Langkah Awal untuk Capai Ketahanan Energi Terbarukan di ASEAN

Jakarta, 13 Juni 2023 – Asia Tenggara merupakan suatu kawasan dengan pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi terbesar. Pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan pertubuhan permintaan energi di kawasan ini diproyeksikan akan terus naik di tahun-tahun mendatang. Jika tidak diantisipasi dengan penggunaan sumber energi ramah lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi ini akan menjadi pokok masalah naiknya emisi gas rumah kaca (GRK) di kawasan ASEAN.

Dalam webinar bertajuk “Towards a Decarbonized ASEAN: Unlocking the Potential of Renewables to Advance ASEAN Interconnectivity” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform menyatakan bahwa ASEAN memiliki peluang untuk mendorong penciptaan ekosistem industri energi terbarukan melalui kerjasama jaringan interkoneksi regional ASEAN Power Grid (APG).

ASEAN power grid bisa menjadi salah satu infrastruktur pendukung untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan di negara ASEAN sembari menunggu pangsa pasarnya tumbuh. Negara ASEAN bisa mendorong kerjasama rantai pasokan teknologi energi terbarukan, khususnya teknologi sel modul surya,” katanya.

Fabby menambahkan bahwa Indonesia sebagai pemegang Keketuaan ASEAN tahun ini memiliki peluang untuk mendorong inisiatif tersebut dan mendorong transisi industri berbasis bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. Transformasi industri yang lebih hijau diyakini akan membawa efek ikutan berupa terciptanya lapangan kerja hijau di masa mendatang.

Senada dengan Fabby, Yeni Gusrini, Sub Koordinator Program Gatrik Kementerian ESDM menyatakan bahwa pada pengembangan fase pertama, ASEAN Power Grid telah berhasil mentransfer listrik sebesar 100 MW dari Laos ke Singapura. 

“Pengembangan APG fase pertama telah berhasil menghubungkan Laos – Thailand – Malaysia – Singapura. Ke depannya, APG akan menjadi kontributor pertumbuhan ekonomi yang memastikan kecukupan energi di seluruh wilayah ASEAN,” tambah Yeni.

Indra Overland, Head of Center for Energy Research, Norwegian Institute of International Affairs, mengungkapkan penting bagi negara-negara ASEAN untuk mulai memikirkan strategi peningkatan energi terbarukan di dalam negeri dan di kawasan.

“Kita dapat mencontoh Vietnam yang berhasil menambahkan kapasitas energi terbarukannya secara masif dalam  satu  dekade ke belakang. Strategi seperti adanya kerangka kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan termasuk perpajakan dan kemudahan pengurusan perizinan sangat berpengaruh pada minat investor untuk berinvestasi pada pengembangan energi terbarukan di suatu wilayah,” katanya.

Ditambahkan oleh Overland, salah satu indikator suatu negara memiliki implementasi kebijakan yang baik adalah saat sektor energi terbarukan memiliki investor yang berlimpah.

Faktor finansial yang menjadi salah satu faktor penghambat penetrasi energi terbarukan dalam jaringan diakui oleh Zulfikar Yurnaidi, Energy Modelling and Policy Planning Manager, ASEAN Centre for Energy. Dirinya mengatakan bahwa salah satu fokus ASEAN 2021 – 2025 adalah untuk membangun konektivitas dan mengintegrasikan pasar regional. 

“Penetrasi energi terbarukan harus terlihat dari penambahan kapasitas pembangkitannya. Untuk mendukung itu peremajaan jaringan harus dilakukan untuk menjaga stabilitas, fleksibilitas, dan ketangguhan jaringan. Hal ini semua membutuhkan investasi yang tidak kecil, dan anggaran pemerintah saat ini tidak cukup untuk membiayai semua itu, maka diperlukan peran investor swasta disini,” jelas Zulfikar.

Keberadaan ASEAN Power Grid akan membawa dampak sosial ekonomi yang panjang. Harapannya listrik yang diperjualbelikan adalah listrik bersih yang dihasilkan pembangkit energi terbarukan. Maka hal ini jelas berpengaruh pada keberadaan pembangkit fosil yang masih cukup banyak di kawasan ASEAN.

Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, mencontohkan Indonesia masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah terkait pembangkit listrik ini. Mulai dari rencana pensiun dini pembangkit listrik berbasis fosil seperti PLTU batubara hingga pembangunan pembangkit baru berbasis energi terbarukan. 

“Dalam rangkaian proses ini (penghentian pembangkit energi fosil dan pembangunan pembangkit baru berbasis energi terbarukan, red), masyarakat perlu dilibatkan, supaya dapat mengantisipasi dampak yang timbul dari masing-masing tahapan. Sehingga transisi (energi, red) yang terjadi adalah (transisi, red) yang berkeadilan, membuat kehidupan sejahtera dan makmur,” jelasnya.

