Report: Coal Dynamics in Indonesia

To understand the dynamics of coal sector in the future Indonesia as the global economy is shifting toward a low carbon economy and as renewable energy becomes more competitive, IESR conducts this study. This study is part of a larger study to understand the coal dynamics in China and Indonesia, which is undertaken together with Global Environmental Institute (GEI) from China. This publication is only part of our findings from the larger study.

IESR Position Paper For RIO+20 : Improving the Access to Energy Services is the Most Crucial Measure to Achieve Sustainable Development

IESR Position Paper For RIO+20 : Improving the Access to Energy Services is the Most Crucial Measure to Achieve Sustainable DevelopmentTowards the Rio+20 Summit in Rio de Janeiro, UNCSD has communicated the idea of drafting a document as a basis for negotiation on sustainable development issues on the coming June 2012. The document is called as Zero Draft Document, which contains all inputs from respective stakeholders in regards to green economy in the context of sustainable development to eradicate poverty and on the institutional framework on sustainable development.

In respect to that, UNCSD (United Nation Conference on Sustainable Development), along with other UN agencies, gave the opportunity to all respective stakeholders to contribute by submitting their inputs on both issues. All inputs will then be compiled to develop the Zero Draft Document that will be done in December 2011. The respective stakeholders are member states, major groups (there are 9 categories for major groups; one of it is NGOs), United Nations agencies and others.

In such context, IESR as one of the major groups has given its inputs to the UNCSD secretariat in regards to the Rio+20 issues. IESR sees the urge for Rio+20 to come up with concrete decision and also doable implementation steps which are highly supported by the political commitment from each member states to implement it.

IESR also thinks that the most crucial aspect to be solved deals with energy poverty. Whereas energy poverty is not merely because of economy condition, but also because of lack of (or even none of) access to descent energy services facilities. IESR also sees that the energy issues must be solved by fully adopting clean energy technologies, emphasizing non-coal and non-nuclear technologies. IESR thinks that optimum renewable energy utilization must be enforced. This can be done by phasing the fossil fuel subsidies out and/or to reform the existing fossil fuel subsidies. The fossil fuel subsidies are basically affected the development of renewable energy in every country. Because surely, the price of energy services generated from fossil fuel are much lower than those generated by renewable energy. As the result, the world will be more highly depending on fossil fuel, which is of course would lead to excessive greenhouse gases emissions that will worsen the impact of climate change.

In order to establish the renewable energy facilities, alternative financing scheme should be developed. The scheme should adopt the principle of transparancy, accountability, and practicability, and should be accessible to all. Aside from that a global technology transfer program that can be accessed equally, should also be established.

IESR’s submission can be viewed from UNCSD website.

Menghadapi Krisis Energi (yang Makin Parah)

Senin, 14 Juli 08
Oleh: Fabby Tumiwa

(Pengamat energi dan kelistrikan serta Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR).

Apa yang akan terjadi di negeri ini? jika harga minyak mentah dunia mencapai US$200 per barel? Jawabannya adalah pasok premium, solar, dan minyak tanah di seluruh Indonesia makin langka.

Selain itu, terjadi antrean panjang kendaraan bermotor di SPBU, pemadaman listrik terjadi terus-menerus setiap hari, industri gulung tikar akibat lesunya pasar, ratusan ribu orang dikenakan PHK, pemodal menunda investasinya, ekonomi mengalami stagflasi, dan terjadi kekacauan sosial (social unrest).

Saya berharap skenario itu tidak akan pernah terjadi. Namun, saya beranggapan peluang terjadinya skenario itu cukup besar jika pemerintah tidak mengambil tindakan serius, konsisten, terencana, dan terintegrasi.

Sejauh ini, pemerintah tampaknya bingung dalam mengatasi krisis energi. Hal ini tampak dari kebijakan shortcut yang diambil para menteri.

