Aspirasi Kelompok Masyarakat untuk RUU EBET

Jakarta, 19 Mei 2022 – Dekarbonisasi sektor energi sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di Indonesia perlu dilakukan untuk mencapai target netral karbon di tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, Indonesia seharusnya menyiapkan kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan. Namun, mencermati Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang telah memasuki tahap harmonisasi di DPR RI, berbagai organisasi yang mewakili kelompok masyarakat tertentu menilai draf RUU EBET menyimpang dari tujuannya untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang berkelanjutan.

Institute for Essential Services Reform (IESR), Bersihkan Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Adidaya Initiative, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengadakan diskusi dan konferensi pers untuk menyampaikan aspirasinya terhadap RUU EBET tersebut.

IESR menyoroti kerancuan RUU EBET yang mencampuradukkan energi fosil, nuklir dan energi terbarukan dalam satu undang-undang. Menurut IESR, sumber energi baru yang merupakan produk hilirisasi batubara dan PLTN ini akan  memperbesar potensi aset terbengkalai serta tidak signifikan menekan emisi gas rumah kaca (GRK).

“RUU ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan status quo, yaitu industri batubara dan nuklir, yang menyelinap masuk menggunakan definisi energi baru.  Implikasinya RUU ini tidak fokus mengembangkan energi terbarukan yang sebenarnya butuh dorongan politik dan kerangka regulasi yang lebih kuat sehingga dapat berkembang cepat, mendukung cita-cita transisi energi,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Senada, Ahmad Ashov Birry, Koordinator Bersihkan Indonesia (BI) mendorong DPR RI untuk menyiapkan kebijakan yang secara jelas mendukung energi terbarukan.

“Alih-alih, RUU EBET yang diklaim mendukung energi terbarukan malah terang-terangan mengaburkan masa depan energi terbarukan yang mungkin bagi Indonesia, dengan memberi jalan bagi energi fosil dan berbahaya lainnya untuk diasosiasikan sebagai energi terbarukan. Ini dapat menjadi sinyal yang tak jelas bagi komunitas internasional yang ingin bersolidaritas mendukung Indonesia untuk bertransisi. Masih ada kesempatan untuk perubahan, dan langkah perubahan itu harus berani diambil pemerintah,” ungkap Ahmad.

Co-founder Adidaya Initiative, Aji Said Iqbal Fajri menyampaikan tiga pokok desakan bagi komisi VII DPR RI.

“Kami meminta agar Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menanggalkan segala bentuk energi tidak terbarukan sebagai sumber energi baru dalam RUU EBET. Kedua, Komisi VII DPR-RI dan pemangku kepentingan terkait untuk meregulasikan insentif bagi penggunaan energi terbarukan dalam rangka mencapai target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Ketiga, Komisi VII DPR-RI dan pemangku kepentingan terkait untuk mempertimbangkan saran saintifik dan aspirasi masyarakat dari berbagai kalangan dalam menyusun RUU EBET sebagai upaya pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan upaya dekarbonisasi di sektor energi dalam rangka mencapai keadilan ekonomi dan lingkungan di Indonesia.”

Menyoal insentif terhadap pengguna energi terbarukan, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuturkan RUU EBET harus mengatur insentif yang signifikan baik fiskal maupun non fiskal bagi konsumen pengguna energi terbarukan. 

“Sedangkan energi yang berasal dari bahan bakar fosil tidak layak untuk diberikan subsidi bahkan perlu dikenakan cukai (disinsentif) karena mempunyai dampak eksternalitas,” jelasnya.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Paul Butarbutar mengatakan keberadaan bahwa RUU EBET ini seharusnya menjadi dasar hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang EBET. 

“RUU ini harusnya fokus ke energi terbarukan, sehingga RUU EBET ini dapat menjadi dasar hukum yang kuat, yang memberikan kepastian hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang energi terbarukan, sebagai bagian dari transisi energi untuk mencapai net-zero emissions secepatnya. Dengan demikian, semua pasal-pasal terkait energi baru, istilah yang tidak dikenal secara internasional, dapat dihapuskan,” jelas Paul.

