Implementasi Perdagangan Karbon Perlu Diikuti Pengetatan Batas Atas Emisi

press release

Jakarta, 1 Maret 2023 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai mengimplementasikan mekanisme perdagangan karbon di sektor pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) batubara pada 22/2/2023. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik implementasi perdagangan karbon ini sebagai sebuah langkah maju, dengan catatan perlunya  pengetatan batas atas emisi di masa depan. Selain itu, hasil perdagangan karbon dapat menjadi sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang apabila dialokasikan dengan tepat dapat mendorong investasi energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi. 

Perdagangan karbon akhirnya diberlakukan setelah diujicobakan di sejumlah PLTU di 2021. Pemerintah pun telah menetapkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) mulai dari PLTU non mulut tambang (MT)/MT berkapasitas 25 MW sampai dengan 100 MW sebesar 1,297 ton CO2e/MWh,  hingga PLTU non MT berkapasitas besar dari 400 MW sebesar 0,911 ton CO2e/MWh.

“Walaupun skema perdagangan karbon sudah tepat diterapkan di Indonesia, batas atas emisi karbon yang ditetapkan pemerintah saat ini masih relatif tinggi dan tidak diperlukan upaya pemilik PLTU untuk memenuhinya. Sebagai gambaran intensitas emisi karbon di PLTU di negara tetangga 20%-40% lebih rendah dibandingkan Indonesia. Ini membuka peluang pengetatan batas emisi PLTU di masa depan,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

IESR memandang dengan adanya penentuan pembatasan kuota bagi PLTU ini akan meningkatkan kesadaran bagi para pelaku usaha terhadap emisi yang dihasilkan dan mengatur operasional PLTU secara lebih efisien.  

Lebih lanjut, perdagangan karbon ini juga mengatur tentang penggantian atau pembelian karbon (carbon offset) jika unit pembangkit menghasilkan emisi melebihi dari Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Pembangkit ini harus membeli emisi dari unit PLTU yang menghasilkan emisi di bawah PTBAE-PU dan atau membeli Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE GRK). 

“Untuk meningkatkan integritas mekanisme offset dan dampak penurunan emisi secara nyata dengan menggunakan instrumen SPE, pemerintah harus memastikan standar aktivitas penurunan emisi yang bisa diperjualbelikan di pasar karbon. Disarankan agar SPE diutamakan berasal dari pembangkit energi terbarukan, untuk menyelaraskan instrumen ini dengan upaya transisi energi untuk mencapai NZE 2060 atau lebih awal. Instrumen SPE ini bisa menjadi insentif bagi pelaku usaha dan masyarakat membangun pembangkit energi terbarukan,” tambah Fabby.

IESR mengusulkan agar SPE dilakukan untuk mengakselerasi instalasi PLTS atap oleh konsumen. Listrik yang dihasilkan oleh PLTS atap dan diekspor ke jaringan bisa menjadi SPE, dan dipakai untuk offset karbon. Pendapatan dari penjualan SPE dapat meningkatkan daya tarik konsumen untuk memasang PLTS atap. 

Bagi pelaku usaha yang lalai mengikuti perdagangan karbon dengan tidak menyampaikan rencana monitoring emisi GRK dan revisi laporan emisi GRK maka akan diberikan peringatan tertulis dari Menteri ESDM dan diberikan alokasi PTBAE-PU untuk perdagangan karbon berikutnya sebesar 75%.

“Adanya sanksi pembatasan kuota yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pelaku usaha yang melanggar aturan merupakan bentuk nyata bahwa pemerintah berkomitmen perdagangan karbon sebagai instrumen untuk mengurangi emisi. Namun, dalam pelaksanaannya diperlukan pemantauan yang ketat,” jelas Farah Vianda, Koordinator Proyek Pembiayaan Berkelanjutan, Ekonomi Hijau IESR .

Pemerintah telah menetapkan nilai PTBAE-PU kepada 99 unit PLTU batubara dari 42 perusahaan yang akan menjadi peserta perdagangan karbon, dengan total kapasitas terpasang mencapai 33.569 MW. Nilai karbon yang diperdagangkan antar unit PLTU di dalam negeri harganya diperkirakan mulai dari US$ 2 hingga US$ 18 per ton.

“Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai harga karbon dapat segera diterbitkan untuk memberi kepastian aktivitas perdagangan karbon. Diharapkan harga karbon yang diterapkan tidak terlalu jauh dari rata-rata harga global,”imbuh Farah.

