Road to IETD 2023 : Transisi Energi dalam Pemerataan Elektrifikasi Nasional

Latar Belakang

Transisi energi sebagai strategi mitigasi emisi GRK di sektor energi menjadi elemen penting untuk mencapai target iklim Indonesia, selain juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan seperti yang diproyeksikan dalam Low Carbon Development Indonesia (LCDI) dari kementerian PPN/Bappenas. LCDI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2030-2045 dapat mencapai 6-7% per tahun dengan trayektori emisi GRK yang melebihi target NDC (pada skenario PRK-plus)[1]. Agar mendukung capaian tersebut, maka bauran energi terbarukan di sektor energi perlu terus meningkat.

Peningkatan bauran energi terbarukan tersebut harus sejalan dengan pemenuhan target elektrifikasi 100% yang handal, aman dan terjangkau. Sayangnya, indikator rasio elektrifikasi di Indonesia, walaupun telah mencapai elektrifikasi sebesar 99,63% di tahun 2022[2], belum menunjukkan akses listrik yang merata. Misalnya, sebuah desa akan tercatat sudah terelektrifikasi jika ada minimal salah satu fasilitas atau rumah yang sudah mendapatkan akses listrik[3].

Penggunaan multi-tier framework seperti yang diusulkan dari ESMAP dapat memberikan gambaran yang lebih baik bagaimana akses listrik didapatkan oleh masyarakat[4]. Kerangka tersebut mengelompokkan akses listrik dalam 5 tier atau tingkatan berbeda sehingga dapat memberikan gambaran juga mengenai bagaimana kualitas listrik yang diberikan ke konsumen dalam beberapa indikator penilaian.

Dalam laporan NZmates tahun 2021 dalam implementasi program akses energi di wilayah maluku, Upaya penyediaan akses energi penting untuk melakukan proses identifikasi potensi teknis dan ekonomi. Identifikasi ini perlu melibatkan pemerintah daerah untuk dapat membantu pemda dalam penyusunan RUED sehingga daerah mempunyai petunjuk pengembangan energi[5]. Perkembangan penetapan RUED melalui peraturan daerah hingga juni 2023, terdapat 30 dari 34 provinsi di Indonesia yang sudah menetapkan RUED. Dengan adanya petunjuk tersebut dapat mendukung daerah tidak hanya dalam memenuhi target elektrifikasi nasional tetapi juga upaya kontribusi dalam capaian target bauran energi terbarukan[6].

Salah satu strategi pemenuhan elektrifikasi nasional dilakukan dengan pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) khususnya di daerah terpencil. Hingga tahun 2022, PLN mencatat masih mempunyai 5.100 PLTD dengan kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk operasional sebesar 2,7 juta kiloliter atau setara Rp16 triliun untuk menyalakan pembangkit-pembangkit diesel tersebut[7].  Padahal, bagi daerah terpencil yang bukan sebagai daerah penghasil minyak, PLTD menghadapi masalah baru terkait suplai BBM yang diakibatkan berbagai faktor seperti stok BBM, distribusi BBM hingga proses perbaikan yang membutuhkan waktu lama. Tak jarang, masyarakat di daerah sering mengalami pemadaman listrik. Hal ini menunjukan perlunya peningkatan kapasitas pembangkitan renewable dan jaringan yang handal di daerah.

Program Dediselisasi sudah menjadi program perhatian pemerintah dan diharapkan masuk ke dalam proyek skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mempercepat konversi energi di Indonesia. Selaras dengan hal tersebut, PT. PLN juga telah menyiapkan langkah dediselisasi terhadap 2,0 MW PLTD. Program konversi PLTD ini dilakukan dengan tiga skema, yaitu konversi PLTD ke EBT berkapasitas 499 MW, konversi PLTD ke gas (gasifikasi) 304 MW, dan konversi PLTD menjadi interkoneksi ke jaringan (grid) 1.070 MW[8]. Hal ini diharapkan dapat menghemat 67 ribu kiloliter BBM, pengurangan emisi yang dicapai bisa mencapai 0,3 juta metrik ton CO2 dan meningkatkan 0,15 persen bauran energi[9] dan pemerataan akses energi berkelanjutan bagi masyarakat Indonesia.

Selain itu, upaya membangun konektivitas jaringan dari daerah pusat penghasil listrik dengan daerah lain perlu menjadi perhatian. Sebagai negara kepulauan, International Energy Agency (IEA) berpendapat sistem interkoneksi antar pulau indonesia penting untuk menjamin akses listrik yang merata bagi seluruh masyarakat. Dengan sistem interkoneksi yang andal akan berpengaruh pada harga listrik yang terjangkau bagi masyarakat[10]. Hingga tahun 2030, dalam dokumen RUPTL 2021-2030 direncanakan adanya pembangunan transmisi sebesar 47.231 kms[11] yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung interkoneksi dan integrasi energi terbarukan.