Sementara itu, ia juga menambahkan jika pemerintah dan industri PLTN bermaksud  untuk mendorong pemanfaatan energi nuklir, maka pemerintah sebaiknya memprioritaskan revisi UU 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Sedangkan jika terkait transisi energi, maka yang perlu dilakukan adalah merevisi UU nomor 30 tahun 2007. 

“Apabila pemerintah ingin mendorong pemanfaatan nuklir untuk pembangkitan, maka sebaiknya pemerintah memprioritaskan revisi UU 10 tahun 1997, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat untuk investasi PLTN. Lagi pula, pemanfaatan PLTN berdasarkan roadmap pemerintah, masih lama, sehingga pemerintah punya waktu yang cukup untuk merevisi UU 10 tahun 1997. Tidak ada urgensi untuk memasukkan nuklir dalam RUU ini. Terkait transisi energi, kurang tepat apabila dimasukkan dalam RUU ini. Yang perlu dilakukan adalah merevisi UU 30 tahun 2007 untuk mengakomodir isu transisi energi, net-zero emission, NDC dan Paris Agreement di sektor energi,” terang Paul.

Membawa aspirasi dari petani dan nelayan, Harmanto, Ketua Departemen Medkominfo Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) menuturkan pihaknya secara tegas menolak pengembangan PLTN. Menurutnya, petani dan nelayan di sekitar PLTN akan menjadi kelompok yang sangat dirugikan dengan pembangunan PLTN, terutama jika terjadi kecelakaan PLTN.

PLTN membutuhkan zona eksklusif yang cukup luas sehingga berpotensi mengambil lahan yang luas seperti kawasan pantai yang luas. Hal ini dapat menggusur tanah petani dan membatasi akses nelayan ke laut. Ini sudah terlihat dari sejumlah pembangunan PLTU besar di pesisir utara Jawa, yang menggusur tanah petani dan membuat akses nelayan ke laut terhambat, demikian juga wilayah tangkap nelayan berubah. Selain itu risiko kecelakaan PLTN tidak nol. Kecelakaan reaktor bisa mengakibatkan kebocoran radiasi yang berdampak pada tanah, air, dan laut. Di Fukushima, limbah air radioaktif dari PLTN Fukushima dibuang ke laut dan membuat orang takut mengkonsumsi ikan,” jelas Harmanto.

Di sisi lain, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka meminta DPR RI untuk lebih memperhatikan suara dan posisi perempuan dalam pembuatan kebijakan energi. Asas kesetaraan dan inklusi sosial harus menjadi perspektif tata kelola energi dari  hulu sampai hilir dalam kebijakan energi yang tengah disusun oleh parlemen dan pemerintah. Pasal partisipasi masyarakat dalam RUU EBET harus memastikan semua elemen masyarakat seperti perempuan, kelompok marjinal lainnya dapat terlibat secara penuh dalam akses energi bersih yang berkelanjutan, dengan memastikan keterwakilan berbasis gender. Hal ini perlu dilakukan sebab perempuan dan kelompok marjinal lainnya masih diposisikan sebagai konsumen energi yang terbatas sehingga ketika krisis energi terjadi mereka menghadapi dampak buruk yang lebih berlipat. 

“Pengarusutamaan gender tidak hanya sebatas pada penyebutan istilah dalam kebijakan energi, tetapi harus dioperasionalkan dalam kerangka kerja implementasinya. Seperti memasukkan tujuan khusus gender ke dalam desain pembangunan sektor energi, memberdayakan dan melibatkan perempuan dan kelompok marjinal melalui konsultasi, partisipasi dan pengambilan keputusan. Kemudian mengembangkan strategi khusus gender untuk memaksimalkan manfaat bagi perempuan dan kelompok masyarakat miskin mengatasi dampak pembangunan energi baru terbarukan,” tandas Mike.

