Rekomendasi Masyarakat Sipil untuk Penyusunan Second NDC

press release

Jakarta, 2 Februari 2024 – Indonesia, melalui koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mulai menyusun Second National Determined Contribution (SNDC) untuk penurunan emisi di 2030 dan 2035. KLHK merencanakan untuk menyampaikan SNDC ke UNFCCC pada tahun 2024. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil  meminta agar SNDC ini memutakhirkan skenario yang digunakan, menetapkan target yang selaras dengan tujuan pencapaian pembatasan pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius dan berusaha mencapai 1,5 derajat C sebagaimana target Persetujuan Paris, yang juga dikukuhkan oleh keputusan Global Stocktake di COP 28. 

IESR juga mendesak pemerintah agar melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses penyiapan SNDC. Selain itu, Pemerintah juga perlu untuk menjalankan prinsip Article 4 Line 13 dalam Persetujuan Paris dan ketentuan-ketentuan dalam rangkaian COP dalam menyusun SNDC.

Sejauh ini, pemerintah masih menggunakan perhitungan penurunan emisi menggunakan skenario business as usual (BAU). Masyarakat sipil memandang skenario  ini tidak relevan untuk dijadikan basis perhitungan emisi. Indonesia perlu beralih pada sistem perhitungan yang akurat yaitu menggunakan acuan emisi relatif pada tahun tertentu, dengan memperhitungkan trajektori pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih realistis.

“Meski target penurunan emisi dalam Enhanced NDC (ENDC) terlihat meningkat, tetapi  sesungguhnya masih  tidak sejalan dengan target pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius. Saat ini, target ENDC hanya membidik penurunan emisi sebesar 31-43 persen saja di bawah BAU. Jika menggunakan perhitungan BAU yang digunakan untuk menetapkan target penurunan emisi dalam NDC selama ini, seharusnya target penurunan emisi Indonesia minimal 60 persen dari BAU untuk perhitungan dengan upaya sendiri (unconditional) dan 62 persen dari BAU untuk perhitungan dengan bantuan internasional (conditional). Jumlah ini belum termasuk penurunan emisi dari sektor pertanian, kehutanan dan lahan,” ungkap Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Berdasarkan analisis IESR, dengan menggunakan emisi tahun 2022 sebagai basis penetapan target, Indonesia perlu menetapkan target penurunan emisi pada 2030 dengan upaya sendiri (unconditional) sebesar 26 persen atau 859 MtCO2e, dan 28 persen dengan bantuan internasional (conditional) atau 829 MtCO2e. Penetapan target emisi tersebut akan berkontribusi pada pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.

Seiring dengan peningkatan target penurunan emisi, maka Indonesia perlu pula menurunkan bauran energi fosil seperti batubara dan gas dalam sistem energi Indonesia. Bauran batubara dalam sistem ketenagalistrikan Indonesia, berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker (CAT), harus dikurangi menjadi 7 hingga 16 persen pada 2030 dan menghentikan operasi PLTU sebelum 2040. Adapun, gas perlu berkurang menjadi 8 hingga 10 persen pada 2030 dan berhenti pengoperasiannya pada 2050.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, mengatakan pengurangan bauran energi fosil harus digantikan dengan peningkatan bauran energi terbarukan sebesar 55 hingga 82 persen di 2030 nanti. Sayangnya, di ENDC, target yang tercantum bukan target bauran energi terbarukan, melainkan target kapasitas energi terbarukan yang terpasang. IESR menilai besaran kapasitas terpasang energi terbarukan saja tidak secara jelas menunjukan hubungan dengan penurunan emisi.

“Dengan kejelasan target bauran energi terbarukan di sektor kelistrikan, maka dapat diekspektasikan dan bahkan dihitung berapa besar intensitas emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 untuk mencapai target SDNC. Selain itu, bauran energi terbarukan yang tinggi akan dapat memberikan arah perencanaan ketenagalistrikan yang lebih jelas, termasuk jenis energi terbarukan yang perlu dibangun untuk bisa mengejar kesenjangan (gap) saat ini. Dengan sisa waktu 7 tahun, maka jelas PLTS dan PLTB yang punya masa konstruksi singkat seharusnya menjadi prioritas pengembangan untuk mengejar target bauran. Selain itu, intervensi perlu pula dilakukan pada pembangkit listrik fosil dan pentingnya untuk mengurangi bauran energi fosil dengan berbagai strategi seperti pengakhiran operasi PLTU dan atau pengurangan utilisasinya,” ungkap Deon.

