah. Selain itu, konversi motor juga menjadi sarana peremajaan motor – motor yang lebih tua.  

Upaya pemerintah untuk memenuhi target pengurangan emisi GRK dalam Nationally Determined Contribution (NDC) melalui total 15 juta kendaraan listrik pada 2030 terlihat dari tersedianya kebijakan fiskal dan nonfiskal. Namun, kebijakan fiskalnya masih berfokus pada sisi permintaan. Peluang adopsi perusahaan transportasi berbasis aplikasi dan logistik yang masif diharapkan dapat memicu berkembangnya industri kendaraan listrik di Indonesia.

“Saat ini industri kendaraan listrik dari hulu ke hilir belum terintegrasi secara penuh. Beberapa proyek hilirisasi seperti produksi baterai baru akan berjalan setidaknya 2025/2026. Saat ini fokus pemerintah sebaiknya diarahkan ke percepatan berjalannya proyek hilirisasi tersebut dan meyakinkan investor untuk melaksanakan komitmen investasi yang sudah banyak,” jelas Pintoko Aji, salah satu penulis IEVO 2023 dan Peneliti Energi Terbarukan, IESR.

Ditinjau dari infrastruktur kendaraan listrik, IESR menilai meski instalasinya meningkat 200% dibandingkan 2021, namun lokasi Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) belum tersebar merata. 88% SPKLU masih terkonsentrasi di Jakarta dan Bali. Selain itu, pemanfaatan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) masih belum standar dan hanya berlaku untuk merek tertentu.

“Pemerintah perlu mempermudah investasi SPKLU salah satunya adalah mengubah kewajiban pemasangan 3 jenis port berbeda di tiap unit SPKLU yang tercantum di Permen ESDM No. 13/2020. Kewajiban adanya 3 port membuat biaya investasi membengkak sampai Rp750 juta-1,5 miliar per SPKLU. Padahal tidak semua lokasi memerlukan 3 jenis port sekaligus. Jika tidak ada kewajiban tersebut, maka dengan nilai investasi yang sama, jumlah SPKLU yang dibangun bisa 3-4 kali lebih banyak,” imbuh Ilham.

Ilham menambahkan standarisasi SPBKLU dapat dimulai dari motor listrik berkapasitas baterai 1,2 kWh atau 1,44 kWh yang saat ini menguasai 79% motor listrik di pasaran, sehingga tidak terlalu menyulitkan manufaktur. Selanjutnya, pemerintah perlu juga melakukan standarisasi bentuk dan ukuran baterai hingga konfigurasi elektrik di dalamnya.

Menyoal elektrifikasi transportasi laut dan udara, Pintoko menjelaskan penggunaan baterai pada kapal maupun pesawat memiliki tantangan pada densitas energi baterai yang membuatnya lebih besar dan lebih berat sehingga mengurangi ruang kargo kapal maupun jatah muatan (payload) pesawat. Hal ini membuat elektrifikasi kendaraan udara maupun laut sementara ini praktis digunakan hanya untuk skala kecil dengan jarak tempuh yang dekat. 

IEVO 2023 merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperkuat kebijakan dan aturan industri hulu dan hilir untuk mengurangi harga kendaraan listrik, membuat aturan untuk mengantisipasi limbah baterai, meningkatkan minat dari lembaga keuangan untuk pembiayaan kendaraan listrik, serta mempromosikan penggunaan kendaraan listrik.

IEVO 2023: Elektrifikasi Transportasi Demi Tekan Emisi GRK

19 Februari 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Electric Vehicles Outlook 2023 untuk pertama kalinya. Laporan ini membahas status perkembangan kendaraan listrik untuk penumpang dan ekosistem pendukung pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. IESR memandang mitigasi perubahan iklim dengan penurunan emisi yang signifikan dari sektor transportasi dapat dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat dengan mengadopsi kendaraan listrik. 

