Menghadapi Eskalasi Konflik Iran-Israel: Tantangan dan Solusi bagi Stabilitas Energi Indonesia

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa

Jakarta, 24 April 2024 – Eskalasi konflik antara Iran dan Israel telah menciptakan ketegangan yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi global, termasuk di Indonesia. Faktor utama kekhawatiran adalah potensi gangguan pasokan dan kenaikan harga minyak, terutama karena Selat Hormuz di Iran merupakan jalur perdagangan vital untuk ekspor minyak dunia.  Hal ini dikatakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam Talk show Ruang Publik KBR – Harga Minyak Dunia Naik, Apa Kabar Kendaraan Listrik? pada Rabu (24/4/2024). 

“Untuk itu, kita perlu mewaspadai dinamika harga energi fosil tersebut dengan mengurangi risiko impor minyak mentah dan mencari cara diversifikasi impor energi. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga menjadi faktor penting yang akan berdampak pada biaya produksi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia,” ujar Fabby.

Berkaca dari hal ini, Fabby menegaskan, sebaiknya Pemerintah Indonesia lebih agresif mendorong pengembangan energi terbarukan untuk mensubstitusi BBM. Misalnya saja pembangkit listrik diesel di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) dapat diganti dengan pembangkit energi terbarukan. Kemudian, Indonesia juga dapat meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati (BBN) dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dalam produksinya. 

“Tidak hanya sawit, Indonesia juga kaya sumber bahan bakar nabati lainnya seperti  jarak pagar, nyamplung, kemiri sunan, dan mikroalga. Saat ini Indonesia juga tengah mengembangkan bioetanol sebagai campuran pada BBM jenis bensin. Apabila Indonesia berhasil mengembangkan bioetanol sebagai campuran pada BBM jenis bensin, maka hal tersebut akan berdampak pada menurunnya impor produk BBM,” kata Fabby. 

Namun demikian, Fabby mengatakan, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan energi terbarukan. Pertama, faktor kepentingan dari kalangan tertentu. Kedua, adanya berbagai inkonsistensi dalam kebijakan dan regulasi sehingga membuat pelaku usaha ragu berinvestasi dalam energi terbarukan. Misalnya saja dalam sektor ketenagalistrikan, energi terbarukan terkendala karena hanya PLN saja yang bisa membeli listrik dari pengusaha listrik swasta (Independent Power Producer, IPP) dan pengusaha listrik swasta tersebut tidak bisa menjualnya ke konsumen. Ketiga, aspek bisnis energi terbarukan dengan mempertimbangkan resiko. 

“Dengan kondisi tersebut, yang menjadi kunci ialah kemauan politik (political will) pemerintah dan berbagai pihak lainnya sehingga dapat mengembangkan energi terbarukan secara lebih agresif. Perlunya transisi energi merupakan bagian dari Persetujuan Paris untuk mencapai net-zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat,” kata Fabby.