Oleh karena alasan diatas, maka IESR mengundang para pakar untuk mendiskusikan kualitas akses listrik di Indonesia, progres dediselisasi,  serta langkah transisi energi serta mencapai target elektrifikasi nasional. Diharapkan dalam diskusi ini, pemerintah, pemangku kepentingan terkait dan masyarakat umum mendapatkan sudut pandang baru dalam proses transisi energi di Indonesia.

Tujuan

  1. Menginformasikan bagaimana kondisi elektrifikasi nasional dan perkembangan dediselisasi yang menjadi program pemerintah
  2. Membahas Peluang dan hambatan integrasi energi terbarukan dalam sistem ketenagalistrikan nasional
  3. Mendiskusikan bagaimana peran energi terbarukan dalam upaya percepatan transisi energi yang adil dan merata.
  4.  Menginformasikan rencana pelaksanaan Indonesia Energy Transition Dialogue 2023

[1]https://lcdi-indonesia.id/wp-content/uploads/2022/03/Pembangunan-Rendah-Karbon-Pergeseran-Paradigma-Menuju-Ekonomi-Hijau-di-Indonesia-Ringkasan-Bagi-Pembuat-Kebijakan-2019.pdf

[2]http://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/2023-indonesia-timur-jadi-target-kejar-rasio-elektrifikasi

[3] https://iesr.or.id/en/mendefinisikan-ulang-akses-energi-di-indonesia

[4]https://openknowledge.worldbank.org/server/api/core/bitstreams/248a7205-e926-5946-9025-605b8035ad95/content

[5] Annual Report (nzmates.org)

https://den.go.id/index.php/dinamispage/index/863-perkembangan-penyusunan-rued-provinsi-34-provinsi.html

 

[7] https://sultra.antaranews.com/berita/412409/pln-memiliki-5200-pltd-di-daerah-terpencil-dan-terisolasi

[8]https://www.cnbcindonesia.com/news/20220323165127-4-325391/pln-buka-lelang-konversi-pltd-di-183-lokasi-ini-rinciannya

[9]https://web.pln.co.id/cms/media/2022/03/menteri-esdm-program-dedieselisasi-pln-kunci-ri-capai-net-zero-emission-pada-2060/

[10]https://www.kompas.id/baca/adv_post/matangkan-skema-jetp-pln-gandeng-iea-jalankan-roadmap-transisi-energi

[11]RUPTL 2021 – 2030

 

Deklarasikan Bali Net Zero Emission 2045: Pemerintah Bali Targetkan 100 Persen Energi Terbarukan di Nusa Penida sebelum 2030

press release

Bali, 4  Agustus 2023 – Peningkatan bauran energi yang terbarukan yang signifikan diperlukan untuk mencapai ambisi Bali Net Zero Emission (NZE) 2045, 15 tahun lebih cepat daripada target netral karbon Indonesia. Selain itu, pemanfaatan energi terbarukan dan prinsip berkelanjutan akan menciptakan citra positif bagi aktivitas ekonomi dan pariwisata.

Ida Bagus Setiawan, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral, Provinsi Bali dalam pertemuan bertajuk Towards Bali Net Zero Emission 2045 di Jayashaba, Denpasar, Bali, memaparkan sektor energi menyumbang 57% dari total emisi di Bali. Ia menuturkan pemerintah daerah akan lebih fokus dalam mengurangi emisi tersebut, di antaranya dengan menargetkan pemanfaatan 100 persen energi terbarukan di Nusa Penida di 2030.

“Nusa Penida didorong lebih awal untuk mencapai net zero emission dibanding Bali Daratan salah satunya karena isolated dari segi kelistrikan,” ujar Ida Bagus.

Institute for Essential Services Reform (IESR) yang telah secara aktif bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bali sejak 2019 mendata potensi teknis energi terbarukan di Bali terbilang besar mencapai 143 GW, di antaranya potensi teknis PLTS terpasang di daratan sebesar 26 GWp dan penyimpan daya hidroelektrik terpompa (pump hydro energy storage, PHES) sebesar 5,8 GWh. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama menyampaikan pihaknya memproyeksikan dalam beberapa tahun ke depan populasi Nusa Penida yang pada 2022 berjumlah sekitar 62 ribu jiwa akan meningkat, juga semakin tumbuhnya sektor pariwisata akan meningkatkan permintaan energi, termasuk listrik. Hal ini dapat dipenuhi dengan energi terbarukan.