Sektor transportasi menjadi salah satu sumber polusi dan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK). Dari 600 MtCO2-eq emisi GRK Indonesia di sektor energi pada tahun 2021, 23% berasal dari sektor transportasi. Angkutan darat menjadi penyumbang terbesar emisi GRK di sektor transportasi dengan pangsa lebih dari 90%. Emisi dari sektor transportasi diperkirakan akan terus meningkat 53% pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2015 dan hampir dua kali lipat antara tahun 2030 dan 2060. Dekarbonisasi sistem transportasi, dengan percepatan adopsi kendaraan listrik yang ramah lingkungan dan beremisi rendah bisa menjadi salah satu solusi, bersamaan dengan transisi ke energi terbarukan di sektor kelistrikan

“Pemerintah telah memasukkan penggunaan kendaraan listrik sebagai salah satu rencana aksi mitigasi yang termuat dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Namun, target yang ditetapkan masih belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan temperatur bumi  1,5 derajat Celcius pada 2050. Menurut studi IESR untuk mencapai bebas emisi pada 2050, jumlah kendaraan roda dua  dan roda empat listrik harus mencapai 110 juta unit di 2030,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Untuk  mencapai target tersebut perlu upaya  akselerasi adopsi kendaraan listrik melalui dukungan kebijakan fiskal dan non fiskal. Sejak 2019, pemerintah tengah gencar mendorong pengembangan industri dan penggunaan kendaraan listrik tetapi pada saat yang sama sejumlah kebijakan yang pro energi fossil masih diberlakukan yang membuat adopsi kendaraan listrik kurang optimal. Misalnya kebijakan pemerintah tetap mensubsidi bahan bakar minyak (BBM) dan memperpanjang penjualan bahan bakar dengan standar Euro II. Berbagai kebijakan ini membuat daya tarik konsumen mengakuisisi kendaraan listrik menurun dan juga keuntungan ketika beralih ke kendaraan listrik berupa nilai penghematan biaya bahan bakar menjadi berkurang.

“Ketergantungan akan bahan bakar fosil dalam sistem energi kita terutama sektor transportasi membuat sektor energi kita rentan terhadap gejolak  harga. Pemerintah berusaha mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dalam sektor transportasi melalui kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Akan tetapi, masih sulitnya menemukan infrastruktur pengisian listrik, harga pembelian yang mahal, dan performa serta model yang terbatas menjadi halangan utama adopsi KBLBB oleh konsumen. Berbagai halangan ini yang perlu diselesaikan oleh pemerintah,” ungkap Faris Adnan, penulis IEVO yang juga peneliti Sistem Ketenagalistrikan, IESR.

Temuan IESR menunjukan pada 2022, adopsi motor listrik naik lima kali lipat dari 5.748 unit pada 2021 menjadi 25.782 unit. Selain itu, adopsi mobil listrik meningkat hampir empat kali lipat dari 2.012 unit pada 2021 menjadi 7.679 unit pada 2022. Kenaikan ini didorong oleh adanya promosi kendaraan listrik lewat acara G20 yang menjadikan kendaraan listrik sebagai kendaraan resmi delegasi.  

“Meski ada kenaikan, namun  jumlah tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan pemerintah. Populasi motor listrik baru 0,2% dari total motor di Indonesia. Sementara mobil listrik baru mencapai 0,4%. Oleh karena itu agar KBLBB dapat lebih menarik dan terjangkau bagi masyarakat, beberapa instrumen kebijakan tambahan yang tepat sasaran diperlukan,” kata Faris. 

Salah satu instrumen kebijakan tersebut adalah kombinasi insentif untuk produsen dan penciptaan pasar untuk mempercepat skala keekonomian kendaraan listrik, khususnya kendaraan listrik roda dua yang punya potensi pasar besar. Untuk itu IESR merekomendasikan pemerintah mendorong implementasi instruksi presiden untuk pembelian kendaraan listrik oleh instansi pemerintah dan BUMN, dan mendorong adopsi oleh bisnis ride hailing (layanan transportasi berbasis aplikasi) dan logistik untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik oleh pasar dalam 2-3 tahun ke depan. 

Selain itu, untuk mendapatkan manfaat penurunan emisi GRK dan lingkungan yang lebih besar maka peningkatan bauran  pembangkit energi baru terbarukan di sistem kelistrikan juga diperlukan agar emisi yang dihasilkan KBLBB menjadi lebih rendah daripada emisi dari kendaraan motor bakar.

“Kajian IESR menunjukan bahwa manfaat emisi baru akan didapatkan jika bauran energi terbarukan di sistem kelistrikan PLN di atas 20%,” lanjut Faris  

Sebagai upaya mendorong akselerasi kendaraan listrik di Indonesia dan mempertemukan berbagai pemangku kepentingan terkait dan mempercepat  langkah Indonesia untuk melakukan transisi energi, IESR akan menggelar peluncuran dan diskusi Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023, pada 21 Februari 2023, pukul 09:30 – 12:00 WIB secara online melalui Zoom Conference + livestream Youtube (IESR). Acara ini akan dihadiri oleh Ketua Forum Transportasi Lingkungan dan Energi Masyarakat Transportasi Indonesia, Indira Darmoyono, Director of Business Development Strategy & Special Projects Grab Indonesia, Rivana Mezaya, dan lainnya. 

Laporan Peluncuran & Webinar Indonesia Electric Vehicle Outlook Report 2023

Pendahuluan

Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui UU no 16/2016. Akibatnya, Indonesia secara hukum terikat untuk berkontribusi pada perjuangan global perubahan iklim melalui upaya dan tindakan ambisius dalam mitigasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan membatasi kenaikan suhu global rata-rata di bawah 1,5 derajat C. Dalam salah satu hasil model iklim IPCC jalur kompatibel 1,5 derajat C, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global harus turun 45% pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2010 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050. Saat ini, Indonesia termasuk dalam 10 besar gas rumah kaca (GRK) dan masih diproyeksikan akan meningkatkan emisinya, dengan sektor energi sebagai penyumbang GRK tertinggi pada tahun 2030.

Sektor transportasi menyumbang sekitar 27% dari emisi sektor energi atau sekitar 109 juta ton CO2e pada tahun 2020. Jumlah tersebut terus bertambah seiring dengan peningkatan kebutuhan transportasi, jumlah kendaraan di jalan raya dan konsumsi energi, terutama bahan bakar. Masalah ini diperparah dengan kenyataan bahwa Indonesia telah menjadi net importir minyak sejak awal tahun 2000-an. Antara 2015-2020, sekitar setengah dari konsumsi bensin dalam negeri dipenuhi melalui impor. Situasi tersebut juga dapat membahayakan aspek ketahanan energi negara, bahkan lebih jauh dengan lonjakan harga energi/bahan bakar fosil saat ini.

Pemerintah Indonesia yang didorong oleh ambisi untuk mengurangi emisi dan impor bahan bakar fosil, telah mempromosikan kendaraan listrik selama beberapa tahun terakhir. Hal tersebut menjadi strategi optimalisasi penggunaan listrik pada kondisi over capacity untuk menurunkan konsumsi bahan bakar. Secara total, persentase kendaraan listrik ditargetkan 20% dari total kendaraan di jalan pada 2025. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengalokasikan 5 triliun rupiah sebagai insentif untuk mobil listrik, roda dua, dan hybrid. kendaraan. Sesuai Inpres 7/2022, kendaraan dinas operasional harus diubah menjadi kendaraan listrik[1]. Keinginannya akan menciptakan permintaan tambahan untuk kendaraan listrik.

Untuk mengatur ekosistem, rantai pasokan manufaktur kendaraan listrikn termasuk paket baterai menjadi perhatian lain. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan, investasi pembuatan baterai mencapai Rp. 335,5 triliun yang akan ditetapkan produksinya pada tahun 2024[2],[3]. Selain itu, jumlah Stasiun Pengisian Listrik masih terus bertambah dan saat ini berjumlah sekitar 693 buah.

Dengan latar belakang tersebut, Institute for Essential Services Reform menerbitkan laporan unggulan tahunan berjudul Indonesia Electric Vehicle Outlook 2023 (IEVO 2023) yang akan menyelidiki kemajuan tahunan dalam kendaraan listrik, pengembangan ekosistem, manufaktur, dan rantai pasokannya di Indonesia serta memberikan wawasan tentang bagaimana pembangunan akan berlangsung pada tahun berikutnya.

 

 Tujuan

Adapun tujuan dari peluncuran laporan dan webinar diskusi ini adalah sebagai berikut:

  1. Meluncurkan laporan IESR yang dapat memberikan proyeksi ketersediaan dan permintaan kendaraan listrik Indonesia berbasis riset kepada pemangku kepentingan yang lebih luas
  2. Meninjau kesiapan dan progres pengembangan kendaraan listrik Indonesia
  3. Mendiskusikan potensi tantangan dan peluang untuk mengatasi kendala di masa depan dan menyiarkan implikasi positif pengembangan kendaraan listrik.

 

 

[1] https://kemenperin.go.id/artikel/23668/Bentuk-Ekosistem-Kendaraan-Listrik,-Kemenperin-Dukung-Pembangunan-SPLU

[2] https://ekonomi.bisnis.com/read/20220614/9/1543428/bkpm-investasi-3-produsen-baterai-kendaraan-listrik-di-indonesia-capai-rp3358-triliun

[3] https://otomotif.kompas.com/read/2023/01/14/074200815/update-investasi-baterai-mobil-listrik-indonesia-mulai-produksi-2024