Selain itu, IESR dan organisasi masyarakat sipil lain juga memandang dokumen ENDC lalai dalam memasukkan prinsip keadilan iklim. Masyarakat sipil mendorong agar penyusunan SNDC dapat mengakomodasi partisipasi yang lebih luas, memberikan perlindungan iklim bagi kelompok masyarakat rentan, serta berlangsung transparan.

Wira Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR mengungkapkan pemerintah perlu memastikan distribusi beban pengurangan emisi juga perlu dilakukan secara adil.

“Aktor yang paling banyak mengeluarkan emisi, harus pula mengurangi emisi dengan porsi yang lebih besar. Tidak hanya itu, penyusunan SNDC ini perlu mengedepankan prinsip keadilan iklim yang dapat mengurangi risiko jangka pendek dan jangka panjang serta membagi manfaat, beban, dan risiko secara adil, termasuk bagi komunitas-komunitas yang selama ini termarjinalkan,” tandas Wira.

IESR dan kelompok masyarakat sipil lainnya memberikan enam rekomendasi terhadap penyusunan SNDC. Pemerintah dalam penyusunan SNDC perlu, pertama, mempertimbangkan prinsip dari Persetujuan Paris sesuai dengan Article. 4 Line 13 dan sesuai dengan panduan yang diadopsi oleh COP. Kedua, mempertimbangkan integrasi measurement, reporting and verification (MRV) bagi pihak-pihak negara-negara berkembang. Ketiga, menanggalkan menggunakan BAU scenario sebagai basis perhitungan penurunan emisi dan beralih menggunakan emisi relatif pada tahun tertentu, dengan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih akurat. Keempat, menetapkan target iklim selaras Persetujuan Paris. Kelima, pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang transparan dan dapat diakses publik. Keenam,  memasukkan dan melaksanakan prinsip keadilan iklim. Rekomendasi penyusunan Second NDC telah diserahkan kepada kementerian dan lembaga terkait.

Transisi Energi Berkeadilan: Pemulihan Lingkungan dan Ekonomi Masyarakat Pasca Tambang Harus Jadi Kewajiban Perusahaan

Jakarta,  24 Januari 2024 – Energi telah menjadi kebutuhan primer manusia. Oleh karena itu, transisi energi beralih dari energi fosil ke energi terbarukan akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pelibatan seluruh masyarakat perlu dilakukan untuk memastikan bahwa transisi energi berlangsung secara berkeadilan.

Selama ini, industri batubara menjadi penyumbang besar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah penghasil batubara. Namun ke depannya, tren transisi energi diprediksi akan mempengaruhi penurunan permintaan batubara Indonesia dari negara tujuan ekspor.

“Sektor pertambangan batubara memang berkontribusi terhadap perekonomian daerah, terutama melalui dana bagi hasil. Namun sektor ini juga memiliki eksternalitas negatif, tidak hanya pada lingkungan, namun juga bagi masyarakat. Perusahaan batubara juga harus dilibatkan dalam transisi berkeadilan, tidak hanya pada daerah penghasil batubara, namun juga daerah lainnya,” ujar Wira dalam sambutannya pada Dialog Transisi Berkeadilan: Mengidentifikasi Peran Sektor Swasta dalam Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Masyarakat, yang diselenggarakan di Jakarta (24/01).

Menurutnya, perusahaan berperan dalam mengurangi eksternalitas negatifnya, melakukan reklamasi dan kegiatan pasca tambang serta pengembangan masyarakat untuk penciptaan ekonomi baru setelah operasi tambang batubara berakhir.

Sulistiyohadi, Inspektur Tambang Madya/Koordinator PPNS Mineral dan Batubara memaparkan kegiatan reklamasi telah dimulai sejak tahap eksplorasi dan operasi produksi. Sementara rencana pasca tambang diajukan sejak tahap operasi produksi. Ia menjelaskan beberapa teknik reklamasi, di antaranya penatagunaan lahan, revegetasi, dan pemeliharaan  lahan. 

“Ada beberapa hal yang dilakukan untuk mereklamasi lubang bekas tambang yang meliputi; stabilisasi lereng, pengamanan lubang tambang (void), Pemulihan atau pemantauan kualitas air serta pengelolaan air dalam lubang bekas tambang void, dan pemeliharaan lubang bekas tambang,” ungkap Sulistiyo. 