Sepakat dengan aspirasi yang disampaikan, Sonny Keraf, Akademisi dari Universitas Katolik Atma Jaya,menambahkan bahwa RUU EBET ini malah mirip ‘tarian poco-poco’ yang selangkah maju- selangkah mundur, karena dibajak dan dikerangkeng pedagang fosil yang kotor untuk tetap mengamankan dan melanggengkan kepentingan mereka dengan mengorbankan kepentingan bersama umat manusia menyelamatkan krisis bumi.

“Terlalu banyak dampak negatif kalau kita tetap bertahan dengan ‘tarian poco-poco’. Kredibilitas diplomasi global pemerintah di bidang negosiasi perubahan iklim bisa tergerus. Ekspor produk industri dalam negeri bisa terhambat ketentuan standar emisi dalam seluruh rantai produksi dan rantai pasok produk kita. Komitmen mitigasi perubahan iklim kita  terganjal,” ulasnya. ***

RUU EBET Tidak Efektif Mendukung Transisi Energi di Indonesia

press release

Jakarta, 21 Maret 2022 Memasuki tahap harmonisasi di DPR RI, Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang menyimpang dari tujuan mendorong transisi energi untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau secepatnya. Pada rapat pleno harmonisasi RUU EBT (17/03/2022), tenaga ahli badan legislasi menguatkan posisi energi baru dengan menambahkan sumber energi baru pada RUU yang kini disebut sebagai Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). 

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang konsep EBET dalam satu undang-undang tidak efektif dan rancu. Selain itu, dengan masuknya produk turunan batubara seperti batubara tergaskan (coal gasification), batubara tercairkan (coal liquefaction), gas metana batubara (coal bed methane) sebagai sumber energi baru justru akan berpotensi menghambat upaya penurunan gas rumah kaca (GRK).

Emisi GRK yang dihasilkan dari proses gasifikasi batubara pada energi baru jauh lebih tinggi dibandingkan energi terbarukan. Jumlah emisi yang dihasilkan dari proses konversi 1 kg batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) sekitar 3,2 Kg CO2eq atau sekitar 400 gram CO2 eq/kWh (IRENA, 2021). Ini belum termasuk emisi yang ditimbulkan ketika membakar DME yang setara dengan membakar minyak solar sehingga dapat mencapai 631 gram CO2/kWh (asumsi efisiensi kompor DME 40%) sehingga total emisi yang dihasilkan untuk mendapatkan jumlah energi yang sama mencapai 1031 gram CO2/kWh. Sementara emisi daur hidup yang dihasilkan pada penggunaan energi terbarukan, seperti PLTS hanya sekitar 40 gram CO2 eq/kWh (NREL, 2012).

“Rancangan RUU EBET menunjukan ketidakpahaman DPR terhadap kebutuhan pengembangan energi dalam rangka transisi energi. DPR juga mengakomodasi kepentingan industri batubara yang ingin tetap mendapatkan pasar di saat pasar batubara untuk pembangkitan listrik turun. Masuknya teknologi energi baru seperti hilirisasi batubara justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil. Sementara, masuknya PLTN justru akan menghambat akselerasi transisi energi yang membutuhkan pengembangan energi terbarukan dalam skala besar dan cepat,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Pemanfaatan teknologi yang menurunkan emisi karbon pada pembangkit energi tak terbarukan (energi fosil) akan memperluas mekanisme penggunaan energi tak terbarukan, seperti pada clean coal technology (PLTU ultra supercritical), teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage (CCS)),  dan co-firing biomassa. IESR berpendapat mempertahankan PLTU dengan teknologi CCS merupakan pilihan yang relatif mahal dibandingkan dengan mengembangkan energi terbarukan.

“Dukungan terhadap energi fosil atau energi tak terbarukan pada RUU EBET ini akan memberikan sinyal untuk mempertahankan PLTU lebih lama di sistem energi, alih-alih mempensiunkan PLTU lebih awal seperti yang diwacanakan beberapa bulan belakangan,” tambah Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR. 

Deon menambahkan seharusnya DPR RI lebih mengkaji penggunaan energi yang efektif dan ekonomis dalam merumuskan RUU EBET.

“Dalam upaya mencapai netral karbon seharusnya dilihat biaya mitigasi gas rumah kaca yang paling efektif, yang menurut analisis kami sudah jelas merupakan energi terbarukan. Dengan dukungan regulasi, energi terbarukan bisa dibangun dan dana energi terbarukan bisa dimanfaatkan secara efektif untuk mendorong penyiapan proyek energi terbarukan dengan masif,” jelasnya.

Draft terbaru juga memberikan wewenang bagi pemerintah pusat untuk menetapkan harga energi baru dan energi terbarukan jika tidak tercapai kesepakatan para pihak/badan usaha (dalam hal ini PLN dan pengembang). Dalam hal ini tentunya akan berkaitan dengan pemberian dana insentif dan kompensasi pada energi baru atau energi terbarukan akibat penetapan harga oleh pemerintah pusat. 

“Pemerintah sebaiknya menetapkan insentif dan mekanisme lelang energi terbarukan secara terjadwal untuk memberikan kepastian kepada pelaku usaha. Penetapan harga dilakukan untuk teknologi yang belum komersial dan penerapan di daerah-daerah terpencil untuk menjamin akses energi bersih bagi masyarakat,” kata Fabby Tumiwa. 

Kelompok Perempuan dan Kelompok Petani mengenai RUU EBT “Bukan Energi Baru Terbarukan tapi Energi Bersih Terbarukan”

Jakarta, 4 Maret 2022– Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) telah diserahkan oleh DPR RI ke Badan Legislasi (Baleg) untuk masuk ke tahap harmonisasi. Namun aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat seperti kelompok perempuan (dan juga masyarakat di daerah 3T) serta pendekatan gender dirasa belum terefleksi dan terjawab dari draf RUU EBT yang ada. Oleh karena itu, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR)  menyelenggarakan Webinar berjudul  “RUU EBT: Melihat lebih jauh Perspektif Gender Diakomodasi dalam Kebijakan Energi”. 

Energi berperan penting dalam kehidupan perempuan yang lekat dengan aktivitas rumah tangga. Penggunaan jenis energi akan berpengaruh pada produktivitas dan hidup perempuan. Jenis energi yang sarat emisi dan polusi akan berdampak negatif bagi  kesehatan dan lingkungan perempuan, terutama di daerah 3T di Indonesia. Tidak hanya itu, selama ini perempuan hanya ditempatkan sebagai konsumen energi, padahal seharusnya ada kesempatan bagi masyarakat umum, termasuk perempuan di rumah untuk memproduksi energi dan menggunakannya sendiri.

Menyuarakan kebutuhan perempuan terhadap energi, KPI mendorong DPR RI dan pemerintah untuk memposisikan perempuan sebagai produsen energi. Selain itu, dari sisi kebijakan energi, KPI mendesak agar dibuat kebijakan pengembangan energi bersih terbarukan yang terjangkau di tingkat lokal dibandingkan mengandalkan energi fosil dan nuklir.

Dian Aryani,  Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia KK Petani menyayangkan perempuan yang sering kali tidak dilibatkan dan dilatih  dalam pengembangan energi EBT. Ia juga memandang terminologi EBT tidak tepat. Menurutnya dari pada mengembangan energi baru, lebih baik berfokus dalam memanfaatkan energi bersih yang tidak mengandung polutan serta energi terbarukan. Keberadaan pasal yang mengatur perlindungan inisiatif masyarakat dalam membangun, mengembangkan dan memanfaatkan energi bersih terbarukan menjadi penting terutama untuk skala rumah tangga dan skala komunitas yang bersifat non komersial.

“Selain itu, pemerintah perlu menerapkan pengarusutamaan gender dalam kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengembangan EBT,” tambahnya.

Maftuh Muhtadi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam presentasinya mengakui bahwa perempuan masih dipandang sebagai  konsumen utama energi listrik.

“Selama ini pengelolaan energi selalu dilekatkan dengan tanggung jawab perempuan terkait peran domestiknya. Konsumsi energi cenderung belum efisien dan peran perempuan penting untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan energi,” jelasnya.

Menyoroti masih adanya porsi energi fosil di RUU EBT dalam bentuk hilirisasi batubara, Maftuh tidak bisa seratus persen menolak energi fosil. Menurutnya, yang terpenting adalah memastikan produksi, distribusi, konsumsi energi mempunyai efek negatif yang sedikit.

Di sisi lain, Mohamad Yadi Sofyan Noor, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) memandang memasukkan nuklir dalam RUU EBT bukanlah tindakan yang tepat. Pihaknya menolak pembangunan PLTN karena berpotensi memberikan dampak negatif pada ekonomi petani dan nelayan.

“Pembangunan PLTN meningkatkan risiko bagi petani dan nelayan karena PLTN menyerap dana besar dengan kemungkinan alokasi dari program-program lain seperti ketahanan pangan; Lahan yang dibutuhkan cukup luas sehingga mengancam akses dan aktivitas ekonomi para petani dan nelayan. Resiko kecelakaan PLTN ditanggung langsung oleh para petani dan nelayan yang berada di sekitar PLTN,” pungkasnya.

Senada, Rinaldy Dalimi,  Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI)  menyebutkan keberadaan nuklir dalam RUU EBT justru akan menyulitkan pembangunan dan pengusahaan energi terbarukan.

“RUU EBT jika dikaji dengan lebih mendalam, tidak akan disahkan dalam waktu dekat sebab setidaknya pemerintah pusat harus  mempertimbangkan membangun 5 lembaga baru, dan harus menyediakan beragam insentif dan tempat pembuangan limbah radioaktif,” tambahnya.

Rinaldy berpendapat ke depannya akan tiba masa saat semua orang mampu menghasilkan energinya sendiri, sehingga urusan energi bukan urusan pemerintah lagi, melainkan  akan menjadi urusan rumah tangga. Dengan demikian, maka peran perempuan akan menjadi krusial  dalam mengurus sektor energi.

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI yang hadir pada kesempatan yang sama menginformasikan bahwa RUU EBT dalam 3 bulan ke depan sudah dapat disahkan. Ia juga menyatakan bahwa pihaknya mendorong pengembangan energi terbarukan sebagai suatu keharusan. Namun ia tidak menampik adanya sejumlah tantangan dalam mengembangan EBT seperti kekuatan politik besar masih condong ke energi fosil.

Sugeng memaparkan dalam proses pembuatan RUU EBT, partisipasi seluruh stakeholder, termasuk keterlibatan perempuan telah dilakukan. Menanggapi perihal nuklir dalam RUU EBT, meski menyatakan terbuka untuk setiap usulan dan masukan, namun ia berulang kali menjelaskan bahwa nuklir menjadi salah satu pilihan  teknologi yang minim emisi.

Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan : “Keluarkan Sumber Energi Kotor dari RUU EBT!”

Jakarta, 29 September 2021 – Indonesia telah mencanangkan untuk mencapai target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu strateginya ialah dengan pemanfaatan energi terbarukan. Mendorong optimalisasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia serta memberikan payung hukum yang jelas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berinisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Namun, dalam perjalanannya, RUU EBT ini masih memuat unsur energi fosil yang menuai protes dari Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan.

“Awalnya RUU EBT ini menumbuhkan harapan kami tentang perkembangan energi terbarukan sebagai langkah mitigasi krisis iklim, namun harapan kami pudar karena dalam RUU EBT saat ini memasukkan sumber energi yang tidak bersih. Di sini komitmen Indonesia untuk bertransisi energi dan menurunkan emisinya dipertanyakan,” jelas Satrio Swandiko Prillianto, perwakilan Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan pada webinar ‘Aspirasi Pemuda untuk RUU EBT Berkeadilan’, yang didukung penyelenggaraannya oleh Institute for Essential Services Reform (IESR)

Tidak hanya itu, melalui Satrio, Koalisi yang terdiri dari mahasiswa dari berbagai Universitas di Indonesia, juga merangkumkan 3 butir keberatan mereka terhadap RUU EBT sebagai berikut

  1. Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan menuntut DPR RI Komisi VII untuk mengeluarkan sumber energi yang tidak bersih dari RUU EBT,
  2. Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan meminta pemerintah mengatur regulasi insentif bagi energi terbarukan,
  3. Koalisi Pemuda Peduli Energi Terbarukan meminta pemerintah untuk mempertimbangkan saran saintifik dan aspirasi masyarakat dari berbagai kalangan sebagai upaya pertumbuhan ekonomi dan dekarbonisasi sektor energi.

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI dalam kesempatan yang sama mengemukakan bahwa proses pembuatan UU Energi Baru Terbarukan yang begitu panjang saat ini telah mencapai tahap sinkronisasi di badan legislasi DPR RI. Direncanakan UU ini akan selesai pada akhir tahun 2021. Ia menjelaskan  RUU ini penting untuk menangani problematika energi di Indonesia. 

“Cadangan energi fosil kita tinggal sedikit, selain itu dia juga polutif karena menghasilkan emisi karbon yang tinggi, maka kita perlu beralih ke energi terbarukan dan perlu payung hukum kuat untuk pengembangan ekosistemnya,” terang Sugeng.

Meski RUU EBT ini belum sempurna, Ratna Juwita Sari, anggota Komisi VII DPR RI berpendapat bahwa RUU EBT ini akan memastikan bahwa sistem energi di Indonesia harus tangguh, mandiri, berkecukupan, terjangkau (affordable), berkeadilan dan berkelanjutan (sustainable), dan bersih.

“Kami menyadari beberapa pasal masih menimbulkan pro-kontra seperti bab tentang nuklir, tapi dampak RUU ini secara sosial, ekonomi, dan lingkungan akan besar dan baik,” jelas Ratna.

Pembahasan Draf RUU EBT: Koalisi Masyarakat Menyerukan Agar DPR Fokus Pada Energi Terbarukan

Siaran Pers Bersama | Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih


Jakarta, Jumat, 18 September 2020 Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mulai membahas draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dengan mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama beberapa pemangku kepentingan. Namun dari draf RUU yang beredar, terlihat bahwa pemanfaatan energi nuklir dan energi baru yang berbasis fosil masih diikutsertakan. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih berharap DPR RI akan mengeluarkan pasal-pasal tersebut dari rancangan undang-undang ini.

Kamis kemarin (17/9), di awal masa sidang ke-5, Komisi VII DPR RI mulai membahas draf RUU EBT dengan mengadakan RDPU bersama Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Pembahasan RUU ini menjadi harapan hadirnya payung hukum yang kuat untuk mendukung pengembangan energi terbarukan demi mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional serta komitmen Indonesia dalam menanggulangi dampak perubahan iklim. 

Sejumlah wakil organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih sangat menghargai keterbukaan Komisi VII DPR RI dalam mengadakan RDPU yang mengakomodir masukan-masukan dari organisasi non-pemerintah. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih berharap bahwa kedepannya usaha meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi akan terus berlangsung dengan semakin banyaknya elemen masyarakat yang diundang untuk hadir dan bersuara dalam RDPU selanjutnya. Pada saat yang bersamaan, koalisi ini  menyayangkan masuknya isu nuklir dan sumber energi baru berbasis energi fosil yang tidak berkelanjutan, seperti gas metana, gasifikasi batubara, dan likuifaksi batubara,  dalam pembahasan draft RUU ini.

Koalisi ini berpandangan bahwa Komisi VII DPR RI seharusnya mengeluarkan isu nuklir dan energi baru dari draf RUU dan fokus membangun kerangka kebijakan yang komprehensif untuk energi terbarukan, seperti tenaga surya, air, angin, bioenergi, dan panas bumi, yang hingga saat ini masih menghadapi berbagai hambatan dan tantangan. Dengan kerangka kebijakan ini diharapkan dapat menyiapkan Indonesia untuk lebih cepat melakukan transisi energi menuju sistem energi yang bersih dan berkelanjutan.

Wira Dillon, peneliti Yayasan Indonesia Cerah, menjelaskan bahwa isu nuklir seharusnya tidak dimasukkan karena nuklir telah dibahas secara tersendiri di dalam UU No. 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran. Bahkan pembahasan tentang pengusahaan nuklir dalam ketenagalistrikan telah dimasukkan dalam draf RUU Cipta Kerja (Omnibus Law Atur Kebijakan Pemanfaatan Nuklir untuk Listrik, Detik, 21 Januari 2020). Selain itu, di dalam Kebijakan Energi Nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 juga menyebutkan  bahwa nuklir merupakan pilihan terakhir bagi penyediaan energi di Indonesia. 

“Nuklir memang seharusnya hanya jadi pilihan terakhir mengingat cadangan uranium kita tidak terlalu banyak. Sehingga jika Indonesia membangun PLTN justru akan mengurangi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan energi Indonesia kedepan. Ditambah lagi, kondisi geografis Indonesia yang terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire) menjadikan kita rentan terhadap gempa bumi dan tsunami. Risiko tersebut sangat berpotensi mengganggu pengoperasian PLTN maupun membahayakan sistem penyimpanan limbah nuklir. 

“Memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT akan berlawanan dengan azas dan tujuan dasar pembuatan RUU ini, diantaranya asas keberlanjutan, asas ketahanan, serta asas kedaulatan dan kemandirian,” jelas Wira.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menambahkan, pemerintah dan DPR seharusnya dapat  mengantisipasi adanya potensi ketergantungan teknologi dalam pengembangan PLTN. Selain biaya yang sangat mahal, pembangunan PLTN membutuhkan waktu lebih lama apabila dibandingkan dengan pembangunan dan teknologi energi terbarukan. Ke depan harga energi energi terbarukan semakin murah dan semakin cepat untuk dibangun, terutama dalam menggantikan kapasitas PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dari batubara yang juga harus harus segera ditutup.”

Fabby menambahkan, adanya isu nuklir di dalam draf RUU EBT ini seharusnya menjadi perhatian bagi para anggota DPR RI mengenai kemungkinan adanya kepentingan segelintir orang yang mengemas nuklir sebagai solusi yang menjawab ketahanan energi nasional. 

“Pembangunan PLTN memiliki sifat dan karakter  yang berbeda dari energi terbarukan, serta resiko jangka panjang yang tidak selayaknya diwariskan kepada generasi yang akan datang,” tegasnya.

Keberadaan RUU Energi Terbarukan pada prinsipnya adalah untuk mengisi kekosongan dukungan pada energi terbarukan dalam UU yang sudah ada sebelumnya, yaitu UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Pengalaman di sejumlah negara berkembang seperti India dan Chili telah membuktikan bahwa adanya undang-undang khusus atau kerangka regulasi yang kuat khusus untuk energi terbarukan mampu  mendorong dan mengakselerasi pembangunan energi terbarukan. 

