Melihat Pemanfaatan Energi Terbarukan di Industri dan Komunitas Kalimantan Timur

Balikpapan, 6 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan kembali Jelajah Energi, kali ini di Provinsi Kalimantan Timur. Jelajah Energi Kalimantan Timur merupakan inisiatif IESR berkolaborasi bersama program Clean Affordable and Secure Energy in Southeast Asia (CASE) dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur. Kegiatan ini bertujuan untuk melihat kesiapan institusi dan berbagai pelaku di daerah untuk mendukung transisi energi Indonesia, memetakan potensi dan inovasi berbasis komunitas yang muncul dan mempelajari untuk dapat direplikasi di tempat lainnya. Rangkaian Jelajah Energi Kalimantan Timur ini dimulai dengan penyelenggaraan workshop pada Selasa, 5 September 2023 dan dilanjutkan dua hari berturut-turut kunjungan ke lapangan. 

Pada hari pertama kunjungan ke lapangan, perjalanan dimulai dengan menyambangi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM). PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) telah memanfaatkan PLTS atap secara on-grid (terhubung jaringan PLN) sebesar 100 kWp untuk memenuhi kebutuhan listrik operasional kantor sejak tahun 2014.

“Terdapat 430 panel surya serta 5 inverter terpasang dalam sistem PLTS atap ini. Dalam sehari, produksi energi dari PLTS atap bisa mencapai 34,4 KWh di mana kebutuhan listrik unit gedung mencapai 21 KWh. PLTS atap kami beroperasi dari pukul 6.00-18.00 WITA. Dari efisiensi emisi, kami telah bisa mengurangi emisi CO2 sebanyak 861,1 ton CO2e sejak PLTS terpasang,” ujar  Responsible for Safety & Environment on Site Balikpapan Based Office, Ruslan Rahim. 

Solar PV
Rombongan Jelajah Energi Kalimantan Timur berkunjung ke PLTS PT Pertamina Hulu Mahakam

Selanjutnya, tim  mengunjungi Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Manggar, Balikpapan, untuk melihat pemanfaatan gas metana dari sampah yang bisa menjadi gas masak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam prosesnya, sampah organik akan ditumpuk dan dipadatkan di area tertentu untuk mengalami pembusukan. Setelah didiamkan beberapa waktu, nanti akan ada cairan serta gas metana yang dikeluarkan dari sampah yang membusuk. Gas metana yang keluar tersebut akan dipergunakan untuk menjadi sumber energi alternatif. 

“Gas metana dari sampah ini bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TPAS Manggar, dan terdapat 300 rumah dengan jangkauan mencapai 7 km dari TPAS Manggar yang telah menerima sumber energi ramah lingkungan ini. Distribusi gas metana ke rumah-rumah warga mengandalkan sejumlah pipa yang dihubungkan ke pembagi aliran gas dan separator yang berfungsi mengurangi kadar air dalam gas metana,” papar Kepala UPTD TPAS Manggar, Muhammad Haryanto.

Rombongan Jelajah Energi Kalimantan Timur mengunjungi TPAS Manggar

Hari pertama kunjungan lapangan Jelajah Energi Kalimantan Timur ditutup dengan kunjungan ke PT PLN Nusantara Power UP Kaltim Teluk untuk melihat program co-firing pada fasilitas PLTU Teluk Balikpapan.  Asisten Manajer Operasi PT PLN Nusantara Power UP Kaltim Teluk Balikpapan Dhidhik K. Laksono mengatakan, persentase campuran cofiring berupa wood chip atau cacahan kayu pada PLTU Teluk Balikpapan sebesar 3% dari total kebutuhan bahan bakar. Namun demikian, implementasi cofiring dengan cacahan kayu masih menghadapi tantangan terhadap pemenuhan bahan baku.

“Untuk mengatasi kendala suplai wood chip, kami melakukan sejumlah upaya penanganan antara lain pengajuan untuk pengadaan kontrak baru dengan PT PLN Energi Primer Indonesia, membuka peluang uji coba jenis biomassa lain, hingga mendorong pemenuhan komitmen pasokan biomassa dari mitra yang sudah bekerja sama,” terang Dhidhik. 

 

Transformasi Ekonomi akan Mitigasi Dampak Transisi Energi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 1 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia. Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi harus segera direncanakan untuk  mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari  negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara selama ini.

IESR merekomendasi  pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara  dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batubara tersebut. 

Studi ini  mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan  program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi,  serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.  DBH batubara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal. Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batubara rata-rata  menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan  hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.

“Selain itu, industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya, misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” ungkap Julius Christian, periset utama kajian ini, yang juga adalah Manajer Riset IESR.

Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam. 

Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” kata Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Namun, menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batubara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain. Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.

IESR dalam laporan Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim merekomendasikan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batubara memerlukan: pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan. Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya. 

“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batubara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” kata Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, IESR.