Sebagai percontohan strategi reklamasi pasca tambang, Yulfaizon, General Manager PT Bukit Asam Tbk Unit Pertambangan Ombilin berbagi pengalaman agar wilayah bekas tambang dapat bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Tambang Ombilin merupakan tambang tertua di Indonesia, yang telah beroperasi sejak 1892 pada zaman penjajahan Belanda dan berakhir pada tahun 2016. 

Yulfaizon memaparkan beberapa kegiatan pasca tambang yang telah dilakukan oleh PT Bukit Asam antara lain pembangunan kebun binatang Sawahlunto, membuka pusat studi tambang batubara bawah tanah, pusat wisata Museum Lobang Mbah Soero.

Transformasi Ekonomi akan Mitigasi Dampak Transisi Energi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 1 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia. Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi harus segera direncanakan untuk  mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari  negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara selama ini.

IESR merekomendasi  pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara  dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batubara tersebut. 

Studi ini  mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan  program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi,  serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.  DBH batubara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal. Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batubara rata-rata  menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan  hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.

“Selain itu, industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya, misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” ungkap Julius Christian, periset utama kajian ini, yang juga adalah Manajer Riset IESR.

Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam. 

Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” kata Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Namun, menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batubara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain. Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.

IESR dalam laporan Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim merekomendasikan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batubara memerlukan: pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan. Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya. 

“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batubara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” kata Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, IESR.

Peluncuran Studi Transisi Berkeadilan di daerah Penghasil Batu Bara di Indonesia: Studi Kasus Kab. Muara Enim dan Kab. Paser

Latar Belakang

Batubara merupakan komoditas yang penting bagi Indonesia, sebagai  pengguna dan salah satu produsen terbesar di dunia. Di tahun 2022, Indonesia menempati peringkat ketiga negara penghasil batubara terbesar di dunia setelah India dan China. Indonesia juga menjadi salah satu negara eksportir batubara terbesar di dunia dengan total ekspor sebesar 360.28 juta ton, naik 4.29% dibanding tahun sebelumnya. Pemerintah Indonesia masih menargetkan produksi batubara yang lebih tinggi di tahun 2023. Batubara berperan penting pada ekonomi nasional dimana pada tahun 2022, sektor industri batubara menyubang sekitar 3.6% dari PDB nasional, 11.4% dari total nilai ekspor, 1.8% pendapatan negara nasional, dan 0.2% lapangan kerja.

Di sisi lain, permintaan batubara diperkirakan akan menurun dipengaruhi oleh tren transisi energi menuju energi terbarukan dan komitmen Perjanjian Paris untuk mencegah kenaikan suhu di bawah 1.5°C. IESR (2022) memperkirakan total permintaan batubara Indonesia, baik domestik dan ekspor, akan menurun sekitar 10% setelah 2030 dengan komitmen Indonesia saat ini. Selain itu, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Pembangkit Tenaga Listrik yang secara eksplisit menetapkan pelarangan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara mulai tahun 2030. Komitmen nasional ini juga mendapatkan dukungan dengan penandatanganan perjanjian kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) antara Indonesia dengan International Partners Group (IPG) dan Glasgow Financial Alliance for Net-Zero (GFANZ) yang memobilisasi pendanaan sebesar 20 miliar USD untuk mencapai transisi energi bersih berkeadilan, termasuk untuk mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga batubara .

Indonesia  memiliki cadangan batubara sebesar 33.37 miliar ton yang tersebar di beberapa provinsi seperti Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan di beberapa daerah lainnya. Daerah-daerah tersebut tidak hanya mendapatkan keuntungan yang dihasilkan oleh sektor industri batubara, akan tetapi juga kerugian yang ditimbulkan olehnya. Studi Redefining Future Jobs yang dilakukan IESR pada tahun 2022 menunjukkan keuntungan yang didapatkan oleh daerah penghasil batubara tidak sebanding dengan kerugian yang dirasakan masyarakat yang berada di daerah tersebut. Terlebih lagi, terdapat banyak ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat di daerah sekitar, seperti dampak ekonomi yang tidak merata, degradasi lahan, dan risiko kesehatan. Ketidakadilan-ketidakadilan ini sebaiknya sudah menjadi fokus pemerintah dalam perencanaan transisi energi yang akan dilakukan kedepannya.