Sebagai contoh, bukannya mengambil tindakan fundamental untuk mengatasi krisis pasok listrik yang semakin akut, pemerintah malah repot dengan SKB guna mengatur hari libur bagi industri. Walaupun diharapkan kebijakan ini dapat mengurangi tekanan beban puncak tenaga listrik, kalaupun berhasil, ibarat penyakit kebijakan ini hanya mengobati gejala, bukan virus yang menjadi penyebabnya.

Tidak seimbang

Yang perlu disadari kesempatan untuk membuat dan mengimplementasikan kebijakan guna mengantisipasi meningkatnya harga energi dan berdampak pada pembangunan ekonomi dan sosial secara nasional, sangat terbatas. Kondisi energi dunia diramalkan mengalami ketidakseimbangan antara pasok dan permintaan.

Hal ini merupakan akibat dari ledakan kebutuhan energi yang akan terjadi di sejumlah negara berkembang, sementara produksi energi primer tidak cukup cepat memenuhi pertumbuhan kebutuhan.

Untuk minyak mentah, misalnya, International Energy Agency (IEA)-dalam laporannya yang dirilis pada awal Juli 2008-memperkirakan permintaannya tumbuh rata-rata 1,6% per tahun dari tingkat konsumsi sekarang sebesar 86,9 juta barel per hari (bph) menjadi 94,1 juta bph pada 2013.

Sementara itu, produksi minyak mentah negara non-OPEC hanya tumbuh 0,5%, sedangkan negara OPEC tidak serta-merta dapat menambah pasok minyak mentah. Kalaupun ada penambahan, produksi minyak mentah negara OPEC tidak akan langgeng.

Untuk menjaga pasok minyak mentah tetap konstan, diperlukan produksi baru sebanyak 3,5 juta bph. Ketatnya pasok dan permintaan juga dipengaruhi oleh berkurangnya kemampuan produksi sumur minyak non-OPEC di Laut Utara (North Sea) dan Teluk Meksiko serta stagnasi produksi dari negara-negara bekas Uni Soviet.

Sebelum IEA merilis laporannya, pada akhir April 2008 Chief Economist CBIC World Markets, Jeff Rubin, memprediksikan harga minyak mentah akan mencapai US$150 per barel pada 2010 dan US$200 per barel pada 2012. Dengan laporan IEA terbaru dan kecenderungan harga minyak mentah saat ini, prediksi Rubin bisa terjadi lebih awal dari yang diperkirakan.

Dengan tingkat produksi minyak mentah Indonesia yang kurang dari 0,9 juta bph, sedangkan konsumsi mencapai 1,3 juta-1,4 juta bph, volume impor sumber energi itu dipastikan menjadi lebih besar. Konsekuensinya, risiko terganggunya stabilitas anggaran, fiskal, dan moneter, akibat volatilitas harga minyak mentah, menjadi sangat tinggi.

Pemerintah perlu waspada terhadap kemungkinan membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dapat mengganggu kesetimbangan fiskal dan mengorbankan belanja sosial. Hal ini terutama karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla telah menebar janji berupa tidak menaikkan harga BBM, walaupun harga minyak mentah dunia melonjak lebih tinggi dari prediksi.

Sementara itu, sejumlah analis memperkirakan harga batu bara untuk pembangkit listrik (thermal coal) di pasar spot dapat naik 25%-50% akibat meningkatnya permintaan di China, India, Rusia, Korea, dan Brasil. Namun, pasok batu bara menghadapi kendala produksi dan infrastruktur transportasi.

Yang perlu diwaspadai juga adalah kemungkinan tambahan lonjakan permintaan batu bara seiring dengan berkembangnya teknologi coal to liquid (CTL) yang hasilnya dapat dipakai sebagai substitusi BBM. Tingginya harga batu bara di pasar spot akan berdampak pada harga jual kontrak batu bara lainnya, termasuk kontrak di pasar domestik untuk industri dan pembangkit listrik. Juga kesempatan untuk pasar ekspor pun terbuka luas bagi produsen batu bara.

