Terobosan Kebijakan Akan Percepat Lepas Landas Transisi Energi Indonesia

press release

Jakarta, 15 Desember 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai transisi energi di 2023 dalam kondisi menggeliat dan dalam persiapan untuk lepas landas, jika pemerintah mampu mendorong penciptaan kondisi pendukungnya. 

IESR membahas secara komprehensif perkembangan transisi energi dan peluang dalam mempercepat transisi energi di Indonesia pada laporan utamanya Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024. 

Laporan IETO 2024 menemukan bahwa walaupun terdapat target dan komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi dan target  yang lebih tinggi  untuk mitigasi emisi gas rumah kaca, pasokan energi fossil masih mendominasi. Di sektor ketenagalistrikan. jumlah total kapasitas PLTU batubara on grid dan captive coal plant sekitar 44 GW dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 73 GW pada 2030. Hal ini akan meningkatkan emisi GRK menjadi sekitar 414 juta ton setara karbondioksida (MtCO2e) pada 2030. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan bahwa pemerintah harus mau membatasi  izin pengembangan PLTU captive setelah 2025 dan memandatkan pemilik kawasan industri   untuk mengoptimalkan  pemanfaatan energi terbarukan dan menurunkan emisi dari PLTU yang telah beroperasi sesuai dengan target peak emission sektor kelistrikan di 2030 dan net-zero emission di 2060 atau lebih awal.

IETO mencatat  tidak terdapat kenaikan yang signifikan untuk kapasitas energi terbarukan dan kontribusi pada bauran energi terbarukan. Pemanfaatan energi terbarukan yang hanya mencapai 1 GW pada 2023 dari target RUPTL 2021-2030 yang menetapkan 3,4 GW pada periode yang sama.

Fabby menjelaskan agar transisi energi dapat berjalan cepat maka perlu adanya kesamaan visi transisi energi yang hemat biaya (cost effective) oleh presiden dan pembuat kebijakan kunci di Indonesia. Kesamaan visi akan menentukan keberlanjutan komitmen politik dan peta jalan yang optimal.

Selain itu, ia juga menyoroti lambatnya transisi energi di Indonesia disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan politik, kurangnya kapasitas aktor, dan beban kebijakan masa lalu. Untuk itu, ia menekankan perlunya ‘no regret policy’ atau kebijakan yang sudah dipastikan akan memberikan manfaat sosial ekonomi menyeluruh, terlepas dari perubahan yang mungkin terjadi, dan reformasi anggaran publik dan reformasi PLN untuk mempercepat  proses transisi energi. 

“Indonesia perlu peta jalan yang koheren untuk mencapai NZE 2060 atau lebih cepat. Saat ini baru sektor kelistrikan yang paling banyak kemajuannya, sektor transportasi dan industri masih berada di tahap awal. Pemerintah perlu pula melibatkan masyarakat agar tercipta transisi yang adil. Dengan nilai dan sejarah bangsa Indonesia, transisi energi harusnya dapat dilakukan dengan gotong-royong,” tandasnya.

Komitmen politik pemerintah untuk transisi energi telah mendorong meningkatnya komitmen pendanaan bilateral dan multilateral untuk proyek energi terbarukan. Walaupun demikian, IETO 2024 mencatat target investasi energi terbarukan jauh dari target yang dicanangkan. Salah satunya dikarenakan rendahnya investasi ini terjadi karena minimnya bankable project dan persepsi risiko investor karena kualitas kebijakan dan regulasi yang belum memenuhi kebutuhan investor dan pelaku usaha. Namun, ini belum mampu mendongkrak pemanfaatan energi terbarukan yang hanya mencapai 1 GW pada 2023. 

IESR memandang agar dapat menarik minat investasi, perlu dilakukan tinjauan ulang review atas kebijakan harga tertinggi energi terbarukan di Perpres No. 112/2022 sesuai dengan perkembangan teknologi dan tingkat suku bunga pendanaan, yang diikuti dan dengan reformasi lainnya untuk mendorong pengembangan proyek energi terbarukan bankable dan menguntungkan bagi investor. Upaya menarik investor dapat dilakukan dengan memperbaiki struktur tarif dan memastikan profil risiko-imbalan (risk-reward) yang adil bagi para mitra produsen listrik swasta serta mempertimbangkan skema power wheeling.