“Adanya potensi energi terbarukan yang besar dan teknologi pembangkit energi terbarukan yang tersedia, permintaan listrik yang dapat dikelola dan pola beban listrik yang relatif sama antara siang dan malam, serta dukungan PLN, membuat saya memiliki keyakinan yang tinggi bahwa sistem kelistrikan berbasis 100% energi terbarukan di Nusa Penida dapat diwujudkan sebelum 2030,” ungkap Fabby. 

Menyinggung kondisi Nusa Penida yang saat ini kebutuhan listriknya salah satunya dipasok dari 7 unit Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan kapasitas total 10 MW, Fabby menyebut penggantian PLTD dengan energi terbarukan, menjadi tantangan tersendiri. 

“Tantangannya adalah mengganti 10 MW PLTD yang saat ini beroperasi dalam 2-3 tahun, dan meningkatkan kinerja PLTS Suana sehingga lebih optimal dalam setahun mendatang. IESR juga sudah melakukan kajian teknis dan hasil kajian menunjukan secara teknis-ekonomis sistem kelistrikan 100% energi terbarukan dapat dilakukan di Nusa Penida,” tandasnya.

Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari, pimpinan Center of Excellent Community Based Renewable Energy (CORE) menuturkan hasil kajiannya menakar potensi PLTS atap di bangunan pemerintah Nusa Penida bahkan mencapai 10,9 MW. Selain itu, ia menyebut PLTS skala besar potensial untuk dimanfaatkan di Nusa Penida. Menurutnya, persoalan lahan untuk memasang PLTS skala besar teratasi dengan ketersediaan lahan yang cukup di Nusa Penida

“PLTS Suana berkapasitas 3,5 MW menggunakan lahan seluas 4,5 hektare. Sementara di Nusa Penida terdapat potensi lahan sebesar 10 ribu hektar untuk PLTS skala besar,” jelasnya.

Pemerintah Provinsi Bali mendeklarasikan Rencana Aksi Bali Menuju Bali Net Zero Emissions 2045 yang didukung oleh mitra utama Institute for Essential Services Reform (IESR), World Resources Institute (WRI) Indonesia, New Energy Nexus Indonesia. Dalam acara ini juga hadir mitra pendukung dari lembaga filantropi global dan nasional, yaitu Bloomberg Philanthropies, IKEA Foundation, Sequoia Climate Foundation, ClimateWorks Foundation, Tara Climate Foundation, dan Viriya ENB.

 

Tentang Bali Net Zero Emission 2045

Inisiatif Bali Net Zero Emissions 2045 terdiri dari berbagai upaya yang bertujuan untuk pembangunan rendah karbon di Bali melalui transisi ke energi terbarukan, mobilitas listrik, dan kewirausahaan iklim, yang semuanya diarahkan untuk mencapai Bali Net Zero Emissions pada 2045. Inisiatif ini mendorong aksi kolaboratif dan kerja sama antara Pemerintah Provinsi Bali, berbagai mitra, komunitas, dan pemangku kepentingan di Bali untuk mempercepat adopsi energi bersih dan mendorong partisipasi aktif masyarakat Bali dalam agenda pembangunan rendah karbon. Pihak-pihak yang terlibat meliputi lembaga internasional, organisasi nirlaba, lembaga penelitian independen, sektor swasta, termasuk kewirausahaan dan bisnis perintis, lembaga akademik, asosiasi, dan komunitas lokal. Mitra utama inisiatif ini adalah Institute for Essential Services Reform (IESR), World Resources Institute (WRI) Indonesia, dan New Energy Nexus Indonesia.

 

Keterbatasan Pilihan Energi Bersih untuk Penduduk Terpencil

Konsumen dapat memilih sumber energi yang lebih bersih, namun bagaimana jika pilihan itu terbatas? Atau bahkan tidak ada sama sekali?

Komitmen pemerintah untuk mempromosikan energi terbarukan di Indonesia dapat ditelusuri sejak beberapa tahun lalu. Terlebih lagi, penandatanganan Persetujuan Paris pada 2015 untuk membatasi kenaikan temperatur global di batas 1,5℃ membuat pemerintah Indonesia lebih serius untuk bertransisi dari energi fosil ke energi bersih dengan memfokuskan pembangunan sektor listrik menggunakan energi terbarukan. Pada saat yang sama, penilaian Climate Action Tracker (CAT) pada 2 tahun sebelumnya menunjukkan bahwa kebijakan, komitmen, dan target penurunan emisi milik pemerintah Indonesia dinilai Sangat Tidak Memadai, atau bahkan mengarah ke kenaikan emisi.