Jadi bumerang

Wacana pemerintah untuk menerapkan kewajiban pasok domestik (DMO) batu bara untuk pembangkit listrik bisa jadi bumerang jika tidak direncanakan secara matang. Mengingat karakteristik batu bara yang bervariasi, DMO batu bara seyogianya disesuaikan dengan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN. Artinya, perencanaan pembangkit listrik beserta kebutuhan jenis dan volume batu bara untuk jangka pendek dan menengah harus tersedia lebih dahulu sebelum kebijakan DMO diberlakukan.

Mengingat nilai strategis batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi nasional di masa depan, mempertimbangkan dampak lingkungan akibat pertambangan dan transportasi serta jumlah cadangan yang terbatas, yaitu 0,5% cadangan dunia, disarankan dilakukan pembatasan produksi dan pemberian izin pertambangan.

Pemerintah juga dapat memberlakukan pajak ekspor batu bara yang lebih agresif untuk diinvestasikan ke dalam pengembangan energi terbarukan. Sekitar 75% batu bara Indonesia diekspor ke berbagai negara. Kebijakan yang populis tetapi kalau kita peduli dengan keamanan pasok energi di masa depan, maka berbagai langkah tersebut harus diambil.

China yang merupakan produsen batu bara terbesar di dunia hingga 2006 menetapkan untuk menghentikan ekspor pada 2007. AS yang memiliki cadangan batu bara terbesar di dunia pun membatasi eksploitasi domestik.

Solusi terhadap krisis listrik tidak mudah. Krisis listrik yang kita hadapi saat ini merupakan buah dari salah kelola dan salah perencanaan sistem ketenagalistrikan oleh PLN, terutama dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini.

Selain pemadaman yang menimpa seluruh provinsi, terdapat 70 juta rakyat Indonesia, sebagian adalah penduduk miskin, yang tidak terlayani akses listrik. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi bukan saja mempertahankan kualitas pasok tenaga listrik untuk 33 juta pelanggan PLN, melainkan juga memberikan listrik kepada rakyat yang belum memiliki akses tersebut.

Dengan pertumbuhan permintaan listrik sebesar 7% per tahun, dana yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur listrik sekitar US$25 miliar-US$40 miliar pada 2006-2015.

Situasi keuangan PLN sendiri sangat tidak sehat. Hal ini karena biaya produksi yang meningkat tajam sebagai akibat kenaikan harga dan peningkatan konsumsi BBM untuk pembangkit, sedangkan pendapatan PLN dari tarif listrik hanya memenuhi separuh biaya dan setengahnya didapat dari subsidi APBN untuk volume BBM yang dialokasikan bagi BUMN itu setiap tahun.

Naik 30%
Berdasarkan perhitungan Institute for Essential Services Reform (IESR), kenaikan harga minyak mentah hingga US$150 per barel dan kenaikan harga batu bara sebanyak 50% akan mengakibatkan biaya produksi listrik meningkat hingga 30%.

Untuk mengatasi krisis listrik, perlu diambil sejumlah langkah strategis jangka pendek. Pertama, mengoptimalkan program demand side management (DSM) pada seluruh lapisan konsumen, khususnya rumah tangga, sehingga beban puncak dapat dipangkas.

Kedua, mengamankan pasokan gas untuk pembangkit listrik, sehingga konsumsi BBM dapat dipangkas dan biaya produksi bisa dikendalikan. Ketiga, kaji ulang besaran tarif dasar listrik (TDL) melalui rasionalisasi subsidi untuk menetapkan tarif listrik yang mencerminkan cost recovery.

Keempat, pemulihan kelayakan keuangan PLN lewat efisiensi operasi dan peningkatan revenue dari penjualan tenaga listrik. Kelima, investasi pembangkit listrik, transmisi, dan distribusi oleh pemerintah.

Pemerintah perlu menyediakan dana sekitar US$1 miliar-US$1,5 miliar per tahun sebagai equity pada proyek yang diperhitungkan sebagai tambahan modal pemerintah kepada PLN.

Prasyaratnya adalah reformasi manajemen PLN agar lebih transparan dan akuntabel, memperbaiki tata kelola dan tata niaga di sektor energi, serta inovasi dan kesungguhan dalam bertindak untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

http://www.disperindag-jabar.go.id.