Dialog Transisi Berkeadilan: Mengidentifikasi Peran Sektor Swasta dalam Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Tayangan Tunda


Latar Belakang

Indonesia merupakan negara penghasil batubara ketiga terbesar setelah India dan China di tahun 2022. Menurut penuturan Kementerian ESDM, Indonesia menargetkan produksi batubara sebesar 694.5 juta ton pada 2023, naik 0.47% lebih tinggi dari target tahun sebelumnya. Hingga bulan Oktober 2023, produksi batubara Indonesia sudah mencapai 567.2 ton atau 81.67% dari target produksi tahun ini. Batubara di Indonesia kebanyakan akan dijual ke pasar ekspor (75%-80%) dan dikonsumsi di dalam negeri (20%-25%). Akan tetapi, dengan adanya tren transisi energi, permintaan batubara Indonesia terlihat menurun, salah satunya dari India. India menurunkan permintaan batubaranya dari Indonesia dari 8.43 juta ton menjadi 6.11 juta ton per Juni 2023. 

Selain adanya tren penurunan permintaan batubara dari luar negeri, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan beberapa komitmen yang akan mempengaruhi penggunaan batubara ke depannya yang sejalan dengan agenda transisi energi menuju energi terbarukan. Pada tahun 2022, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Pembangkit Tenaga Listrik yang secara eksplisit menetapkan pelarangan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara mulai tahun 2030. Komitmen ini mendapatkan dukungan melalui penandatanganan perjanjian kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) antara Indonesia dengan IPG dan GFANZ. Melalui dokumen CIPP, Pemerintah Indonesia bermaksud untuk mencapai puncak emisi di sektor ketenagalistrikan di 290 MT CO2 dan bauran energi terbarukan sebesar 34% di tahun 2030. Selain itu, dokumen ini juga menyatakan bahwa Indonesia harus mengupayakan proses transisi energi berkeadilan dimana dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup juga menjadi perhatian bagi para pemangku kebijakan. Adanya kebijakan nasional dan global juga berpotensi dapat mempengaruhi bisnis perusahaan dan juga struktur sosial-ekonomi masyarakat di sekitar daerah pertambangan.

Kegiatan industri ekstraktif seringkali menjadi sumber utama dari pendapatan daerah, namun di samping itu juga menimbulkan kerugian baik secara ekonomi, sosial-masyarakat dan juga lingkungan. Dengan adanya agenda transisi energi, pemerintah berencana untuk membatasi konsumsi batubara sehingga akan berdampak kepada penutupan tambang batubara yang lebih cepat dan mempengaruhi kegiatan masyarakat setempat. Dalam UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kegiatan pascatambang,  pelaku usaha wajib untuk mengembalikan keadaan alam dan lingkungan setempat seperti keadaan awal. Hal ini juga tertuang pada UU No.40/2007 yang mewajibkan perseroan di bidang sumber daya alam untuk melakukan kegiatan Tanggung Jawab Sosial dimana banyak diasosiasikan dengan pemberdayaan masyarakat. Dengan mengintegrasikan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi masyarakat terhadap rencana perusahaan, diharapkan masyarakat dapat secara mandiri membangun kegiatan ekonomi mereka dan dapat lepas dari ketergantungan dari perusahaan. Sehingga, peran perusahaan dan pemerintah daerah menjadi penting untuk aktivitas pasca-tambang.

Oleh karena itu, IESR bermaksud mengundang para pelaku usaha untuk dapat memberikan informasi dan strategi perencanaan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat  dan lingkungan sebagai persiapan kegiatan pascatambang. Dengan adanya acara ini diharapkan juga dapat memperkuat perencanaan pascatambang antara pemerintah dan pemilik usaha dalam agenda transisi energi berkeadilan.

