Pelibatan Generasi Anak Muda dalam Isu Transisi Energi

Jakarta, 24 November 2023 – Dampak krisis iklim semakin terasa seiring dengan meningkatnya suhu bumi. Laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan suhu bumi telah meningkat 1,1°C pada tahun 2011-2020 dibandingkan pada 1850-1900. Upaya mitigasi dan aksi iklim yang serius demi menekan emisi gas rumah kaca guna menjaga agar peningkatan suhu tidak melebihi 1,5 derajat Celcius perlu terus dilakukan. Salah satunya dengan bertransisi energi atau beralih dari energi yang padat karbon seperti energi berbahan bakar batubara ke energi terbarukan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai dalam proses transisi energi perlu melibatkan generasi masa depan, terutama anak-anak dan orang muda. Anak muda memiliki peran krusial dalam memastikan pembangunan berkelanjutan dapat berjalan di tengah tantangan perubahan iklim. Mereka pula yang akan membangun masa depan yang mengedepankan penggunaan sumber daya yang lebih ramah lingkungan serta pertumbuhan ekonomi yang mementingkan aspek kelestarian lingkungan.

Farah Vianda, Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan, IESR dalam acara Road to Youth Climate Conference (23/11) menuturkan pengurangan penggunaan energi fosil memang memerlukan kebijakan pemerintah, namun orang muda pun dapat melakukan aksi-aksi individu yang berdampak pada penurunan emisi gas rumah kaca.

“Setiap individu khususnya anak-anak dan orang muda dapat terlibat untuk melakukan langkah konkret dalam mitigasi krisis iklim. Salah satu langkah utama adalah mengubah kebiasaan sehari-hari, mulai dari penggunaan listrik dan freon yang lebih bijak, hingga mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor dan membeli produk dengan bijak. Dengan langkah sederhana ini, anak muda dapat menciptakan dampak positif yang signifikan dalam mitigasi krisis iklim,” tegas Farah.

Farah menjelaskan, transisi energi melibatkan pergeseran fundamental dalam cara kita memproduksi dan mengkonsumsi energi. Menurutnya, dengan menitikberatkan pada penggunaan sumber daya yang lebih ramah lingkungan, akan dapat membentuk fondasi yang kuat bagi keberlanjutan bumi. Hal ini tidak hanya tentang teknologi, tetapi juga melibatkan pemahaman dan partisipasi aktif dari anak-anak dan orang muda sebagai agen perubahan masa depan.

Rahmat Jaya Eka Syahputra, Staf Program Transformasi Energi, IESR, menyoroti efisiensi energi dalam konteks transisi energi dengan mengurangi konsumsi energi yang tidak perlu. Menurutnya, pemahaman yang kuat terhadap pengurangan emisi karbon akan membentuk kebiasaan menghitung emisi dan berujung pada melakukan aktivitas sehari-hari yang rendah karbon.

“Efisiensi energi tidak hanya memberikan manfaat lingkungan dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga dapat memberikan manfaat ekonomi dengan menghemat biaya energi individu. Dengan berpartisipasi aktif melalui langkah efisiensi energi, individu telah ikut mengambil peran sesuai porsinya dalam mengatasi masalah iklim,” terang Rahmat.

Kemenangan Indonesia 30 tahun Mendatang terhadap Krisis Iklim, Ditentukan Sekarang

Jakarta, 4 Desember 2021-“Semua orang sudah pakai panel surya, dan ada motor listrik juga. Terasa udaranya sangat segar sekali!” begitu ujar Kiara dalam Mimpi Kiara yang menggambarkan suasana Indonesia pada tahun 2050. Mimpi ini seharusnya menjadi mimpi masyarakat Indonesia pada umumnya, terkhusus para pembuat kebijakan yang setiap keputusannya akan menentukan perjalanan bangsa Indonesia. 

Wujud Indonesia pada 2050 sesuai dengan gambaran Kiara, tergantung dari strategi pemerintah Indonesia dalam menyiapkan dan memberikan bumi yang lebih baik bagi generasi masa depan. Langkah tersebut harus dimulai dari sekarang dengan melakukan transisi energi, beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.