Pengawasan publik terhadap pelaksanaan perdagangan karbon juga perlu dibangun. Upaya masuknya mekanisme perdagangan karbon dalam perdagangan bursa, yang saat ini sedang dikaji oleh Bursa Efek Indonesia, akan membuat harga karbon semakin kompetitif dan mempromosikan transparansi sehingga dapat menarik investor dan mengarusutamakan prinsip pembiayaan berkelanjutan.***

Kompas | Kuota PLTS Atap Perlu Dihitung Cermat

Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform Marlistya Citraningrum dalam bincang tentang PLTS Atap secara daring oleh Solarin.id, Sabtu (28/1/2023), mengatakan, kapasitas pemasangan PLTS atap memang krusial dan perlu dipertimbangkan. Pasalnya, hal itu sangat berpengaruh pada implementasi di lapangan.

Baca selengkapnya di Kompas.

Potensi Peran Sektor Industri dan Komunitas Dalam Transisi Energi Berkeadilan

Semarang, 10 November 2022 – Transisi energi menjadi fokus banyak pihak akhir-akhir ini. Bukan hanya pemerintah yang memiliki tanggungjawab untuk menyediakan energi yang bersih dan terjangkau bagi seluruh penduduk, sektor industri juga mulai beralih pada energi bersih melalui berbagai upaya. Bagi perusahaan, daya saing produk secara global saat ini juga ditentukan oleh bagaimana proses manufaktur dilakukan secara efisien dan dengan menggunakan sumber-sumber energi berkelanjutan. Kolaborasi aksi berbagai sektor dalam penggunaan energi terbarukan akan mendukung percepatan transisi energi secara nasional. 

Untuk melihat lebih dekat berbagai inisiatif dari sektor industri dan masyarakat ini, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Institute for Essential Services Reform menyelenggarakan kegiatan Jelajah Energi Terbarukan Jawa Tengah pada tanggal 10 – 11 November 2022. Jelajah Energi ini merupakan kegiatan kedua setelah pada bulan Juni lalu dilaksanakan kegiatan serupa dengan fokus destinasi yang berbeda.

Perjalanan dimulai dengan mengunjungi CV Jaya Setia Plastik, Demak, untuk melihat bagaimana industri mainan anak-anak ini menghemat penggunaan listrik dengan memasang PLTS atap secara on-grid (terhubung jaringan PLN) sebesar 470 kWp. 

PLTS Atap di CV Jaya Setia Plastik
PLTS Atap di CV Jaya Setia Plastik

“Saat ini sebenarnya yang terpasang di atap kami sebesar 1300 kWp namun yang tersambung dengan PLN baru sebanyak 470 kWp, lainnya belum kami gunakan karena saat ini kami terkendala aturan yang membatasi pemasangan PLTS atap hanya boleh maksimal 15% dari total daya terpasang,” jelas Wahyu yang menemui rombongan jelajah energi.

Kendala serupa juga dialami Djarum Kretek Oasis yang berlokasi di Kudus, Jawa Tengah. Memiliki beberapa jenis inisiatif green industry seperti penggunaan boiler biomassa, PLTS atap, pond penampungan air yang dilengkapi dengan fasilitas pengolahan limbah air, Djarum masih bertekad untuk terus menambah kapasitas energi terbarukannya. 

“Luas atap kami masih dapat menampung lebih banyak PLTS namun karena batasan aturan yang ada kami belum dapat menambah kapasitas,” kata Suwarno, Deputy General Manager Engineering PT Djarum. 

Pembatasan kapasitas PLTS ini sudah menjadi perhatian berbagai pihak karena telah menjadi salah satu hambatan untuk konsumen, utamanya sektor industri untuk memasang ataupun menambah kapasitas PLTS atapnya. Saat ini, Kementerian ESDM dan PLN sedang dalam proses merevisi Permen ESDM no. 26/2021 yang mengatur tentang pemasangan PLTS atap bagi konsumen PLN.

Selain memanfaatkan PLTS, Djarum Oasis juga merancang skema keberlanjutan untuk pabriknya dengan komprehensif mencakup berbagai aspek salah satunya dengan memanfaatkan hasil pruning pohon trembesi yang ditanam pada sejumlah ruas tol sebagai bagian CSR nya sebagai wood chip (potongan kayu) untuk bahan bakar boiler biomassa. 