Bangun Kolaborasi Antar CSO di ASEAN untuk Akselerasi Transisi Energi

press release

Jakarta, 16 Mei 2023 – Sebagai Ketua ASEAN pada 2023, Indonesia dapat melibatkan peran masyarakat sipil dalam meningkatkan relevansi ASEAN di berbagai aspek yang selaras dengan tantangan pembangunan global, termasuk meningkatkan ambisi target iklim kawasan, pengembangan energi terbarukan  dan pembangunan yang berkelanjutan.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa setelah sukses dengan agenda transisi energi di G20, Indonesia dapat mendorong kerja sama negara-negara ASEAN melakukan transisi energi yang selaras dengan target Persetujuan Paris dan membangun upaya bersama memperkuat resiliensi menghadapi berbagai ancaman dan dampak perubahan iklim melalui pembangunan berkelanjutan.  

ASEAN sendiri telah memiliki Kelompok Kerja ASEAN untuk Perubahan Iklim (ASEAN Working Group on Climate Change/ AWGCC and ASEAN Working Group on Forest and Climate Change/AWGFCC) dan ASEAN Energy Cooperation. Namun untuk mencapai target  mitigasi iklim dan pengembangan energi terbarukan dibutuhkan upaya ekstra dan kerja sama antara kelompok kerja, serta kolaborasi  dengan organisasi masyarakat sipil dan komunitas lintas negara agar dapat meningkatkan kontribusi mereka di kawasan.

IESR berpendapat Indonesia dapat memainkan peranannya sebagai Ketua ASEAN untuk memberi ruang kepada masyarakat sipil di tingkat regional, agar terlibat dalam proses agenda keketuaannya di tahun 2023, khususnya untuk isu energi dan iklim

“Sebagai salah satu organisasi regional yang diproyeksikan mengalami pertumbuhan ekonomi 4,7% di 2023 di tengah permintaan global yang melemah, menunjukkan bahwa ASEAN menjadi kawasan yang menjanjikan untuk berinvestasi, khususnya di sektor energi terbarukan. Memanfaatkan kepemimpinannya di ASEAN, Indonesia dapat mendorong dan merangkul organisasi masyarakat sipil di ASEAN untuk  berfokus pada transisi energi, serta menginisiasi kolaborasi konkret dalam waktu dekat dan bersama-sama dapat berkontribusi dalam mempercepat transisi energi di kawasan dan mengatasi perubahan iklim,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada diskusi publik “Making Energy Green and Low Carbon to Support Sustainable Growth: Advancing the Role of Civil Society in Southeast Asia Energy Transition During Indonesia ASEAN Chairmanship 2023” yang diselenggarakan oleh IESR.

Pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN perlu selaras dengan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan Persetujuan Paris. ASEAN sendiri mempunyai target untuk  mengejar 23% bauran energi terbarukan pada tahun 2025. Di sisi lain, menurut IEA, 80% bauran energi primer negara di kawasan Asia Tenggara masih berasal dari energi fosil.  Penurunan biaya energi energi terbarukan diprediksi oleh IEA dapat meningkatkan penetrasi energi terbarukan di ASEAN hingga 70% pada 2040. Hal ini akan mampu terwujud jika tercipta koordinasi dan kolaborasi yang intensif antara pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat sipil, dan pemangku bisnis) di ASEAN khususnya dalam proses pembuatan kebijakan regional.

Hanya saja, menurut Arief Rosadi, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim IESR, hingga saat ini, ASEAN tidak memiliki jalur formal bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan aspirasi, khususnya untuk isu iklim dan energi. Untuk itu, Indonesia perlu memimpin ASEAN agar menyediakan ruang dialog yang inklusif dan konstruktif bagi masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan di regional. 

“Langkah nyata yang dapat dilakukan sekarang adalah meningkatkan intensitas komunikasi antar masyarakat sipil di kawasan, untuk berbagi informasi serta perkembangan terbaru di masing-masing negara terkait isu energi dan iklim. Hal ini bertujuan untuk memperkokoh, solidaritas dan rasa kepemilikan terhadap ASEAN sebagai kawasan bersama,” ungkap Arief.

Menurutnya, Indonesia dapat mendorong lebih banyak diskusi publik yang menitikberatkan pada pertukaran pengetahuan, rekomendasi kebijakan berbasis data yang mendukung percepatan transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan di tingkat kawasan dan menyediakan peluang pengembangan kapasitas SDM di sektor energi terbarukan.

“Hal lain yang perlu dilakukan adalah penguatan kolaborasi akar rumput dan jaringan masyarakat sipil di tingkat regional. Adanya kolaborasi tersebut dapat membantu dapat pencapaian agenda iklim dan transisi energi di kawasan melalui berbagi praktik baik dan pengetahuan teknis.” kata Arief.