Dengan celah yang cukup besar antara target 2025 dan hasil dari penilaian CAT Indonesia yang menunjukkan inkonsistensi dengan Persetujuan Paris, transisi energi harus terus didorong menuju pencapaian yang lebih tinggi, terutama karena celah yang cukup ‘besar’ ke arah bauran energi terbarukan 23%. Partisipasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang lebih ambisius kemudian diharapkan dapat memberi nafas baru ke dalam kebijakan energi bersih untuk masyarakat sebagai penerima jasa.

Transisi energi, dalam kenyataannya, dapat memberikan optimisme pada masyarakat Indonesia bahwa memang ada sumber energi yang lebih bersih dan lebih lestari untuk digunakan dibandingkan dengan energi fosil, energi dengan kualitas emisi rendah. Kemerataan akses energi untuk semua komunitas, terutama di area terpencil, adalah poin penting yang dijunjung dalam transisi energi.

Apakah Diesel Masih Menjadi Pilihan Baik?

Karena umumnya pemadaman listrik yang terjadi di area Pulau Adonara, Flores Timur, NTT, maka Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan generator diesel masih menjadi ‘teman baik’ dari masyarakat di sana, setidaknya selama 4 tahun terakhir. Pemadaman listrik yang terjadi 2-3 kali sehari dengan periode yang tak tentu membuat mereka dengan kemampuan ekonomi yang ‘lebih baik’ memprioritaskan memiliki generator pribadi. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak termasuk kalangan tersebut? Cahaya lilin kemudian menjadi penerangan utama di rumah mereka, atau mereka dapat menikmati akses listrik dari generator tetangga jika keadaan mengizinkan.

62 unit dari 85 total pembangkit listrik PLN yang tertera dalam RUPTL 2021-2030 menunjukkan banyaknya penggunaan PLTD di NTT sebagai solusi pengaliran energi dari pemerintah. PLTD kerap digunakan pemerintah untuk mengalirkan listrik ke daerah yang sulit dijangkau. Tentunya, beragamnya tipe energi terbarukan dapat membantu individu dalam memilih sumber energi yang lebih hijau, dalam skala kecil (PLTS atap, biomassa, dan mikro-hidro) ataupun skala besar (tenaga air, PLTS tanam, geotermal).

Terlebih lagi, ini dapat membantu kesulitan PLN dalam hal mobilitas pemasangan jaringan listrik di daerah terpencil karena sulitnya akses daerah, lokasi yang jauh dari jaringan listrik yang telah ada, dan infrastruktur jalanan yang belum mendukung.

Pembangunan Kapasitas dan Keberlanjutan

Jikalau kita hanya bergantung pada orang luar untuk pemeliharaan, terutama di daerah terpencil- yang telah menjadi masalah terberat PLN dalam menciptakan akses listrik- kemudahan akses dan pertumbuhan keberagaman sumber energi terbarukan akan terhambat. Tanpa mengesampingkan hak pemerintah untuk menyediakan listrik secara merata seperti tertera dalam ayat 2 paragraf (2) dari UU 30/2009 mengenai listrik, peran dari komunitas lokal amat besar dalam membantu keberlanjutan dari pembangunan energi terbarukan.

Pemerintah juga harus mendorong komunitas lokal untuk berpartisipasi dalam aspek teknis dari pembangunan energi terbarukan sehingga di masa depan, komunitas lokal sebagai konsumen akhir tidak hanya sebagai ‘penerima’ namun juga ‘ahli’, dengan potensi menjadi ‘pelopor’ yang mampu menciptakan energi secara mandiri.

Kesenjangan pengetahuan dalam komunitas lokal mengenai kendala teknis dapat diisi dengan pengembangan kapasitas dari pemerintah dan rekan ahli dengan waktu yang cukup, sehingga komunitas tersebut dapat mandiri atau dengan pengawasan minimal dari pusat, dibandingkan dengan hanya berlangsung satu periode dan tidak dilanjutkan.

Satu contoh dari pembangunan kapasitas komunitas lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah dan ahli adalah program Patriot Energi. Dalam kurang lebih setahun berjalannya program, kemandirian energi dapat ditingkatkan dalam basis komunitas. Dalam kurun waktu tertentu, kemungkinan daerah yang tidak mandiri energi sepenuhnya tentu masih ada. Namun, ekspektasi adanya komunitas lokal yang dapat menelusuri dan menggunakan energi terbarukan dengan ahli lokal berkemampuan teknis seharusnya bisa menyingkirkan keraguan di atas. Di masa depan, tentu amat mungkin bahwa teknologi energi terbarukan dapat dipelopori oleh desa terpencil di mana dahulu listrik dibangkitkan dengan energi yang tidak bersih.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati