Pemulihan Hijau dengan Adopsi PLTS Atap

Bali, 9 Agustus 2022 – Pasca pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi di Indonesia perlahan pulih. Sempat berkontraksi ke titik minus 5,32% di kuartal kedua tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai bergerak positif di angka 5,02% di kuartal empat tahun 2021. Momentum ini semestinya menjadi dorongan bagi pemerintah untuk menyelaraskan pemulihan ekonomi pasca krisis dengan pemulihan hijau yang sejalan dengan tujuan iklim jangka panjang serta berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. 

Namun, dalam mengembangan ekonomi berkelanjutan (green economy) sebagai bagian dari pemulihan hijau masih dihadapkan pada inharmonisasi dalam kebijakan, diantaranya kebijakan pengembangan PLTS atap. Jadhie Judodiniar Ardajat (Perencana Ahli Utama) Bappenas mengungkapkan adopsi PLTS atap perlu terus didorong.

“Sekalipun tantangan, kendala maupun potensi resiko yang dihadapi ke depan masih relatif cukup besar, akan tetapi pengembangan solar rooftop ini merupakan langkah terpilih, yang diproyeksikan dan diyakini merupakan salah satu langkah prioritas dan optimal dalam rangka pengembangan penyediaan energi baru terbarukan dan merupakan bagian dari kegiatan prioritas nasional, dalam kerangka transformasi energi nasional,” kata Jadhie dalam sambutannya di webinar “Sustainable Economic Recovery by Promoting Solar PV Development” yang diselenggarakan di Bali oleh proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) 

Gubernur Bali, I Wayan Koster dalam sambutannya menyatakan pihaknya mendukung adopsi PLTS atap dengan menerbitkan berbagai instrumen kebijakan, seperti salah satunya, Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

“Respon masyarakat sangat bagus. Namun saat ingin digenjot, ada kebijakan dari PLN yang membatasi pemasangan PLTS atap hanya sampai 15%,” ujarnya. 

Sambil berjanji akan membicarakan lebih lanjut dengan pembuat kebijakan di tingkat nasional  mengenai kendala pemasangan PLTS atap, Koster mengungkapkan bahwa pengembangan energi bersih harus dilihat secara utuh, bukan parsial semata.

“Penggunaan energi bersih akan membuat ekosistem menjadi baik, termasuk juga dengan kesehatan. Jika PLN merasa rugi, maka sebaiknya mengubah skema bisnisnya,” katanya. 

Senada, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR yang juga merupakan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mendorong untuk PLN mengkaji kembali kebijakannya guna mendorong penetrasi PLTS atap yang masif .

“Kebijakan pembatasan kapasitas PLTS yang dipasang di suatu bangunan ini telah membuat PLTS atap menjadi tidak menarik. Selain itu, hal ini membuat banyak EPC setara UMKM yang tergabung dalam keanggotaan AESI merumahkan karyawannya karena sedikitnya permintaan untuk memasang PLTS atap,” jelasnya. 

Daniel Kurniawan, Peneliti dan Spesialis Teknologi & Material Fotovoltaik di Institute for Essential Services Reform (IESR) serta penulis utama laporan CASE Indonesia berjudul Supporting National Economic Recovery through Power Sector Initiatives menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia sejauh ini masih belum memprioritaskan pemulihan hijau dalam rangka pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih dominan menyasar sektor energi fosil yang menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia.

“Sementara, alokasi anggaran untuk inisiatif pengembangan rendah karbon ini masih sangat rendah, hanya di bawah 1%  atau sekitar Rp 7,63 triliun dari alokasi PEN 2021 sebesar Rp 747,7 triliun,” urai Daniel dalam presentasinya.

Daniel mengidentifikasi beberapa alasan mengapa pemerintah masih lambat dalam menyelaraskan pemulihan ekonomi dengan pemulihan hijau, diantaranya karena adanya anggapan bahwa inisiatif pemulihan hijau belum mendesak untuk dilakukan karena bersifat jangka panjang, dan keterbatasan anggaran fiskal.

Menjawab hal tersebut, Daniel dalam laporan yang sama menyebutkan bahwa penyelarasan pemulihan ekonomi dengan pemulihan hijau dapat dilakukan dengan mendorong adopsi PLTS atap. Menurutnya, PLTS atap dapat dipasang dengan lebih cepat dibandingkan PLTS skala utilitas, berperan penting untuk dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.

“Pemasangan 2.000 unit (9,1 MWp) PLTS atap setidaknya akan menciptakan 270 pekerjaan langsung, 270 pekerjaan tidak langsung, 170 pekerjaan baru,” ulasnya. 

 

Agar adopsi PLTS atap dapat berlangsung cepat, Daniel mendorong pemerintah untuk, pertama, melaksanakan pengadaan umum untuk pemasangan PLTS atap di bangunan pemerintah. Biaya pengadaan PLTS atap dapat ditekan dengan menggunakan skema pembiayaan jangka panjang yang hanya membayar biaya operasional PLTS atap saja. Kedua, melaksanakan program pengadaan umum PLTS atap yang ditujukan untuk rumah tangga bersubsidi atau yang IESR sebut sebagai program Surya Nusantara. Manfaat ekonominya berupa pemotongan subsidi listrik. 

“Program Surya Nusantara ini akan menghemat subsidi listrik dari APBN sebesar Rp1,3 triliun per tahun atau Rp32,5 triliun selama 25 tahun umur ekonomis PLTS atap. Selain itu, program ini juga dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 1,05 juta tCO2 per tahun untuk instalasi 1 GWp PLTS atap,” jelasnya.

Ketiga, mendorong adopsi atau skala kecil dengan memberikan insentif finansial berupa subsidi maupun pemasangan kWh meter yang gratis atau insentif fiskal seperti misalkan ada pembebasan pajak dan langkah lainnya yang bisa membuat masyarakat tertarik untuk memasang PLTS atap.***

Siaran ulang webinar “Sustainable Economic Recovery by Promoting Solar PV Development” dapat diakses di tautan berikut: https://caseforsea.org/post_events/sustainable-economic-recovery-by-promoting-solar-pv-development/