“Selain kolaborasi yang solid antara PLN, regulator, pengembang proyek, dan pemberi dan, baik itu swasta maupun pemerintah, diperlukan untuk menyiapkan rangkaian proyek yang kokoh dan meningkatkan proyek-proyek yang layak untuk pendanaan,” jelas His Muhammad Bintang, Analis Teknologi Penyimpanan Energi dan Materi Baterai IESR, yang juga merupakan penulis IETO.

Di sisi transportasi, peningkatan adopsi kendaraan listrik mengalami kenaikan sebesar 2,4 kali lipat untuk sepeda motor listrik pada 2023, dari 25.782 unit di 2022 menjadi 62.815 di September 2023.

“Meskipun insentif dan bantuan pemerintah untuk mengadopsi kendaraan listrik bagi publik, akan tetapi ada masalah – masalah lain yang menjadi halangan untuk mengadopsi kendaraan listrik. Misalnya, di sisi kendaraan roda dua ada keterbatasan jarak tempuh, dan keterbatasan performa dibandingkan dengan kendaraan roda dua berbasis BBM, sedangkan di sisi kendaraan roda empat ada harga kendaraan mobil listrik yang lebih tinggi, keterbatasan tipe kendaraan, serta kurang menjamurnya SPKLU,” jelas Faris Adnan Padhilah, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR.

Di lain sisi, pemerintah daerah di Indonesia tengah menghadapi tantangan untuk menyelesaikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan mengimplementasikannya untuk memenuhi target energi terbarukan. Adanya peraturan terbaru Perpres No. 11/2023 memperluas kewenangan pemerintah daerah dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, salah satu tantangan implementasinya adalah  anggaran pemerintah daerah yang terbatas, sehingga perlu diseimbangkan dengan prioritas lainnya.

“Selain perluasan kewenangan, pemerintah provinsi juga perlu untuk melakukan perincian peraturan rencana energi daerah ke dalam berbagai instrumen dan skema terukur, misalnya prioritas alokasi keuangan daerah untuk energi terbarukan dan aturan spesifik untuk dekarbonisasi berbagai sektor (transportasi dan bangunan) di daerah. Selain itu, dengan sedang berlangsungnya revisi dokumen rencana umum energi nasional (RUEN), pemerintah daerah perlu melakukan pembaruan RUED provinsi ke depannya agar lebih mencerminkan ambisi-ambisi daerah dalam transisi energi dan mengintegrasikan target energi terbarukan yang lebih ambisius,” ujar Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Informasi untuk media