Tujuan

Kegiatan ini memiliki beberapa tujuan yaitu:

  1. Mendapatkan dan menyebarkan informasi terkait program reklamasi pascatambang baik dari sisi perencanaan dan implementasi serta tantangan yang dihadapi untuk menuju transisi berkeadilan;
  2. Mendapatkan dan menyebarkan informasi mengenai peran pelaku usaha atau industri dalam mempersiapkan dampak transisi energi kepada masyarakat dan lingkungan sekitar;
  3. Identifikasi bentuk kolaborasi kegiatan pasca tambang untuk mengembangkan berdasarkan potensi ekonomi, sumber daya alam, dan manusia melalui penerapan transisi berkeadilant;

 


Materi Presentasi

Reklamasi dan Pascatambang – Koordinator PPNS Minerba – Dr. Y. Sulistiyohadi

Reklamasi-dan-Pascatambang-Koordinator-PPNS-Minerba

Unduh

Reklamasi Pasca Tambang Ombilin1 – Yulfaizon

Reklamasi-Pasca-Tambang-Ombilin1-IESR

Unduh

Menggali Energi Laut: Alternatif Menuju Net Zero Emission

Jakarta, 21 Desember 2023 – Balai Besar Survei dan Pemetaan Geologi Kelautan (BBSPGL) Badan Geologi Kementerian ESDM telah melakukan survei dan pemetaan potensi energi laut yang dapat dimanfaatkan menjadi energi listrik. Hasilnya, 17 titik perairan di Indonesia teridentifikasi memiliki potensi energi laut. Potensi listrik dari lokasi tersebut diklaim mencapai 60 GW (gigawatt).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menjelaskan, energi laut merupakan potensi energi yang dihasilkan dari energi kinetik dan energi potensial dari laut itu sendiri. Lebih lanjut, Fabby memperkirakan potensi 60 GW tersebut terlalu rendah karena Indonesia pada dasarnya dikelilingi oleh laut, sehingga potensinya seharusnya lebih dari 60 GW. Untuk itu, sebaiknya pemetaan tersebut dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya 17 titik saja. 

“Meski demikian, potensi 60 GW ini juga jauh lebih tinggi dari sumber daya panas bumi sekitar 29 GW berdasarkan data Kementerian ESDM. Untuk itu, apabila kita mengacu terhadap rencana jangka panjang pengembangan sistem energi di Indonesia, dan dikaitkan dengan upaya mencapai net zero emission (NZE), energi laut dapat membantu kita mencapai target NZE di sektor kelistrikan pada 2050 dan sektor seluruhnya pada 2060,” kata Fabby di program acara Market Review iNews pada Kamis (21/12). 

Fabby menyatakan, energi laut memiliki karakteristik yang cukup unik, hampir mirip dengan panas bumi dan hidro yakni dapat diprediksi (predictable). Dengan adanya energi laut dimanfaatkan sebagai sumber ketenagalistrikan, dapat mengikis kekhawatiran banyak pihak terhadap integrasi energi terbarukan ke dalam sistem ketenagalistrikan. Lebih lanjut, Fabby menilai, potensi energi laut yang paling cocok untuk wilayah perairan Indonesia yaitu energi pasang surut dan energi gelombang laut. Hal tersebut dinilai berdasarkan tingkat kesiapan teknologi, keekonomian, serta kondisi di Indonesia. 

“Kenapa kedua jenis energi laut tersebut? Karena terdapat kesiapan teknologinya, beberapa teknologi itu sudah masuk pasar komersial jadi mudah. Menurut saya, kalau sudah masuk pasar komersial itu lebih mudah diaplikasikan karena sudah teruji (proven). Kedua, kondisi Indonesia sendiri di mana kita melihat pembangkit cocok untuk menyediakan listrik di daerah pesisir. Misalnya saja, untuk ketersediaan listrik di pulau terpencil. Ketiga, kedua teknologi tersebut relatif harganya mulai turun sehingga menarik untuk dikembangkan,” jelas Fabby.

Di lain sisi, Fabby memaparkan, beberapa tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia secara umum. Pertama, kualitas kebijakan dan regulasi yang menentukan apakah proyek energi terbarukan itu masuk kategori bankable atau tidak. Kedua, kondisi struktur pasar ketenagalistrikan di mana ketika masyarakat ingin mengembangkan energi terbarukan hanya dapat dijual kepada PLN, yang mana bergantung dengan kesiapan jaringan serta kebutuhan listrik. Sejak 3 tahun terakhir, PLN mengklaim tengah berada dalam kondisi overcapacity. Ketiga, investasi energi terbarukan relatif tidak menggembirakan. Investasi ini juga banyak dikaitkan dengan jenis pendanaan karena energi terbarukan secara mature, pengeluaran modal (capital expenditures, CAPEX) tinggi dan biaya operasional (operating expense, OPEX) rendah.

Mencecar Komitmen Iklim Usai COP 28

Jakarta, 20 Desember 2023 – KTT Iklim COP 28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) telah berakhir pada Rabu (13/12/2023) siang, dengan menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya  menyerukan peralihan dari transisi bahan bakar fosil, serta meningkatkan kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali lipat. Selain itu, COP 28 berhasil menggalang pendanaan senilai USD 85 miliar serta 11 janji dan deklarasi yang berkomitmen terhadap aksi iklim. 

Sicha Alifa Makahekum, Staff Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai adanya berbagai kesepakatan tersebut sebaiknya diiringi dengan komitmen pendanaan yang kuat. Menurutnya, tanpa dukungan finansial yang memadai, pencapaian target-target tersebut mungkin akan sulit dilakukan. Pendanaan USD 85 miliar dari hasil COP 28 dapat menjadi langkah awal yang signifikan. Namun, perlu adanya komitmen lebih lanjut baik dari pemerintah maupun sektor swasta untuk memastikan bahwa angka tersebut tidak hanya menjadi angka nominal, tetapi benar-benar tersalurkan untuk mendukung aksi iklim. 

“Seiring kesepakatan tersebut, Indonesia sendiri juga memiliki target untuk mencapai 44% bauran energi terbarukan pada 2030 dalam kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP). Pemerintah Indonesia perlu fokus juga untuk mengejar target JETP, melakukan reformasi kebijakan dan peningkatan komitmen pembuat kebijakan untuk mengejar target JETP,” ujar Sicha di X Space IESR dengan topik “After COP28, What’s Next?pada Rabu (20/12).

Arief Rosadi, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim, IESR menyatakan, untuk pertama kalinya COP 28 membahas hasil dari Global Stocktake atau Inventarisasi Global. Dari penilaian tersebut, Indonesia tidak bisa mencapai target pada Persetujuan Paris 2015 dan perlu mengejar ketertinggalannya. 

“Indonesia perlu melakukan penguatan komitmennya melalui  second NDC yang akan lebih ambisius dan akan lebih selaras pada upaya-upaya untuk menjaga agar kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi tidak lebih dari 1,5°C. Saya berharap NDC terbaru nantinya dapat merefleksikan untuk mengejar target kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali lipat serta meningkatkan efisiensi energi juga serta mampu mengakomodir konsep just transition secara jelas,” papar Arief Rosadi.

Arief menekankan, second NDC juga perlu merefleksikan isu lainnya berkaitan dengan perubahan iklim di tingkat tapak. Misalnya saja, gender dan inklusi sosial, indikatornya harus terukur detail dan perlu membuat peta jalan yang selaras dari kebijakan iklim serta strateginya. Lebih lanjut, berkaitan dengan sektor energi, Arief menyatakan, diperlukan komunikasi yang intens di tingkat pemerintah nasional serta harmonisasi kebijakan yang sudah ada dengan dokumen kebijakan iklim terbaru. 

“Apabila kita melihat lima tahun terakhir, proses updating kebijakan iklim di Indonesia sangat cepat. Hanya saja, tantangannya yakni proses harmonisasi di tingkat pemerintah memerlukan waktu yang lebih banyak. Semua sektor terkait perubahan iklim pasti akan diarahkan untuk pemenuhan target NDC,” ujar Arief. 

Menjelang Pemilu 2024, Arief dan Sicha berharap agar calon presiden serta calon legislatif yang terpilihnya dapat meningkatkan urgensi dalam menangani perubahan iklim. Salah satunya dengan menggencarkan isu perubahan iklim dan transisi energi. 

“Polarisasi terhadap isu perubahan iklim iklim makin parah akibat efek ruang gema (echo chamber) dalam media sosial, di mana paparan informasi hanya menggemakan satu suara penyangkalan dan kebal koreksi dari penjelasan ilmiah. Selain itu, terkadang hanya kalangan tertentu saja yang membahasnya. Kita harus bisa membuat orang awam juga mengerti urgensi perubahan iklim dan transisi energi. Selain itu, kita juga perlu mengintensifkan pendekatan bilateral untuk melakukan dekarbonisasi, tidak hanya aktif di dalam forum internasional semata,” tegas keduanya. 