IESR telah melakukan studi terkait dampak industri batu bara di daerah penghasil batubara di Indonesia dengan mengambil lokus di dua kabupaten penghasil batubara utama di Indonesia, yaitu Muara Enim dan Paser. Studi ini menemukan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar lokasi penambangan batubara dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Beberapa temuan ketidakadilan di lokasi penghasil batubara seperti ketimpangan pendapatan antara penduduk dan pekerja dengan pemilik modal, hilangnya kepemilikan aset masyarakat lokal, dan turunnya kualitas hidup di sekitar tambang batubara. Hal-hal ini memerlukan penyelesaian yang komprehensif sehingga dapat mengurangi dampak dari ketidakadilan tersebut, serta menjadi peluang untuk menciptakan dampak-dampak positif bagi masyarakat dalam transisi energi yang berkeadilan. Oleh karena itu, dengan mengatasi ketidakadilan-ketidakadilan tersebut, pemerintah dapat memastikan proses transisi berjalan secara adil bagi semua pihak. Dengan adanya komitmen pemerintah Indonesia menuju transisi energi yang lebih hijau, diperlukan adanya perencanaan pembangunan yang komprehensif untuk menghadapi proses transisi yang lebih inklusif dan partisipatif, khususnya di masing-masing daerah penghasil batubara di Indonesia.

Oleh karena itu, IESR  bermaksud melaksanakan acara peluncuran hasil studi Transisi Energi Berkeadilan di daerah Penghasil Batubara di Indonesia bersama dengan pemerintah nasional serta berbagai pakar dari kalangan akademisi, civil society organizations, dan organisasi internasional untuk berdialog mengenai dampak industri batubara dan persiapan menuju transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

Tujuan

Kegiatan peluncuran hasil studi memiliki beberapa tujuan:

  1. Menyampaikan temuan hasil studi Transisi Energi Berkeadilan di daerah Penghasil Batubara’ yang dilakukan oleh IESR kepada publik;
  2. Memperoleh masukan terhadap hasil studi ‘Transisi Energi Berkeadilan di daerah Penghasil Batubara’ yang dapat menjadi rekomendasi praktis bagi pihak-pihak terkait;
  3. Mengumpulkan masukan dan rekomendasi dari berbagai pihak terkait transisi energi berkeadilan dan pemetaan sektor ekonomi potensial di wilayah-wilayah penghasil batubara;

Meningkatkan pemahaman melalui rekomendasi-rekomendasi praktis kepada pemangku kebijakan kunci untuk mendukung pencapaian transisi energi yang berkeadilan di daerah-daerah penghasil batubara di Indonesia

Bila Pemerintah Pusat Abai Susun Strategi Transisi Energi Berkeadilan, Daerah Penghasil Batubara Akan Hadapi Rentetan Masalah Sosial-Ekonomi

Reportase Memastikan Proses Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia

 

Jakarta, 20 Oktober — Saat ini, transisi energi  yaitu perubahan dari sistem energi yang berbasis bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan, sudah menjadi fenomena global. Ancaman perubahan iklim, semakin murahnya teknologi energi terbarukan, dan pencemaran lingkungan yang disebabkan energi fosil menjadi alasan utama yang mendorong banyak negara di dunia melakukan transisi energi. Tentu saja, dalam proses transisi energi ini, ada dampak positif dan dampak negatif yang perlu diantisipasi oleh negara-negara yang melakukan transisi, termasuk Indonesia.

Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan keempat dari lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Ensuring a Just Energy Transition in Indonesia: Lessons learned from country case studies

Laporan yang ditulis oleh Melina Gabriella dan Pamela Simamora ini menelaah proses transisi energi yang terjadi di Jerman, Australia, Kanada, dan Afrika Selatan dan memetik pembelajaran dari studi kasus tersebut sebagai masukan kepada pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan transisi energi di Indonesia. 

Hadir di acara peluncuran secara daring tersebut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. Sebagai penanggap ada Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Timur, H. M. Aswin, Aidy Halimanjaya dari Dala Institute for Environment and Society, dan Maria Emeninta dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).

Dalam sambutannya, Fabby Tumiwa menjelaskan isu transisi energi ini sangat relevan di Indonesia karena posisi Indonesia sebagai negara produsen batubara. Transisi energi akan berdampak pada industri batubara yang selama ini merupakan komoditas ekspor dan juga sebagai sumber pendapatan nasional serta daerah penghasil. Selain itu, dengan semakin kompetitifnya harga teknologi energi terbarukan yang akan membuat PLTU batubara menjadi tidak lagi ekonomis untuk dioperasikan dalam satu dekade mendatang akan berdampak pada menurunnya konsumsi batubara domestik untuk pembangkit listrik yang mencakup 90 persen dari konsumsi batubara nasional.

“Transisi energi sejatinya mengenai orang; orang yang membuat keputusan dan orang-orang yang akan terdampak dari keputusan yang dibuat. Sejak dicetuskannya Paris Agreement di tahun 2015, Indonesia sudah meratifikasi perjanjian tersebut dalam UU No.16 tahun 2016. Dengan ratifikasi tersebut, pemerintah Indonesia juga menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GHG). Salah satu cara untuk menurunkan emisi GHG di sektor energi yaitu dengan melakukan transisi energi. 

Tentu saja, komitmen negara-negara di dunia yang selama ini mengimpor batubara dari Indonesia untuk bertransisi meninggalkan energi fosil akan berdampak pada masa depan industri batubara di Indonesia. Penurunan permintaan batubara dari luar negeri akan berdampak langsung pada pendapatan daerah penghasil batubara, neraca perdagangan, dan lapangan pekerjaan serta kesempatan berusaha. Untuk itulah pendekatan transisi energi yang berkeadilan (just energy transition) diperlukan untuk memastikan agar pekerja dan masyarakat yang terdampak dari adanya transisi dari batubara, sungguh-sungguh diperhatikan,” tegasnya.

Melina Gabriella memaparkan definisi dari transisi energi berkeadilan adalah proses transisi energi yang memastikan semua pihak terakomodasi dengan baik atau tidak ada yang merasa ditinggal dan dirugikan serta menjamin biaya dan keuntungan (cost and benefit) yang dibawa oleh transisi energi akan didistribusikan secara merata.

Perjalanan transisi energi di empat negara ini tidak sepenuhnya berjalan mulus. Di daerah Rurh sebagai penghasil batubara terbesar di Jerman, membutuhkan sekitar 60 tahun untuk melakukan transisi energi. Dimulai dengan pemberian subsidi dengan jumlah yang signifikan oleh pemerintah Jerman untuk melindungi industri batubara yang mengalami kemunduran akibat berlakunya liberalisasi harga.

“Langkah ini membuat biaya transisi menjadi lebih mahal dan membuat diversifikasi ekonomi lebih lama dari yang seharusnya,”ujar Pamela.

Di Indonesia sendiri, proses transisi energi sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.  Padahal, transisi energi berpotensi memberikan dampak negatif seperti penurunan PDRB di daerah penghasil batubara, defisit pada neraca perdagangan, dan peningkatan jumlah pengangguran yang kehilangan pekerjaan dari industri batubara. Namun, apabila implementasi proses transisi energi berkeadilan berhasil berjalan maka akan memberikan keuntungan dan peluang bagi Indonesia, antara lain: biaya sistem kelistrikan yang lebih murah, diversifikasi ekonomi, pengembangan industri baru, munculnya lapangan kerja hijau, perbaikan kualitas udara, tanah dan air, dan penurunan biaya kesehatan masyarakat

Berdasarkan pembelajaran dari empat negara ini, IESR mendesak pemerintah untuk menyiapkan strategi dan kebijakan untuk memastikan berjalannya proses transisi berkeadilan dengan memperhatikan beberapa aspek seperti penerapan tata kelola yang baik dalam merencanakan jalur transisi energi, perlunya penciptaan kondisi yang memungkinkan untuk investasi dalam energi terbarukan, adanya konsultasi publik dan dialog sosial, penetapan kebijakan terkait perlindungan sosial dan pengembangan keterampilan,diversifikasi ekonomi, dan pembentukan mekanisme pendanaan untuk mendukung transisi yang berkeadilan.

Menanggapi laporan IESR ini, KH. M. Aswin, mengakui bahwa batubara sejak 2007 sudah menjadi penyumbang terbesar PDRB Kalimantan Timur. Namun, dia juga menyampaikan bahwa pemerintah juga sudah merencanakan transformasi ekonomi menuju ekonomi berkelanjutan, dengan kontribusi pertambangan migas dan batubara dari 45.49 persen menjadi hanya 17% di tahun 2050.

“Kita merencanakan untuk tidak lagi ekspor batubara mentah melainkan harus melalui proses hilirisasi batubara. Hanya saja saat ini kewenangan provinsi sangat terbatas. Kewenangan pemerintah daerah diambil oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya merencanakan tapi pemerintah pusat yang memutuskan,”keluhnya.

Aidy Halimanjaya berasumsi kurangnya pembahasan mengenai arah kebijakan penggunaan sumber daya di daerah disebabkan oleh miskinnya komunikasi politik di tingkat nasional dan perbedaan pengetahuan masing-masing institusi pemerintah.

“Umumnya institusi pemerintah tidak melihat sampai ke tingkatan dampak, hanya sebatas output yang tidak membutuhkan koordinasi banyak,” katanya.

Selanjutnya, Maria Emeninta menyoroti salah satu hambatan dalam mempromosikan transisi energi yang berkeadilan ini adalah inkonsistensi kebijakan pemerintah. Selain itu, ia merasa, sudah seharusnya setiap instansi saling berkoordinasi agar transisi energi berkeadilan dapat terimplementasi dengan baik.

“Transisi energi berkeadilan ini menjadi silent  karena tanggung jawabnya tidak berada di KLHK yang membidangi hal ini. KLHK tidak berkoordinasi dengan Kenaker, maka isu ini menjadi tidak tersentuh sama sekali,”urainya.

IESR pun menyadari bahwa meski sudah menjadi fenomena global, isu transisi energi masih tergolong hal yang baru di Indonesia. Namun, IESR memandang bahwa perencanaan transisi energi di Indonesia menjadi penting dalam kaitannya pencapaian target penurunan suhu bumi sesuai dengan target yang ada di dalam Kesepakatan Paris.

Dengan demikian, peluncuran studi peta jalan transisi energi menjadi salah satu cara untuk mendorong pemangku kebijakan memahami isu ini dan memicu dialog. Selanjutnya, perlu menyatukan pemahaman para pemangku kebijakan dan unsur kepentingan sehingga tercipta urgensi dan rencana nyata untuk menghadapi dampak dari transisi energi ini.

“Tentu saja proses transisi energi berkeadilan tidak hanya berpengaruh pada sistem energi saja, tapi juga akan mengubah sistem ekonomi dan pembangunan Indonesia. Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan proses konsultasi dengan berbagai pemangku kebijakan untuk mengintegrasikan isu transisi energi ke dalam rencana pembangunan nasional dan daerah,” tutup Fabby.

Memastikan Proses Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia

Untuk dirilis segera

Nara hubung:

Melina Gabriela, Pamela Simamora
Penulis Laporan Ensuring a Just Energy Transition
melina@iesr.or.id, pamela@iesr.or.id  

Gandabhaskara Saputra
Koordinator Komunikasi, IESR | 081235563224 | ganda@iesr.or.id

 

Membangun Peta Jalan Transisi Energi Nasional:
Memastikan Proses Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia

  • Transisi energi yang merupakan transisi menuju sistem energi bersih nir karbon merupakan fenomena global yang juga sedang dihadapi Indonesia. Sebagai negara dengan deposit sumber daya energi fossil yang cukup besar dan merupakan eksportir batubara terbesar di dunia dan salah satu pengguna batubara terbesar, transisi energi dapat menimbulkan dampak secara ekonomi dan sosial. 
  • Mengingat transisi energi merupakan fenomena yang baru maka Pemerintah Indonesia perlu memahami seluruh spektrum transisi energi, potensi dan dampaknya pada ekonomi dan industri batubara melalui berbagai riset dan kajian yang mendalam sehingga dapat merencanakan proses transisi yang berkeadilan. 
  • Pemerintah perlu memastikan penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance) yang merupakan hal yang krusial dalam perencanaan proses transisi energi yang berkeadilan.
  • Untuk memaksimalkan dampak positif dan menghindari dampak negatif, penting bagi pemerintah untuk mempersiapkan strategi dan sejumlah instrumen kebijakan demi menjamin proses transisi yang berkeadilan.

Jakarta, Selasa, 20 Oktober 2020 Pada hari ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan keempat dari lima seri studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Ensuring a Just Energy Transition in Indonesia: Lessons learn from country case studies. Studi ini menyoroti bagaimana keempat negara, Jerman, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan mengelola transisi energi dan dampaknya, sehingga Indonesia dapat mengambil pembelajaran dalam mempersiapkan proses transisi energi yang berkeadilan, terutama dari aspek sosial dan ekonomi. 