Status Transisi Energi di Indonesia tahun 2023

  • IESR menilai kesiapan transisi energi Indonesia 2023 tidak mengalami perubahan dari 2022. Dari delapan variabel yang diukur,  yang mendapat nilai paling rendah adalah kemauan dan komitmen politik yang belum selaras dengan kebutuhan mitigasi gas rumah kaca sesuai dengan peta jalan 1,5 C. 
  • Kebijakan energi Indonesia saat ini belum memadai untuk menekan emisi gas rumah kaca, hanya akan menurunkan 20 persen proyeksi emisi di 2030, dan akan terus meningkat hingga tahun 2060.
  • Perkembangan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan berjalan lambat ditandai dengan total tambahan kapasitas terpasang hanya 1 GW sampai 2023, jauh dari target yang ditetapkan sejak tahun 2021 sebesar 3,4 GW
  • Produksi batubara semakin meningkat. Hingga akhir Oktober 2023, produksi batubara telah berada pada 619 Mt, dan diperkirakan akan melampaui 700 Mt pada tahun 2023, melebih target pemerintah pada 2023 sebesar 695 Mt. 
  • Kebijakan pemerintah Indonesia masih berpihak pada industri fosil. Pemutakhiran Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) tidak mencantumkan opsi untuk menghentikan PLTU batubara secara dini meskipun opsi tersebut secara ekonomi layak dan menguntungkan.
  • Untuk bahan bakar rendah karbon, pengembangan hidrogen hijau semakin diminati. Terdapat 32 proyek hidrogen hijau yang sedang berjalan, meski sebagian besar dalam tahap pengembangan awal.
  • Dari sisi transportasi, sepeda motor menjadi penghasil emisi terbesar pada 2022, yaitu sebesar 36% (54 MtCO2e) dari total emisi transportasi
  • Adopsi kendaraan listrik melonjak signifikan pada 2023. Adopsi mobil listrik meningkat 2,3 kali lipat dari 7.679 unit pada 2022 menjadi 18.300 unit pada September 2023. Sementara motor listrik meningkat 2,4 kali lipat dari 25.782 unit di 2022 menjadi 62.815 di September 2023
  • Pada kuartal kedua 2023, kapasitas terpasang dari PLTS atap kumulatif hanya mencapai 100 MW, jauh di bawah target yang seharusnya mencapai 900 MW pada tahun 2023. Pertumbuhan PLTS atap lambat terutama terjadi penurunan adopsi PLTS di sektor perumahan dan bisnis, masing-masing sebesar 20% dan 6%.
  • Pada tahun 2023, tujuh provinsi telah melampaui target energi terbarukan tahun 2025 yaitu Sumatera Utara, Sumsel, Bangka Belitung, Jawa Barat, Gorontalo, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Sementara 31 provinsi lainnya masih terhadang kemampuan fiskal dan kebijakan pusat untuk mencapai target bauran energi terbarukan daerah.
  • Total pendanaan di sektor energi baru dan terbarukan mencapai USD 1,7 miliar selama kuartal satu 2022 hingga kuartal tiga 2023. Komitmen pendanaan tersebut umumnya berfokus pada persiapan proyek efisiensi energi dan pengembangan energi terbarukan. Perpres 112/2022 telah meningkatkan komitmen pendanaan untuk energi terbarukan.
  • Diluncurkan pada September 2023, bursa karbon mencatatkan transaksi sebesar Rp29,2 miliar. Namun, setelah pembukaan tersebut, transaksi bursa karbon sepi peminat. Hingga akhir Oktober 2023, total transaksi hanya meningkat sebesar Rp200 juta.

 

Peluang dan Proyeksi Transisi Energi di Indonesia tahun 2024

  • Peluang peningkatan komitmen pemerintah terhadap transisi energi akan terlihat dari hasil pemutakhiran Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang akan menguraikan target dekarbonisasi di sektor energi, dan diikuti dengan menerbitkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
  • Pemerintah telah mengeluarkan PP No. 33/2023 tentang Konservasi Energi. Penerapan PP ini harus bersifat mengikat dan dikontrol secara mandatori sehingga dapat mendorong penurunan emisi yang signifikan di sektor bangunan.
  • Kementerian Perindustrian berencana untuk membuat peta jalan dekarbonisasi pada tahun 2023 dan 2024 terhadap sembilan sektor industri penghasil emisi energi tinggi beserta insentif untuk transisi energi. Langkah ini dapat menjadi kesempatan untuk membangun industri yang lebih hijau.
  • Rendahnya capaian energi terbarukan pada 2023 merupakan dampak dari penundaan berbagai proyek PLTA dan PLTP seperti PLTA Batang Toru, PLTP Baturaden, PLTP Rajabasa. Pemerintah perlu mendukung keberlangsungan proyek ini dengan meminimalkan risiko persiapan proyek.
  • Adopsi kendaraan listrik meningkat, namun masih ada kecemasan jarak tempuh (range anxiety). Hal ini perlu segera diatasi, di antaranya dengan meningkatkan jumlah infrastruktur pengisian daya melalui pemberian insentif.
  • Peraturan terbaru Perpres No. 11/2023 memperluas kewenangan pemerintah daerah dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, adanya wewenang tambahan untuk pengembangan energi terbarukan di daerah dihadapkan dengan keterbatasan anggaran daerah, sehingga akan membutuhkan dukungan tambahan dari pemerintah nasional.

IESR Memberikan Advokasi dan Terlibat dalam Penyusunan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Jawa Tengah

Semarang, 2 November 2023 – Indonesia telah meratifikasi komitmennya dalam Paris Agreement yang termaktub dalam UU. No. 16/2016. Sebagai negara peratifikasi, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan yang tertuang dan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Berdasarkan dokumen kebijakan tersebut, Indonesia menargetkan 23% energi terbarukan pada tahun 2025 dalam bauran energi nasional. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah daerah dimandatkan untuk memiliki Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sebagai turunan dari RUEN. Namun demikian, untuk tetap sejalan dengan target dalam Paris Agreement, penetrasi energi terbarukan harus lebih ditingkatkan lagi.

Sebagai acuan untuk menyusun RUED, dokumen RUEN telah disusun pada 2017 silam menggunakan ketersediaan data hingga tahun 2015 diantaranya data sosio-ekonomi, energi, dan lingkungan. Data-data tersebut diproyeksikan hingga 2050 dengan mempertimbangkan kebijakan yang ada kala itu. Namun demikian, melihat data-data ril dari indikator-indikator tersebut hingga tahun 2022, terlihat jelas bahwa terdapat ketidaksesuaian antara data proyeksi RUEN yang ada dengan perkembangan yang sebenarnya. Selain itu, terdapat banyak pengembangan kebijakan baru sejak 2017-2022 yang dapat memberikan perubahan signifikan pada lansekap energi dan pengembangan kedepannya, secara khusus di Jawa Tengah.

Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi energi terbarukan yang besar untuk mewujudkan target bauran energi terbarukan yang lebih ambisius dalam dokumen RUED-nya. Peta jalan menuju target ambisius tersebut harus didukung dengan perencanaan energi daerah yang memadai untuk mengarahkan pengembangan energi ke arah yang benar. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) sebagai mitra kerjasama Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 2019 terkait pengembangan energi terbarukan melalui transisi energi turut ikut terlibat di dalam perencanaan dan penyusunan RUED Jawa Tengah. IESR membantu memberikan advokasi berbasis fakta dalam mengkaji eksisting RUED di Jawa Tengah serta memproyeksikan bagaimana perkembangan teknologi yang ada saat ini dan pengembangan kebijakan energi (baik di tingkat global dan nasional) akan berdampak pada pengembangan sistem energi masa depan. 

Sarworini, selaku Analis Kebijakan Ahli Madya Biro Infrastruktur dan Sumber Daya Alam (ISDA), Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah menyampaikan bahwa Pemprov Jawa Tengah optimis dalam peningkatan dan perubahan RUED yang dilakukan agar dapat mencapai target bauran energi terbarukan sesuai dengan skenario terbaik hingga tahun 2050. 

“Kami juga telah mengirim surat kepada Bupati/Walikota, OPD Kabupaten/Kota dan BUMD se- Jawa Tengah untuk melaksanakan Konservasi Energi. Melalui surat tersebut, kami mohon apabila dapat dilakukan oleh masing-masing OPD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota, menghimbau mereka agar bisa menyediakan anggaran untuk melaksanakan konservasi energi, jika ini dapat dilaksanakan, kami optimis kami dapat menaikkan dari target yang telah disampaikan tadi” jelas Rini. 

Rini menekankan, banyak investor yang telah masuk di Jawa Tengah untuk penanganan sampah menjadi energi, misalnya saja di Solo. Kemudian, beberapa waktu lalu, Pemprov Jawa Tengah juga telah melakukan sosialisasi motor listriK, yang mendapat semangat dari masyarakat yang cukup tinggi. Namun demikian, kata Rini, Pemprov Jawa Tengah masih perlu dukungan sosialisasi motor listrik karena masih ada masyarakat yang berpikiran negatif terkait bagaimana jika motor rusak dan ketersediaan bengkel kendaraan listrik di Jawa Tengah belum banyak.

Berdasarkan laporan awal review RUED yang telah dilakukan, rencananya akan dilakukan forum diskusi lanjutan antara IESR dan stakeholder Jawa Tengah untuk membahas lebih lanjut rekomendasi kebijakan dan rencana aksi dari hasil temuan pemodelan RUED untuk mencapai target bauran energi nasional.

Transisi Energi Daerah sebagai Akselerasi Transisi Energi Nasional untuk Mengurangi Emisi Karbon

Jakarta, June 2023 – Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati pada tanggal 5 Juni setiap tahunnya. Peringatan ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga dan merawat lingkungan. Namun, kondisi lingkungan saat ini menunjukkan situasi yang semakin memburuk. Hal ini terlihat dari meningkatnya suhu di Bumi yang berpotensi mempercepat perubahan iklim. Kenaikan suhu terutama disebabkan oleh akumulasi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida. Emisi karbon dioksida telah meningkat sekitar 1,3%  per tahun selama lima tahun terakhir. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk mengurangi emisi tersebut, dan salah satu pendekatan kuncinya adalah mendorong transisi energi.

Bagaimana Transisi Energi Berkontribusi untuk Mengurangi Emisi Karbon Dioksida?

Transisi energi melibatkan peralihan dari penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara, minyak, dan gas, ke pemanfaatan sumber energi terbarukan seperti angin, matahari, atau tenaga air. Dengan demikian, emisi karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca utama, dapat dikurangi secara signifikan. Saat ini, sekitar 73% emisi dihasilkan oleh sektor energi yang sangat bergantung pada energi fosil. Beralih ke energi terbarukan yang notabene tidak menghasilkan emisi karbon dapat memperbaiki lingkungan secara signifikan. Bahkan, mengadopsi energi terbarukan pada masa  transisi energi berpotensi mengurangi emisi karbondioksida hingga 75%. Selain itu, sebagai bagian dari transisi energi, sangat penting untuk membatalkan proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru (PLTU) dan secara proaktif menghentikan PLTU yang ada. Menerapkan langkah-langkah transisi energi ini dapat memainkan peran penting dalam mengurangi emisi karbon dioksida dan harus diprioritaskan.

Mengapa Upaya Transisi Energi Daerah Dapat Mempercepat Pencapaian Tujuan Transisi Energi?

Percepatan pengurangan emisi karbon memerlukan percepatan proses transisi energi. Salah satu pendekatan yang efektif adalah berfokus pada upaya transisi energi daerah. Prakarsa transisi energi di tingkat daerah dapat berkontribusi pada transisi energi nasional yang lebih aktif dan meluas. Penelitian yang dilakukan oleh Cowell pada tahun 2016 menunjukkan bahwa tindakan transisi energi daerah yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah dapat membentuk transisi energi nasional secara keseluruhan. Pemerintah daerah memiliki pengaruh untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan. Setiap wilayah memiliki sumber energi terbarukan yang unik dan kondisi yang berbeda-beda, sehingga memerlukan strategi pengelolaan yang disesuaikan. Pemerintah daerah dapat mengidentifikasi dan memprioritaskan potensi kekuatan daerahnya, yang mengarah pada pengembangan kebijakan khusus yang mengatasi tantangan transisi energi terbarukan. Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah ini dapat menarik bisnis dengan fokus pada energi terbarukan, sehingga mendorong kemajuan teknologi dan memfasilitasi implementasi proyek energi terbarukan di daerah tersebut. Melibatkan pemimpin lokal juga dapat meningkatkan dukungan dan kerja sama masyarakat untuk transisi energi.

Indonesia adalah salah satu negara yang aktif melakukan transisi energi daerah. Pemerintah daerah di Indonesia telah mulai merancang Rancangan Umum Energi Daerah (RUED), suatu kerangka kebijakan yang bertujuan untuk mempercepat transisi energi daerah dan selanjutnya berkontribusi pada transisi energi nasional. RUED memastikan ketersediaan sumber energi terbarukan di tingkat daerah. Hingga 7 Juni 2023, 30 provinsi telah menetapkan RUED. Beberapa provinsi yang aktif mempromosikan transisi energi di daerahnya adalah Jawa Tengah. Gubernur Jawa Tengah telah mengeluarkan surat edaran gubernur, serta berbagai inisiatif untuk meningkatkan transisi energi. Terlihat hingga triwulan ke-2 tahun 2022, Jawa Tengah telah memasang solar PV mencapai 22 MWp yang berperan dalam transisi energi nasional. Senada dengan itu, Pemprov Bali juga telah menerbitkan surat edaran untuk mendukung pemanfaatan energi terbarukan, seperti Peraturan Gubernur (Pergub) yakni Pergub No.15 Tahun 2019 dan Pergub No.48 Tahun 2019. Pemprov Bali juga berinisiatif mewujudkan netralitas karbon pada tahun 2045, lebih cepat dari target nasional. Inisiatif ini dikenal dengan Bali Net Zero Emission 2045.

Upaya transisi energi daerah ini diharapkan dapat mempercepat realisasi transisi energi nasional. Dengan mengakumulasi kemajuan yang dicapai di tingkat daerah, pelaksanaan transisi energi nasional dapat dipercepat dan dioptimalkan.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Foto oleh Pete Alexopoulos di Unsplash

Menelisik Komitmen Energi Nasional dan Daerah dalam Upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Indonesia telah memiliki komitmen iklim untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sesuai Paris Agreement dan tertuang dalam NDC (nationally determined contribution). Perencanaan nasional yang selaras dengan komitmen tersebut juga telah disusun Bappenas melalui strategi pembangunan rendah karbon (low-carbon development initiative) yang diluncurkan pada 2019 lalu. Untuk menggali peran pemerintah nasional dan daerah untuk mendorong perencanaan energi berorientasi iklim yang lebih ambisius, pada 13 Mei 2020, IESR bersama ICLEI Indonesia mengadakan diskusi panel dengan mengundang delapan narasumber yang memiliki peran strategis di sektor publik.

Kedelapan narasumber yang diundang adalah Sugeng Mujiyanto, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Dewan Energi Nasional; Yulia Suryanti dari Sub-Direktorat Pemantauan Pelaksanaan Mitigasi, KLHK  mewakili Ruandha Agung S. selaku Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK; Niken Arumdati, Kepala Seksi Pengembangan EBT, Dinas ESDM, Pemprov NTB; Ida Bagus Setiawan, Kepala Seksi Ketenagalistrikan, Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Pemprov Bali; Sherly Sicilia Wila Huky, Kepala Sub-Bidang Pertanian dan SDA, Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Pemprov NTT; Retno Gumilang Dewi, Kepala Pusat Kebijakan Keenergian, ITB; Saladin Islami, Project Officer 100% RE, ICLEI Indonesia dan Erina Mursanti, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR.

Dalam sambutannya, Ari Mochamad, Direktur Eksekutif ICLEI Indonesia menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 memicu turunnya emisi karbondioksida global dan di Indonesia. Hal ini menjadi sebuah momentum besar bagi Indonesia untuk memprioritaskan energi bersih dalam pemulihan ekonomi. Ari berharap bahwa diskusi panel ini bisa memberikan pencerahan dan terobosan dalam memasuki masa new normal dalam setiap aspek, khususnya aspek pemanfaatan penggunaan energi dalam kehidupan sehari-hari. 

Di sesi pertama, Sugeng Mujiyanto menjelaskan bahwa visi pengelolaan energi saat ini telah berubah ke pengelolaan energi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan dengan memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi dalam rangka mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Visi tersebut tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional, yang juga menargetkan penurunan emisi hingga 41% pada 2030 dan 58% pada tahun 2050. Menurut Sugeng, pencapaian yang diperoleh Indonesia atas upaya mitigasi emisi sektor energi pada tahun 2019 patut diapresiasi. Dalam aspek efisiensi energi, Indonesia sudah lebih efisien hingga 25%, penggunaan bahan bakar rendah kalori sebesar 14%, penggunaan teknologi pembangkit bersih sebesar 7%, juga mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 54.852.260 ton.

Pencapaian lain yang dialami oleh Indonesia juga diutarakan oleh Yulia Suryanti. Pada tahun 2018, capaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor energi mencapai  sekitar 8,3 juta ton CO2eq.  Yulia Susanti menambahkan contoh aksi nyata untuk mitigasi skala nasional, di antaranya adalah pemanfaatan biogas skala kecil, penyediaan dan pengelolaan EBT pada pembangkit listrik skala kecil, penggunaan tenaga surya di sektor publik, rumah tangga dan penerangan jalan umum, serta inisiatif green building di kota.

Erina Mursanti menjelaskan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kelangkaan air, kekeringan yang parah, cuaca yang terik dan bencana-bencana lain seperti kebakaran lahan dan hutan.  Hal ini karena dipengaruhi oleh perubahan iklim yang sebenarnya juga berkaitan dengan bencana alam yang terjadi. Menurut analisa Climate Action Tracker, target NDC Indonesia yang berada dalam dokumen NDC itu masih dalam skenario kenaikan temperatur 3°C, di mana harusnya Indonesia berada pada jalur kompatibel 1,5°C. Indonesia memiliki potensi banjir lima kali lipat lebih parang dan lebih sering pada kenaikan temperatur 3°C dibanding 1,5°C.

Erina Mursanti juga mengingatkan bahwa Indonesia memiliki instrumen konkret yang jika dioptimalkan akan mampu menurunkan emisi. Potensi mitigasi yang bisa dioptimalkan yaitu moratorium PLTU baru dan penonaktifan PLTU berdasarkan usia operasi, penggantian pembangkit listrik termal dengan pembangkit energi terbarukan, peningkatan bauran energi terbarukan secara optimal di sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali dan Sumatera tanpa mengurangi keandalan sistem, peningkatan fuel economy pada kendaraan bermotor (mobil dan motor) sesuai dengan standar GFEI, peningkatan pemanfaatan electric vehicle (EV), serta peningkatan efisiensi energi dari penerangan dan peralatan rumah tangga.

Upaya penurunan emisi yang terintegrasi dalam perencanaan energi juga sudah dilakukan dalam skala lokal. Dalam sesi kedua, perwakilan dari pemerintah daerah memaparkan peran daerah dan kontribusi mereka untuk pencapaian target iklim yang lebih ambisius. Niken Arumdati mengatakan bahwa Pemda NTB sudah mengenali pembangunan berkelanjutan dan mengimplementasikannya dalam berbagai kebijakan yang dibuat. Dalam pelaksanaannya, menurut Niken, Pemda NTB masih menemui sejumlah tantangan seperti harmonisasi RUED-P dengan dokumen lainnya, konsistensi perencanaan, pengimplementasian program sesuai dengan kemampuan fiskal daerah dan momentum politik.

Niken menjelaskan juga Pemda NTB sudah membentuk tim koordinasi lintas instansi dalam implementasi RUED-P, menyusun rencana detail implementasi RUED-P, dan harmonisasi dengan dokumentasi perencanaan yang lain, menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kerajaan Denmark, membuat studi detail perencanaan energi, dan mengupayakan pendanaan selain dari APBN dan APBD.

Ida Bagus Setiawan dari Pemda Bali menjelaskan bahwa saat ini RUED Bali masih diproses di badan legislatif. Di sisi lain, Gubernur Bali telah mengeluarkan peraturan Gubernur Bali Energi Bersih dan pengembangan kendaraan listrik, untuk mempercepat implementasi visi Bali sebagai daerah berwawasan berkelanjutan. Gubernur Bali juga menugaskan dinas terkait untuk melakukan percepatan penyiapan dokumen RUKD Bali 2019-2039 untuk memenuhi cita-cita mandiri energi dengan mendorong energi bersih dan menurunkan emisi. Pemda Bali sendiri sudah menghentikan pembangunan pembangkit baru yang tidak berbasis energi bersih di Bali.