Memacu Industri Baterai Kendaraan Listrik Secara Berkelanjutan

Farid Wijaya, Analis Senior Bahan dan Energi Terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR)

Jakarta, 19 Desember 2023 – Dalam beberapa tahun terakhir, transisi energi telah menjadi fokus utama di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mempromosikan peralihan dari sumber energi konvensional ke energi terbarukan. Salah satu langkah strategis yang ditekankan adalah pengembangan kendaraan listrik. Dukungan ini diwujudkan melalui berbagai insentif, termasuk keringanan pajak, untuk mempercepat pertumbuhan industri kendaraan listrik serta perluasan pasar.

Farid Wijaya, Analis Senior Bahan dan Energi Terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, salah satu komponen utama dalam kendaraan listrik yang memungkinkan kinerja dan efisiensi tinggi adalah baterai. Untuk itu, nikel menjadi bahan baku kunci dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Berdasarkan International Energy Agency (IEA), tren transisi energi akan meningkatkan permintaan nikel di pasar global. Apalagi dengan adanya permintaan kendaraan ramah lingkungan yang menggunakan baterai listrik. Pada tahun 2040 mendatang, kendaraan listrik diproyeksi akan menguasai 58 persen kendaraan global.

“Sayangnya, peningkatan permintaan nikel dapat mengakibatkan ketergantungan yang lebih besar pada sumber daya alam. Proses penambangan dan pemurnian nikel dapat menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan, termasuk deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem. Untuk itu, kita perlu memperhatikan pengelolaannya agar memenuhi analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan standar lingkungan hidup, serta unsur keadilan sosial,” ujar Farid Wijaya di Forum Group Discussion (FGD) dengan judul “Rantai Pasok Baterai Kendaraan Listrik: Bekerjasama Membangun Rantai Pasok yang Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh Traction Energy Asia pada Selasa (19/12). 

Farid menuturkan,  industri pertambangan dan pemurnian nikel sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan. Untuk itu, berdasarkan analisis IESR terdapat beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam mengoptimalkan hilirisasi nikel melalui industrialisasi ramah lingkungan. Pertama, perizinan dari tata kelola pertambangan dan pemurnian nikel perlu ditinjau ulang dan berlaku pencabutan izin beserta denda. Misalnya, masalah administrasi, lingkungan dan ketidakadilan sosial. 

“Kedua, pembuatan peta jalah oleh masing-masing industri untuk melakukan dekarbonisasi. Ketiga, pengembangan dan implementasi Standar Industri Hijau (SIH) untuk pertambangan dan pemurnian nikel,” tegas Farid Wijaya. 

Lebih lanjut, Farid menekankan peningkatan yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan hilirisasi nikel melalui industrialisasi ramah lingkungan, seperti penggunaan teknologi bersih ramah lingkungan, konservasi energi dan kepatuhan terhadap standar lingkungan hidup serta analisis mengenai AMDAL. Tidak hanya itu, perlu pula perhatian terhadap  keamanan dan keselamatan pekerja serta konsultasi pemangku kepentingan. 

Di lain sisi, Farid juga memaparkan, dunia akan dibanjiri dengan baterai lithium ion besar yang sudah habis masa pakainya dan perlu dibuang seiring peningkatan jumlah kendaraan listrik di jalan raya secara global. Untuk itu, proses daur ulang dibutuhkan untuk memulihkan sebagian besar bahan aktif baterai. Pada tahun 2040, IEA memperkirakan 10% permintaan dapat dipenuhi dengan mendaur ulang baterai bekas. 

“Apabila baterai lithium ion (LIB) bekas dibuang begitu saja dan ditimbun dalam jumlah besar bisa menyebabkan infiltrasi logam berat beracun ke dalam air bawah tanah, yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Begitu juga LIB bekas dibakar sebagai limbah padat, hal tersebut akan menghasilkan sejumlah besar gas beracun. Misalnya hidrogen fluorida (HF) dari elektrolit di dalam LIB, yang dapat mencemari atmosfer. Oleh karena itu, penanganan limbah dari baterai bekas ini sangat dibutuhkan. Tak hanya itu, daur ulang menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor luar negeri,” tukas Farid Wijaya.