Kata Data | Enam Isu Transisi Energi yang Perlu Dibahas dalam Debat Cawapres

Calon wakil presiden (cawapres) diminta untuk menghindari solusi-solusi palsu dalam transisi energi di Indonesia dalam debat cawapres di Jakarta Convention Centre (JCC), Senayan, Jakarta (21/1).  Pada debat keempat tersebut, cawapres akan mengangkat tema Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa.

Baca selengkapnya di Kata Data.

Mengejar Target 23% Bauran Energi Terbarukan di 2025 Memerlukan Strategi Percepatan dan Komitmen Politik

Jakarta, 15 Januari 2024 – Realisasi energi baru terbarukan pada 2023 hanya sebesar 13,1% dari target 17,9% dalam mencapai 23% pada 2025. Menteri ESDM, Arifin Tasrif, saat menyampaikan Capaian Sektor ESDM Tahun 2023 & Program Kerja Tahun 2024 mengemukakan 8 strategi, di antaranya pembangunan pembangkit energi baru terbarukan sebesar 10,6 GW, pembangunan PLTS atap sebesar 3,6 GW, pelaksanaan program 13,9 juta kL B35, dan co-firing biomass sebesar 10,2 juta ton pada 2025 untuk mencapai target tersebut. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pencapaian energi terbarukan di tahun 2023 sangat kontras dengan peningkatan produksi dan pemanfaatan energi fosil yang terus meningkat. Tren ini berlawanan dengan semangat transisi energi menuju net-zero emission yang telah digaungkan pemerintah sejak 2021 lalu.  

IESR menilai rendahnya pencapaian bauran target energi terbarukan bersifat sistemik, yang disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya keterlambatan lelang pembangkit energi terbarukan oleh PLN sejak 2019, kendala eksekusi proyek-proyek yang sudah kontrak karena bankability, kenaikan tingkat suku bunga keuangan dalam dua tahun terakhir, serta pandemi COVID-19. 

Sejumlah proyek energi terbarukan, terutama PLTA dan PLTP yang menjadi andalan pemerintah seperti PLTA Batang Toru, PLTP Baturaden dan PLTP Rajabasa yang mundur waktu penyelesaiannya ditengarai berkontribusi pada rendahnya capaian bauran energi terbarukan di 2023. Demikian juga proses revisi Permen ESDM No. 26/2021 yang berlarut-larut menghambat implementasi PLTS atap, sehingga PSN PLTS atap 3,6 GW tidak berjalan. 

Pemerintah berencana untuk mengejar pembangunan pembangkit energi baru terbarukan skala besar, di antaranya PLTS terapung dan PLTB. Peta jalan PLTS atap pun telah disiapkan dengan target 2023 sebesar 900 MW, dan 2024 sebesar 1800 MW. Hanya saja, menurut Fabby, regulasi PLTS atap yang tak kunjung selesai membuat adopsi PLTS atap turun di sektor residensial dan bisnis, masing-masing sebesar 20% dan 6%. Akibatnya, berdasarkan analisis IESR, pada kuartal kedua 2023, kapasitas terpasang dari PLTS atap kumulatif hanya mencapai 100 MW, jauh di bawah target yang seharusnya mencapai 900 MW pada tahun 2023.

“Pemerintah  masih punya waktu 2 tahun untuk mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan, tapi perlu ada komitmen politik, dukungan PLN, dan langkah-langkah extraordinary.  Ada sejumlah cara, antara lain: mempercepat eksekusi-eksekusi proyek yang sudah kontrak, khususnya dari Independent Power Producer (IPP). Selain itu, pemerintah harus mendesak PLN melakukan lelang pembangkit skala besar secara reguler selama tahun ini, penyederhanaan negosiasi Perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement, PPA) sehingga proyek-proyek tersebut bisa dieksekusi tahun ini. Untuk mengejar target 10,6 GW dalam dua tahun, pemerintah harus mengandalkan PLTS terapung, ground mounted dan ditambah dengan 3,6 GW target kapasitas terpasang PLTS atap. Oleh karena implementasi revisi Permen No. 26/2021 tidak boleh lagi tertunda,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Dalam hal investasi energi terbarukan, dari target sebesar USD 1,8 miliar, hanya tercapai USD 1,5 miliar. Sementara pada 2024, pemerintah menargetkan USD 2,6 miliar. Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan pendanaan energi terbarukan sebesar USD 25 miliar per tahun hingga 2030 untuk mencapai  NZE pada 2060. Untuk mengakselerasi pertumbuhan investasi energi terbarukan pemerintah perlu membantu mempersiapkan proyek energi terbarukan yang dapat diimplementasikan dan layak untuk dibiayai.

Fabby menduga ada permasalahan struktural yang menyebabkan target investasi energi terbarukan tidak pernah tercapai selama era pemerintahan Presiden Jokowi, sementara di dunia, investasi energi terbarukan terus meningkat bahkan melampaui investasi energi fosil dalam lima tahun terakhir. Untuk itu, Fabby mengusulkan adanya evaluasi serius terhadap persoalan ini sehingga pemerintah bisa dengan cepat memperbaiki lingkungan yang memungkinkan (enabling environment) perbaikan iklim investasi energi terbarukan, salah satunya tinjauan ulang atas subsidi batubara lewat skema DMO dan domestic coal pricing obligation untuk PLTU PLN. 

Akselerasi pembangunan energi terbarukan merupakan keniscayaan untuk mencapai target bauran yang tinggi di 2030 sebagaimana yang dinyatakan oleh target JETP, dan untuk mendukung pembangunan rendah karbon Indonesia. Berbeda dengan pandangan awam, harga listrik energi terbarukan jauh lebih murah dan kompetitif atas energi fosil. 

“Dari laporan capaian KESDM ini, menteri ESDM sudah mengakui biaya energi terbarukan dan biaya integrasi untuk PLTS dan PLTB, sudah dapat kompetitif dengan PLTU baru. Seharusnya sudah tidak ada keraguan lagi dalam memberikan dukungan akselerasi energi terbarukan. Perlu diperhatikan kesenjangan (gap) dan penundaan (delay) di pengembangan energi terbarukan dari hulu ke hilir dan coba dibangun strateginya. Ini termasuk dari identifikasi dan pengembangan kandidat proyek energi terbarukan awal, proses masuknya kandidat ke perencanaan PLN, bagaimana proses pengadaan energi terbarukan di PLN, serta alokasi risiko yang jelas antara PLN dan IPP bagi energi terbarukan yang dikembangkan swasta,” ungkap Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR.

Kontras dari rendahnya capaian bauran energi terbarukan, KESDM menyebutkan terjadi penurunan emisi GRK di sektor energi tahun 2023 sebesar 127,67 juta ton karbon dioksida dari target 116 juta ton karbon dioksida.

“Capaian penurunan emisi sektor energi melebihi target patut diapresiasi. Namun perlu dicatat juga bahwa target penurunan emisi sektor energi berdasarkan pada target enhanced NDC Indonesia, yang sayangnya belum kompatibl dengan jalur 1,5 C sesuai Persetujuan Paris. Pemerintah butuh mengeksplorasi strategi baru, melibatkan sektor energi lainnya seperti sektor konsumsi energi di sektor industri, transportasi, dan gedung dan bahkan yang saling berhubungan antar sektor (sector coupling),” tandas Deon.

Menurut IESR. intensitas emisi listrik Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan. Ini dapat menghambat minat investasi industri-industri multinasional yang menetapkan syarat ketersediaan listrik yang rendah emisi dan kemudahan akses pada energi terbarukan. 

“Pemerintah harus berupaya menurunkan intensitas emisi GRK di sistem kelistrikan, dengan cara mengurangi pembangkit energi fosil dan menambah pembangkit energi terbarukan. Salah satu opsinya adalah pensiun dini PLTU PLN yang telah berusia di atas 30 tahun pada 2025, yang juga dapat mendorong percepatan pembangkit energi terbarukan,” kata Fabby. 

 

Dialog Transisi Berkeadilan: Mengidentifikasi Peran Sektor Swasta dalam Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Tayangan Tunda


Latar Belakang

Indonesia merupakan negara penghasil batubara ketiga terbesar setelah India dan China di tahun 2022. Menurut penuturan Kementerian ESDM, Indonesia menargetkan produksi batubara sebesar 694.5 juta ton pada 2023, naik 0.47% lebih tinggi dari target tahun sebelumnya. Hingga bulan Oktober 2023, produksi batubara Indonesia sudah mencapai 567.2 ton atau 81.67% dari target produksi tahun ini. Batubara di Indonesia kebanyakan akan dijual ke pasar ekspor (75%-80%) dan dikonsumsi di dalam negeri (20%-25%). Akan tetapi, dengan adanya tren transisi energi, permintaan batubara Indonesia terlihat menurun, salah satunya dari India. India menurunkan permintaan batubaranya dari Indonesia dari 8.43 juta ton menjadi 6.11 juta ton per Juni 2023. 

Selain adanya tren penurunan permintaan batubara dari luar negeri, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan beberapa komitmen yang akan mempengaruhi penggunaan batubara ke depannya yang sejalan dengan agenda transisi energi menuju energi terbarukan. Pada tahun 2022, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Pembangkit Tenaga Listrik yang secara eksplisit menetapkan pelarangan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara mulai tahun 2030. Komitmen ini mendapatkan dukungan melalui penandatanganan perjanjian kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) antara Indonesia dengan IPG dan GFANZ. Melalui dokumen CIPP, Pemerintah Indonesia bermaksud untuk mencapai puncak emisi di sektor ketenagalistrikan di 290 MT CO2 dan bauran energi terbarukan sebesar 34% di tahun 2030. Selain itu, dokumen ini juga menyatakan bahwa Indonesia harus mengupayakan proses transisi energi berkeadilan dimana dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup juga menjadi perhatian bagi para pemangku kebijakan. Adanya kebijakan nasional dan global juga berpotensi dapat mempengaruhi bisnis perusahaan dan juga struktur sosial-ekonomi masyarakat di sekitar daerah pertambangan.

Kegiatan industri ekstraktif seringkali menjadi sumber utama dari pendapatan daerah, namun di samping itu juga menimbulkan kerugian baik secara ekonomi, sosial-masyarakat dan juga lingkungan. Dengan adanya agenda transisi energi, pemerintah berencana untuk membatasi konsumsi batubara sehingga akan berdampak kepada penutupan tambang batubara yang lebih cepat dan mempengaruhi kegiatan masyarakat setempat. Dalam UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kegiatan pascatambang,  pelaku usaha wajib untuk mengembalikan keadaan alam dan lingkungan setempat seperti keadaan awal. Hal ini juga tertuang pada UU No.40/2007 yang mewajibkan perseroan di bidang sumber daya alam untuk melakukan kegiatan Tanggung Jawab Sosial dimana banyak diasosiasikan dengan pemberdayaan masyarakat. Dengan mengintegrasikan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi masyarakat terhadap rencana perusahaan, diharapkan masyarakat dapat secara mandiri membangun kegiatan ekonomi mereka dan dapat lepas dari ketergantungan dari perusahaan. Sehingga, peran perusahaan dan pemerintah daerah menjadi penting untuk aktivitas pasca-tambang.

Oleh karena itu, IESR bermaksud mengundang para pelaku usaha untuk dapat memberikan informasi dan strategi perencanaan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat  dan lingkungan sebagai persiapan kegiatan pascatambang. Dengan adanya acara ini diharapkan juga dapat memperkuat perencanaan pascatambang antara pemerintah dan pemilik usaha dalam agenda transisi energi berkeadilan.

Tujuan

Kegiatan ini memiliki beberapa tujuan yaitu:

  1. Mendapatkan dan menyebarkan informasi terkait program reklamasi pascatambang baik dari sisi perencanaan dan implementasi serta tantangan yang dihadapi untuk menuju transisi berkeadilan;
  2. Mendapatkan dan menyebarkan informasi mengenai peran pelaku usaha atau industri dalam mempersiapkan dampak transisi energi kepada masyarakat dan lingkungan sekitar;
  3. Identifikasi bentuk kolaborasi kegiatan pasca tambang untuk mengembangkan berdasarkan potensi ekonomi, sumber daya alam, dan manusia melalui penerapan transisi berkeadilant;

 


Materi Presentasi

Reklamasi dan Pascatambang – Koordinator PPNS Minerba – Dr. Y. Sulistiyohadi

Reklamasi-dan-Pascatambang-Koordinator-PPNS-Minerba

Unduh

Reklamasi Pasca Tambang Ombilin1 – Yulfaizon

Reklamasi-Pasca-Tambang-Ombilin1-IESR

Unduh

Menggali Energi Laut: Alternatif Menuju Net Zero Emission

Jakarta, 21 Desember 2023 – Balai Besar Survei dan Pemetaan Geologi Kelautan (BBSPGL) Badan Geologi Kementerian ESDM telah melakukan survei dan pemetaan potensi energi laut yang dapat dimanfaatkan menjadi energi listrik. Hasilnya, 17 titik perairan di Indonesia teridentifikasi memiliki potensi energi laut. Potensi listrik dari lokasi tersebut diklaim mencapai 60 GW (gigawatt).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menjelaskan, energi laut merupakan potensi energi yang dihasilkan dari energi kinetik dan energi potensial dari laut itu sendiri. Lebih lanjut, Fabby memperkirakan potensi 60 GW tersebut terlalu rendah karena Indonesia pada dasarnya dikelilingi oleh laut, sehingga potensinya seharusnya lebih dari 60 GW. Untuk itu, sebaiknya pemetaan tersebut dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya 17 titik saja. 

“Meski demikian, potensi 60 GW ini juga jauh lebih tinggi dari sumber daya panas bumi sekitar 29 GW berdasarkan data Kementerian ESDM. Untuk itu, apabila kita mengacu terhadap rencana jangka panjang pengembangan sistem energi di Indonesia, dan dikaitkan dengan upaya mencapai net zero emission (NZE), energi laut dapat membantu kita mencapai target NZE di sektor kelistrikan pada 2050 dan sektor seluruhnya pada 2060,” kata Fabby di program acara Market Review iNews pada Kamis (21/12). 

Fabby menyatakan, energi laut memiliki karakteristik yang cukup unik, hampir mirip dengan panas bumi dan hidro yakni dapat diprediksi (predictable). Dengan adanya energi laut dimanfaatkan sebagai sumber ketenagalistrikan, dapat mengikis kekhawatiran banyak pihak terhadap integrasi energi terbarukan ke dalam sistem ketenagalistrikan. Lebih lanjut, Fabby menilai, potensi energi laut yang paling cocok untuk wilayah perairan Indonesia yaitu energi pasang surut dan energi gelombang laut. Hal tersebut dinilai berdasarkan tingkat kesiapan teknologi, keekonomian, serta kondisi di Indonesia. 

“Kenapa kedua jenis energi laut tersebut? Karena terdapat kesiapan teknologinya, beberapa teknologi itu sudah masuk pasar komersial jadi mudah. Menurut saya, kalau sudah masuk pasar komersial itu lebih mudah diaplikasikan karena sudah teruji (proven). Kedua, kondisi Indonesia sendiri di mana kita melihat pembangkit cocok untuk menyediakan listrik di daerah pesisir. Misalnya saja, untuk ketersediaan listrik di pulau terpencil. Ketiga, kedua teknologi tersebut relatif harganya mulai turun sehingga menarik untuk dikembangkan,” jelas Fabby.

Di lain sisi, Fabby memaparkan, beberapa tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia secara umum. Pertama, kualitas kebijakan dan regulasi yang menentukan apakah proyek energi terbarukan itu masuk kategori bankable atau tidak. Kedua, kondisi struktur pasar ketenagalistrikan di mana ketika masyarakat ingin mengembangkan energi terbarukan hanya dapat dijual kepada PLN, yang mana bergantung dengan kesiapan jaringan serta kebutuhan listrik. Sejak 3 tahun terakhir, PLN mengklaim tengah berada dalam kondisi overcapacity. Ketiga, investasi energi terbarukan relatif tidak menggembirakan. Investasi ini juga banyak dikaitkan dengan jenis pendanaan karena energi terbarukan secara mature, pengeluaran modal (capital expenditures, CAPEX) tinggi dan biaya operasional (operating expense, OPEX) rendah.