Saat ini, sistem energi global sedang mengalami keadaan di mana lebih banyak pembangkit listrik berbasis terbarukan yang dibangun dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Di banyak negara, energi terbarukan perlahan-lahan menggantikan bahan bakar fosil untuk memasok listrik. Fenomena ini dikenal sebagai transisi energi. Hingga akhir tahun 2019, kapasitas energi terbarukan di dunia mencapai 2.537 GW, meningkat 176 GW dari tahun sebelumnya (IRENA 2020).

“Transisi energi adalah fenomena global yang sedang terjadi di berbagai negara-negara maju dan berpendapatan menengah di seluruh dunia. Transisi ini mengubah lanskap penyediaan energi di dunia dan prosesnya terjadi secara cepat dalam satu dekade terakhir. Energi fosil seperti batubara mulai dikurangi dan diperkirakan pertumbuhan akan melandai dan kemudian menurun dalam dua dekade mendatang seiring dengan upaya dunia melakukan dekarbonisasi,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. 

Transisi energi dari energi fosil yang sedang terjadi akan berdampak pada negara yang bergantung pada bahan bakar fosil pada risiko sosial dan ekonomi. Pembelajaran dari empat negara; Jerman, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa transisi energi dapat memberikan baik dampak positif dan dampak negatif. Untuk memaksimalkan dampak positif dan menghindari dampak negatif, penting bagi pemerintah untuk mempersiapkan sejumlah instrumen kebijakan demi menjamin proses transisi yang berkeadilan. Transisi energi yang berkeadilan sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses transisi yang memastikan bahwa biaya dan keuntungan (cost and benefit) yang dibawa oleh transisi energi akan didistribusikan secara merata dan bahwa proses transisi yang berlangsung tidak akan meninggalkan/merugikan pihak manapun (no one left behind). 

Dengan kondisi Indonesia saat ini yang masih bergantung pada produksi batubara sebagai komoditas dan bahan bakar untuk pembangkitan listrik, transisi energi berpotensi memberikan dampak negatif seperti penurunan PDRB di daerah penghasil batubara, defisit pada neraca perdagangan, dan peningkatan jumlah pengangguran yang kehilangan pekerjaan dari industri batubara. Namun, apabila risiko ini diantisipasi dan transisi energi dikelola dengan memastikan elemen keadilan maka proses ini justru dapat memberikan keuntungan dan peluang bagi Indonesia, antara lain: biaya sistem kelistrikan yang lebih murah, diversifikasi ekonomi, pengembangan industri baru, munculnya lapangan kerja hijau, perbaikan kualitas udara, tanah dan air, dan penurunan biaya kesehatan masyarakat. 

“Dengan mempertimbangkan sisi keadilan, proses transisi energi dapat diterima lebih baik oleh pemangku kepentingan dan dapat membawa peluang untuk merestrukturisasi perekonomian menuju perekonomian berkelanjutan dan inklusif,” simpul Melina Gabriella dan Pamela Simamora, Penulis dari laporan ini.

Transisi energi merupakan proses yang panjang dan kompleks. Pemerintah Indonesia perlu memahami seluruh spektrum transisi energi, potensi dan dampaknya pada ekonomi dan industri batubara melalui berbagai riset dan kajian yang mendalam. Selanjutnya, pemerintah perlu memastikan adanya tata kelola yang baik (good governance) yang merupakan hal yang krusial dalam proses transisi energi yang berkeadilan. 

Dalam konteks rencana good governance, dibutuhkan rencana strategis pengembangan visi dan perumusan tujuan jangka panjang. Rencana ini harus mendapat perhatian publik agar transisi energi secara berkeadilannya dapat berjalan dengan sukses. Rencana strategis tersebut harus disertai dengan pengembangan rencana taktis yang diperlukan untuk penyusunan agenda dan pembentukan koalisi, jaringan, dan negosiasi dengan pemangku kepentingan. Kemudian, rencana operasional yang digunakan untuk mobilisasi proyek dan menerapkan strategi dan kebijakan yang ditetapkan untuk mencapai agenda transisi. Selain itu, usaha diversifikasi ekonomi, pengembangan keterampilan dan perlindungan sosial bagi pekerja yang terdampak oleh transisi energi, serta adanya pendanaan khusus untuk daerah-daerah dengan tingkat ketergantungan pada batubara yang sangat tinggi, menjadi kunci dalam usaha mewujudkan proses transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.