Lain halnya dengan Pemda Bali, Pemda NTT sudah memiliki RUED yang diproses sejak 2017 dan telah diresmikan dengan perda pada 2019. Sherly Sicilia Wila Huky menyatakan bahwa Pemda NTT memiliki cukup banyak tantangan untuk perencanaan energi yang berorientasi iklim, di antaranya tingkat ketergantungan energi fosil yang masih tinggi, akses dan infrastruktur energi terbatas, belum adanya regulasi yang mengatur pengelolaan energi, pengelolaan potensi EBT yang belum optimal, dan keterbatasan sumber daya untuk melakukan riset dan inovasi. Pemda NTT sendiri memiliki target pemanfaatan EBT 24% pada tahun 2025 dan 39% pada tahun 2050, dengan menjalankan beberapa strategi: meningkatkan eksplorasi pemanfaatan EBT sebagai energi alternatif, penguatan kelembagaan lokal dengan mengaktifkan BUMDes (badan usaha milik desa) sebagai lembaga yang mengelola pemanfaatan EBT di tingkat desa, kebijakan konservasi energi, dan kolaborasi pembangunan energi.

Retno Gumilang Dewi dari ITB melihat bahwa dalam masa pandemi Covid-19, anggaran pembangunan banyak difokuskan untuk menanggulangi dampaknya. Meski demikian, pembatasan aktivitas dan mobilitas selama pandemi juga berkontribusi pada penurunan emisi karbon. Dalam sektor transportasi misalnya, konsumsi BBM menurun secara signifikan. Menurut Retno Gumilang Dewi, ada 3 pilar dekarbonisasi, yakni energi efisiensi, renewable energy, clean power, dan fuel switching. Retno memberikan usulan kepada pemda untuk membangun smart micro-grid (dalam ukuran kecil) daripada menunggu pembangunan grid besar terpusat. Smart micro-grid dapat digunakan untuk 100% energi terbarukan, seperti biofuel, dengan investasi pengembangan yang murah. Menurut Retno, penggunaan bahan bakar nabati juga perlu dipertimbangkan karena target EBT 23% di 2025 juga mencakup BBN.

Saladin Islami dari ICLEI Indonesia mengapresiasi 16 provinsi yang sudah memiliki RUED (Rencana Umum Energi Daerah). Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dengan keunikan tiap-tiap daerah, namun sayangnya kapasitas terpasang pembangkit EBT masih rendah dan didominasi oleh PLTA dan PLTP dengan tingkat teknologi yang cukup matang. Saladin memaparkan tantangan utama pengembangan energi terbarukan, yakni finansial, teknis, dan kebijakan. Isu finansial menjadi isu yang dominan dalam pengembangan EBT di Indonesia, termasuk di dalamnya pasar, tarif, dan biaya. Tarif berkaitan dengan power purchase agreement dan biaya pokok penyediaan energi, sedangkan biaya energi menjadi tantangan karena perlu mempertimbangkan affordability dari berbagai lapisan masyarakat. Dari segi kebijakan, banyak pemerintah daerah kesulitan menerjemahkan strategi prioritas dalam program pembangunan karena kebijakan yang sering berganti-ganti. Sumber daya manusia di daerah juga menjadi tantangan pengembangkan EBT, termasuk di dalamnya kesiapan teknis dan strategi keberlanjutan.

Menurut Saladin, pemerintah harus membuat rencana strategi yang terarah, dengan melakukan inventarisasi data energi dan emisi GRK, menyesuaikan pemanfaatan energi terbarukan dan kegiatan konservasi energi dengan prioritas pembangunan daerah, misalnya pemanfaatan sektor pariwisata, pertambangan, dan remote area, memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan dengan memanfaatkan potensi daerah sesuai kearifan lokal seperti pemanfaatan sampah rumah tangga dan biogas khususnya di daerah peternakan, serta melibatkan lembaga pendidikan di daerah untuk melakukan penelitian dan pelatihan dalam bidang energi terbarukan, konservasi energi dan perubahan iklim. Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan kader-kader baru untuk membangun daerahnya masing-masing.

Rekaman diskusi ini dapat disaksikan melalui tautan berikut: