Potensi Besar Pasar Surya Atap untuk Capai Target Bauran 23 Persen Energi Terbarukan di 2025

Jakarta, 15 Desember 2020“Berapa biaya investasi dan luasan atap yang saya butuhkan untuk pasang PLTS atap? Apakah benar penggunaannya bisa menghemat biaya listrik? Bagaimana integrasinya dengan jaringan PLN? Peraturan pemasangannya seperti apa?”  

Pertanyaan ini kerap muncul dari masyarakat  sebelum mereka memutuskan untuk menggunakan PLTS atap. Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), ini merupakan hal yang wajar sebab umumnya masyarakat sebagai konsumen energi ingin mengetahui dengan jelas sistem PLTS atap yang akan mereka gunakan. Pengetahuan akan produk menjadi bagian penting dari penentuan keputusan tersebut.

“Kebutuhan informasi terkait PLTS atap semakin meningkat dibandingkan 3 tahun lalu saat kita mencetuskan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA). Pasar PLTS atap saat ini juga lebih terbuka, bahkan sudah tersedia secara daring,” jelasnya dalam diskusi Mengejar Orde Gigawatt Energi Surya di Indonesia, yang dilaksanakan oleh IESR.

Meski demikian, ketertarikan ini belum menjadi realisasi yang signifikan. Bila dibandingkan dengan Vietnam, dalam periode yang sama, 2-3 tahun terakhir, Vietnam mampu menggenjot instalasi PLTS atap mereka hingga 1,5 GWp. Sementara, Indonesia baru mencatatkan pemasangan PLTS atap kurang dari 20 MW. 

Secara umum, target energi terbarukan Indonesia dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) belum berjalan sesuai rencana. Hingga akhir tahun 2019, capaian energi terbarukan baru 9,15% saja. Sementara, hanya tinggal 5 tahun tersisa untuk mewujudkan 23% energi terbarukan.

“Untuk mengejar target itu, salah satunya dapat dilakukan dengan mendorong implementasi PLTS atap. Sebenarnya GNSSA hadir untuk mendorong terbentuknya orde gigawatt di Indonesia. Jika orde ini terealisasi, maka penetrasi PLTS untuk mencapai target 6,5 GW energi terbarukan dalam RUEN menjadi lebih cepat, tercapainya skala keekonomian, juga akan meningkatkan ketertarikan masyarakat dan harganya menjadi lebih terjangkau,”ungkap Fabby.

Tentu saja, gaungan GNSSA membawa dampak yang cukup baik.Terjadi peningkatan jumlah pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap sepanjang 3 tahun terakhir, dari 268 pada tahun 2017 menjadi lebih dari 2.500 pelanggan hingga Oktober 2020. Kenaikan ini juga dipicu oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah (Permen ESDM No. 49/2018 yang direvisi dengan Permen ESDM No. 13/2019 dan Permen ESDM No. 16/2019), semakin banyaknya perusahaan penyedia layanan pemasangan PLTS atap, dan juga meningkatnya ketertarikan masyarakat untuk menggunakan PLTS atap sebagai bagian dari gaya hidup.

Meski demikian, kenaikan ini masih belum cukup untuk mengejar target energi surya sesuai RUEN dan juga mencapai target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap yaitu 1 GW kumulatif PLTS atap pada 2020.

Menurut Fabby, daripada berharap pada pengembangan PLTS pada skala utilitas yang membutuhkan lahan, waktu dan pembiayaan yang cukup lama, sebaiknya pemerintah dapat pula berfokus pada PLTS atap untuk rumah tangga, sektor bisnis dan komersial, serta UMKM.

“Kajian IESR menunjukkan sampai 2030, potensi pasar untuk PLTS atap di Jawa dan Bali bisa mencapai 10 – 12 GW,” jelasnya pula.

Di Jawa Tengah saja, berdasarkan survei IESR, terdapat potensi pasar hingga 9,6% untuk kelompok residensial, 9,8% untuk bisnis/komersial, dan 10,8% untuk UMKM. Lebih jauh, survei ini juga menunjukkan 7 dari 10 orang pemilik rumah memberikan respon positif untuk menggunakan PLTS atap. Namun, 92% masih memiliki keraguan yang besar karena masih belum paham dengan teknologinya, menganggap harganya masih mahal, dan belum mendapatkan jawaban yang tepat terkait produk dan manfaat penghematan listrik dari PLTS atap.

Terkait harga, menurut Fabby dalam jangka waktu 3 tahun ini sudah terjadi penurunan biaya investasi pemasangan PLTS atap yang semula sebesar Rp 25 – 35 juta per kWp menjadi Rp.15 – 20 juta per kWP. Begitu juga dengan harga modul surya yang turun 40% dari $30 per Wp menjadi 20 sen per Wp. 

“Kebimbangan para pelanggan untuk memasang PLTS atap ini dilatari oleh minimnya informasi yang terpercaya dan rendahnya sosialisasi aturan mengenai penggunaan PLTS atap. Selain itu, informasi mengenai prosedur pemasangan PLTS atap tersambung jaringan (on-grid), manfaat yang bisa dirasakan pengguna, hingga di mana mereka bisa membeli produknya pun masih terbatas dan masih terkonsentrasi di kota-kota besar di Pulau Jawa,” papar Fabby.

Bambang Sumaryo, Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) yang sudah menjadi konsumen PLTS atap selama 6 tahun juga mengungkapkan keraguan lain yang biasanya menjadi pertimbangan calon konsumen dalam pemasangan PLTS atap.

“Ketersediaan kWh exim (export-import) yang membuat pengguna PLTS masuk ke jaringan on grid sehingga lebih hemat. Namun justru kWh exim ini yang sulit untuk didapat, terutama di daerah,” keluhnya. Bambang juga sepakat dengan pengamatan IESR terkait kurang meratanya informasi yang bisa diakses calon pengguna.

Selain itu, Bambang menyinggung  aturan tarif net-metering 1:0,65 di Permen ESDM No. 49/2018. Tarif ini menyebabkan periode balik modal menjadi lebih dari 5 tahun dan persentase penghematan tidak setinggi yang diharapkan.

Menjawab kurangnya akses informasi untuk masyarakat, IESR membangun sebuah portal daring (online) SolarHub Indonesia (solarhub.id) yang bertujuan untuk memberikan informasi seputar energi surya bagi calon pengguna PLTS atap dan menghubungkan mereka dengan perusahaan penyedia produk dan pemasangan PLTS atap.

“Mungkin masih ada juga masyarakat yang menganggap perlu lahan yang besar untuk pasang PLTS. Padahal dengan kemajuan teknologi, kami bisa pasang PLTS di atap rumah, kanopi atau sebagai sistem hybrid,” ujar Chairiman dari ATW Solar sebagai salah satu penyedia produk dan jasa pemasangan PLTS yang bergabung di SolarHub Indonesia.

Menurut Chairiman, portal ini akan menarik lebih banyak orang untuk berinvestasi di PLTS atap dengan ketersediaan dan keakuratan narasinya.

Di sisi lain, Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Berkelanjutan IESR, menjelaskan bahwa keberadaan portal SolarHub Indonesia akan menjembatani masyarakat Indonesia, khususnya warga di luar perkotaan dan di luar Pulau Jawa untuk mendapatkan informasi tentang PLTS atap.

“Mereka yang tinggal di Jakarta misalnya, terbilang beruntung karena bisa langsung terpapar pada kegiatan sosialisasi dan terhubung dengan penyedia produk dan layanan bila ingin tahu lebih banyak tentang desain, manfaat penghematan, hingga layanan purna jual PLTS atap,” jelasnya.

Di SolarHub Indonesia tersedia pula kalkulator canggih yang dapat menghitung besaran penghematan biaya listrik, rincian kebutuhan PLTS atap untuk bangunan calon pengguna, dan besar anggaran yang diperlukan untuk investasi tersebut.

Potensi pasar listrik surya atap ini juga menunjukkan bahwa target energi surya di Indonesia dapat dicapai dengan mudah melalui pemanfaatan PLTS atap saja, tentunya dengan adanya kombinasi kebijakan dan regulasi yang mendukung, serta tersedianya informasi yang lengkap dan merata tentang PLTS atap, prosedur pemasangan, penyedia produk dan layanan pemasangan, hingga pilihan skema pembiayaan. 

Survei pasar IESR juga menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menginginkan periode balik modal kurang dari 5 tahun, yang sulit dicapai bila tarif net-metering yang dipakai masih 1:0,65 seperti aturan Permen ESDM No. 49/2018. Selain itu, kejelasan prosedur pemasangan di wilayah yang berbeda juga perlu diseragamkan sehingga pengguna PLTS atap tidak perlu menunggu hingga berbulan-bulan untuk mendapatkan kWh exim (export-import). Pemerintah perlu memperhatikan aspirasi masyarakat seperti ini sehingga ketertarikan mereka dapat didorong menjadi adopsi dan praktik.  

Kunjungi SolarHub Indonesia


Saksikan kembali siaran tundanya di sini:

Tiga Tahun Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap: Perlu Upaya Bersama untuk Mencapai Orde Gigawatt

Kamis, 24 September 2020. Memperingati tiga tahun deklarasi Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), Institute for Essential Service Reform (IESR) bersama dengan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dan para deklarator GNSSA mengadakan refleksi yang melibatkan pemerintah, pihak swasta, asosiasi, serta kelompok masyarakat untuk memperkuat komitmen mempercepat PLTS atap di Indonesia. 

Acara ini dihadiri oleh tiga belas deklarator GNSSA, perwakilan dari Kementerian ESDM dan kementerian lainnya, pemerintah provinsi, perusahaan EPC PLTS atap, dan kelompok pengguna PLTS atap. Dibuka dengan video refleksi dari pada deklarator GNSSA, peringatan 3 tahun GNSSA ini diisi dengan diskusi seputar perkembangan energi surya dan PLTS atap, inisiatif pemerintah dan daerah, serta rekomendasi tindak lanjut arah GNSSA ke depannya. 

Sebagai salah satu deklarator GNSSA, IESR mengapresiasi dampak gerakan yang berhasil mendorong pengarusutamaan PLTS Atap dalam mendukung pencapaian energi nasional, dan meningkatnya adopsi PLTS atap di berbagai sektor, serta meningkatnya partisipasi pemerintah daerah. 

Dalam 3 tahun sejak GNSSA diluncurkan, jumlah pelanggan PLN pengguna PLTS atap meningkat dari 268 pada 2017 menjadi lebih dari 2.300 pelanggan pada pertengahan tahun 2020, dengan total kapasitas mencapai 11,5 MW.

“Sejak awal, IESR percaya bahwa dengan potensi energi surya yang ada dapat menjadi prime-mover pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Karenanya dapat juga mendukung pencapaian target energi terbarukan sesuai Kebijakan Energi Nasional. Hasil studi pasar untuk sektor rumah tangga, komersial, dan UMKM di beberapa kota yang dilakukan IESR pada 2018 sampai 2020 juga menunjukkan potensi pasar serta minat publik yang cukup tinggi untuk memasang PLTS Atap,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana yang sekaligus juga salah satu deklarator GNSSA menyampaikan dukungannya untuk gerakan ini. Ia memandang gerakan ini sebagai gerakan yang positif dan akan memberikan manfaat bagi kita semua dan mungkin juga bermanfaat bagi generasi-generasi kita di masa mendatang. 

Tujuan dari GNSSA ini disebutkan Rida antara lain adalah turut mendukung pencapaian target energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Tujuan kedua adalah lebih memperkenalkan kepada masyarakat adanya energi bersih dan yang bersumber dari energi yang terbarukan dan tidak dapat habis.

“Setelah mengenal dan memahami, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan energi terbarukan dengan cara memasang PLTS Atap di rumahnya dan/atau di tempat kerjanya, “ ujar Rida.

Tujuan ketiga menurutnya yang tidak kalah penting, adalah untuk turut mendorong tumbuh kembangnya industri barang dan jasa domestik yang terkait dengan pengadaan pembangkit listrik tenaga surya.

Sejak dideklarasikan pada 17 September 2017, GNSSA telah menjadi salah satu kendaraan pemersatu pembuat kebijakan, pelaku, dan pemangku kepentingan energi surya untuk menciptakan suatu kolaborasi. Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengeluarkan Permen ESDM No. 49/2018 yang menjadi payung hukum pengguna PLTS atap, kemudian melakukan revisi untuk menurunkan biaya paralel bagi pelanggan industri. Menurut F.X. Sutijastoto, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, regulasi ini dimaksudkan untuk memfasilitasi masyarakat dan target sustainability dari kalangan komersial dan industri. “Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap ini sangat penting untuk mengembangkan pasar energi matahari yang masih kecil dan bahkan masih di bawah skala ekonominya. Dalam rangka menciptakan sistem energi masa depan yang bersih dan berkesinambungan berbasis EBTKE sambil mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah, serta memperkuat kebijakan untuk membangun  level playing field untuk EBT; Kementerian ESDM mengupayakan revisi peraturan dan perundang-undangan untuk mendukung pengembangan EBT,” demikian disampaikan oleh Sutijastoto. 

Di tahun 2019 lalu, dilakukan juga Kampanye Sejuta Surya Atap berupa kegiatan jalan sehat di area Car Free Day (CFD) DKI Jakarta di Jalan Thamrin dan pameran mini dari penyedia layanan PLTS atap. Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Dr. Andhika Prastawa menyatakan rasa hormat dan bangga atas semangat para deklarator dan pegiat energi surya yang tetap mendorong pengembangan PLTS atap, bahkan di masa pandemi ini. Beliau menyatakan terima kasih juga kepada IESR yang telah bersedia menjadi tuan rumah dan memfasilitasi ajang silaturahmi sekaligus reuni para penggerak GNSSA. “AESI dan IESR, dengan kolaborasi bersama pihak lain, menginisiasi GNSSA dengan harapan industri energi surya dapat tumbuh lebih cepat dengan visi target 1 GWp di tahun 2020. Kami bersyukur percepatan telah terjadi, walaupun target masih jauh dari tercapai. Oleh karenanya kami menyerukan agar kerjasama yang sudah terjalin baik antara pemerintah, AESI, sektor industri, dan publik ditingkatkan lagi secara kontinyu dan konsisten sehingga dapat menghasilkan terobosan-terobosan lain dalam lebih mempercepat tumbuhnya penggunaan tenaga surya. Hal ini juga berguna dalam membantu pemerintah untuk pencapaian target bauran energi nasional 2025,” ujar Andhika.

Selain inisiatif dari pemerintah pusat, pemerintah daerah juga ikut ambil bagian dalam mendorong pemanfaatan energi surya. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, diwakili oleh Gubernur Ganjar Pranowo, pada akhir 2019 telah menandatangani nota kesepahaman dengan IESR untuk mengembangkan Jawa Tengah menjadi provinsi surya (solar province) pertama di Indonesia. Di provinsi ini, minat dari rumah tangga, sektor publik, dan sektor industri cukup besar, terdapat potensi early adopters dan early followers sebesar 9,6% di sektor rumah tangga, 9,8% di sektor komersial, dan 10,8% dari UMKM. Beberapa fasilitas publik seperti stasiun dan terminal di Jawa Tengah juga telah menggunakan PLTS atap, misalnya Stasiun Batang dan Terminal Tirtonadi. Beberapa perusahaan yang berlokasi di Jawa Tengah juga menggunakan PLTS atap untuk kegiatan operasional mereka.

Tahun 2019 lalu Gubernur Bali juga mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali Energi Bersih, yang juga mendorong pemanfaatan PLTS atap di bangunan pemerintah, kawasan bisnis dan di sektor pariwisata, serta untuk masyarakat umum. Dalam pergub ini juga diatur insentif yang diberikan pada pengguna, termasuk diskon pajak bumi dan bangunan yang direkomendasikan oleh IESR. Insentif pajak dan insentif lainnya dinilai mampu mendorong minat calon pengguna PLTS atap karena akan memperpendek tingkat pengembalian modal dan juga menunjukkan penghargaan pada pengguna energi terbarukan.

IESR berpandangan bahwa PLTS Atap dapat berperan besar untuk mendukung pemulihan ekonomi paska pandemi COVID-19. Untuk itu IESR telah mengusulkan Program Surya Nusantara, yaitu pemasangan 1 GWp PLTS atap di rumah tangga penerima subsidi listrik. Program ini dipercaya dapat memberikan dampak berganda pada perkembangan industri surya domestik, menciptakan lapangan kerja hingga 30.000 ribu orang, mengurangi subsidi listrik sebesar Rp 1,3 T per tahun, dan berkontribusi pada pencapaian target energi terbarukan nasional serta target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia.

Unduh siaran pers