Cermat Merancang Kerangka Kebijakan Energi Indonesia

Jakarta, 28 Maret 2024 – Dewan Energi Nasional (DEN) berencana untuk melakukan penyesuaian target bauran energi terbarukan. Saat ini dalam draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), DEN berencana untuk menurunkan target bauran energi terbarukan nasional menjadi 17-19 persen pada tahun 2025. Sebelumnya target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai langkah ini merupakan suatu langkah mundur dari komitmen pemerintah Indonesia dalam mengawal transisi energi.

Raditya Wiranegara, Manajer Riset IESR, dalam audiensi dengan Dewan Energi Nasional menyampaikan keresahannya di balik penetapan target bauran energi terbarukan. 

“Sebelumnya IESR telah melakukan pemodelan yang sudah dipublikasikan di dalam laporan tahunan kami, Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Hasil pemodelan kami menunjukkan adanya perbedaan dengan hasil pemodelan yang menjadi landasan perumusan RPP KEN. Hal ini terutama terlihat di dalam pertumbuhan energi final, di mana di dalam pemodelan untuk IETO kami menggunakan asumsi pertumbuhan GDP-nya Bappenas untuk Indonesia Emas 2045,” kata Radit.

Hal ini diklarifikasi oleh Retno Gumilang Dewi, tim modeling ITB, yang membantu DEN dalam membuat modeling, bahwa angka yang saat ini beredar merupakan angka penyesuaian.

“Model yang kita hasilkan dapat dikatakan model ideal. Modeling itu kemudian dibawa untuk FGD (focussed group discussion) dan menerima berbagai masukan, sehingga disesuaikan,” kata Retno Gumilang.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa dalam menyusun perencanaan energi suatu negara, penting untuk memastikan pilihan teknologi yang paling relevan dan teruji dengan perkembangan teknologi terkini.

“Langkah ini penting dan krusial untuk menghindari kita berada pada situasi lock-in oleh teknologi-teknologi yang tinggi karbon,” kata Fabby.

Fabby menambahkan jika terlanjur terjebak pada pilihan teknologi tinggi karbon, dibutuhkan investasi yang lebih besar lagi untuk keluar dari teknologi tinggi karbon tersebut. IESR juga mendorong tercapainya target-target energi terbarukan yang telah ditetapkan dalam RUPTL maupun proyek strategis nasional sebagai pendorong tumbuhnya industri energi terbarukan di dalam negeri. 

Peluncuran Laporan Nusa Penida 100% Energi Baru Terbarukan

Tayangan Tunda


Latar Belakang

Pemerintah Provinsi Bali menetapkan visi menuju emisi nol bersih atau Bali Net Zero Emissions pada 2045 pada Agustus 2023 yang didukung oleh mitra-mitra lembaga non-pemerintah. Visi ini mencakup sektor ketenagalistrikan, transportasi, dan pengembangan kewirausahaan iklim. Target ambisius ini dapat dicapai Pemprov Bali melalui strategi yang efektif dan kolaboratif serta peta jalan yang terarah dan akuntabel. Dalam memastikan tercapainya target tersebut, peta jalan menuju Bali NZE disusun untuk merumuskan kebijakan yang mendukung tumbuhnya ekosistem pengembangan energi terbarukan yang optimal serta menyiapkan tenaga kerja hijau yang akan menjadi motor transisi tersebut.

Menurut Kemenko Marves, Pulau Nusa Penida yang terletak di selatan pulau Bali menyandang lima predikat nasional, yakni sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), salah satu Pulau Terluar, Kawasan Konservasi Perairan, Pusat Pembibitan Sapi Bali, dan Kawasan Wisata Pengembangan Energi Terbarukan. Peran strategis Nusa Penida tersebut dapat didorong sebagai pilot project atau percontohan penyediaan listrik bertenaga energi terbarukan untuk memasok seluruh kebutuhan listrik secara mandiri dalam satu pulau. Adanya pilot project dan predikat strategis Nusa Penida tersebut diharapkan dapat mengubah paradigma penyediaan energi berbasis energi terbarukan pada lingkup yang lebih luas.

