Adil dan Inklusif Perlu Jadi Landasan Rencana Investasi JETP Indonesia

 

Jakarta, 27 Juni 2023– Setelah menandatangani Just Energy Transition Partnership (JETP), tiga negara berikut, Afrika Selatan, Indonesia dan Vietnam segera menindaklanjuti isi kesepakatan dan menyiapkan berbagai langkah strategis demi mencapai tujuan JETP di masing-masing negara. Komunikasi dan diskusi  antar ketiga negara tersebut pada acara JETP Convening for Exchange and Learning Session dilakukan untuk saling berbagi informasi dan pelajaran dalam mencapai unsur keadilan melalui transisi energi.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, KESDM mengatakan  Sekretariat JETP di Indonesia dalam proses perancangan peta jalan pengakhiran operasional PLTU batubara.

“Kami sedang membahas (dalam Sekretariat JETP-red) mengenai PLTU Pelabuhan Ratu yang akan diprioritaskan dalam rencana pengakhiran operasional PLTU secara dini. Saat ini, KESDM juga sedang meninjau aturan, utamanya tentang pengalihan aset dan pembentukan perjanjian jual beli tenaga listrik (Power Purchase Agreement, PPA),” ungkap Dadan.

Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan bahwa proses penyusunan rencana investasi yang komprehensif atau comprehensive investment plan (CIP) harus dilakukan secara transparan, jelas dan mudah diakses serta secara konsisten melibatkan partisipasi masyarakat.

Selain itu, Fabby juga mendorong agar pemerintah mereformasi kebijakan di antaranya untuk mencapai target JETP dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang lebih masif lagi.

“JETP adalah tentang menciptakan lingkungan yang mendukung energi terbarukan. Dana sebesar 20 miliar dolar ini tidaklah cukup untuk mencapai target Persetujuan Paris, namun kita harus menjadikannya sebagai katalisator untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dan juga penghentian penggunaan PLTU batubara,” jelas Fabby.

Mpetjane Lekgoro, Duta Besar Afrika Selatan untuk Indonesia pada kesempatan yang sama juga mengatakan bahwa pihaknya mengedepankan prinsip keadilan dan nilai inklusivitas dalam mengelola pendanaan JETP.

“Afrika Selatan berkomitmen untuk menggunakan JETP untuk mendorong keadilan restoratif dalam transisi energi. Investasi tersebut tidak hanya harus membiayai, tetapi juga menjunjung tinggi dukungan, keberlanjutan, termasuk keamanan. Hal ini harus dilakukan dengan cara mengikutsertakan pihak-pihak yang paling terdampak,” imbuhnya.

Senada, Dipak Patel, Kepala Pendanaan Iklim & Inovasi untuk Komisi Iklim Presiden (President Climate Commission, PCC), Afrika Selatan, mengemukakan pembahasan rinci tentang keadilan dalam transisi energi menjadi fokus mereka.

“Afrika Selatan memprakarsai 3 bidang keadilan dalam transisi energi, melingkupi keadilan restoratif dengan memperhatikan komunitas yang paling terdampak, keadilan procedural yang mengikutsertakan seluruh masyarakat dalam pembuatan keputusan terkait transisi energi dan iklim, dan keadilan distribusi yang memastikan perlakuan yang adil dan merata,” jelas Patel.

Menilik pendanaan JETP untuk Afrika Selatan sebesar USD 8,5 juta untuk kurun waktu 3–5 tahun, Neil Cole, JETP-IP Project Management Unit, Afrika Selatan menyebutkan perlu secara detail dan kreatif memasukkan pendanaan JETP ke dalam proyek-proyek di tingkat nasional dan sub nasional.

“Pendekatan dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas perlu disinkronkan dalam kebutuhannya sehingga kita dapat menentukan bersama rencana yang dapat ditindaklanjuti yang inklusif dalam pelaksanaannya,” terang Cole.

Le Viet Anh, Direktur Jenderal, Departemen Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Kementerian Perencanaan dan Investasi, Vietnam, menuturkan beberapa tindakan utama untuk mempercepat pencapaian target JETP di antaranya, membangun lingkungan yang kuat, kolaboratif dan mendukung di antara pemerintah, mitra internasional dan sektor swasta,  mempercepat pelembagaan kerangka hukum yang mendukung seperti taksonomi hijau, insentif hijau, dan mekanisme pembiayaan hijau serta memfasilitasi transfer teknologi energi bersih, keahlian, dan pengetahuan teknis untuk meningkatkan kemampuan Vietnam.

“Pemerintah Vietnam menunjukkan komitmen yang kuat untuk mendorong pertumbuhan hijau melalui strategi nasional. Vietnam telah membuat komitmen hijau yang berdampak besar pada COP 26, yang mencakup komitmen seperti target emisi nol karbon bersih pada tahun 2050, menghapus pembangkit PLTU batubara pada tahun 2040-an,” jelasnya.

Just Energy Transition Partnership (JETP) Convening diselenggarakan oleh Ford Foundation di Indonesia, Institute For Essential Services Reform (IESR), dan African Climate Foundation (ACF), dengan dukungan dari Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) dengan tujuan untuk memfasilitasi forum pertukaran pembelajaran antar pemangku kepentingan.

 

Langkah Awal untuk Capai Ketahanan Energi Terbarukan di ASEAN

Jakarta, 13 Juni 2023 – Asia Tenggara merupakan suatu kawasan dengan pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi terbesar. Pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan pertubuhan permintaan energi di kawasan ini diproyeksikan akan terus naik di tahun-tahun mendatang. Jika tidak diantisipasi dengan penggunaan sumber energi ramah lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi ini akan menjadi pokok masalah naiknya emisi gas rumah kaca (GRK) di kawasan ASEAN.

Dalam webinar bertajuk “Towards a Decarbonized ASEAN: Unlocking the Potential of Renewables to Advance ASEAN Interconnectivity” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform menyatakan bahwa ASEAN memiliki peluang untuk mendorong penciptaan ekosistem industri energi terbarukan melalui kerjasama jaringan interkoneksi regional ASEAN Power Grid (APG).

ASEAN power grid bisa menjadi salah satu infrastruktur pendukung untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan di negara ASEAN sembari menunggu pangsa pasarnya tumbuh. Negara ASEAN bisa mendorong kerjasama rantai pasokan teknologi energi terbarukan, khususnya teknologi sel modul surya,” katanya.

Fabby menambahkan bahwa Indonesia sebagai pemegang Keketuaan ASEAN tahun ini memiliki peluang untuk mendorong inisiatif tersebut dan mendorong transisi industri berbasis bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. Transformasi industri yang lebih hijau diyakini akan membawa efek ikutan berupa terciptanya lapangan kerja hijau di masa mendatang.

Senada dengan Fabby, Yeni Gusrini, Sub Koordinator Program Gatrik Kementerian ESDM menyatakan bahwa pada pengembangan fase pertama, ASEAN Power Grid telah berhasil mentransfer listrik sebesar 100 MW dari Laos ke Singapura. 

“Pengembangan APG fase pertama telah berhasil menghubungkan Laos – Thailand – Malaysia – Singapura. Ke depannya, APG akan menjadi kontributor pertumbuhan ekonomi yang memastikan kecukupan energi di seluruh wilayah ASEAN,” tambah Yeni.

Indra Overland, Head of Center for Energy Research, Norwegian Institute of International Affairs, mengungkapkan penting bagi negara-negara ASEAN untuk mulai memikirkan strategi peningkatan energi terbarukan di dalam negeri dan di kawasan.

“Kita dapat mencontoh Vietnam yang berhasil menambahkan kapasitas energi terbarukannya secara masif dalam  satu  dekade ke belakang. Strategi seperti adanya kerangka kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan termasuk perpajakan dan kemudahan pengurusan perizinan sangat berpengaruh pada minat investor untuk berinvestasi pada pengembangan energi terbarukan di suatu wilayah,” katanya.

Ditambahkan oleh Overland, salah satu indikator suatu negara memiliki implementasi kebijakan yang baik adalah saat sektor energi terbarukan memiliki investor yang berlimpah.