Keterbatasan Pilihan Energi Bersih untuk Penduduk Terpencil

Konsumen dapat memilih sumber energi yang lebih bersih, namun bagaimana jika pilihan itu terbatas? Atau bahkan tidak ada sama sekali?

Komitmen pemerintah untuk mempromosikan energi terbarukan di Indonesia dapat ditelusuri sejak beberapa tahun lalu. Terlebih lagi, penandatanganan Persetujuan Paris pada 2015 untuk membatasi kenaikan temperatur global di batas 1,5℃ membuat pemerintah Indonesia lebih serius untuk bertransisi dari energi fosil ke energi bersih dengan memfokuskan pembangunan sektor listrik menggunakan energi terbarukan. Pada saat yang sama, penilaian Climate Action Tracker (CAT) pada 2 tahun sebelumnya menunjukkan bahwa kebijakan, komitmen, dan target penurunan emisi milik pemerintah Indonesia dinilai Sangat Tidak Memadai, atau bahkan mengarah ke kenaikan emisi.

Dengan celah yang cukup besar antara target 2025 dan hasil dari penilaian CAT Indonesia yang menunjukkan inkonsistensi dengan Persetujuan Paris, transisi energi harus terus didorong menuju pencapaian yang lebih tinggi, terutama karena celah yang cukup ‘besar’ ke arah bauran energi terbarukan 23%. Partisipasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang lebih ambisius kemudian diharapkan dapat memberi nafas baru ke dalam kebijakan energi bersih untuk masyarakat sebagai penerima jasa.

Transisi energi, dalam kenyataannya, dapat memberikan optimisme pada masyarakat Indonesia bahwa memang ada sumber energi yang lebih bersih dan lebih lestari untuk digunakan dibandingkan dengan energi fosil, energi dengan kualitas emisi rendah. Kemerataan akses energi untuk semua komunitas, terutama di area terpencil, adalah poin penting yang dijunjung dalam transisi energi.

Apakah Diesel Masih Menjadi Pilihan Baik?

Karena umumnya pemadaman listrik yang terjadi di area Pulau Adonara, Flores Timur, NTT, maka Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan generator diesel masih menjadi ‘teman baik’ dari masyarakat di sana, setidaknya selama 4 tahun terakhir. Pemadaman listrik yang terjadi 2-3 kali sehari dengan periode yang tak tentu membuat mereka dengan kemampuan ekonomi yang ‘lebih baik’ memprioritaskan memiliki generator pribadi. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak termasuk kalangan tersebut? Cahaya lilin kemudian menjadi penerangan utama di rumah mereka, atau mereka dapat menikmati akses listrik dari generator tetangga jika keadaan mengizinkan.

62 unit dari 85 total pembangkit listrik PLN yang tertera dalam RUPTL 2021-2030 menunjukkan banyaknya penggunaan PLTD di NTT sebagai solusi pengaliran energi dari pemerintah. PLTD kerap digunakan pemerintah untuk mengalirkan listrik ke daerah yang sulit dijangkau. Tentunya, beragamnya tipe energi terbarukan dapat membantu individu dalam memilih sumber energi yang lebih hijau, dalam skala kecil (PLTS atap, biomassa, dan mikro-hidro) ataupun skala besar (tenaga air, PLTS tanam, geotermal).

Terlebih lagi, ini dapat membantu kesulitan PLN dalam hal mobilitas pemasangan jaringan listrik di daerah terpencil karena sulitnya akses daerah, lokasi yang jauh dari jaringan listrik yang telah ada, dan infrastruktur jalanan yang belum mendukung.

Pembangunan Kapasitas dan Keberlanjutan

Jikalau kita hanya bergantung pada orang luar untuk pemeliharaan, terutama di daerah terpencil- yang telah menjadi masalah terberat PLN dalam menciptakan akses listrik- kemudahan akses dan pertumbuhan keberagaman sumber energi terbarukan akan terhambat. Tanpa mengesampingkan hak pemerintah untuk menyediakan listrik secara merata seperti tertera dalam ayat 2 paragraf (2) dari UU 30/2009 mengenai listrik, peran dari komunitas lokal amat besar dalam membantu keberlanjutan dari pembangunan energi terbarukan.

Pemerintah juga harus mendorong komunitas lokal untuk berpartisipasi dalam aspek teknis dari pembangunan energi terbarukan sehingga di masa depan, komunitas lokal sebagai konsumen akhir tidak hanya sebagai ‘penerima’ namun juga ‘ahli’, dengan potensi menjadi ‘pelopor’ yang mampu menciptakan energi secara mandiri.

Kesenjangan pengetahuan dalam komunitas lokal mengenai kendala teknis dapat diisi dengan pengembangan kapasitas dari pemerintah dan rekan ahli dengan waktu yang cukup, sehingga komunitas tersebut dapat mandiri atau dengan pengawasan minimal dari pusat, dibandingkan dengan hanya berlangsung satu periode dan tidak dilanjutkan.

Satu contoh dari pembangunan kapasitas komunitas lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah dan ahli adalah program Patriot Energi. Dalam kurang lebih setahun berjalannya program, kemandirian energi dapat ditingkatkan dalam basis komunitas. Dalam kurun waktu tertentu, kemungkinan daerah yang tidak mandiri energi sepenuhnya tentu masih ada. Namun, ekspektasi adanya komunitas lokal yang dapat menelusuri dan menggunakan energi terbarukan dengan ahli lokal berkemampuan teknis seharusnya bisa menyingkirkan keraguan di atas. Di masa depan, tentu amat mungkin bahwa teknologi energi terbarukan dapat dipelopori oleh desa terpencil di mana dahulu listrik dibangkitkan dengan energi yang tidak bersih.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Peluncuran & Diskusi Laporan Perencanaan Sistem Tenaga Listrik yang Selaras dengan Persetujuan Paris

Siaran Tunda


Pendahuluan 

Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU No. 16/2016. Sebagai hasilnya, Indonesia terikat secara hukum untuk berkontribusi dalam perjuangan global perubahan iklim melalui upaya dan tindakan yang ambisius dalam memitigasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan membatasi peningkatan suhu global rata-rata di bawah 1,5 derajat C. Dalam salah satu hasil model iklim IPCC untuk jalur yang kompatibel dengan 1,5 derajat C, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global harus turun 45% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2010 dan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050. Saat ini, Indonesia termasuk dalam 10 besar penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) dan masih diproyeksikan untuk meningkatkan emisinya, dengan sektor energi sebagai penyumbang GRK tertinggi pada tahun 2030. 

Dengan pangsa pembangkit listrik sebesar 66% pada tahun 2021, pembangkit listrik tenaga batubara telah menjadi penyumbang utama emisi sektor energi (sekitar 40%), dan bahkan 90% dari emisi sektor listrik. RUPTL PLN terbaru (RUPTL hijau) masih mempertimbangkan penambahan 13,8 GW PLTU Batubara dalam satu dekade ke depan. Porsi energi terbarukan hanya akan meningkat menjadi sekitar 24% pada tahun 2030 menurut rencana yang sama, yang mengakibatkan peningkatan emisi sektor listrik (dan sektor energi) secara keseluruhan. Dengan demikian, hal ini jelas bertentangan dengan mandat Perjanjian Paris. 

Menurut studi Institute for Essential Services Reform (IESR), secara teknis dan ekonomis, emisi sektor energi di Indonesia layak secara teknis dan ekonomis agar sesuai dengan Persetujuan Paris dan mencapai emisi nol pada tahun 2050. Salah satu tonggak penting adalah bahwa pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik harus mencapai hampir setengahnya pada tahun 2030. Pada saat yang sama, elektrifikasi sektor transportasi dan industri juga akan meningkatkan pertumbuhan permintaan listrik total dan menciptakan ruang serta fleksibilitas yang diperlukan untuk integrasi energi terbarukan (variabel) yang tinggi. Dengan pertumbuhan permintaan listrik yang tinggi, kapasitas energi terbarukan dan pengembangan jaringan serta interkoneksi harus dikerahkan dalam kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, mencapai 140 GW pada tahun 2030 (peningkatan empat belas kali lipat dari kapasitas saat ini). 

Namun, integrasi energi terbarukan yang tinggi dalam sistem jaringan listrik berbasis kepulauan di Indonesia dianggap menantang. Perencanaan sistem tenaga listrik saat ini masih melihat sebagian kecil energi terbarukan, terutama energi terbarukan variabel (surya dan angin), yang akan beroperasi dalam sepuluh tahun ke depan. Selain itu, PLN sebagai operator jaringan listrik memiliki pengalaman yang terbatas dalam mengoperasikan jaringan listrik dengan porsi energi terbarukan yang tinggi. Studi dan pemodelan yang menunjukkan analisis tekno-ekonomi yang terperinci tentang pengoperasian energi terbarukan dengan porsi yang tinggi dalam sistem jaringan listrik nasional juga masih terbatas. 

Masih banyak tantangan lain yang perlu dihadapi. Hal ini menunjukkan pentingnya analisis komparatif perencanaan sistem tenaga listrik saat ini dengan perencanaan yang selaras dengan jalur 1,5 derajat C. Memahami perbedaan dalam hal biaya, tantangan teknis, pengurangan emisi, dan kelayakan dapat memperluas pilihan dalam perencanaan sistem tenaga listrik di masa depan di negara ini. Lebih jauh lagi, sebagaimana studi IESR Dekarbonisasi Mendalam Sistem Energi Indonesia menunjukkan, Indonesia dapat memperoleh manfaat tambahan seperti harga yang lebih kompetitif serta manfaat sosial-ekonomi lainnya (pekerjaan ramah lingkungan), sambil mengatasi krisis iklim secara bersamaan. 