Perjalanan hari pertama berlanjut menuju PLTSa Putri Cempo, yang berada di daerah Surakarta. PLTSa ini telah menandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dengan PLN dan akan COD pada akhir tahun 2022. Dijelaskan oleh Elan Suherlan, Direktur PT SCMP (Solo Metro Citra Plasma), PLTSa Putri Cempo ada untuk mengatasi permasalahan sampah di kota Surakarta yang tidak lagi mampu ditampung oleh Tempat Pengolahan Sampah. PT SMCP yang memenangkan tender untuk pembangunan PLTSa ini memulai konstruksi sejak 2021. 

 

“Nantinya PLTSa Putri Cempo akan menghasilkan listrik sebesar 5 MW dan akan disalurkan ke PLN,” tutur Elan. 

Yang perlu dicermati adalah penghitungan yang jelas terhadap emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembangkitan listrik berbahan bakar sampah ini.

Jelajah Energi hari pertama ditutup dengan mengunjungi Desa Krendowahono yang telah memanfaatkan gas rawa (biogenic shallow gas) untuk 30 rumah warga. Gas biogenik dihasilkan dari senyawa organik seperti tanaman dan rerumputan yang membusuk dan terurai dengan bantuan bakteri. Karena berasal dari residu senyawa organik, umumnya gas biogenik ditemukan di lapisan tanah yang dangkal. Karena jumlahnya yang relatif kecil dan tersebar, gas biogenik harus dimampatkan (dinaikkan tekanannya) sehingga mudah untuk dialirkan dan digunakan.

Beberapa desa di Jawa Tengah memiliki potensi gas biogenik yang cukup banyak antara lain di desa Gabus, Kecamatan Ngrampal, Sragen, Desa Rajek, Grobogan, Desa Bantar dan Desa Pegundungan di Banjarnegara, yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif untuk memasak. Instalasi pemanfaatan gas biogenik ini juga relatif rendah dan bisa digunakan secara komunal.

Solihin, kepala RT 6, Desa Krendowahono, menjelaskan penemuan gas rawa ini berawal dari warga yang akan membuat sumur untuk sumber air namun ketika pada kedalaman tertentu saat ditemukan air, airnya justru dapat terbakar. 

“Setelah kami lapor dan ada tim yang turun untuk memeriksa ternyata gas ini dapat dimanfaatkan untuk rumah tangga,” tuturnya.

Ibu Uni, salah satu penerima manfaat dari gas rawa ini mengaku dengan menggunakan gas rawa ini dirinya dapat menghemat pengeluaran untuk bahan bakar memasak cukup signifikan.

“Biasanya dalam 1 bulan bisa habis 4 tabung gas 3 kg, sekarang sudah 1 saja,” tuturnya sambil menunjukkan dapurnya. Uni mengaku masih menggunakan gas LPG sebagai cadangan bahan bakar untuk memasak sebab kompor dari gas rawa baru 1 tungku. 

Saat ini warga setempat sedang merancang sistem operasional jaringan gas rawa desa Krendowahono ini mulai dari jam operasional mesin, besaran iuran, dan biaya perawatan. 

Peluncuran ISEO 2023: Indonesia Perlu Target yang Jelas dan Implementasi yang Efektif untuk Kembangkan Energi Surya

Jakarta, 27 Oktober 2022 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023. Laporan ini awalnya merupakan bagian dari Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) yang secara rutin diterbitkan setiap tahun sejak 2018. Mulai tahun ini bagian energi surya ini dibuat dalam laporan terpisah untuk memberikan laporan yang lebih mendalam mengenai perkembangan energi surya di Indonesia dan ekosistem pendukung yang dibutuhkan energi surya untuk semakin tumbuh di Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam sambutannya pada acara Shine Bright: Advancing G20 Solar Leadership yang diselenggarakan oleh IESR dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, dan berkolaborasi dengan International Solar Alliance, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia, menyatakan bahwa harga energi surya tetap kompetitif meskipun terdapat kenaikan harga pada bahan baku pembuatan panel surya. Fabby juga menekankan pentingnya untuk mengembangkan industri surya baik untuk Indonesia maupun  seluruh negara G20 yang menjadi sorotan dalam upaya mengurangi emisi global. 

“Mengembangkan kerjasama di bidang manufaktur surya di antara negara G20 akan mengamankan pasokan produksi modul dan sel surya, menyeimbangkan sistem untuk memenuhi permintaan masa depan, dan mengurangi monopoli produk.”

Pada kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, menekankan perlunya dukungan dari pihak industri dan produsen modul surya lokal untuk memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) mengingat Indonesia memiliki bahan-bahan mineral untuk membuat modul surya maupun baterai.

“Kemudahan untuk mengakses pembiayaan, insentif, dan fasilitas pembiayaan lainnya sangat penting untuk menyediakan biaya studi kelayakan dan peningkatan investasi energi terbarukan salah satunya surya,” tutur Arifin.

Ajay Mathur, Direktur Jenderal International Solar Alliance, mengungkapkan bahwa untuk menjadikan energi surya menjadi energi pilihan, terdapat tiga hal yang harus dijadikan langkah strategis. Pertama, menyediakan informasi terkini, analisis, advokasi, serta menjalin relasi dengan berbagai pihak. Kedua, menyediakan sumber daya yang mumpuni supaya investasi energi surya ‘mengalir’, hal ini penting sebab investor akan menilai dan menimbang berbagai situasi yang dapat mempengaruhi pengembalian modal investasi mereka. 

“ISA menyetujui pembuatan fasilitas pembiayaan energi surya yang menyediakan modal jaminan risiko,” jelas Ajay.

Ajay menambahkan, langkah ketiga, penting untuk membangun kapasitas dan kapabilitas dari berbagai pihak yang menangani perkembangan energi surya seperti para pembuat kebijakan, operator, dan regulator.

Daniel Kurniawan, penulis utama laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023 memaparkan sejumlah temuan dari laporan ini. Salah satunya meskipun energi surya semakin mendapat perhatian namun hingga Q3 2022 hanya 0,2 GWp surya yang berhasil di bangun.

“Berdasarkan RUPTL 2021-2030, PLN berencana untuk menambah 3,9 GW energi surya pada 2025, dimana 2,45 GW akan diadakan dengan skema IPP dan 1,45 GW akan dilelang langsung oleh PLN. Namun hingga Q3 2022 hanya delapan proyek IPP dengan kapasitas 585 MWp,” jelas Daniel.

Perpres 112/2022 yang keluar pada bulan September 2022 diharapkan dapat memberikan angin segar bagi transisi energi di Indonesia setidaknya dengan aturan tentang harga energi terbarukan dan instruksi percepatan penghentian PLTU batubara. 

Untuk mendorong percepatan pemanfaatan energi surya, laporan ISEO 2023 merekomendasikan sejumlah langkah, diantaranya agar PLN dapat mengatur jadwal lelang energi terbarukan, utamanya surya untuk tahun 2023. Sebelumnya pemerintah harus membuat target yang ambisius dan mengikat untuk energi terbarukan pada tahun tertentu misal 30% pada tahun 2030, 90% pada 2040, dan 100% pada 2050. Dengan target seperti ini PLN harus memberi ruang bagi energi surya pada jaringan PLN, salah satunya dengan memungkinkan sistem jaringan yang mampu mengakomodasi lebih banyak kapasitas energi surya. ISEO 2023 mencatat, berdasarkan analisis IEA sistem Jawa-Bali dan Sumatera dapat menampung sekitar 10% penetrasi energi surya.

Meskipun secara teknis sistem mampu menangani variabilitas energi surya, tantangan utama dalam merealisasikan penetrasi tenaga surya yang lebih besar adalah ketidakfleksibelan kontraktual (khususnya karena klausul take-or-pay pada perjanjian jual beli listrik PLTU dengan IPP dan juga kontrak pasokan energi primer untuk gas).

Daniel menambahkan, mempertimbangkan kesiapan industri manufaktur surya dalam negeri, besaran persentase TKDN perlu disesuaikan untuk waktu terbatas, misal sampai 2025. Sembari menyiapkan industri manufaktur dalam negeri untuk dekarbonisasi. Terakhir, ISEO 2023 juga merekomendasikan PLN untuk meninjau ulang kebijakan pembatasan pemasangan PLTS atap.

Henriette Faergemann, Environment, Climate Action EU Delegates to Indonesia and Brunei Darussalam, menyatakan penting untuk membuat kebijakan transisi energi yang ambisius dan konsisten untuk memberikan sinyal kuat pada investor dan institusi keuangan supaya mereka tertarik untuk ikut membiayai transisi energi.

“Ada progres baik bagi Indonesia dalam menyusun kebijakannya, namun masih ada berbagai hal yang perlu diperbaiki jika Indonesia ingin ini (transisi energi) terjadi dalam waktu cepat,” Henriette menjelaskan.