Untuk mendukung inisiatif tersebut, IESR bekerjasama dengan mitra menganalisis potensi energi terbarukan (ET) di Nusa Penida yang dapat dikembangkan. Berdasarkan hasil analisis tersebut, potensi ET di Nusa Penida meliputi PLTS atap senilai lebih dari 10,9 MWp, PLTD biodiesel (tanaman jarak dan rumput laut) lebih dari 2 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) ukuran kecil, serta Pump Hydro Energy Storage (PHES) yang mampu mencapai lebih dari 120 MW. Selain dari energi terbarukan, potensi energi di Nusa Penida juga dapat memanfaatkan limbah (Waste to Energy/WtE) sebesar 700 kW.

Setelah mengetahui potensi energi terbarukan yang dimiliki Nusa Penida, IESR juga melakukan analisis sistem ketenagalistrikan Nusa Penida secara lebih mendalam untuk mendapatkan konfigurasi sistem pembangkitan, transmisi dan distribusi yang optimal untuk menyuplai kebutuhan energi daerah, diantaranya kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan yang potensial, usulan lokasi, hingga kebutuhan penyesuaian jaringan. Hasil dari analisis dan kajian ini dapat didorong dan diharapkan dapat menjadi cetak biru pengembangan pulau berbasis energi terbarukan dan menjadi bagian dari peta jalan Bali NZE 2045.

Tujuan Acara 

Acara ini diselenggarakan dengan tujuan untuk diseminasi hasil kajian Nusa Penida 100% energi terbarukan kepada berbagai pemangku kepentingan di Nusa Penida dan Provinsi Bali.

 


Presentation

Pemetaan Potensi untuk Nusa Penida 100% Energi Terbarukan

Pemetaan-Potensi-untuk-Nusa-Penida-100-Energi-Terbarukan

Download

Memperjuangkan Keadilan Transisi Energi di Indonesia, Kolombia dan Afrika Selatan

Jakarta, 29 Februari 2024– Aspek keadilan dalam transisi energi erat kaitannya dengan pelibatan masyarakat dalam prosesnya, terutama dalam mempersiapkan masyarakat daerah penghasil batubara. Organisasi masyarakat sipil sebagai pihak yang berinteraksi dekat masyarakat dan pemerintah mempunyai peran yang signifikan untuk mendorong pemerintah dalam membuat kebijakan partisipatif dan mengarusutamakan prinsip adil, serta membangun kapasitas secara keterampilan maupun pengetahuan kepada masyarakat sehingga mereka mampu menyurakan kepentingannya.

Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut pendapatan daerah penghasil batubara di Indonesia sangat bergantung pada industri batubara. Ia menilai minimnya diversifikasi ekonomi di daerah akan berdampak pada disrupsi ekonomi jika terjadi penurunan permintaan batubara akibat transisi energi global dan kurangnya mitigasi terhadap perubahan ini.

“Indonesia melakukan keadilan distributif terhadap energi fosil dengan keleluasaan akses terhadap listrik dari batubara dan sejumlah subsidi untuk menjaga keterjangkauan harga. Pemerintah seharusnya dapat melakukan keadilan distributif untuk adopsi energi terbarukan dalam arus transisi energi global ini. Apalagi Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris untuk berkontribusi pada penurunan emisi, di antaranya emisi dari sektor energi,” jelas Ilham pada webinar Cross-country reflections on coal and just transitions in Colombia, South Africa and Indonesia yang diselenggarakan oleh Stockholm Environment Institute (SEI) bekerja sama dengan IESR.

Ilham menyoroti konsep transisi energi yang diusung oleh pemerintah, yang menurutnya, masih membingungkan. Di satu sisi, Indonesia menerima berbagai pendanaan untuk bertransisi energi seperti Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP), tetapi di sisi lain, Indonesia tampak memberikan izin pada pembangunan PLTU batubara untuk kepentingan industri.

Organisasi masyarakat sipil, menurut Ilham, perlu menyiapkan ruang diskusi yang intensif dan memperkuat relevansi transisi energi dengan masyarakat sehingga semakin banyak masyarakat terpapar pada isu transisi energi.

Senanda, Juliana Peña Niño, Staff Senior, National Resource Governance Institute, mengungkapkan daerah penghasil batubara di La Guajira dan Cesar di Kolombia sangat bergantung pada royalti dari industri batubara. Ia mengatakan hampir 50% pendapatan daerah tersebut berasal dari royalti batubara dan pada gilirannya memiliki ekonomi yang kurang terdiversifikasi.

“Pemerintah perlu memanfaatkan royalti ini untuk mengarahkan investasi ke arah diversifikasi ekonomi. Tantangannya, pemerintah setempat tidak mempunyai kapasitas untuk mengakses sumber daya ini dan merumuskan proyek ekonomi alternatif,” jelasnya.

Lebih lanjut, membahas tentang transisi energi di Afrika Selatan, Muhammed Patel, Ekonom Senior, Trade and Industrial Policy Strategies, memandang pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) merupakan cara yang ideal untuk mendorong partisipasi masyarakat. Namun, pendekatan ini cenderung sulit dilakukan karena pendekatan umum yang dilakukan di Afrika Selatan bersifat atas ke bawah (top-down).

“Banyak kebijakan energi dibuat di tataran nasional, sementara pemerintahan di tingkat sub nasional sering kewalahan dengan keterbatasan pendanaan di daerah. Tidak hanya itu, dari segi kapasitas, pemerintah daerah cenderung mempunyai keterbatasan. Bahkan untuk memenuhi pelayanan pokok saja, sering kali pemerintah daerah bergantung pada sektor swasta,” imbuh Patel.

Di Afrika Selatan, gerakan masyarakat sipil juga menyuarakan isu transisi energi dengan banyak cara, melakukan perlawanan misalnya dengan membawa berbagai kasus terkait pencemaran udara dari pabrik di Afrika Selatan, melakukan advokasi ke pemerintah dan melakukan pelibatan masyarakat.

“Jika gerakan tersebut berupa menentang ketidakadilan, terutama ketika melibatkan komunitas rentan dan operasi industri berat, kerap kali organisasi masyarakat sipil sulit mendapat dukungan dari pihak lain, Hal ini membuat mereka seperti berjuang sendiri,” ungkap Patel.

Antara Rendahnya Target Energi Terbarukan dan Ambisi Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi

Jakarta, 20 Februari 2024 – Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai langkah Dewan Energi Nasional (DEN) melakukan penyesuaian target bauran energi terbarukan di Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional dari semula 23 persen menjadi 17-19 persen pada 2030 merupakan langkah mundur karena tidak sesuai dengan cita-cita pengurangan emisi dan pencapaian target net-zero emission Indonesia pada 2060 atau lebih cepat yang telah dicanangkan.

Fabby menyoroti pula agenda transisi energi yang diusung masing-masing pasangan calon presiden dalam pemilu 2024, yang memuat sejumlah target bauran energi terbarukan hingga tahun 2030 dalam wawancara dengan program Squawk Box

Menurutnya, masing-masing kandidat telah memiliki agenda transisi energi, salah satunya kehendak untuk mengejar target bauran energi terbarukan sama dengan Kebijakan Energi Nasional yang berlaku saat ini, berkisar antara 27-30 persen pada 2030. Selain itu, masing-masing kandidat juga memiliki komitmen untuk membatasi operasi PLTU batubara.

“Untuk pasangan 02, yang terlihat jelas adalah peningkatan penggunaan biofuel untuk mengganti atau mengurangi subsidi BBM seperti disampaikan pada saat kampanye,” kata Fabby. Pasangan calon presiden dan wakil presiden bernomor urut dua menargetkan  persentase campuran biofuel sebesar 50 persen pada tahun 2029, juga pemanfaatan etanol 10-20 persen.

Lebih jauh, Fabby menegaskan untuk sektor ketenagalistrikan, tujuan pengakhiran operasional PLTU batubara secara dini harus dibarengi dengan penambahan porsi energi terbarukan yang lebih besar. Selain untuk menggantikan daya listrik yang awalnya dipenuhi oleh PLTU batubara, pembangkit energi terbarukan juga harus mencukupi kebutuhan proyeksi pertumbuhan listrik di masa mendatang. Apalagi Indonesia berambisi untuk  mengejar pertumbuhan ekonomi hingga misalnya 6-7 persen, maka kebutuhan listrik diproyeksikan akan tumbuh lebih besar lagi. 

“Hitungan IESR, untuk mencapai berbagai target tersebut bauran energi terbarukan pada 2030 harus mencapai 40 persen, hal ini agak berbeda dengan penyesuaian target yang dibuat DEN saat ini,” jelas Fabby.

Fabby menambahkan PR pemerintahan baru terkait di sektor energi nanti adalah melakukan percepatan pembangunan energi terbarukan utamanya pada sub-sektor ketenagalistrikan dan bahan bakar cair.