Negara-negara ASEAN Masih Bergantung Pada Energi Fosil Namun Memiliki Peluang untuk Transformasi Sistem Energi

Jakarta, 9 Februari 2022 – Kawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan terpadat dengan pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi yang meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi muncul pada saat ada upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Untuk menjaga perkembangan ekonomi dan pertumbuhan permintaan energi, pemerintah harus mengembangkan sistem energi yang lebih bersih. Situasi saat ini menunjukkan bahwa sistem energi di Asia Tenggara masih mengandalkan bahan bakar fosil yaitu batubara.

Untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang tersebut, perwakilan dari Indonesia, Filipina, dan Vietnam hadir dalam webinar “Energy Transition Dialogue” yang diselenggarakan oleh Australia National University bekerjasama dengan CASE (Clean, Affordable, and Secure Energy) for Southeast Asia pada Rabu, 9 Februari 2022 .

Sirpa Jarvenpaa dari Energy Transition Partnership menyoroti bahwa jika arah kebijakan terus berjalan seperti biasa tanpa ada terobosan baru (business as usual), pertumbuhan ekonomi dan energi di negara-negara ASEAN pada saat yang sama akan mencemari kawasan Asia Tenggara dan juga dunia. Ia juga menekankan pentingnya pengetahuan bagi pengambil kebijakan untuk membangun komitmen yang kuat.

“Proyek iklim yang ambisius didirikan berdasarkan pengetahuan sehingga kami perlu mendorong sektor bisnis untuk melakukan investasi dalam transisi energi, dan bagi pemerintah untuk menciptakan lingkungan investasi yang kondusif, serta merampingkan kerangka peraturan dan hukum,” katanya.

Sirpa menambahkan bahwa Asia Tenggara perlu meningkatkan investasi dalam energi terbarukan dan efisiensi energi untuk memastikan masa depan yang bersih dan sehat bagi kawasan dan dunia.

Meskipun 8 dari 10 negara di kawasan ini telah mengumumkan target net-zero mereka, paling paling awal pada 2050 dan terakhir 2065, pembangkit listrik tenaga batu bara baru masih berkembang di Asia Tenggara, terutama di Indonesia, Filipina, dan Vietnam menurut International Energy Agency (IEA). Artinya, emisi gas rumah kaca untuk kawasan Asia Tenggara belum mencapai puncaknya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa ada serangkaian tantangan untuk mencapai net-zero emissions di ASEAN seperti kebijakan, jaringan listrik (grid), dan integrasi pasar regional, serta masalah non-teknis; terkait dengan persepsi dan akses pengetahuan. Perencanaan energi jangka panjang masih bertumpu pada fosil meskipun kebijakan mengatakan untuk mengurangi penggunaan fosil.

“Bahan bakar fosil masih dianggap sebagai komponen utama ketahanan energi, dan energi terbarukan masih dianggap tidak dapat diandalkan dan mahal,” jelas Fabby.

Fabby juga menekankan aspek ‘transisi yang adil’ sebagai hal yang harus diperhatikan terutama untuk daerah yang sangat bergantung pada industri batu bara. Kalimantan Timur, misalnya, merupakan salah satu provinsi penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Ketika harga batubara dunia turun hingga dibawah USD 40/ton, pertumbuhan PDB-nya terhenti dan mempengaruhi sektor-sektor lain.

“Kita perlu mencari cara agar perekonomian suatu provinsi tidak crash begitu terjadi transformasi besar-besaran dan batu bara tidak lagi dibutuhkan,” ujarnya.

Frank Jotzo dari Australia National University menambahkan bahwa perkembangan teknologi energi bersih menyebabkan penurunan biaya instalasi dan harga listrik dari energi terbarukan seperti surya (matahari) dan angin, sehingga transformasi energi menjadi layak secara ekonomis dan semakin kompetitif.

“Namun, ada juga tantangan seperti bagaimana memobilisasi investasi sistem energi yang besar, memastikan transisi berhasil secara teknis, dan bagaimana memaksimalkan peluang ekonomi, dan meminimalkan gangguan sosial,” Frank mengingatkan.

