Transisi Energi Butuh Kepemimpinan Jokowi

Roundtable Discussion: Peta Jalan Transisi Energi Indonesia Menuju Sistem Energi Rendah Karbon

 

Jakarta 04 November 2011 – Sebagai negara utama tujuan ekspor batu bara di Asia, deklarasi Jepang, Korea dan Cina menargetkan net zero emission di tahun 2050 dengan mengurangi emisi dalam bidang energinya yang ditandai dengan menutup banyak PLTU nya, melesukan pasar batubara. Tidak hanya itu, Filipina dan Vietnam pun ikut memberlakukan moratorium terhadap pembangunan pembangkit berbahan bakar batubara sebagai bagian dari proses transisi energi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. Hal ini memberi sinyal bagi investor untuk tidak lagi berinvestasi di industri batubara.

Tentu saja, proses transisi energi tidak terbatas pada sektor pembangkit listrik saja, tapi juga transportasi dan transformasi ekonomi. Kesiapsediaan pemerintah sebagai pembuat kebijakan menjadi hal krusial untuk menjamin agar transisi energi ini berjalan mulus sehingga mencegah terjadinya kekacauan ekonomi akibat lalai merencanakan transisi energi yang berkeadilan.  

Merangkum seluruh laporan seri Peta Jalan Transisi Energi Indonesia, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengadakan diskusi daring dengan mengundang Didi Setiarto, Tenaga Ahli Utama Bidang Energi, Kedeputian I, Kantor Staf Presiden, Adrian Lembong, Bendahara Umum, Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia / Direktur, PT. Adaro Power, Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Energi dan Iklim Regional, Greenpeace Southeast Asia dan Retno Gumilang Dewi, Kepala Pusat Kebijakan Keenergian Institute Teknologi Bandung.

Dalam pembukaannya Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyampaikan bahwa transisi energi merupakan keniscayaan. Dia juga mendorong pemerintah untuk menetapkan target net zero emission sehingga konsisten dengan keputusan pemerintah meratifikasi Paris Agreement, sert mengelola proses transisi energi yang sudah mendunia dan berlangsung dengan cepat ini.

“Untuk mencapai status transisi energi, dalam 10 tahun ke depan, kita harus membangun 2-3 GW pembangkit energi terbarukan setiap tahunnya. Ini berarti 8-10 kali lipat dari pembangkit listrik energi terbarukan yang dibangun dalam 5 tahun terakhir. Setelah 2020, harus lebih cepat lagi, bisa membangun 15 sampai 20 GW setahun,” urai Fabby.

Menurutnya, banyak aspek yang harus diakomodasi untuk memastikan proses transisi energi berjalan secara berkeadilan, seperti mempersiapkan institusi berkaitan dengan perizinan, penyiapan proyek pendanaan dan kapasitas regulasi.

“Meski kita masih punya cadangan batubara untuk 60 tahun ke depan, tapi kita harus keluar dari pola pikir yang menganggap batubara sebagai sumber energi murah dan sumber devisa negara. Sebab dalam proses transisi energi, pola pikir semacam itu tidak bisa dipertahankan lagi,” tandasnya.

Menegaskan pernyataan Fabby, Jannata Giwangkara, Program Manager di IESR memaparkan bahwa berdasarkan hasil kajian yang ia dan para periset di IESR temukan, target 23 % bauran energi terbarukan di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) di tahun 2025 tidak akan tercapai. Selain itu, sektor ketenagalistrikan dan transportasi akan menerima dampak dari proses transisi energi. Kedua sektor ini menjadi penyumbang besar emisi gas rumah kaca sehingga menjadi prioritas dalam dekarbonisasi untuk mencapai target Kesepakatan Paris.

Upaya yang bisa pemerintah lakukan dalam mengurangi emisi di ketenagalistrikan ialah dengan meningkatkan bauran listrik dari pembangkit berbasis energi terbarukan, menghentikan (moratorium) pembangunan PLTU baru, melakukan retrofit PLTU yang beroperasi, dan memberhentikan secara berkala (phase out) PLTU.

Agar kebutuhan energi dalam negeri terpenuhi, IESR merekomendasikan pemerintah untuk menaikkan kapasitas terpasang energi terbarukan dari 100 MW di tahun 2019, menjadi 23,7 GW di 2025 dan 407,9 GW di 2050. Tentu saja dalam perjalanannya, proses transisi energi di ketenagalistrikan ini membawa dampak pada penurunan permintaan batubara. Akibatnya, daerah penghasil batubara seperti Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Paser, Balangan dan Muara Enim akan menghadapi gejolak ekonomi yang serius.

“Provinsi harus segera bersiap untuk mendiversifikasikan struktur ekonominya yang tadinya bergantung terhadap industri batubara menuju sumber ekonomi baru. Selain itu pemerintah pusat dan daerah perlu pula mengantisipasi 100 ribu pekerja langsung di industri batubara, yang berpotensi kehilangan pekerjaan di masa depan,”ujar Jannata.