Joshua Wyclife, Chief of Operation International Solar Alliance, menyatakan hal senada bahwa perubahan struktural diperlukan dan perubahan ini dimulai dari kebijakan. Joshua juga menyatakan bahwa laporan ISEO ini merupakan salah satu cara meningkatkan kesadaran (awareness) bagi berbagai pihak tentang situasi perkembangan energi surya di Indonesia saat ini. 

“Salah satu cara untuk memaksimalkan potensi surya di Indonesia adalah dengan meningkatkan level dari awareness ke advokasi, oleh berbagai pihak melalui berbagai cara seperti workshop, memfasilitasi program pelatihan dengan sumber daya yang ada,” tutur Joshua.

Sementara itu Rahmat Mardiana, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Bappenas, menyatakan bahwa laporan ini akan dipelajari lebih lanjut mengingat saat ini pihak Bappenas sedang menyusun dokumen perencanaan pembangunan nasional seperti RPJP dan RPJM dimana salah satunya tentang strategi transisi energi.

“Dengan komitmen kita untuk mencapai target RUEN, Paris Agreement, dan NZE tentu kita harus menyediakan listrik yang handal dengan harga terjangkau, dan lambat laun pembangkit fosil akan digantikan oleh energi terbarukan,” jelas Rahmat.

Dewanto, Vice President Aneka Energi PLN, menyatakan bahwa PLN terus mendukung pengembangan energi terbarukan.

“RUPTL merupakan salah satu wujud nyata dukungan PLN pada energi baru terbarukan. Sesuai RUPTL, hingga awal 2023 PLN akan melelang hampir 1 GW proyek renewable,” kata Dewanto.

Peluncuran ISEO 2023: Memacu Pemanfaatan Energi Surya di Indonesia

Jakarta, 27 Oktober 2022 – Pemanfaatan energi surya di Indonesia perlu didorong secara cepat. Aturan yang jelas, dukungan terhadap industri produksi komponen PLTS, serta peningkatan kapasitas untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja di bidang energi surya pun perlu dipersiapkan. 

Menurut data Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023, secara kapasitas terpasang PLTS terdapat peningkatan dari 43,9 MWp di 2021 menjadi 63,5 MWp di September 2022. Jumlah ini tergolong kecil, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, khususnya Vietnam yang bahkan sudah masuk dalam orde Gigawatt. 

Senda Hurmuzan Kanam, Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi memaparkan, kapasitas terpasang PLTS di Indonesia masih dalam tahap awal yakni sekitar 200 MW-400 MW . Ia berpendapat,  Indonesia perlu berkaca dengan Vietnam yang bisa memasang sekitar 10 – 20 GW solar panel per tahunnya. 

“Dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia tertinggal jauh. Kita perlu mencari peluang demand untuk energi terbarukan khususnya PLTS. Saat ini, kami memiliki program hibah PLTS atap untuk menarik minat lebih banyak konsumen listrik menggunakan PLTS atap,” jelas Senda dalam acara Advancing G20 Solar Leadership sekaligus peluncuran laporan ISEO 2023 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, dan berkolaborasi dengan International Solar Alliance, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia.  

Senada, Anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim menyatakan, perkembangan energi surya di Indonesia masih dalam kondisi stagnan, relatif tidak bergerak. Menurutnya, perlu  rencana yang lebih jelas untuk mencapai target  23% bauran energi terbarukan pada 2025 dengan memanfaatkan PLTS.

“Setidaknya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) perlu dengan jelas menunjukkan program energi surya dan semua energi terbarukan dan menyebutkan lokasi potensialnya. Saat ini, RUPTL yang ada hanya membahas seluruh energi terbarukan secara nasional dan tidak menyebutkan lokasi potensialnya secara detail. Padahal, keekonomian baru bisa dihitung setelah adanya lokasi, biaya lokasi dan biaya jaringannya. Jadi sebaiknya membangun resource inventory terlebih dahulu,” jelas Herman. 

Meski terdapat beberapa tantangan untuk percepatan energi surya, Andhika Prastawa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menuturkan, produksi panel surya akan semakin berkembang dengan syarat tertentu. Misalnya terdapat insentif bagi konsumen yang menggunakan panel surya produksi dalam negeri dibandingkan luar negeri. Selain itu, Andhika menegaskan, terdapat dua ekosistem yang perlu digencarkan untuk percepatan energi surya yakni ekosistem pemanfaatan dan ekosistem industri. 

“Ekosistem pemanfaatan yaitu tenaga surya bisa digunakan di sistem besar maupun isolated. Jadi kita bisa mengakomodasi listrik ke daerah yang belum mendapatkan listrik sama sekali dan tidak memiliki sumber daya lain. Lalu, tumbuhnya ekosistem industri ini berkaitan erat dengan ekosistem pemanfaatannya. Untuk menumbuhkan ekosistem industri diperlukan pasar yang bisa menyerap modul surya,” terang Andhika. 

Sementara itu, Anthony Utomo, Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menjelaskan, PLTS menjadi sebuah kebutuhan karena adanya gerakan dekarbonisasi dan pendekatan net zero emission (NZE). Namun demikian, terdapat beberapa tantangan untuk menggencarkan PLTS tersebut. 

“Dua tantangan yang dihadapi Indonesia. Pertama, kesiapan user (pelanggan) menggunakan PLTS, sehingga dibutuhkan edukasi yang konsisten dan masif. Saya kira sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 yang menjadi konsensus bersama, berisi 30% bangunan pemerintah didorong menggunakan PLTS, rumah mewah 25% dan hilirisasi industri. Kedua, skill (keterampilan) tenaga pemasangan PLTS, perlu adanya pembekalan solar preneur atau UMKM hijau sehingga bisa menyambut fenomena penggunaan PLTS atap di seluruh daerah,” tegas Anthony. 

Institute for Essential Services Reform secara konsisten mencatat kemajuan dan tantangan dari pengembangan energi surya dalam kerangka transisi energi pada Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Namun pada 2023, IESR meluncurkan laporan progress energi surya di Indonesia secara terpisah dalam Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023.

Melihat Peluang dan Tantangan Transisi Energi di Daerah

Bali, 30 Agustus 2022 – Pemerintah daerah (Pemda) dan masyarakat dapat menjadi motor untuk percepatan transisi energi. Transisi energi yang terdesentralisasi relatif memerlukan waktu yang  lebih singkat karena dilakukan dalam skala kecil dan dampaknya pun dapat secara langsung dirasakan dan dilihat oleh masyarakat. 

Disampaikan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, dalam seminar paralel G20 “Decentralizing energy transition: Advancing the role of the community and subnational government” (30/8), bahwa dalam konteks pengembangan energi terbarukan diperlukan desentralisasi asimetris, yang berarti masing-masing Pemda diberikan ruang yang cukup untuk merencanakan pengembangan energi terbarukan sesuai potensi dan situasi daerahnya.

“Potensi kemandirian energi di desa-desa ini, dari sisi bisnis tidak bagus sebab skalanya relatif kecil untuk skala bisnis, tetapi jika kita tidak membuat contoh seperti pemasangan PLTS sebesar 20 kWp untuk 8 UMKM di Jepara, PLTS off grid untuk pompa air, atau PLTMH dengan kapasitas 15 kWp yang melistriki 75 kepala keluarga, dengan sungguh memanfaatkan potensi yang ada di lokal,  maka tidak akan terlaksana, jadi kita perlu keberanian untuk berubah.” tegas Ganjar.

Ida Ayu Giriantari, Staf Khusus Gubernur Bali menyatakan masyarakat, utamanya masyarakat Bali memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk menjaga lingkungan dan beralih pada sumber energi yang lebih ramah lingkungan. 

“Energi bersih sudah menjadi landasan hidup dan visi pembangunan Bali sejak dulu dan tertuang dalam Pergub 45/2019, ketika pemerintah pusat membuat kebijakan energi bersih secara nasional kami merasa ada dukungan dari pemerintah pusat,” katanya.

Pada bulan Maret 2022, Gubernur Bali mengeluarkan surat edaran yang menghimbau untuk kantor pemerintah, dan bangunan pariwisata memasang PLTS atap. Hal ini salah satunya untuk mengejar target Bali mencapai status netral karbon 2045.

“Dengan kerjasama semua stakeholder dan masyarakat saya optimis kita bisa mencapai Bali Net Zero Emission 2045,” tutur Ida Ayu.

Dilalui aliran sungai Batang Hari, provinsi Jambi mulai memperkenalkan penggunaan energi terbarukan pada tahun 2000an mencakup PLTA, PLTB (Tanjung Barat dan Timur), dan surya.

“Saat ini kami sedang menyiapkan program bantuan konsumsi energi terintegrasi dapur dan rumah tangga, atau kami sebut program Boenda. Ini akan segera kami luncurkan,” jelas Abdullah Sani, Wakil Gubernur Jambi pada acara yang sama.

Sani melanjutkan bahwa pemerintah Provinsi Jambi berkomitmen untuk bekerjasama dengan pemerintah pusat maupun swasta untuk mengembangkan transisi energi karena sumber daya yang tersedia dirasa sudah cukup melimpah namun masih perlu mentransformasikannya menjadi energi yang dapat digunakan.

Bob Saril, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PT PLN, menyatakan bahwa pihaknya sebagai penyedia listrik di Indonesia telah merancang skema transisi energi melalui RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) berbasis energi terbarukan.

“Dalam RUPTL saat ini porsi energi terbarukan mencapai 52%, hal ini menjadi langkah awal dalam transisi yang kami rancang. Bahwa setelah 2022, kita tidak lagi menambah komitmen PLTU baru lagi,” kata Bob.

Chrisnawan Anditya, Kepala Biro Perencanaan Kementerian ESDM, menyatakan bahwa perbedaan potensi EBT di berbagai daerah merupakan tantangan teknis sekaligus peluang besar untuk sistem energi kita. 

“Hal ini memungkinkan pembagian energi berbasis EBT, ketika daerah mengalami kelimpahan atau kelangkaan energi. Agar hal tersebutdapat terjadi, maka diperlukan sistem tenaga listrik yang terintegrasi (SmartGrid dan SuperGrid),” jelas Chrisnawan.

Sektor energi diperkirakan akan menjadi kontributor emisi utama jika tidak ditangani dengan serius. Togap Simangunsong, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga, Kementerian Dalam Negeri menjelaskan pihaknya terus memantau provinsi-provinsi dalam menyusun Perda RUED (Rencana Umum Energi Daerah) sebagai turunan dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

“27 dari 34 provinsi sudah memiliki Perda RUED dan sejumlah provinsi masih berproses dengan tahapan beragam untuk penyusunan RUED-nya,” tutur Togap.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengingatkan para pemimpin daerah untuk menyelaraskan RUED dengan RPJMD supaya kebijakan yang dibuat sejalan sehingga pelaksanaannya pun dapat berjalan lancar. Dirinya juga menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam inisiatif transisi energi di daerah

“Masyarakat dapat ikut serta berinvestasi pada energi terbarukan dengan memasang PLTS atap di rumah masing-masing. Pemda juga dapat berkontribusi dengan mengalokasikan anggaran pada sektor ini. Jika investasi dalam negeri tumbuh baik, maka investasi asing pun akan lebih tertarik untuk masuk,” jelas Fabby.

Pemulihan Hijau dengan Adopsi PLTS Atap

Bali, 9 Agustus 2022 – Pasca pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi di Indonesia perlahan pulih. Sempat berkontraksi ke titik minus 5,32% di kuartal kedua tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai bergerak positif di angka 5,02% di kuartal empat tahun 2021. Momentum ini semestinya menjadi dorongan bagi pemerintah untuk menyelaraskan pemulihan ekonomi pasca krisis dengan pemulihan hijau yang sejalan dengan tujuan iklim jangka panjang serta berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. 

Namun, dalam mengembangan ekonomi berkelanjutan (green economy) sebagai bagian dari pemulihan hijau masih dihadapkan pada inharmonisasi dalam kebijakan, diantaranya kebijakan pengembangan PLTS atap. Jadhie Judodiniar Ardajat (Perencana Ahli Utama) Bappenas mengungkapkan adopsi PLTS atap perlu terus didorong.

“Sekalipun tantangan, kendala maupun potensi resiko yang dihadapi ke depan masih relatif cukup besar, akan tetapi pengembangan solar rooftop ini merupakan langkah terpilih, yang diproyeksikan dan diyakini merupakan salah satu langkah prioritas dan optimal dalam rangka pengembangan penyediaan energi baru terbarukan dan merupakan bagian dari kegiatan prioritas nasional, dalam kerangka transformasi energi nasional,” kata Jadhie dalam sambutannya di webinar “Sustainable Economic Recovery by Promoting Solar PV Development” yang diselenggarakan di Bali oleh proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) 

Gubernur Bali, I Wayan Koster dalam sambutannya menyatakan pihaknya mendukung adopsi PLTS atap dengan menerbitkan berbagai instrumen kebijakan, seperti salah satunya, Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

“Respon masyarakat sangat bagus. Namun saat ingin digenjot, ada kebijakan dari PLN yang membatasi pemasangan PLTS atap hanya sampai 15%,” ujarnya. 

Sambil berjanji akan membicarakan lebih lanjut dengan pembuat kebijakan di tingkat nasional  mengenai kendala pemasangan PLTS atap, Koster mengungkapkan bahwa pengembangan energi bersih harus dilihat secara utuh, bukan parsial semata.

“Penggunaan energi bersih akan membuat ekosistem menjadi baik, termasuk juga dengan kesehatan. Jika PLN merasa rugi, maka sebaiknya mengubah skema bisnisnya,” katanya. 

Senada, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR yang juga merupakan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mendorong untuk PLN mengkaji kembali kebijakannya guna mendorong penetrasi PLTS atap yang masif .

“Kebijakan pembatasan kapasitas PLTS yang dipasang di suatu bangunan ini telah membuat PLTS atap menjadi tidak menarik. Selain itu, hal ini membuat banyak EPC setara UMKM yang tergabung dalam keanggotaan AESI merumahkan karyawannya karena sedikitnya permintaan untuk memasang PLTS atap,” jelasnya. 

Daniel Kurniawan, Peneliti dan Spesialis Teknologi & Material Fotovoltaik di Institute for Essential Services Reform (IESR) serta penulis utama laporan CASE Indonesia berjudul Supporting National Economic Recovery through Power Sector Initiatives menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia sejauh ini masih belum memprioritaskan pemulihan hijau dalam rangka pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih dominan menyasar sektor energi fosil yang menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia.

“Sementara, alokasi anggaran untuk inisiatif pengembangan rendah karbon ini masih sangat rendah, hanya di bawah 1%  atau sekitar Rp 7,63 triliun dari alokasi PEN 2021 sebesar Rp 747,7 triliun,” urai Daniel dalam presentasinya.

Daniel mengidentifikasi beberapa alasan mengapa pemerintah masih lambat dalam menyelaraskan pemulihan ekonomi dengan pemulihan hijau, diantaranya karena adanya anggapan bahwa inisiatif pemulihan hijau belum mendesak untuk dilakukan karena bersifat jangka panjang, dan keterbatasan anggaran fiskal.

Menjawab hal tersebut, Daniel dalam laporan yang sama menyebutkan bahwa penyelarasan pemulihan ekonomi dengan pemulihan hijau dapat dilakukan dengan mendorong adopsi PLTS atap. Menurutnya, PLTS atap dapat dipasang dengan lebih cepat dibandingkan PLTS skala utilitas, berperan penting untuk dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.

“Pemasangan 2.000 unit (9,1 MWp) PLTS atap setidaknya akan menciptakan 270 pekerjaan langsung, 270 pekerjaan tidak langsung, 170 pekerjaan baru,” ulasnya. 

 

Agar adopsi PLTS atap dapat berlangsung cepat, Daniel mendorong pemerintah untuk, pertama, melaksanakan pengadaan umum untuk pemasangan PLTS atap di bangunan pemerintah. Biaya pengadaan PLTS atap dapat ditekan dengan menggunakan skema pembiayaan jangka panjang yang hanya membayar biaya operasional PLTS atap saja. Kedua, melaksanakan program pengadaan umum PLTS atap yang ditujukan untuk rumah tangga bersubsidi atau yang IESR sebut sebagai program Surya Nusantara. Manfaat ekonominya berupa pemotongan subsidi listrik. 

“Program Surya Nusantara ini akan menghemat subsidi listrik dari APBN sebesar Rp1,3 triliun per tahun atau Rp32,5 triliun selama 25 tahun umur ekonomis PLTS atap. Selain itu, program ini juga dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 1,05 juta tCO2 per tahun untuk instalasi 1 GWp PLTS atap,” jelasnya.

Ketiga, mendorong adopsi atau skala kecil dengan memberikan insentif finansial berupa subsidi maupun pemasangan kWh meter yang gratis atau insentif fiskal seperti misalkan ada pembebasan pajak dan langkah lainnya yang bisa membuat masyarakat tertarik untuk memasang PLTS atap.***

Siaran ulang webinar “Sustainable Economic Recovery by Promoting Solar PV Development” dapat diakses di tautan berikut: https://caseforsea.org/post_events/sustainable-economic-recovery-by-promoting-solar-pv-development/