Faktor finansial yang menjadi salah satu faktor penghambat penetrasi energi terbarukan dalam jaringan diakui oleh Zulfikar Yurnaidi, Energy Modelling and Policy Planning Manager, ASEAN Centre for Energy. Dirinya mengatakan bahwa salah satu fokus ASEAN 2021 – 2025 adalah untuk membangun konektivitas dan mengintegrasikan pasar regional. 

“Penetrasi energi terbarukan harus terlihat dari penambahan kapasitas pembangkitannya. Untuk mendukung itu peremajaan jaringan harus dilakukan untuk menjaga stabilitas, fleksibilitas, dan ketangguhan jaringan. Hal ini semua membutuhkan investasi yang tidak kecil, dan anggaran pemerintah saat ini tidak cukup untuk membiayai semua itu, maka diperlukan peran investor swasta disini,” jelas Zulfikar.

Keberadaan ASEAN Power Grid akan membawa dampak sosial ekonomi yang panjang. Harapannya listrik yang diperjualbelikan adalah listrik bersih yang dihasilkan pembangkit energi terbarukan. Maka hal ini jelas berpengaruh pada keberadaan pembangkit fosil yang masih cukup banyak di kawasan ASEAN.

Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, mencontohkan Indonesia masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah terkait pembangkit listrik ini. Mulai dari rencana pensiun dini pembangkit listrik berbasis fosil seperti PLTU batubara hingga pembangunan pembangkit baru berbasis energi terbarukan. 

“Dalam rangkaian proses ini (penghentian pembangkit energi fosil dan pembangunan pembangkit baru berbasis energi terbarukan, red), masyarakat perlu dilibatkan, supaya dapat mengantisipasi dampak yang timbul dari masing-masing tahapan. Sehingga transisi (energi, red) yang terjadi adalah (transisi, red) yang berkeadilan, membuat kehidupan sejahtera dan makmur,” jelasnya.

Mendefinisikan Adil dan Memastikan Komitmen JETP

Jakarta, 18 April 2023 – Mengatasi masalah perubahan iklim tidak hanya membutuhkan komitmen tetapi juga membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Pembiayaan telah menjadi salah satu tantangan terbesar bagi negara-negara seperti Indonesia yang bergantung pada pembangkit batubara dan perlu mengubahnya menjadi pembangkit listrik berbasis terbarukan untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Ini pasti membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

Kelompok negara-negara maju berkomitmen untuk mendistribusikan dana ke beberapa negara untuk mempercepat transisi energi. Pendanaan itu disebut Just Energy Transition Partnership (JETP). Hingga April 2023, dua negara yaitu Afrika Selatan dan Indonesia menerima komitmen pendanaan.

Vietnam, salah satu negara Asia yang berkembang pesat dalam energi terbarukan beberapa tahun terakhir, sedang menjalin komunikasi intensif untuk menerima pendanaan JETP selanjutnya. Minh Ha Duong, ketua Dewan Anggota VIETSE, dalam webinar bertajuk “Between Vision and Reality: Navigating JETP in South Africa, Indonesia, and Vietnam” mengatakan bahwa JETP akan kembali menggeliatkan pengembangan energi terbarukan di Vietnam.

“Selama beberapa tahun, kami dapat mengatakan bahwa pengembangan energi terbarukan di Vietnam sedang booming hingga kami dapat memiliki beberapa gigawatt energi terbarukan, tetapi akhir-akhir ini terhenti. Dengan adanya pendanaan JETP ini akan memanaskan kembali pembangunan energi terbarukan,” ujarnya.

Afrika Selatan, yang menjadi negara pertama penerima JETP, mencatat poin-poin yang patut dipertimbangkan bagi negara lain dan anggota IPG dalam mereplikasi proyek di negara lain.

“Pembiayaan JETP bertindak sebagai katalis selama proses transisi energi. Tentu saja tidak cukup untuk menutupi seluruh dana yang dibutuhkan untuk mengubah sektor listrik dan dampak sosial dan ekonominya, tetapi itu masih dapat mempercepat transisi,” kata Tracy Ledger, pimpinan program transisi energi di Public Affairs Research Institute (PARI). Tracy juga menyoroti bahwa partisipasi publik selama negosiasi JETP sangat terbatas.

Mengamankan komitmen JETP sebesar USD 20 miliar selama pertemuan G20 November lalu, Indonesia telah membentuk sekretariat khusus untuk JETP di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Institute for Essential Services Reform (IESR), yang secara aktif terlibat dan meninjau sektor energi di Indonesia dan terus memberikan masukan kepada pembuat kebijakan tertentu, menunjukkan bahwa komitmen USD 20 miliar, tetapi pencairannya dapat bergantung pada banyak hal. Oleh karena itu Indonesia perlu menyiapkan ekosistem untuk menyambut pendanaan tersebut.

Pemerintah Indonesia setidaknya perlu menangani masalah-masalah berikut: ketersediaan proyek-proyek yang bankable, lelang pembangkit listrik energi terbarukan yang terjadwal, dan lingkungan yang memungkinkan bagi para pengembang untuk memulai proyek mereka di Indonesia.

“Kita juga perlu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘adil’ atau ‘just’ dalam konteks JETP. Konteks kami (IESR) yang dimaksud ‘adil’ melibatkan tenaga kerja dan transisi ekonomi terutama mereka yang berada di provinsi penghasil batubara,” jelas Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR.

JETP Indonesia menangani target pengurangan emisi sebesar 290 juta ton CO2 dan campuran energi terbarukan sebesar 34% pada tahun 2030. Target ini memerlukan penghentian penggunaan batu bara sebagai prasyarat untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Sebagai salah satu dampaknya, produksi batu bara akan turun drastis dan berdampak pada daerah penghasil batu bara seperti Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.

Kegiatan ekonomi lokal pasti akan bergeser karena provinsi-provinsi tersebut sangat bergantung pada produksi batubara untuk produk domestik brutonya. Kualitas akses energi yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain menjadi tantangan implementasi JETP di Indonesia.

“Target 34% energi terbarukan pada 2030 tidak cukup untuk mendekarbonisasi sistem energi Indonesia tetapi ini adalah awal yang baik untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan, apalagi USD 20 miliar. Namun, itu dapat membuka lebih banyak peluang untuk transisi energi,” kata Fabby.

Fabby menambahkan, pendirian industri energi terbarukan seperti manufaktur baterai dan panel surya menjadi salah satu kunci keberhasilan transisi energi.

Waktu Terus Berlalu, Sudahkah Transisi Energi Indonesia Bergerak Maju?

Perjalanan transisi energi Indonesia memasuki masa-masa kritis mengingat waktu yang ada semakin pendek. Target terdekat Indonesia adalah untuk mencapai 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025. Sementara, kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dikomitmenkan pada KTT G20 2022  menargetkan 34% energi terbarukan pada tahun 2030.

Dalam rentang waktu yang semakin pendek ini, progres transisi energi di Indonesia sayangnya masih tersendat. Kerangka kesiapan untuk bertransisi (Transition Readiness Framework) yang dikembangkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) sejak tahun 2020 mencatat di tahun 2022 tidak ada perkembangan signifikan dari berbagai sektor transisi energi di Indonesia. Komitmen politik dan kebijakan bertransisi energi, serta iklim investasi untuk pembangkit energi terbarukan termasuk dalam kategori rendah. Hal ini dapat diartikan sebagai tantangan dalam pengembangan energi terbarukan sekaligus faktor yang perlu diperhatikan agar Indonesia tidak  gagal mencapai target-targetnya.

Tidak dipungkiri terdapat peningkatan kapasitas terpasang energi terbarukan tiap tahunnya. Namun penambahan kapasitas ini tidak cukup cepat untuk memenuhi target-target kapasitas energi terbarukan Indonesia dalam upaya membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius. 

Mengapa penting bagi Indonesia mencapai target-target energi terbarukannya? Indonesia masuk dalam sepuluh besar negara penghasil emisi terbesar di dunia. Maka, Indonesia memiliki tanggungjawab untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya secara signifikan. Emisi Indonesia didominasi oleh dua sektor yaitu alih guna lahan dan sektor energi.

Dari sektor energi, emisi dapat dikurangi secara drastis dengan berfokus pada sektor ketenagalistrikan dengan menambah porsi pembangkit energi terbarukan, dan beralih pada sistem elektrik (elektrifikasi) bagi kendaraan dan industri.  

Indonesia Energy Transition Outlook 2023 melihat terdapat kesempatan untuk menambah kapasitas energi terbarukan pada tahun 2023. Adanya bantuan internasional untuk mengurangi emisi khususnya dari sektor energi harus menjadi katalis untuk penambahan kapasitas energi terbarukan sekaligus sarana pembuatan portofolio untuk menarik lebih banyak investasi untuk energi terbarukan. Untuk mencapai status bebas emisi pada tahun 2050, Indonesia membutuhkan 25-30 juta dolar Amerika per tahun untuk bertransisi.

Perubahan sistematis untuk memperbaiki iklim investasi diperlukan. Setidaknya terdapat tiga poin yang perlu diperbaiki menurut pengembang energi terbarukan yaitu perlu adanya FiT (Fit in Tariff), insentif fiskal, dan pinjaman berbunga rendah.

Penggunaan CCS perlu pertimbangan yang matang

Penulis : Aditya Perdana Putra Purnomo (Research team intern 2022)
Editor: Pamela Simamora

 

Penggunaan bahan bakar fosil sejak awal revolusi industri terbukti meningkatkan emisi karbon dioksida antropogenik1

yang bertanggung jawab akan kenaikan suhu permukaan bumi sebanyak 1,07 °C dari tahun 1850 hingga 1990. Peningkatan temperatur tersebut memberikan pengaruh negatif pada lingkungan, menyebabkan peristiwa seperti, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan erosi pada sejumlah garis pantai

Selain melalui penggunaan energi terbarukan, CCS dianggap mampu membantu usaha pengurangan emisi karbon dunia. Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan teknologi yang digunakan untuk menangkap karbon dioksida dari gas buang, kemudian memindahkan serta menyimpan gas karbon dioksida tersebut pada lokasi penyimpanan tertentu (biasanya di bawah tanah) sehingga dampak negatifnya pada atmosfer dapat dihindari2

Gambar 1. Diagram Skematik CCS (Choudary,2016)

Hingga tahun 2021, terdapat 31 proyek CCS yang beroperasi secara komersial di seluruh dunia dan lebih dari 90 projek lainnya masih dalam tahap pengembangan. Angka ini terus meningkat dan merupakan yang tertinggi selama 5 tahun terakhir. Selain disebabkan oleh riset yang terus dilakukan, peningkatan jumlah proyek juga tidak terlepas dari dukungan berbagai negara terhadap teknologi CCS sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi karbon. 

Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil emisi karbondioksida terbesar di dunia, juga mulai merencanakan penggunaan CCS terutama di sektor ketenagalistrikan. Strategi ini dipertanyakan mengingat harga CCS masih dan akan tetap tidak kompetitif terhadap energi terbarukan plus penyimpanan. Jika CCS dipasang, LCOE CFPP superkritis akan berlipat ganda dari EUR 40 per MWh menjadi EUR 80 per MWh (USD 92 per MWh) bahkan jika biaya transportasi dan penyimpanan CO2 tetap rendah sekitar EUR 10 per ton. Dalam hal ini, biaya CO2-eq yang dihindari lebih dari EUR 55 per ton (USD 64 per ton).

Gambar 2. Diagram Skematik CCS pada Pembangkit Listrik Fosil (Global CCS Institute, 20213 )

Salah satu proyek CCS di sektor ketenagalistrikan yaitu proyek Petra Nova di Amerika Serikat digadang-gadang sebagai pemantik pengembangan CCS di sektor ketenagalistrikan di seluruh dunia. Sayangnya, CCS pada PLTU berkapasitas 240 MW ini mengalami pemadaman selama 30% masa hidupnya sebelum akhirnya dihentikan pada tahun 2020. Sejak peresmiannya pada tahun 2017, dari target penangkapan 4,2 juta metrik ton karbondioksida selama 3 tahun masa operasi, proyek Petra Nova hanya berhasil menangkap 3,54 juta metrik ton CO2 atau 16% dari target. 

Analisis dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan performa buruk tersebut sudah merugikan investor lebih dari $23 juta selama tiga tahun masa operasi proyek. Selain itu, selama masa operasinya, proyek Petra Nova juga menghasilkan lebih dari 1,1 juta metrik ton CO2 melalui penggunaan turbin gas untuk keperluan daya CCS. Belajar dari kasus ini, Indonesia perlu mempertimbangkan kembali penggunaan CCS di PLTU. 

Proyek lainnya, PLTU Boundary Dam di Kanada, juga menggunakan CCS untuk menangkap GRK yang dihasilkan dari produksi listrik PLTU berkapasitas 160 MW ini. Sama dengan proyek Petra Nova, proyek Boundary Dam juga tidak pernah beroperasi sesuai targetnya untuk menangkap 3200 metrik ton karbondioksida tiap tahunnya. Dilihat dari capaian penangkapan karbon tahunan, proyek tersebut hanya mampu menangkap emisi karbon sekitar 40 hingga 60% dari target. Bahkan pada tahun terproduktif, capaiannya masih jauh di dibawah target 3200 metrik ton per tahun. Rekor ini diperburuk oleh performa lesu tahun lalu yang disebabkan oleh pemadaman unit CCS selama 3 bulan. Pemadaman pertama berlangsung pertengahan bulan Juni hingga Juli karena pemeliharaan rutin, namun tidak lama kemudian, kegagalan kompresor4 menyebabkan proyek mati total dari bulan Agustus hingga September 2021.

Gambar 3. Capaian Tangkap Karbon, Projek Boundary Dam 2014-2021(Schissel, 2021)

Di sektor lain, seperti industri, CCS dianggap sebagai salah satu solusi jitu untuk mengurangi emisi GRK. Penggunaan CCS di sektor industri sendiri sudah dimulai sejak tahun 19712 dimana CCS komersial pertama di dunia dioperasikan di Terrell Gas Processing5 di Texas, Amerika Serikat. CCS yang bernilai 7.6 juta6 ini masih beroperasi hingga hari ini. Proyek berkapasitas 0,4 MTPA7 ini dioperasikan untuk menangkap emisi CO2 dari industri pengolahan gas setempat dan menggunakan hasil tangkapan ini untuk meningkatkan produksi sumur minyak melalui proses Enhanced Oil Recovery (EOR)8 .

Proyek CCS lainnya yang berada di Amerika Serikat ada di pabrik pupuk bernama Enid Fertilizer, yang telah beroperasi selama 40 tahun. Proyek ini memanfaatkan CO2 dari pembuatan pupuk/amonia untuk dijual pada sumur produksi migas di Oklahoma yang melakukan proses EOR. 

Dari studi kasus di atas, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan di Indonesia untuk mengaplikasikan CCS di Indonesia. Pertama, penggunaan CCS di PLTU, selain mahal juga sering mengalami masalah teknis, yang kemudian berakibat tidak tercapainya target penangkapan CO2 yang dijanjikan oleh pengembang. Kedua, pendapatan dari penjualan CO2 untuk EOR merupakan pendorong utama proyek CCS di sektor industri di Amerika. Meskipun tidak ada data yang tersedia untuk umum, harga CO2 untuk EOR berkaitan erat dengan harga minyak. Misalnya, dengan harga minyak US$70 per barel, harga CO2 untuk EOR berada di angka sekitar US$30/tCO2 (Bliss, et al., 2010). Oleh karena itu, implementasi CCS di sektor industri (dan sektor lainnya) membutuhkan nilai karbon yang tinggi yang dapat memastikan bahwa nilai karbon ini menutupi biaya penangkapan dan pengangkutan CO2.*** 

 

Catatan kaki:

Invasi Rusia Dapat Mempengaruhi Transisi Energi di ASEAN

Jakarta, 5 April 2022 – Invasi Rusia ke Ukraina selama sebulan terakhir memicu beragam reaksi global, terutama pada masalah keamanan energi. Rusia dikenal sebagai eksportir minyak dan gas global, dengan invasi yang terjadi, para pemimpin global mengambil sikap untuk memberikan sanksi untuk tidak membeli gas dari Rusia. Apakah ini baik atau buruk? Mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melihat dampaknya, namun satu hal yang pasti, sanksi Rusia menjadi salah satu pemicu bagi negara-negara Uni Eropa (UE) untuk mempercepat transisi energinya dan memastikan energy security serta mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa tindakan UE untuk memastikan keamanan energi mereka mempercepat transisi.

“Negara-negara UE mencoba mengurangi ketergantungan mereka pada bahan bakar fosil dengan mengembangkan teknologi seperti hidrogen hijau untuk memastikan keamanan energi mereka. Ini adalah kabar baik bagi kawasan UE namun memiliki efek domino karena negara-negara seperti Jerman berkomitmen untuk mendukung transisi energi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Situasi saat ini dapat mempengaruhi kecepatan dan pendanaan untuk transisi energi di negara-negara berkembang,” jelasnya.

Pendanaan yang cukup sangat penting untuk dekarbonisasi seluruh sistem energi. Pendanaan yang cukup berarti pemerintah akan mampu membangun infrastruktur energi rendah karbon yang modern. Karena sebagian besar negara berkembang terletak di kawasan Asia Tenggara, daerah ini telah menjadi hotspot untuk dekarbonisasi. Sebagai salah satu wilayah terpadat, permintaan energi di Asia Tenggara terus meningkat. Memastikan kawasan memiliki pendanaan yang cukup untuk mengubah sistem energinya menjadi sistem yang lebih bersih akan menjadi salah satu faktor penentu dekarbonisasi global.

Terdiri dari sepuluh negara, ASEAN memiliki karakteristik yang berbeda dalam mengembangkan mekanisme transisi energi berdasarkan prioritas nasional masing-masing negara. Berbagai situasi tersebut menciptakan peluang yang berbeda, satu kesamaannya adalah sumber energi terbarukan, terutama surya, tersedia melimpah. Fabby menambahkan, energi surya dalam waktu dekat akan menjadi komoditas seperti minyak dan gas saat ini.

“Oleh karena itu, penting bagi ASEAN untuk memiliki fasilitas manufaktur (untuk panel surya). Untuk memastikan transfer teknologi operasional bagi fasilitas manufaktur dari produsen utama adalah suatu keharusan, ”kata Fabby.

Sara Jane Ahmed, Founder, Financial Futures Center Advisor, Vulnerable 20 Group of Finance Ministers, menambahkan bahwa kemitraan akan menjadi kunci bagi negara-negara ASEAN dalam mempercepat transisi energi.

“Saat ini, Cina sebenarnya dapat berperan lebih besar dengan menyediakan dana dan mentransfer teknologinya ke negara-negara ASEAN,” ujarnya.

Krisis Energi di Inggris dan Eropa: Pembelajaran proses transisi energi di Indonesia

Siaran Tunda


Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia (SEA) adalah program regional yang berjalan di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Tujuan CASE adalah untuk mengubah arah sektor energi di Asia Tenggara untuk secara substansial beralih ke transisi energi berbasis bukti, yang bertujuan untuk meningkatkan ambisi politik untuk mematuhi Perjanjian Paris.

Melalui CASE Indonesia, kami ingin mengadakan diskusi dengan pembicara dari Inggris, dan perwakilan Eropa untuk membahas apa yang terjadi dan apa pelajaran yang didapat. Indonesia tidak mengalami musim dingin dan ketergantungan pada gas alam. Namun, dengan lebih banyak pembangkit listrik intermiten (misalnya solar) yang direncanakan akan dipasang, pemerintah melihat untuk menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar gas untuk menyeimbangkan intermittency ini. Kami juga berharap diskusi ini dapat membantu menentukan arah yang tepat untuk transisi energi Indonesia.


Materi Presentasi

Aquatera

Indonesia-briefing-on-UK-energy-prices-and-offshore-wind-prospects-rev-3.pptx

Download

Agora Energiewende

2021-10-11_Energy_crunch_pescia

Download

ECA

20211008_820_ECA-Energy-Crisis-Slides_v3

Download