Dengan latar belakang ini, IESR telah menyelesaikan analisis perencanaan sistem tenaga listrik, rencana perluasan kapasitas, dan uji keandalan sistem tenaga listrik dengan menggunakan PLEXOS dan DIgSILENT yang bertujuan untuk mengintegrasikan energi terbarukan untuk mengurangi emisi GRK secara keseluruhan dari sektor ini. IESR akan mengadakan webinar untuk meluncurkan laporan tersebut berjudul “Enabling high share of renewable energy in Indonesia’s power system by 2030: Alternative electricity development plan compatible with the Paris Agreement”, dan mengundang para pemangku kepentingan terkait untuk berdiskusi dan menyusun rekomendasi untuk dekarbonisasi sistem tenaga listrik. 

 

Tujuan

Tujuan dari peluncuran laporan dan webinar diskusi adalah sebagai berikut: 

  1. Untuk memberikan alternatif perencanaan sistem tenaga listrik berbasis penelitian yang dapat mendorong kemajuan Indonesia dalam upaya pengurangan emisi sektor energi kepada pemangku kepentingan yang lebih luas. 
  2. Untuk memberikan masukan bagi perencanaan sistem tenaga listrik yang diperbarui (RUPTL 2023-2032), yang diharapkan akan berjalan pada awal tahun 2023 
  3. Untuk mendiskusikan potensi tantangan dan peluang untuk mengatasi tantangan dalam mengintegrasikan pangsa energi terbarukan yang tinggi dalam sistem tenaga listrik. 

Materi Presentasi

Akbar Bagaskara – Penulis Studi, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan, IESR

Enabling High Share of RE in Indonesia Power System

221124-Alternative-RUPTL-1

Unduh

Dadan Kusdiana – Plt Dirjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM

Enabling High Share of RE in Indonesia Power System

221124-0016-PPT-Keynote-Speech-IESR-1

Unduh

 

Apa yang dapat dilakukan Perusahaan Listrik Negara G20 untuk Mengatasi Krisis Iklim?

Bali, 29 Agustus 2022 – Sektor kelistrikan merupakan salah satu penghasil emisi terbesar setelah sektor kehutanan dan tata guna lahan. Dengan semakin terbatasnya peluang untuk menjaga suhu global pada level 1,5 derajat, dorongan untuk mendekarbonisasi sektor kelistrikan menjadi semakin penting. Perusahaan utilitas listrik akan menjadi pendorong utama upaya dekarbonisasi untuk mencapai emisi nol bersih.

Philippe Benoit, Adjunct Senior Research Scholar Center on Global Energy Policy, Columbia University, dalam seminar “The Role of G20 Power Utilities in Climate Mitigation Effort” yang diselenggarakan oleh C20, menekankan pentingnya mereformasi perusahaan listrik milik negara, mewujudkan perannya sebagai produsen listrik, pembeli listrik, dan pemilik/operator jaringan untuk mempercepat transisi energi.

“Perusahaan listrik nasional bersifat multidimensi. Ketika kita berbicara tentang dekarbonisasi, kita harus memikirkannya karena merekalah yang akan menentukan laju dekarbonisasi,” katanya.

Philippe melanjutkan bahwa skenario berbasis pasar seperti pajak karbon, perdagangan karbon, dan penetapan harga dapat menjadi instrumen untuk mempengaruhi perusahaan listrik nasional untuk melakukan dekarbonisasi. Selain itu, pemerintah juga dapat menyediakan sumber daya bagi perusahaan listrik nasional dengan mendukung mereka, melakukan advokasi, dan secara langsung menjalankan kekuasaan pemegang saham pemerintah.

Mahmoud Mohieldin, High-Level COP 27 Champion Mesir, mengusulkan beberapa poin untuk dibahas, termasuk kebijakan energi komprehensif yang mencakup penghentian penggunaan bahan bakar fosil, akses energi, dan pengembangan hidrogen hijau.

“Anggaran negara harus mencerminkan prioritas agenda iklim dalam kerangka pembangunan SDGs,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Joojin Kim, Managing Director Solution for Our Climate (SFOC), Korea Selatan, memaparkan fakta bahwa saat ini energi terbarukan menghadapi beberapa pembatasan di beberapa wilayah untuk menghindari energi yang ‘tidak terjual’.

“Secara global, ada peningkatan signifikan dari kapasitas energi terbarukan tetapi sebagian besar dibangun di AS atau Eropa. Untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan listrik, beberapa daerah mulai menerapkan pembatasan energi terbarukan,” katanya.

Joojin mengatakan kondisi ini tidak kondusif untuk mencapai target net zero. Untuk menyelaraskan dengan jalur 1,5 derajat Celcius, negara G20 harus memiliki 75% energi terbarukan pada tahun 2040. Menurutnya baik Korea Selatan maupun Indonesia tidak dalam situasi yang ideal untuk mencapai target itu jika tidak ada perubahan segera.