Tahun 2022, Indonesia Perlu Kejar Kesiapan Ekosistem Transisi Energi

press release

Jakarta, 21 Desember 2021 –  Kurang kondusifnya iklim investasi energi terbarukan di Indonesia, dan komitmen politik yang tidak konsisten dapat membuat pencapaian target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 terkendala. Hingga Q3 2021, bauran energi terbarukan masih di angka 11.2%. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pemerintah Indonesia perlu secara serius mempersiapkan ekosistem transisi energi yang mampu mempercepat dekarbonisasi sistem energi di Indonesia mencapai bebas emisi karbon pada 2050.

Pada 2021, pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih berjalan lambat dan tidak on track dengan target 23% bauran energi terbarukan di 2025. IESR dalam laporan tahunan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menemukan bahwa hingga September 2021, total kapasitas terpasang energi terbarukan hanya mencapai 10.827 MW atau bertambah sekitar 400 MW. Sementara untuk mencapai target KEN dan RUEN di 2025 kapasitas pembangkit energi terbarukan diperkirakan harus minimal mencapai 24.000 MW atau sekitar 2-3 GW penambahan kapasitas energi terbarukan setiap tahunnya. Sedangkan agar sesuai dengan Persetujuan Paris, dibutuhkan setidaknya 11-13 GW pembangkit energi terbarukan untuk  mendekarbonisasi sistem energi di Indonesia yang mencakup sektor pembangkitan listrik, transportasi dan industri pada tahun 2050. Selain itu, pemanfaatan energi surya pun terbilang tidak signifikan, hanya meningkat 18 MW yang didominasi PLTS atap. Bandingkan dengan kebutuhan 10-11 GW PLTS atap tiap tahunnya untuk mendorong bebas emisi pada 2045 di sektor ketenagalistrikan. IESR memandang PLTS atap merupakan peluang untuk memaksimalkan kontribusi masyarakat dan badan usaha untuk ikut berinvestasi dalam proses dekarbonisasi.

Upaya dekarbonisasi sistem transportasi dengan adopsi kendaraan listrik dan penggunaan bahan bakar nabati juga masih jauh dari target yang ditetapkan. Penjualan kendaraan listrik masih di bawah 1% dari total penjualan kendaraan. Hanya sekitar 2.000 mobil listrik dan 5.000 mobil listrik sepeda motor terdaftar, sementara total mobil dan sepeda motor listrik perlu mencapai 1,7 juta dan 100 juta pada tahun 2030. Bahan bakar nabati pun masih terbatas pada pengembangan biodiesel yang masih belum ekonomis dan terkendala dengan isu keberlanjutan (sustainability). Implementasi B40, dari yang semula B30, yang direncanakan di tahun 2022 pun dinilai akan terkendala melihat harga minyak sawit saat ini.

“Pemerintah harus memfokuskan pada upaya memperkuat komitmen politik untuk dekarbonisasi dengan merevisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) agar selaras dengan tujuan Net-Zero Emission (NZE), dan memperbaiki kualitas regulasi untuk meningkatkan daya tarik investasi, memangkas hambatan perizinan, dan mengakselerasi pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan di luar PLN dengan mendorong gotong royong warga masyarakat dan bisnis berinvestasi pada pembangkit energi terbarukan terdistribusi dan efisiensi energi. Dengan demikian 23% bauran energi terbarukan di 2025 dapat tercapai,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Dekarbonisasi sistem energi di Indonesia membutuhkan kesiapan ekosistem yang mendukung.Temuan IESR dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 menilai kesiapan ekosistem untuk beralih ke energi terbarukan masih sangat rendah. Menggunakan Kerangka Kesiapan Transisi Energi, IESR menilai empat indikator yaitu dukungan kebijakan dan regulasi, teknologi dan ekonomi, iklim dan realisasi investasi, dan sosial.