Ia melanjutkan bahwa pembangunan clean coal technology juga bukan merupakan opsi ramah lingkungan sedangkan pemanfaatan teknologi CCS membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi stranded asset (aset terbengkalai) dalam proses transisi energi.

Sementara di bidang transportasi, dekarbonisasi dapat terjadi dengan melakukan elektrifikasi pada moda transportasi penumpang, dan menggunakan bahan bakar sintetis atau nabati untuk moda transportasi yang sulit dielektrifikasi.

Jannata menekankan bahwa transisi akan berjalan optimal bila pemerintah segera bersinergi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk merumuskan peta jalan dan arah transisi energi yang jelas.

Menanggapi pemaparan IESR, Didi Setiarto melihat persoalan energi berkaitan erat dengan daya beli dan keekonomian.

“Sistem energi kita ini dibangun dengan rezim subsidi, dan pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa energi harus murah. Jadi bila ingin memperkenalkan energi baru kepada masyarakat, diperlukan analisis yang mendalam di pasar terkait harga energi,”ungkapnya.

Menyangkut target RUEN yang diproyeksi tidak tercapai, Didi menganggap bahwa RUEN hanyalah pedoman yang tidak mengikat, sehingga sangat fleksibel untuk dikaji ulang. Masalah lainnya, seringkali kebijakan mengenai energi yang presiden keluarkan tidak sejalan dengan peraturan menteri. Ia mengambil contoh Permen ESDM no. 50 tahun 2017 yang malah membatasi investasi di energi baru terbarukan. Menurutnya untuk menyukseskan transisi energi perlu ada instrumen yang lebih operasional, mandatory dan tidak berlawanan dengan kebijakan di bawahnya.

“Kalau kita mau seriusin (transisi energi) Perpres no.22 tahun 2016 dan RUEN bisa di reform,”usul Didi.

Dari sudut pandang pengusaha listrik swasta, Andrian berpendapat bahwa transisi energi merupakan suatu perubahan yang sudah disadari dan tidak terelakkan.  

“Dari definisinya saja, non-renewable energi berarti akan habis. Habis dalam artian tidak ekonomis. Saat ini saja membangun PLTU menjadi sangat sulit karena pemasok PLTU sudah tidak ada dan tidak ada dukungan finansial. Jadi sebenarnya moratorium PLTU itu nantinya bukan suatu keputusan politik, tapi realitas ekonomi,” ujarnya sambil tertawa.

Menurutnya, hal yang terpenting dari transisi energi adalah memanajemen transisi energi itu sendiri. Pihak swasta sepertinya membutuhkan pemerintah untuk memberikan kepastian hukum, terobosan kebijakan dan perhargaan terhadap kontrak atau kesepakatan yang sudah ditandatangani, terutama yang berkaitan dengan pengembangan energi terbarukan.

Membandingkan pencapaian Indonesia dengan negara lain di Asia Tenggara, seperti Vietnam dalam hal pengembangan energi terbarukan, Tata Mustasya mengatakan bahwa Indonesia jauh tertinggal. Vietnam kini sudah berhasil membangun kapasitas listrik terbarukan sebesar 5 GW sementara Indonesia masih di angka 200 MW.

“Presiden harus menunjukkan kepemimpinannya agar masalah (ketidakserasian) regulasi dan institusi tentang energi terbarukan bisa teratasi. Untuk menyukseskan proses transisi energi setiap stakeholder harus memiliki shared value yang sama, target yang ambisius, fase yang tertata, dan mempunyai benchmark dengan negara lain di Asia Tenggara,”tuturnya.

Di lain pihak, Gumilang Dewi menyoroti perlunya memasukkan bahasan jejak karbon (carbon print) dalam kajian transisi energi.  Hal ini akan membantu Indonesia dalam memberdayakan sumber energi terbarukan yang rendah emisi.

“Kita harus memilih teknologi yang tepat. Sebaiknya teknologi tersebut diproduksi di dalam negeri sehingga memiliki jejak karbon yang rendah bila dibanding harus membeli dari Cina,” imbuhnya.

Selain itu, ia juga memandang perlu untuk mengkaji limbah teknologi energi terbarukan. Gumilang memberi contoh dalam hal penggunaan solar photovoltaic (PV), berarti harus juga memikirkan limbah baterai dan panel suryanya.

Mendengar penjelasan dan harapan para panelis, Didi mengungkapkan bahwa komitmen presiden untuk elektrifikasi transportasi sudah jelas tercantum dalam Perpres no. 55 tahun 2018. Sementara di bidang ketenagalistrikan, pembahasan rancangan Perpres masih di kementerian hukum dan HAM sebelum ditandatangani.

“Implementasi transisi energi sebaiknya terukur dan bertransformasi secara berkala. Kami juga akan mengundang kawan-kawan untuk menyusun pola (transisi energi) yang rasional dan bisa dilaksanakan,” janji Didi.