Menurut Dennis Volk, Kepala Divisi Bundesnetzazagenturn (BNetZa), Jerman, komitmen politik dari pemerintah menjadi kunci dekarbonisasi sektor kelistrikan.

“Diperlukan komitmen politik yang kuat untuk mendorong sektor ketenagalistrikan ke jalur dekarbonisasi. Hal  kedua yang juga penting adalah skema pendukung termasuk pembiayaan,” kata Dennis.

Youngjin Chae, Vice President Strategy and Planning Korea Power Exchange (KPX), Korea Selatan menjelaskan, saat ini terdapat sekitar 19% energi terbarukan di Korea Selatan pada bauran energinya. Isu terkait fleksibilitas, penyimpanan, dan kelayakan (secara bisnis) menjadi perhatian karena karakteristik energi terbarukan yang terkonsentrasi secara lokal.

Indonesia berencana untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060 atau lebih cepat. PLN sebagai perusahaan penyedia tenaga listrik, melalui Direktur Perencanaan Perusahaan Evy Haryadi mengatakan PLN perlu membangun pembangkit baru sebesar 413 GW dengan energi terbarukan sekitar 75% dan interkoneksi 19 GW untuk mencapai net zero pada tahun 2060.

“Kami (PLN) menilai setidaknya ada lima hal besar yang harus diubah (dibangun), mulai dari sistem penyimpanan baterai, interkoneksi, klaster industri hijau, mekanisme penarikan batu bara, hingga pengembangan teknologi baru,” pungkas Evy.

Beberapa tantangan serius dihadapi oleh negara-negara dalam mengembangkan energi terbarukan. Mempertimbangkan situasi tiap negara yang beragam, setiap negara harus segera mencari solusinya karena IPCC telah memperingatkan bahwa waktu kita semakin pendek.

“Setiap negara harus mampu menjawab isu penyelesaian perubahan iklim, permintaan pelanggan akan listrik yang handal dan terjangkau, kebutuhan tenaga kerja untuk meningkatkan keterampilan, regulasi dari pemerintah, dan lebih banyak teknologi untuk menyediakan energi hijau,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menutup webinar.

Penggunaan CCS perlu pertimbangan yang matang

Penulis : Aditya Perdana Putra Purnomo (Research team intern 2022)
Editor: Pamela Simamora

 

Penggunaan bahan bakar fosil sejak awal revolusi industri terbukti meningkatkan emisi karbon dioksida antropogenik1

yang bertanggung jawab akan kenaikan suhu permukaan bumi sebanyak 1,07 °C dari tahun 1850 hingga 1990. Peningkatan temperatur tersebut memberikan pengaruh negatif pada lingkungan, menyebabkan peristiwa seperti, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, dan erosi pada sejumlah garis pantai

Selain melalui penggunaan energi terbarukan, CCS dianggap mampu membantu usaha pengurangan emisi karbon dunia. Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan teknologi yang digunakan untuk menangkap karbon dioksida dari gas buang, kemudian memindahkan serta menyimpan gas karbon dioksida tersebut pada lokasi penyimpanan tertentu (biasanya di bawah tanah) sehingga dampak negatifnya pada atmosfer dapat dihindari2

Gambar 1. Diagram Skematik CCS (Choudary,2016)

Hingga tahun 2021, terdapat 31 proyek CCS yang beroperasi secara komersial di seluruh dunia dan lebih dari 90 projek lainnya masih dalam tahap pengembangan. Angka ini terus meningkat dan merupakan yang tertinggi selama 5 tahun terakhir. Selain disebabkan oleh riset yang terus dilakukan, peningkatan jumlah proyek juga tidak terlepas dari dukungan berbagai negara terhadap teknologi CCS sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi karbon. 

Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil emisi karbondioksida terbesar di dunia, juga mulai merencanakan penggunaan CCS terutama di sektor ketenagalistrikan. Strategi ini dipertanyakan mengingat harga CCS masih dan akan tetap tidak kompetitif terhadap energi terbarukan plus penyimpanan. Jika CCS dipasang, LCOE CFPP superkritis akan berlipat ganda dari EUR 40 per MWh menjadi EUR 80 per MWh (USD 92 per MWh) bahkan jika biaya transportasi dan penyimpanan CO2 tetap rendah sekitar EUR 10 per ton. Dalam hal ini, biaya CO2-eq yang dihindari lebih dari EUR 55 per ton (USD 64 per ton).

