Reportase: Launching Coal Study with Climate Transparency, 1 April 2019

Sebagai mitra dari Climate Transparency – sebuah kemitraan Internasional yang terdiri dari lembaga think tank dan NGO dari negara-negara anggota G20, IESR meluncurkan laporan hasil studi mengenai batubara. Dengan bertajuk International Seminar on Global Energy Transition and The Future of Coal, studi yang berjudul Dinamika Batu Bara Indonesia: Menuju Transisi Energi yang Adil ini diluncurkan di Hotel Ashley Jakarta pada tanggal 01 April 2019.

Seminar ini terdiri dari tiga sesi:

  1. Transisi Energi yang Adil: Aspek Energi, Iklim dan Pembangunan Ekonomi
  2. Pengalaman Internasional dari Transisi Energi yang Adil
  3. Agenda Transisi Energi dan Perubahan Iklim dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20D

Temuan Kunci

Dimoderatori oleh Dr. Suzanty Sitorus, sesi pertama dibuka oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR yang memaparkan hasil studi IESR. Studi ini menyoroti dinamika batubara di Indonesia, yang menyimpulkan bahwa transisi batubara tidak dapat dihindari. Secara spesifik, studi ini ingin memotret apa saja tantangan transisi energi di Indonesia dari sudut pandang industri batu bara dan apa saja fakor pendorong agar Indonesia melakukan transisi energi, dari batubara khususnya.

Berikut adalah tantangan yang dihadapi Indonesia untuk dapat melakukan transisi energi:

  1. Industri batubara erat kaitannya dengan kepentingan politik.
  2. Adanya berbagai bentuk dukungan dari pemerintah, baik secara finansial ataupun regulasi yang dikeluarkan, untuk industri batubara dan PLTU.
  3. Adanya inkonsistensi pelaksanaan regulasi, dimana regulasi yang baru-baru ini diberlakukan cenderung mendorong pemanfaatan batubara sebagai sumber tenaga listrik negara.
  4. Adanya pemberian dukungan finansial, secara langsung maupun tidak langsung, yang kemudian dapat dikategorikan sebagai subsidi dari pemerintah.
  5. Pembuat kebijakan dan perusahaan pembangkit listrik menganggap batubara sebagai sumber energi yang murah untuk tenaga listrik negara.

Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor pendukung agar Indonesia melakukan transisi energi, yaitu:

  1. Adanya risiko ketika Indonesia menggantungkan perekonomiannya terhadap ekspor batubara, mengingat harga batubara global yang berfluktuasi dan adanya volatilitas permintaan batubara secara global. Hal ini menjadi penting karena tren penggunaan batubara di negara-negara tujuan ekspor batubara Indonesia akan menurun untuk ke depannya.
  2. Levelized Cost of Electricity (LCOE) dari PLTA, PLTP dan PLTS pada tahun 2020 akan sama dengan LCOE dari PLTU dengan teknologi ultra-super critical.
  3. Adanya inefisiensi pertambangan batubara dan PLTU karena meningkatnya biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksi batubara.

Pada kesempatan ini IESR juga menghadirkan tim penanggap ahli dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, mereka menyepakati bahwa memang tren ekspor batubara ke depannya akan menurun sehingga pada saat ini industri batubara sedang bertransformasi untuk meningkatkan nilai tambah dari produk batubara yang dihasilkannya. Menanggapi potensi produksi nasional batubara yang meningkat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, ke depannya, penting untuk memasukkan jumlah emisi dari industri batubara ke dalam perhitungan NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia mengingat potensi peningkatan emisi dari industri batubara.

Studi di Tiga Negara: Afrika Selatan, India, China

Setelah melihat dinamika batubara di Indonesia, perlu untuk melihat bagaimana cerita dari negara lain terkait transisi energi yang adil dari batubara. Hannah Schindler dari Climate Transparency memandu diskusi di sesi kedua dengan menghadirkan panelis dari empat negara. Ursula F. Hutfilter dari Climate Analytics (Germany) memaparkan Paris Agreement sebagai latar belakang untuk melakukan transisi energi secara global. Transisi energi di sector ketenagalistrikan memiliki pengaruh yang besar dalam mencapai target yang tercantum dalam Paris Agreement, dimana sektor ini harus sepenuhnya di-dekarbonisasi sebelum 2050. Dengan kata lain, penggunaan batubara dalam pembangkit listrik harus dihentikan secara global sebelum 2050.

Alvin Lin dari Natural Resources Defence Council (China) menceritakan bahwa energi terbarukan saat ini sudah kompetitif dibandingkan dengan batubara di Cina. Bahkan Pemerintah China telah memiliki perencanaan dalam lima tahun untuk mengurangi kapasitas produksi batubara sebanyak 500 juta ton. Salah satu industri yang akan terkena dampaknya adalah industri besi baja yang harus mengurangi kapasitasnya sebanyak 150 juta ton. Situasi yang sama pun terjadi di India, dimana energi terbarukan sudah menarik secara keekonomian di India. Lebih lanjut, Thomas Spencer dari The Energy and Resources Institute (India) menyatakan bahwa India pun sedang mengalami surplus kapasitas produksi batubara. Transisi dari sector batubara pun saat ini terjadi di Afrika Selatan. Menurut Bryce McCall dari Energy Research Center (Afrika Selatan), Serikat Pekerja di Afrika Selatan justru mendorong pemerintah untuk melakukan banyak diskusi dengan mereka terkait transisi tenaga kerja dari sektor pertambangan.

Isu Transisi Energi di KTT G20

Sebagai kemitraan yang menilai aksi iklim dari negara G20, perlu dilihat bagaimana isu transisi energi ini dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan G20, termasuk Konferensi Tingkat Tinggi G20 yang akan diadakan di Jepang pada tanggal 28-29 Juni 2019. Dengan demikian, Suzanty Sitorus memandu diskusi di sesi ketiga dengan menghadirkan panelis dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (sebagai tim G20 Sherpa) serta dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (sebagai perwakilan dari Indonesia dalam Energy Transition Working Group). Kedua panelis ini sepakat menyatakan bahwa green fuel adalah suatu bentuk alternatif energi dalam proses transisi energi dari bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan. Indonesia tetap akan mempromosikan green fuel (bio-diesel dan green-diesel) dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada akhir Juni ini. Konteks green fuel di sini adalah untuk mempromosikan minyak kelapa sawit sebagai energi terbarukan.

Dengan adanya studi mengenai dinamika batubara ini, menurut Erina Mursanti, Program Manager Green Economy dari IESR, diharapkan Pemerintah Indonesia dapat memperhitungkan batubara dalam isu transisi energi di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan pemerintah dapat menyiapkan seperangkat regulasi yang mendukung Indonesia untuk melakukan transisi energi yang adil dari batubara ke sumber energi yang terbarukan sehingga dapat meminimalisir konflik yang mungkin akan terjadi.