Presiden Jokowi dalam pengarahannya kepada Komisaris dan Direksi Pertamina dan PLN bahkan menegaskan bahwa transisi energi tidak dapat ditunda lagi. Jokowi dengan tegas meminta jajarannya untuk segera menyiapkan grand design transisi energi yang konkret, jelas, detail. Menurutnya, menyambut era transisi energi, semua sektor harus berubah dengan mengembangkan energi terbarukan dibanding fosil. Hal ini merupakan bagian dari gerakan dunia untuk mengatasi krisis iklim.

Krisis iklim menjadi momok menakutkan yang sudah bertahun-tahun menjadi musuh bersama. Perjuangan melawannya ditetapkan dalam jalur Perjanjian Paris pada 2015 yang disepakati oleh 197 negara. Masing-masing negara berusaha menekan emisinya serendah mungkin agar suhu bumi tidak melewati batas kenaikan lebih dari 1,5 derajat Celcius setelah zaman pra industri.

Hingga COP 26 di Glasgow berakhir pada 13 November 2021 lalu, sebanyak 137 negara sudah mempunyai target netral karbon pada 2050-2070. Indonesia sendiri menargetkan netral karbon pada 2060 atau lebih cepat dengan bantuan internasional. Namun, upaya tersebut ternyata dirasa tidak cukup untuk membatasi suhu bumi. Hasil dari Climate Action Tracker bahkan menyebutkan bahwa dengan komitmen negara tersebut untuk mencapai netral karbon pada rentang waktu 2050-2070, bumi tetap akan memanas pada 2,5-2,7 derajat Celcius pada 2100.

Sayangnya, sebagai salah satu kontributor emisi terbesar di dunia, terutama di sektor kehutanan & lahan dan sektor energi, Indonesia belum menetapkan langkah yang ambisius dalam memerangi perubahan iklim. Meski mengambil komitmen positif untuk melakukan pensiun dini pada 9,2 GW PLTU batubara, menurut Institute for Essential Services Reform (IESR) setidaknya total 10,5 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 untuk sejalur dengan Perjanjian Paris.

Di sinilah peran masyarakat Indonesia, termasuk kaum muda, untuk mendesak pemerintah Indonesia untuk lebih berani dalam upaya mitigasi krisis iklimnya. IESR dalam proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) bekerja sama dengan AIESEC UI pada Global Impact Conference yang dihadiri kaum pemuda lintas negara menggarisbawahi hal penting dan berdampak yang kaum pemuda dapat lakukan diantaranya ialah dengan membagikan informasi bahwa sektor energi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua setelah kehutanan dan lahan. 

“Kesadaran akan dampak energi fosil yang merusak bumi, akan mendorong masyarakat untuk memiliki perilaku bertanggung jawab terhadap konsumsi energi, misalnya dengan melakukan penghematan energi,” ungkap Agus Tampubolon (berbaju biru), Proyek Manager CASE, IESR.

Tidak hanya itu, setiap masyarakat Indonesia juga memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas hidup anak-cucu dengan memilih pemimpin yang mempunyai visi dan misi untuk mewujudkan pembangunan minim emisi dan pemanfaatan energi terbarukan secara massif, baik di tingkat regional maupun nasional

Agus menambahkan agar proses transisi energi berlangsung cepat dan sistematis, pemerintah daerah memainkan peranan kunci dalam menetapkan target pencapaian energi terbarukan yang tinggi pada Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Selain itu, pemerintah daerah juga harus, mempunyai pemetaan yang detail terhadap potensi teknis energi terbarukan yang terdapat di daerahnya, memiliki kemampuan untuk membangun jaringan, menyiapkan regulasi yang tepat untuk menarik lebih banyak investasi di energi terbarukan di daerahnya. Dengan demikian, Mimpi Kiara, mimpi kita dan mimpi generasi mendatang dapat menjadi kenyataan.