Gambar 2. Diagram Skematik CCS pada Pembangkit Listrik Fosil (Global CCS Institute, 20213 )

Salah satu proyek CCS di sektor ketenagalistrikan yaitu proyek Petra Nova di Amerika Serikat digadang-gadang sebagai pemantik pengembangan CCS di sektor ketenagalistrikan di seluruh dunia. Sayangnya, CCS pada PLTU berkapasitas 240 MW ini mengalami pemadaman selama 30% masa hidupnya sebelum akhirnya dihentikan pada tahun 2020. Sejak peresmiannya pada tahun 2017, dari target penangkapan 4,2 juta metrik ton karbondioksida selama 3 tahun masa operasi, proyek Petra Nova hanya berhasil menangkap 3,54 juta metrik ton CO2 atau 16% dari target. 

Analisis dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan performa buruk tersebut sudah merugikan investor lebih dari $23 juta selama tiga tahun masa operasi proyek. Selain itu, selama masa operasinya, proyek Petra Nova juga menghasilkan lebih dari 1,1 juta metrik ton CO2 melalui penggunaan turbin gas untuk keperluan daya CCS. Belajar dari kasus ini, Indonesia perlu mempertimbangkan kembali penggunaan CCS di PLTU. 

Proyek lainnya, PLTU Boundary Dam di Kanada, juga menggunakan CCS untuk menangkap GRK yang dihasilkan dari produksi listrik PLTU berkapasitas 160 MW ini. Sama dengan proyek Petra Nova, proyek Boundary Dam juga tidak pernah beroperasi sesuai targetnya untuk menangkap 3200 metrik ton karbondioksida tiap tahunnya. Dilihat dari capaian penangkapan karbon tahunan, proyek tersebut hanya mampu menangkap emisi karbon sekitar 40 hingga 60% dari target. Bahkan pada tahun terproduktif, capaiannya masih jauh di dibawah target 3200 metrik ton per tahun. Rekor ini diperburuk oleh performa lesu tahun lalu yang disebabkan oleh pemadaman unit CCS selama 3 bulan. Pemadaman pertama berlangsung pertengahan bulan Juni hingga Juli karena pemeliharaan rutin, namun tidak lama kemudian, kegagalan kompresor4 menyebabkan proyek mati total dari bulan Agustus hingga September 2021.

Gambar 3. Capaian Tangkap Karbon, Projek Boundary Dam 2014-2021(Schissel, 2021)

Di sektor lain, seperti industri, CCS dianggap sebagai salah satu solusi jitu untuk mengurangi emisi GRK. Penggunaan CCS di sektor industri sendiri sudah dimulai sejak tahun 19712 dimana CCS komersial pertama di dunia dioperasikan di Terrell Gas Processing5 di Texas, Amerika Serikat. CCS yang bernilai 7.6 juta6 ini masih beroperasi hingga hari ini. Proyek berkapasitas 0,4 MTPA7 ini dioperasikan untuk menangkap emisi CO2 dari industri pengolahan gas setempat dan menggunakan hasil tangkapan ini untuk meningkatkan produksi sumur minyak melalui proses Enhanced Oil Recovery (EOR)8 .

Proyek CCS lainnya yang berada di Amerika Serikat ada di pabrik pupuk bernama Enid Fertilizer, yang telah beroperasi selama 40 tahun. Proyek ini memanfaatkan CO2 dari pembuatan pupuk/amonia untuk dijual pada sumur produksi migas di Oklahoma yang melakukan proses EOR. 

Dari studi kasus di atas, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan di Indonesia untuk mengaplikasikan CCS di Indonesia. Pertama, penggunaan CCS di PLTU, selain mahal juga sering mengalami masalah teknis, yang kemudian berakibat tidak tercapainya target penangkapan CO2 yang dijanjikan oleh pengembang. Kedua, pendapatan dari penjualan CO2 untuk EOR merupakan pendorong utama proyek CCS di sektor industri di Amerika. Meskipun tidak ada data yang tersedia untuk umum, harga CO2 untuk EOR berkaitan erat dengan harga minyak. Misalnya, dengan harga minyak US$70 per barel, harga CO2 untuk EOR berada di angka sekitar US$30/tCO2 (Bliss, et al., 2010). Oleh karena itu, implementasi CCS di sektor industri (dan sektor lainnya) membutuhkan nilai karbon yang tinggi yang dapat memastikan bahwa nilai karbon ini menutupi biaya penangkapan dan pengangkutan CO2.*** 

 

Catatan kaki:

Indonesia Butuh Tingkatkan Instalasi Energi Terbarukan hingga 10 kali lipat untuk capai Net Zero Emissions

Jakarta, 22 Maret 2022 – Indonesia melalui dokumen LTS-LCCR (Long Term Strategy Low Carbon Climate Resilience) menyatakan akan mencapai status netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Kapasitas energi fosil pada sistem energi terutama kelistrikan Indonesia disorot sebab dengan tujuan menjadi netral karbon, Indonesia harus segera memensiunkan sebagian besar PLTU batubaranya.

Dalam Simposium A Just Energy Transition: Matching Learning Curves from Germany and Indonesia yang digelar secara daring pada 22 Maret 2022, Ottmar Edenhofer, Direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research, menjelaskan bahwa untuk mengejar target penurunan emisi pada Persetujuan Paris, kawasan Asia Tenggara  harus menurunkan kapasitas batubara hingga 60% dalam dekade ini.

“Batubara menyerap banyak porsi carbon budget yang kita punya, untuk menjaga cadangan carbon budget kita harus menurunkan kapasitas batubara yang ada saat ini secara signifikan,” tutur Ottmar.

Memegang Presidensi G20, Indonesia menjadikan transisi energi berkeadilan sebagai salah satu isu prioritas. Sama seperti Indonesia dalam  presidensi G20 -, Jerman yang memegang presidensi G7 saat ini juga menjadikan transisi energi sebagai salah satu topik utama. Kesamaan agenda utama dua aliansi negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia ini harus menjadi akselerator terjadinya transisi energi global secara umum, khususnya di Indonesia.

Patrick Graichen, State Secretary at the Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action, melihat kesamaan visi ini sebagai suatu hal yang baik, namun perlu juga dibarengi dengan upaya untuk menurunkannya dalam aksi nyata.

“Kita membutuhkan kepemimpinan yang kuat, visi netral karbon yang jelas di suatu negara, serta dukungan kebijakan dan pembiayaan untuk segera mencapai target netral karbon kita,” jelasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, dalam kesempatan yang sama mengutarakan bahwa saat ini Indonesia perlu menimbang lagi masa depan penggunaan batubara di Indonesia. Mendominasi sektor ketenagalistrikan Indonesia lebih dari 60%,  pensiun batubara merupakan salah satu strategi kunci dekarbonisasi Indonesia serta sebagai kunci pencapaian target Persetujuan Paris untuk Indonesia.

“Aksi penurunan emisi Indonesia mengacu pada dokumen LTS-LCCR tidak cukup untuk memenuhi target Persetujuan Paris, kita butuh upaya yang lebih ambisius lagi,” jelas Fabby.

Fabby menjelaskan bahwa saat ini salah satu isu yang dihadapi Indonesia salah satunya terkait infrastruktur ketenagalistrikan yang memang didesain untuk PLTU batubara. PLN sendiri masih memiliki kewajiban untuk membangun PLTU yang telah memasuki masa kontrak sebagai bagian dari proyek 35 GW yang dicanangkan pemerintah pada 2015 lalu. Salah satu imbas dari megaproyek ini pula beberapa unit PLTU masih terhitung baru yang mengakibatkan biaya pensiunnya lebih mahal.

“Situasi saat ini untuk PLN sendiri memang cukup sulit, namun kita tetap harus memulai. Dengan dukungan kebijakan yang tepat kita bisa melakukannya,” jelas Fabby.

Transisi energi menjadi salah satu isu utama dalam forum global, salah satunya G20. Jika negara-negara G20 serius mendorong transisi energi, hal ini juga harus dibarengi dengan dukungan kebijakan. Paket transisi energi yang komprehensif penting untuk disediakan untuk menjamin transisi yang terjadi berkeadilan dan tidak meninggalkan satu pihak pun dalam kesulitan akibat transisi ini. Stefan Schurig, Sekretaris Jenderal F20, juga menyoroti peran negara-negara G20 yang masih belum optimal dalam mendorong transisi energi.

“Menahan kenaikan suhu pada level 1,5 derajat masih sebuah pilihan bagi kita saat ini, dan kita masih bisa mengupayakannya bersama-sama,” kata Stefan.

Krisis Energi di Inggris dan Eropa: Pembelajaran proses transisi energi di Indonesia

Siaran Tunda


Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia (SEA) adalah program regional yang berjalan di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Tujuan CASE adalah untuk mengubah arah sektor energi di Asia Tenggara untuk secara substansial beralih ke transisi energi berbasis bukti, yang bertujuan untuk meningkatkan ambisi politik untuk mematuhi Perjanjian Paris.

Melalui CASE Indonesia, kami ingin mengadakan diskusi dengan pembicara dari Inggris, dan perwakilan Eropa untuk membahas apa yang terjadi dan apa pelajaran yang didapat. Indonesia tidak mengalami musim dingin dan ketergantungan pada gas alam. Namun, dengan lebih banyak pembangkit listrik intermiten (misalnya solar) yang direncanakan akan dipasang, pemerintah melihat untuk menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar gas untuk menyeimbangkan intermittency ini. Kami juga berharap diskusi ini dapat membantu menentukan arah yang tepat untuk transisi energi Indonesia.


Materi Presentasi

Aquatera

Indonesia-briefing-on-UK-energy-prices-and-offshore-wind-prospects-rev-3.pptx

Download

Agora Energiewende

2021-10-11_Energy_crunch_pescia

Download

ECA

20211008_820_ECA-Energy-Crisis-Slides_v3

Download