Dukungan kebijakan dan regulasi energi yang kurang efektif dalam mendongkrak pengembangan energi terbarukan di Indonesia, mencitrakan komitmen politik pemerintah yang rendah terhadap energi terbarukan. Meski pada 2021, pemerintah berkomitmen untuk menaikkan porsi bauran energi terbarukan menjadi 51% di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan melakukan kaji ulang pensiun dini pada 9,2 GW PLTU batubara, upaya tersebut belum cukup ambisius untuk mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini, sesuai Persetujuan Paris. Lebih lanjut, komitmen ini perlu diterjemahkan dengan rencana implementasi yang jelas di tahun 2022.

“Memang pada 2021 sudah ada beberapa dokumen kebijakan yang dikeluarkankan seperti LTS dan RUPTL, namun kami menilai target-target tersebut masih jauh dari cukup untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 1.50C. Selain itu, penting untuk dilakukan perubahan terhadap beberapa regulasi seperti tarif energi terbarukan, serta mekanisme lelang dan pengadaan yang lebih terjadwal dan transparan dari PLN, supaya target-target tersebut dapat tercapai,” ujar Julius Christian, Peneliti & Spesialis Bahan Bakar Bersih sekaligus Penulis Utama laporan IETO 2022.

Kebijakan energi di Indonesia juga belum memberikan rasa aman bagi pengembang untuk berinvestasi di energi terbarukan. Permen ESDM No 10/2017 menyerahkan risiko sepenuhnya kepada pengembang bila terjadi perubahan kebijakan pemerintah. Peraturan ESDM No. 50/2017 menyebabkan proyek energi terbarukan dipandang sebagai proyek yang sulit mendapat pendanaan dari bank (unbankable). Tidak hanya itu, Peraturan Presiden tentang tarif energi baru dan terbarukan yang urung disahkan tahun ini menyebabkan ketidakpastian dan menghambat investasi proyek energi terbarukan di Indonesia.

Kebijakan yang kurang mendukung berdampak pada investasi energi terbarukan di tahun yang tidak signifikan, hanya mencapai USD 1,17 miliar dibandingkan tahun 2020 sebesar USD 1,12 miliar. Jumlah ini sangat rendah bila disandingkan dengan kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sistem energi sesuai kajian IESR, sebanyak USD 20-25 Miliar per tahun menuju 2030.

Ditinjau secara teknis dan ekonomis, secara global, baik teknologi maupun biaya energi terbarukan semakin kompetitif dalam beberapa tahun terakhir. Hasil lelang PLTS terakhir menghasilkan biaya listrik USD 0,04/kWh, lebih rendah dari rata-rata PLTU batubara yang menelan biaya USD 0,05-0,07/kWh. Saratnya subsidi dan dukungan regulasi pemerintah terhadap PLTU batubara disinyalir membuat biaya PLTU batubara rendah. Jika menggunakan harga pasar aktual, dengan harga batubara USD 150/ton (September 2021), biaya pembangkitan listrik PLTU bisa mencapai USD 0,09-0,11/kWh. 

Meskipun proyek energi terbarukan sudah semakin ekonomis, investasi energi terbarukan masih dinilai kurang atraktif.

“Hal utama yang perlu disorot adalah ketidak-familiaran bank-bank dan investor lokal terhadap risiko proyek energi terbarukan yang sebenarnya lebih rendah daripada proyek energi fosil, menimbang harga teknologi secara tren globalnya yang juga semakin menurun. Lamanya proses perizinan dan kompleksitas mekanisme pengadaan juga dilihat sebagai kedua hal yang sering kali membuat biaya pendanaan proyek energi terbarukan menjadi lebih tinggi daripada yang direncanakan sehingga pengembang sulit menentukan angka kebutuhan investasi yang tepat dan pasti untuk diajukan kepada para institusi pendanaan,” tandas Handriyanti D. Puspitarini, Peneliti Senior Energi Terbarukan, IESR yang juga terlibat dalam penulisan IETO 2022.

Sementara dari segi sosial, berdasarkan hasil survei yang IESR lakukan terhadap 1000 responden, terdapat peningkatan kesadaran dan dukungan untuk bertransisi energi ke energi bersih. Sebanyak 56% responden yang (sangat) setuju jika Indonesia berhenti menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik. Tiga sumber energi terbarukan tertinggi yang mendapat dukungan publik tertinggi adalah  matahari (68%), air (60%), dan angin (39%). 

IESR dalam laporan IETO 2022 mendorong pemerintah Indonesia untuk menangkap sentimen positif dari masyarakat Indonesia terhadap energi terbarukan melalui kerja sama dengan pihak swasta, industri, dan pemerintah provinsi di Indonesia. Beberapa provinsi di Indonesia seperti DKI Jakarta, Bali, Jawa Tengah dapat menjadi acuan dan pelajaran bagi provinsi lain dalam mengembangan lebih banyak lagi porsi energi terbarukan.

Fokus tahun 2022 dapat ditujukan untuk kebijakan dan regulasi yang meningkatkan transparansi proses lelang energi terbarukan, alokasi risiko yang jelas melalui standarisasi Project-Based Learning (PJBL) dan memperbaiki bankability proyek-proyek energi  terbarukan dengan instrumen derisking. Proses perizinan yang lebih efisien dan tepat waktu serta suku bunga yang lebih rendah untuk pinjaman proyek juga merupakan faktor penting untuk memangkas biaya pendanaan awal dan memperbaiki iklim investasi. 

Laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2022 dapat diunduh pada: s.id/IESR_IETO2022

Transisi Energi Indonesia Dibayangi Kegamangan Pemerintah

Jakarta, 21 Desember 2021 – Menutup tahun 2021, Institute for Essential Services Reform (IESR) kembali meluncurkan laporan tahunan bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022. Sejak 2017, IETO (yang semula bernama Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) secara konsisten memaparkan perkembangan transisi energi di Indonesia pada berbagai sektor sekaligus memberikan proyeksi transisi energi Indonesia pada tahun 2022 mendatang. Selama dua tahun berturut-turut, IETO secara khusus  menganalisis kesiapan transisi energi Indonesia.

Pada level global, tahun 2021 ditandai dengan sejumlah kejadian penting seperti KTT Iklim yang diselenggarakan presiden Amerika Serikat, Joe Biden, yang menyerukan untuk seluruh dunia mengambil langkah yang lebih ambisius untuk menangani krisis iklim. KTT G20 dan COP 26 kembali menyerukan bahwa komitmen dan aksi mitigasi krisis iklim seluruh negara saat ini masih belum cukup untuk menahan kenaikan temperatur rata-rata global di 1,5 derajat Celsius. Aksi mitigasi iklim yang lebih ambisius dan agresif diperlukan.

Meski belum selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia mulai menunjukkan komitmen politik yang cukup progresif dengan menetapkan target net-zero pada 2060 atau lebih cepat, rencana untuk mempensiunkan dini sejumlah PLTU batubara, dan terbitnya RUPTL baru yang memberi porsi energi terbarukan  menjadi 51,6%. Menurut IESR, komitmen ini dapat dilihat sebagai angin segar bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Namun, hal ini masih belum dapat mengakselerasi transisi energi Indonesia, dan mencapai target Persetujuan Paris yaitu mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini. 

Julius Cristian, penulis utama laporan IETO 2022 melihat adanya  kegamangan dari pemerintah. 

“Contohnya, meski RUPTL terbaru sudah mengakomodasi 50% energi terbarukan atau sekitar 20 GW, namun jika dibandingkan dengan kebutuhan dekarbonisasi yang mencapai 130 GW perencanaan ini tentu masih jauh dari kebutuhan. Selain itu, pemerintah masih juga mengandalkan strategi yang menurut kami tidak feasible seperti penggunaan nuklir dan CCS yang lebih mahal dibandingkan dengan energi terbarukan,” jelasnya. 

IETO 2022 mengkaji bahwa Indonesia mampu mencapai net-zero pada tahun 2050. Untuk mewujudkan ini Indonesia harus mencapai puncak emisi sebelum tahun 2030, dan setelah itu mulai menurunkannya. Implikasi dari hal ini salah satunya adalah Indonesia tidak boleh lagi membangun PLTU serta harus segera mulai melakukan pensiun PLTU lama. 

Menimbang potensi dan ketersediaan sumberdaya, PLTS akan menjadi tulang punggung dekarbonisasi Indonesia. Namun pertumbuhannya pada tahun 2021 hanya sekitar 18 MW, padahal kebutuhannya mencapai 108 GW pada 2030, atau bertambah rata-rata 10 GW per tahun.

Handriyanti Diah Puspitarini menambahkan bahwa terdapat sedikit perbaikan dalam hal kualitas kebijakan dan sosial (penerimaan publik) tentang transisi energi namun komitmen dari pemerintah dan iklim investasi energi terbarukan masih perlu banyak perbaikan.

“Kita perlu melihat bagaimana implementasi berbagai regulasi yang akan datang dan yang sudah diterbitkan. Pemerintah juga harus menyadari bahwa masyarakat sudah mulai aware dengan isu ini dan mendukung adanya transisi energi, maka pemerintah pun harusnya  mensupport dukungan publik yang sudah tinggi ini,” jelas Handriyanti.

Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menekankan penting untuk energi terbarukan tumbuh secara eksponensial untuk memenuhi kebutuhan listrik dan memenuhi target perjanjian internasional. Meski sepanjang 2021 terdapat momentum tumbuhnya awareness untuk melakukan transisi arah kebijakan Indonesia masih belum pasti akan menuju kemana.

“Sebagai contoh RUED, meskipun daerah-daerah sudah memiliki RUED namun wewenang untuk mengeksekusi terpusat di PLN dan Pertamina, jadi daerah-daerah ini punya RUED namun tidak bisa mempengaruhi hasil,” ujar Herman.

Faela Sufa, Direktur Asia Tenggara ITDP, melihat bahwa sektor transportasi bisa menjadi salah satu pendorong ekosistem energi terbarukan di Indonesia.

“Misal untuk elektrifikasi transportasi publik perlu kita sinkronkan bersama dan identifikasi insentif apa yang perlu diberikan sehingga bisa lebih jadi tangible dalam penggunaan energi dan koordinasi dengan berbagai sektor yang berkaitan dengan renewable energy untuk elektrifikasi,” jelas Faela.

Yusrizki, Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Indonesia (KADIN) bidang EBT, menyampaikan bahwa KADIN telah menyatakan akan menjadi net-zero organization 2060 dan secara aktif mendorong anggotanya untuk memiliki target net zero.

“Dalam gelaran G20 summit 2022 nanti kita diharapkan punya 100 perusahaan Indonesia yang sudah pledge target net zero dan ini merupakan target yang sangat ambisius. Kita mulai dari edukasi, assisting -membantu mereka membuat agenda-agendanya-, sampai pledge komitmennya,” pungkas Yusrizki.

Sementara itu Arief Sugiyanto, Vice President Pengendalian RUPTL PLN, menjelaskan bahwa pihaknya saat ini berusaha untuk memenuhi target bauran energi 23% pada tahun 2025.

“Target EBT 23% di 2025 ini memang tantangan yang berat. Salah satu strategi PLN adalah de-dieselisasi wilayah-wilayah isolated dan secara bertahap akan diganti dengan pembangkit EBT yang tersedia di lokasi tersebut,” ungkapnya.

Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022

IETO 2022 akan diluncurkan dalam sebuah pertemuan khusus yang juga dimaksudkan untuk mendapatkan pandangan/persepsi dari para pemangku kebijakan dan pelaku atas kecenderungan yang akan terjadi pada tahun mendatang dalam transisi energi. Diskusi dalam pertemuan ini akan berfokus kepada kerangka kesiapan transisi energi di sektor ketenagalistrikan Indonesia serta berbagai pembelajaran di tahun 2021 untuk mengatasi tantangan dalam mendorong transisi energi pada tahun 2022.

Continue reading