Peran Industri Menuju Masa Depan Bersih

Bandung, 25 Januari 2024Indonesia, sebagai salah satu negara dengan sumber daya alam yang melimpah, tengah berkomitmen untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau bahkan lebih awal. Dalam usaha mewujudkan transisi energi menuju masa depan berkelanjutan ini, sektor industri memiliki peran yang sangat krusial. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), emisi gas rumah kaca (GRK) sektor industri di Indonesia mencapai 238,1 juta ton CO2e pada 2022. Dalam kurun 2015-2022 mencapai 8-20% dari total emisi GRK nasional. Penyumbang emisi terbesar berasal dari penggunaan energi industri. 

Berkaca dari kondisi tersebut, tim Jelajah Energi Jawa Barat melanjutkan kunjungan ke sejumlah industri pada hari ketiga untuk melihat pemanfaatan energi terbarukan. PT Kahatex, PT Surya Energi Indotama, dan Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang menjadi contoh nyata bagaimana industri dapat memainkan peran sentral dalam pemanfaatan energi terbarukan.

Mengurangi Dampak Emisi dari Proses Produksi Industri Garmen dengan Energi Terbarukan

Industri apparel dan garmen, terutama yang masuk dalam rangkaian rantai pasok merk global, memiliki tanggung jawab untuk ikut ‘membersihkan’ proses produksinya. Adanya mekanisme Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) mengharuskan industri ini untuk berhitung berapa banyak emisi karbon yang dihasilkan selama proses produksi. 

Dedi Supriadi, Sustainability Compliance PT Kahatex Majalaya, menyampaikan bahwa saat ini industri tekstil sedang berlomba-lomba untuk bisa berkontribusi dalam hal pengurangan emisi dengan brand internasional. Berbagai upaya dan penggunaan teknologi energi bersih juga terus diupayakan.

“Dari tahun 2021, kami (Kahatex Majalaya) memasang PLTS atap sebanyak 15% dari kapasitas daya terpasang. Dari pemasangan PLTS ini kami berhasil menurunkan emisi sekitar 40%-50% dari 7.567e-1 CO2/unit menjadi 3.190e-1 CO2/unit,” jelas Dedi.

Adanya penurunan emisi yang signifikan ini memicu pihak Kahatex untuk mencari peluang pemanfaatan energi terbarukan lain. Sejak 2022 juga Kahatex mulai menjajaki penggunaan biomassa sebagai sumber energi panas (co-firing dengan batubara), dan sejak 2023 PT Kahatex Majalaya telah menggunakan 100 persen biomassa untuk memenuhi kebutuhan panas dalam proses produksinya.

Surya Menerangi Bumi Indonesia

Direktur Teknik & Operasi, PT Surya Energi Indotama (SEI), Fajar Miftahul Falah memaparkan, SEI sebagai anak perusahaan PT Len Industri (BUMN) mengemban tugas dalam pengembangan bisnis energi terbarukan, khususnya energi surya. Fajar menyatakan, tantangan terberat SEI sejak pendiriannya yakni bidang bisnisnya itu sendiri. Menurut Fajar, pada awal berdiri, banyak yang meragukan atas eksistensi pihaknya sebagai perusahaan tenaga surya. Selain harga PLTS yang masih mahal, Indonesia dianggap belum siap menerima tawaran. Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi energi surya semakin pesat dan harga PLTS sudah relatif terjangkau. Kini pihaknya telah berkecimpung di industri pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sejak tahun 2009, yang berarti lebih dari 15 tahun pengalaman, dengan total kapasitas terpasang PLTS lebih dari 60 MW di seluruh Indonesia. 

Suasana ruang operasional PT SEI untuk memproduksi PLTS 

“Proyek pembangunan PLTS yang digarap kami sekitar 70% berlokasi di wilayah daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) serta mendekati 3T. Untuk itu, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi ketika mengembangkan PLTS di daerah tersebut di antaranya medan yang sulit dijangkau dan faktor keamanan,” tegas Fajar. 

Tak hanya itu, kata Fajar, dari segi biaya pembangunan PLTS di wilayah 3T justru lebih mahal daripada daerah lain, seperti di Pulau Jawa. Sayangnya, banyak masyarakat yang beranggapan biaya pembangunan PLTS di seluruh daerah sama. Yang sebenarnya terjadi adalah PLTS memang murah, tetapi anggaran untuk membangunnya yang mahal. 

“Beberapa proyek PLTS yang kami kerjakan di antaranya PLTS hybrid Nusa Penida, Bali dengan kapasitas 4,2 kWp, PLTS rooftop Terminal Eksekutif Merak berkapasitas 324 kWp dan Terminal Eksekutif Bakauheni dengan kapasitas 192 kWp. Dengan fokus bisnis energi terbarukan, kami berharap dapat turut serta berkontribusi untuk Indonesia mencapai target NZE pada 2060 atau lebih awal,” ujar Fajar. 

Panas Bumi untuk Kurangi Emisi

Rintik-rintik hujan menyambut tim Jelajah Energi Jawa Barat saat tiba di PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) di bawah Direktorat Hulu yang mengelola panas bumi mulai kegiatan eksplorasi sampai dengan produksi uap dan listrik. Pengembangan sumber energi panas bumi Kamojang tersebut dikelilingi hamparan hutan pinus di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.  

Yustinar Uli, perwakilan tim PGE memaparkan, PGE Area Kamojang menjadi pioneer pengusahaan panas bumi di Indonesia dengan pemboran sumur eksplorasi panas bumi pertama oleh Belanda pada tahun 1926-1928. PGE Area Kamojang mulai beroperasi pada 29 Januari 1983 ditandai dengan beroperasinya PLTP Unit 1 Kamojang. 

Lalu, dilanjutkan dengan pembangunan unit-unit lainnya hingga PLTP Kamojang Unit 5 yang mulai beroperasi pada 2015. Saat ini PGE mengoperasikan PLTP Kamojang Unit 4 dan 5 masing-masing 60 MW dan 35 MW, sementara PLTP Kamojang Unit 1,2 dan 3 dengan kapasitas total 140 MW dioperasikan oleh PLN,” ujar Yustinar. 

Yustinar menuturkan, total kapasitas terpasang pembangkit panas bumi di area Kamojang mencapai 235 megawatt (MW) atau setara dengan pengurangan emisi CO2 1,2 juta ton per tahun. Listrik yang dihasilkan, kata Yustinar, diserap oleh PT PLN dan didistribusikan melalui sistem interkoneksi kelistrikan Jawa Madura Bali (Jamali).

 

Menelusuri Manfaat Energi Terbarukan di Tanah Pasundan

Bandung, 24 Januari 2024 – Energi terbarukan menjadi sebuah keharusan yang perlu terus didorong pemanfaatannya menuju keberlanjutan dan pengurangan dampak lingkungan. Di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, upaya untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan semakin menjadi fokus. Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat, wilayah tersebut memiliki potensi energi terbarukan mencapai 192 GW (gigawatt).

Untuk melihat lebih dekat berbagai perkembangan energi terbarukan di sektor industri dan masyarakat di Jawa Tengah, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Jelajah Energi Jawa Barat selama empat hari yakni  23-26 Januari 2024. Pada hari kedua, terdapat dua pembangkit energi terbarukan milik PT PLN Nusantara Power, dan satu desa yang dikunjungi rombongan, yakni  PLTMH Gunung Halu, Kab. Bandung Barat.

PLTA dan PLTS Cirata: Dua Kekuatan Energi Terbarukan yang Berjalan Seiring

PLTA Cirata, salah satu pembangkit listrik tenaga air yang memberikan kontribusi signifikan terhadap penyediaan energi bersih di Jawa Barat. Ristanto Handri W, Senior Officer PJB UP PLTA Cirata memaparkan, PLTA tersebut memiliki sistem transmisi interkoneksi 500 kV Jawa Madura Bali. 

“PLTA yang dibangun pada dekade 1980-an ini memiliki delapan pembangkit listrik dengan total kapasitas 1.008 megawatt (MW).PLTA ini terbesar di Indonesia dan nomor dua se-Asia Tenggara (setelah PLTA di Vietnam, red),” ujar Ristanto. 

Sementara itu, PLTS Cirata menjadi bukti bahwa energi surya dapat diintegrasikan ke dalam portofolio energi Jawa Barat. Dimas Kaharudin,  Direktur Operasional PT Pembangkitan Jawa Bali Masdar Solar Energy (PMSE) menyatakan, PLTS Cirata memiliki kapasitas produksi listrik sebesar 192 megawatt peak (MWp) memiliki potensi untuk penambahan kapasitas hingga mencapai 1000 MWp. 

“Agar pulau panel surya tidak bergerak maka menggunakan jangkar. Satu pulau memerlukan 150 jangkar yang terletak di pinggir pulau tersebut. Satu pulau berkapasitas 15,7 MWp. Keberadaan PLTS ini membuktikan energi bersih dapat bersaing kompetitif secara ekonomis dengan energi fosil,” kata Dimas. 

Dimas menegaskan, terdapat kombinasi PLTA dan PLTS yang berada di satu wilayah bisa membuat pasokan listrik tetap stabil. Misalnya saja seperti PLTA dan PLTS Terapung Cirata yang dikelola oleh PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). 

“Ketika PLTA produksinya rendah ketika musim kemarau, maka PLTS akan produksi tinggi. Begitu juga sebaliknya, ketika musim hujan ketika PLTS produksinya menurun, tapi PLTA-nya produksinya naik. Sehingga dengan dua musim (hujan dan kemarau, red), penggunaan energi terbarukan di Cirata dapat bermanfaat secara maksimal,” kata Dimas. 

PLTMH Gunung Halu: Memberdayakan Energi Mikro untuk Komunitas Lokal

Adanya kearifan lokal mendorong terhadap pemahaman mengenai pola alam sekitar yang terbukti mampu membawa masyarakatnya berdaya. Misalnya saja di Kampung Tangsijaya, Desa Gununghalu, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Warga sekitar memanfaatkan dan mengolah arus sungai menjadi energi listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).

Pengelola PLTMH Gunung Halu, Toto Sutanto memaparkan, PLTMH Gunung Halu memiliki kapasitas sekitar 18 kWh, yang dapat mengaliri listrik ke 80 rumah di Kampung Tangsijaya. Tidak sekadar memberikan listrik untuk puluhan rumah, energi listrik dari PLTMH juga mendukung operasional pabrik kopi, yang menjadi sentral perekonomian di kampung tersebut.

“Kami memanfaatkan debit air sungai sebesar 400 liter/detik dan head setinggi 8 meter. Listrik yang dihasilkan dari PLTMH disalurkan ke rumah warga dan mereka hanya dikenakan iuran Rp 25 ribu per bulan. Sementara fasilitas umum, seperti sekolah dan masjid, serta rumah warga lansia tidak dipungut iuran listrik,” ujar Toto. 

Lemahnya Kebijakan dan Aksi Iklim Indonesia

Jakarta, 30 Januari 2024 – World Meteorological Organization (WMO) menobatkan tahun 2023 sebagai tahun terpanas. Catatan sejarah menunjukkan bumi terus mengalami peningkatan suhunya dari tahun ke tahun. Untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat para ahli telah merekomendasikan sejumlah aksi iklim, salah satunya untuk memastikan dunia mencapai puncak emisi global pada tahun 2030 dan harus turun pada tahun-tahun berikutnya. 

Penggunaan energi fosil menjadi salah satu kontributor emisi terbesar di dunia. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia membutuhkan  aksi yang terukur dan riil untuk kita bertransisi dari energi fosil.

“Berdasarkan penilaian Climate Action Tracker (CAT), Indonesia tidak menunjukan penurunan emisi, bahkan mengalami kenaikan emisi pada tahun 2022 dan salah satu penyebabnya adalah peningkatan konsumsi batubara yang digunakan untuk hilirisasi. Rating Indonesia bahkan turun dari “highly insufficient” menjadi “critically insufficient”. Yang terpenting adalah langkah riil untuk akselerasi transisi pada dekade ini,” tegas Fabby.

Indonesia, sebagai salah satu 10 besar negara penghasil emisi di dunia justru mendapatkan catatan buruk dengan turunnya peringkat iklim Indonesia ke level terbawah menurut kerangka penilaian Climate Action Tracker (CAT).

Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Policy IESR, menyampaikan dalam peluncuran laporan Climate Action Tracker CAT, sepanjang tahun 2023 Indonesia menyampaikan sejumlah inisiasi dan kebijakan yang secara normatif mendukung adanya percepatan transisi energi, namun hal ini tidak berimplikasi pada upaya penurunan emisi.

“Rating Indonesia turun dari “highly insufficient ” menjadi “critically insufficient”. “Critically insufficient” berarti jika negara-negara memiliki komitmen iklim seperti Indonesia, laju pemanasan global akan ada di level 4 derajat,” kata Delima.

Mustaba Ari Suryoko, Analis Kebijakan Madya, Koordinator Pokja Penyiapan Program Aneka EBT, menanggapi bahwa penilaian terhadap upaya penurunan emisi menjadi i suatu pengingat bagi seluruh pihak untuk terus bekerja mencapai target penurunan emisi.

“Angka capaian adalah akumulasi dari berbagai variabel, maka kami berharap dalam perencanaan bukan hanya menentukan target yang ambisius namun juga harus dikerjakan upaya pencapaian,” katanya.

Anna Amalia, Fungsional Perencana Madya Bappenas, mengatakan bahwa untuk mengejar target iklim Indonesia yang lebih ambisius terdapat beberapa kesempatan.

“Pemerintah mulai bergerak progresif, dalam 20 tahun ke depan kita akan punya RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional-red) yang fokus pada penurunan emisi GRK, bagaimana kita mendorong pertumbuhan ekonomi melalui koridor yang rendah emisi dan tentu saja kebijakan lainnya akan mengikuti,” kata Anna.

Laporan tahunan Climate Transparency juga menyertakan Implementation Check untuk melihat efektivitas pelaksanaan kebijakan iklim.

Akbar Bagaskara, Analisis Sektor Ketenagalistrikan IESR, menjelaskan sektor ketenagalistrikan Indonesia ada pada kategori medium sebab implementasi kebijakan yang mendukung adanya transisi di sektor ketenagalistrikan belum berjalan dengan efektif.

“Secara historis, dalam lima tahun terakhir kita tidak mencapai target tahunan energi terbarukan. Perlu penguatan kebijakan untuk memperkuat ekosistem pendukung energi terbarukan Indonesia, serta pelibatan berbagai kelompok dalam proses perencanaan, procurement, hingga evaluasi,” jelas Akbar.

Yosi Amelia, Staff Program Hutan & Iklim, Yayasan Madani Berkelanjutan, menyoroti adanya ketidaksinkronan strategi lintas kementerian dan lembaga pemerintah yang menciptakan ketidakjelasan dokumen yang dijadikan pedoman. 

“Terdapat ketidaksinkronan antar dokumen misalnya tentang kuota deforestasi Indonesia. Dalam strategi FOLU Net Sink 2030, tidak ada lagi kuota deforestasi sementara pada E-NDC masih memberikan kuota deforestasi,” kata Yosi.

RPP KEN Pangkas Target EBT Menjadi 19 Persen di 2025

press release

Jakarta, 31 Januari 2024 – Dewan Energi Nasional (DEN) tengah menggodok pemutakhiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dengan rancangan kebijakan baru (RPP KEN) yang tengah dibahas dengan DPR. DEN menjadwalkan RPP KEN akan rampung pada Juni 2024. Target energi baru terbarukan (EBT) yang terangkum pada RPP KEN dibuat berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4-5 persen menyesuaikan Pasca-COVID dan menyetarakan energi nuklir sebagai energi terbarukan. Hasilnya, RPP KEN menetapkan target bauran EBT di 2025 turun dari sebelumnya 23 persen menjadi 17-19 persen. Sementara, target EBT di 2050 meningkat dari 30 persen menjadi 58-61 persen dan di 70-72 persen pada 2060.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang penurunan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025 dan 19-21 persen pada 2030 menyiratkan lemahnya komitmen untuk melakukan transisi energi dan saratnya kepentingan untuk mempertahankan energi fossil. IESR justru memandang tahun 2025 hingga 2030 sepatutnya menjadi tonggak penting lepas landasnya transisi energi di Indonesia dengan pencapaian target energi terbarukan lebih dari 40 persen dan puncak emisi sektor energi di 2030. Capaian bauran energi terbarukan yang ambisius di dekade ini penting agar bisa menyelaraskan emisi GRK Indonesia sesuai dengan target Persetujuan Paris  untuk membatasi kenaikan rata-rata temperatur global di bawah 1,5 derajat Celcius.

Sementara itu, terlambatnya menggenjot bauran EBT sebesar 38-40 persen di 2040 akan membuat Indonesia tidak meraup manfaat yang lebih besar dari pengembangan energi terbarukan, di antaranya harga listrik yang  lebih murah dan kompetitif untuk jangka panjang, rendahnya emisi listrik di grid yang menjadi daya tarik investasi, berkembangnya  industri manufaktur dan rantai pasok energi terbarukan dalam negeri dan penciptaan kesempatan kerja dari energi terbarukan yang lebih besar. Rendahnya bauran energi terbarukan menuju 2030, juga dapat mengurangi daya tarik investasi luar negeri ke Indonesia, pasalnya, industri dan perusahaan multinasional saat ini sudah gencar untuk memastikan kebutuhan energi mereka dipasok dari sistem kelistrikan yang rendah emisi dan akses penuh pada  energi terbarukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyebutkan penetapan target bauran energi terbarukan yang rendah di 2025 dan 2030 ini tidak sejalan dengan target bauran energi terbarukan dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang membidik 44 persen pada 2030.

“JETP telah menyepakati target bauran energi terbarukan di atas 34 persen di 2030 dan target ini selaras dengan rencana RUKN yang dibahas berbarengan dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) tahun lalu. Target bauran energi terbarukan yang diusulkan DEN membuat kredibilitas arah kebijakan transisi energi Indonesia diragukan oleh investor dan dunia internasional.  Ketimbang menurunkan target dengan alasan realistis, DEN seharusnya lebih progresif untuk melakukan transisi energi. Sebagai lembaga yang dipimpin Presiden, DEN justru dapat membongkar hambatan-hambatan koordinasi, tumpang tindih kebijakan dan prioritas untuk membuat energi terbarukan dan efisiensi energi melaju kencang,” ungkap Fabby Tumiwa.

IESR memandang strategi dalam RPP KEN seperti pengoperasian PLTN berkapasitas 250 MW di 2032 dan penggunaan CCS/CCUS pada PLTU yang masih beroperasi pada 2060 ini belum didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis di Indonesia sampai saat ini. PLTN dengan kapasitas kecil dari 300 MWe, small modular reactor, masih belum tersedia teknologi yang terbukti aman dan ekonomis. Indonesia sendiri masih harus membangun infrastruktur institusi (NEPIO), kesiapan regulator, standar keamanan, serta ketersediaan teknologi SMR yang sudah teruji, serta persetujuan masyarakat, sebelum mulai membangun PLTN. 

Adapun  aplikasi CCS/CCUS pada PLTU hingga saat ini masih menjadi solusi mahal dan tidak efektif untuk menangkap karbon, walaupun teknologi ini sudah dikembangkan puluhan tahun. Contoh  proyek CCS di Boundary Dam Kanada dan juga di PLTU Petranova di US menunjukan masalah teknis untuk memenuhi target penangkapan karbonnya dan keekonomiannya tidak layak.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR menuturkan Indonesia akan terbeban dengan biaya penerapan CCS pada PLTU yang mahal, biaya operasional yang rentan volatilitas serta tidak berkelanjutan. Sedangkan pembangunan PLTN menjadi antiklimaks di tengah menurunnya kapasitas PLTN dunia setelah tragedi nuklir di Fukushima.

“Pada dekade ini, seharusnya strategi mitigasi emisi GRK Indonesia pada sektor energi dapat difokuskan pada pembangunan teknologi energi terbarukan dan energy storage yang sudah terbukti dapat menyediakan energi dengan biaya kompetitif dengan PLTU batubara yang masih dapat subsidi. PLTS (energi surya) dan PLTB (energi angin) secara waktu konstruksi dapat dilakukan dengan cepat, sehingga pekerjaan rumah yang perlu diperbaiki adalah bagaimana menyiapkan pipeline proyek-proyek yang siap untuk diinvestasikan serta proses pengadaan di PLN,” jelas Deon.

Kontan | RPP KEN Bakal Setarakan Penggunaan Pembangkit Nuklir dengan Energi Baru Terbarukan

Dewan Energi Nasional (DEN) tengah menggodok pemutakhiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan rancangan kebijakan baru yang tengah dibahas dengan DPR. DEN menjadwalkan  Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) KEN akan rampung pada Juni 2024.

Baca selengkapnya di Kontan.

Peringkat Kebijakan dan Aksi Iklim Indonesia Turun di 2023

Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Policy, IESR memaparkan hasil penilaian CAT terhadap kebijakan, target dan aksi iklim Indonesia

Jakarta, 31 Januari 2024 – Laporan Climate Action Tracker (CAT) menilai peringkat kebijakan dan aksi serta target iklim Indonesia yang terdapat dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2023 adalah “sama sekali tidak memadai” (critically insufficient) untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Peringkat ini turun dari tahun 2022 di mana Indonesia mendapat peringkat “sangat tidak memadai” (highly insufficient). 

Institute for Essential Services Reform (IESR), sebagai kolaborator dalam CAT, mengungkapkan bahwa dengan peringkat “sama sekali tidak memadai” secara target Enhanced NDC, Indonesia berpotensi mengeluarkan emisi gas rumah kaca sebesar  1.800 juta ton setara karbon dioksida untuk target dengan upaya sendiri (unconditional) dan 1.700 juta ton setara karbon dioksida dengan target bantuan internasional (conditional) pada tahun 2030. Jumlah emisi ini belum termasuk emisi dari sektor kehutanan dan lahan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyebutkan penurunan peringkat Indonesia menjadi “sama sekali tidak memadai” dikarenakan peningkatan konsumsi batubara yang digunakan untuk hilirisasi sektor pertambangan. Ia menekankan bahwa peringkat paling bawah dalam sistem penilaian CAT ini, mengindikasikan target dan kebijakan iklim saat ini akan memicu kenaikan emisi di atas 4 derajat Celcius.

“Indonesia membutuhkan aksi yang terukur dan nyata untuk bertransisi dari energi fosil dan melakukan akselerasi transisi energi ke energi terbarukan pada dekade ini,” ungkap Fabby dalam sambutannya pada peluncuran laporan Climate Action Tracker Assessment Indonesia dan Climate Transparency Implementation Check yang diselenggarakan oleh IESR (30/1).

Sepanjang periode 2022-2023, pemerintah Indonesia telah membuat kemajuan terkait aksi mitigasi iklim, salah satunya mendorong pengembangan energi terbarukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Selain itu, target nir emisi (net zero) dan  target penyerapan emisi di sektor hutan dan lahan (FOLU net sink) 2030 yang dikeluarkan pemerintah juga merupakan komitmen positif, dan kebijakan yang ambisius dibutuhkan untuk mewujudkannya. 

Naiknya emisi tahun 2022 sekitar 200 juta ton setara karbon dioksida; salah satunya disebabkan oleh meningkatnya konsumsi batubara. Emisi dari PLTU captive, PLTU yang dioperasikan oleh perusahaan utilitas di luar PLN, diperkirakan akan meningkatkan emisi sekitar 100 juta ton pada 2030. Kebijakan iklim indonesia saat ini akan menempatkan Indonesia pada tingkat emisi sebesar 1.487-1.628 MtCO2e (di luar sektor hutan dan lahan) pada 2030. 

Selain itu, Indonesia telah menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menargetkan bauran energi terbarukan lebih tinggi dari 34% pada 2030. Meskipun demikian JETP ini belum menempatkan Indonesia selaras dengan target Persetujuan Paris.

Delima Ramadhani, Koordinator Proyek Climate Policy, IESR, menjelaskan agar sejalan dengan Persetujuan Paris emisi sektor ketenagalistrikan harus turun menjadi 140-150 juta ton setara karbon dioksida pada 2030, dan nir emisi pada tahun 2040.

“Indonesia perlu menerapkan reformasi kunci yang disarankan dalam dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif JETP (CIPP) serta merumuskan dan mengimplementasikan jalur dekarbonisasi yang ambisius untuk pembangkit listrik di luar jaringan (captive),” jelas Delima.

Mempertimbangkan kontribusi sektor ketenagalistrikan dan mempunyai potensi yang strategis untuk dekarbonisasi, IESR juga melakukan pengecekan secara implementasi kebijakan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Kebijakan ini merupakan acuan utama Indonesia dalam pengembangan ketenagalistrikan domestik, yang mana dapat juga digunakan untuk pemantauan dan evaluasi pengembangan energi terbarukan. Akbar Bagaskara, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR memaparkan secara umum penilaian terhadap RUKN adalah “sedang” (medium) yang berarti RUKN telah memiliki basis hukum yang jelas yakni Permen ESDM 143/2019, namun secara implementasi banyak menemui hambatan, di antaranya target bauran energi terbarukan yang sering tidak tercapai per tahunnya. 

“Sulitnya Indonesia dalam mencapai target tahunan bauran energi terbarukan seharusnya menjadi bahan evaluasi dan urgensi bagi pemerintah untuk menyiapkan strategi dan inovasi yang progresif untuk mencapai target-target tersebut dan sesuai dengan Persetujuan Paris,” kata Akbar.

Ia menjelaskan beberapa hal yang perlu pemerintah lakukan dalam meningkatkan implementasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah pertama, dengan meningkatkan keberadaan undang-undang pendukung untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik. Kedua, menyediakan perangkat yang jelas dan komprehensif mulai dari proses perencanaan, pengadaan, dan pelaporan, terutama untuk pemegang area bisnis selain PLN. Ketiga, menciptakan model pendapatan baru untuk PLN. Keempat, memperbaiki kerangka kerja keuangan berkelanjutan PLN untuk mendorong lebih banyak sumber pembiayaan.

BBC Indonesia | Masalah yang Luput Dibahas dalam Debat Cawapres – Kenapa Pengembangan EBT Mandek dan Indonesia Masih Enggan ‘Menyuntik Mati’ PLTU Batubara?

Debat calon wakil presiden (cawapres) pada Minggu (21/01) dinilai hanya jadi ajang pamer jargon tanpa benar-benar menyentuh substansi – terutama soal isu energi. Acara itu juga dianggap minim pembahasan mendalam tentang pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di tengah target-target besar memangkas emisi gas rumah kaca dan meredam pemanasan global, menurut pegiat lingkungan dan analis energi.

Baca selengkapnya di BBC Indonesia.

Minimnya Dorongan Akselerasi Transisi Energi dari Ketiga Paslon saat Debat Cawapres

Jakarta, 23 Januari 2024 – Debat calon wakil presiden (cawapres) kedua yang berlangsung pada Minggu (21/1/2024) mengangkat isu pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa, menuai perhatian publik. Hal ini lantaran adu gagasan tersebut diwarnai dengan berbagai gimik serangan dan saling sindir.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) sekaligus panelis debat cawapres kedua,  Fabby Tumiwa menilai, debat keempat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 belum mengutamakan konten, khususnya berkaitan dengan transisi energi. Hal tersebut membuat sejumlah isu penting terkait ekonomi dan lingkungan  hidup jauh dari pembahasan serius.

“Menurut saya, banyak paslon yang tidak memahami pertanyaan panelis yang dibacakan oleh  moderator. Mereka terlihat tidak menanggapi pertanyaan secara tepat dan ketika sesi tanya-jawab, cawapres terlihat memberikan pertanyaan yang kurang substansial. Dengan demikian, saya melihat bahwa ketiga cawapres belum sungguh-sungguh berdebat (adu gagasan- red),” ujar Fabby Tumiwa dalam program acara Laporan Khusus Kompas TV pada Selasa (23/1/2024).

Fabby menyatakan, debat panas antara cawapres yang berlangsung di Jakarta Convention Center tersebut juga belum membahas persoalan secara esensial. Hal tersebut tak lepas dari format debat tersebut yang tidak mendukung untuk mengeksplorasi gagasan dengan cukup efektif.

 

Pernyataan Cawapres

Ketiga cawapres dalam debat kedua tersebut memiliki pandangan yang mirip mengenai transisi energi hijau.  Cawapres nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, menilai komitmen pemerintah saat ini belum serius dalam melakukan transisi energi yang ditunjukkan dari penurunan target energi baru terbarukan (EBT) dan penundaan pajak karbon. Untuk itu, Muhaimin berkomitmen untuk mempercepat implementasi pajak karbon sekaligus menjalankan transisi EBT.

Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, menyampaikan kebijakan pembangunan rendah karbon yang berkeadilan harus dilakukan dengan menghentikan ketergantungan terhadap energi fosil.

Di sisi lain, cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, hanya menyinggung terkait persoalan penyelesaian sumber daya alam dan energi yang harus diselesaikan secara menyeluruh dari hulu ke hilir.

Untuk mengetahui fakta di balik pernyataan ketiga cawapres di debat tersebut, IESR telah mengadakan Live Fact Check Debat Cawapres melalui Twitter, yang dapat diakses di Twitter IESR.