“Untuk konteks nasional, keberadaan Undang-undang Energi Terbarukan akan menjadi payung legislasi untuk turunan regulasi lainnya yang selama ini rentan mengalami perubahan dan preferensi menteri sektoral. Undang-undang ini akan menjadi sinyal yang positif bagi investor, sehingga menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pengembangan bisnis dan industri energi terbarukan, dimana energi terbarukan memiliki playing field yang seimbang dengan energi konvensional,” jelas Jannata Giwangkara, Manajer Program Transformasi Energi IESR.

Sebagai badan legislatif di tanah air, DPR RI dinilai mempunyai peran sangat strategis dan penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan di Indonesia salah satunya dengan menyukseskan transisi energi dari energi fosil menuju energi terbarukan melalui proses pembuatan RUU Energi Terbarukan. Tidak hanya menyusun regulasi, DPR juga perlu membangun sinergi yang kuat dengan Pemerintah untuk memastikan rencana dan kebijakan yang dibuat terlaksana untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia saat ini dan dimasa yang akan datang.

Dengan adanya UU Energi Terbarukan, menurut Indra Sari Wardhani, Energy Project Leader WWF Indonesia, akan menjadi kerangka regulasi yang mengikat para pihak, mulai dari  pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk mendukung dan memprioritaskan energi terbarukan. Undang-undang ini juga diharapkan dapat mengakomodir dukungan terkait pendanaan, pembiayaan, serta harga energi terbarukan yang menarik sehingga sektor ini  dapat tumbuh secara sehat dan berkelanjutan. 

Koalisi ini juga mengharapkan DPR RI terus berkomitmen menjadi parlemen yang terbuka (Open Parliament) dengan menjalankan proses legislasi secara transparan dan partisipatif dengan kanal data dan informasi terkait draf RUU yang akan dibahas, serta hasil-hasil pertemuan dan pembahasan. Dengan proses ini akan mendorong partisipasi masyarakat, meningkatkan kepercayaan publik dan mengurangi dampak spekulasi. Dengan demikian DPR akan menjadi rumah wakil rakyat yang terpercaya yang menjadi karakter sebuah negara yang demokratis dengan menjalankan tiga fungsi dasarnya yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. 

Rekomendasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih:

  1. DPR RI memfokuskan RUU EBT ini menjadi RUU Energi Terbarukan untuk memaksimalkan pengembangan energi terbarukan sebagai bagian dari transisi energi yang berkelanjutan dan adil untuk semua.
  2. DPR RI mengeluarkan pasal-pasal yang mengatur mengenai ketenaganukliran dan energi baru berbasis fosil dari RUU EBT.
  3. DPR RI menunjukkan political will dan keberpihakan untuk memprioritaskan pengembangan energi terbarukan yang berkelanjutan di Indonesia.
  4. DPR RI berperan aktif untuk meningkatkan kapasitas para anggotanya dalam memahami isu pembangunan berkelanjutan khususnya perkembangan energi terbarukan dan pentingnya transisi energi berkelanjutan di Indonesia. 
  5. DPR RI berperan aktif dan mendorong peran pemangku kepentingan lain seperti lembaga keuangan, swasta, BUMN/BUMD, pemerintah daerah serta masyarakat luas untuk mendukung percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia terakomodir dalam RUU EBT ini.
  6. DPR RI membuka lebih lebar ruang partisipasi dan akses informasi bagi publik dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU EBT.

 

Narahubung:

Jannata Giwangkara | IESR | 

+62 812-8487-3488

egi@iesr.or.id 

Indra Sari Wardhani  | Yayasan WWF Indonesia |

+62 811-1847-095

 iwardhani@wwf.id 

Mahawira Singh Dillon | Yayasan Indonesia Cerah | 

+62 812-1057-7584

wira@cerah.or.id


Unduh Siaran Pers

Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih:

  1. Institute for Essential Services Reform (IESR)
  2. Yayasan WWF-Indonesia
  3. 350.org Indonesia
  4. Yayasan Indonesia Cerah
  5. Koaksi Indonesia
  6. Indonesian Parliamentary Center (IPC)