Jakarta, CNBC Indonesia- Dalam kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), yang bertajuk Indonesia Clean Energy Outlook: Reviewing 2018, Outlooking 2019 ini memperkirakan prospek energi terbarukan 2019 akan lebih suram, setidaknya hingga semester pertama 2019.
Ini salah satunya karena kebijakan pemerintah yang memutuskan tidak menaikkan tarif listrik di tahun politik. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjabarkan harga menjadi salah satu isu sentral dalam kampanye, akan sangat mungkin pemerintah akan berusaha untuk menjaga harga listrik tetap rendah.
Fabby menyebut, baru-baru ini, Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan pemerintah tidak akan menaikkan harga listrik hingga akhir 2019. Menurutnya, hal ini berarti pemerintah akan mempertahankan kebijakan status quo untuk melindungi bunga PLN dan tarif energi terbarukan ditetapkan lebih rendah untuk mensubsidi biaya pembangkitan listrik PLN yang lebih tinggi.
Kedua, lanjut Fabby, meski Kementerian ESDM telah mengisyaratkan untuk merevisi Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017 pada tahun depan, belum ada pernyataan resmi mengenai hal ini.
Demikian juga dengan ruang lingkup revisi Permen ini, karena kecenderungan menteri adalah untuk menjaga proses internal dan tidak transparan kepada publik atau pemangku kepentingan yang relevan.
“Berdasarkan revisi Peraturan Menteri ESDM No. 12/2017 jo 48/2017 dan kemudian menjadi Permen No.50/2017, perubahan peraturan saat ini tidak mengarah untuk perbaikan iklim investasi swasta di bidang energi terbarukan,” ujar Fabby dalam Indonesia Clean Energy Dialogue, di Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Ketiga, mengingat kondisi politik pada 2019, sangat mungkin bahwa investor asing akan terus menunggu dan melihat hasil pemilihan dan arah kebijakan kabinet baru pada Oktober 2019.
“Kami mengantisipasi bahwa investasi terbarukan oleh sektor swasta akan mengalir di kuartal keempat tahun depan. Oleh karena itu, sebagian besar investasi tahun depan akan dilakukan oleh PLN dan BUMN lainnya,” imbuhnya.
Selain itu, dalam kajian IESR itu juga diperkirakan proyek energi terbarukan seperti panas bumi, angin, matahari dan biomassa akan tetap stagnan hingga tahun depan. Pengembangan panas bumi akan terbatas pada kegiatan survei dan pra-eksplorasi untuk mengumpulkan data. Pengembangan proyek energi terbarukan akan terbatas sektor tertentu.
Adapun, untuk PLTS atap (Solar PV) yang berpotensi untuk dikembangkan hingga 1 GW per tahun akan tumbuh secara melambat terutama untuk pelanggan kalangan rumah tangga. Fabby menilai, keluarnya Peraturan Menteri ESDM No. 49/2018 telah menurunkan minat pelanggan PLN yang potensial khususnya perumahan dan industri.
“Untuk pembangkit listrik tenaga angin, utilitasnya juga akan melambat tahun depan, karena kerangka peraturan, masalah jaringan dan kesiapan PLN untuk mengatasi daya intermiten,” pungkas Fabby.
IESR juga mendesak pemerintah untuk membentuk Dana Energi Bersih Indonesia untuk mendukung pembiayaan energi terbarukan untuk skala kecil, terutama proyek dibawah skala 10 MW. Insentif fiskal perlu disiapakan untuk meningkatkan keekonomian proyek energi terbarukan.
Dengan rekomendasi ini, diharapkan pengembangan energi bersih akan mendapatkan daya dorong yang lebih kuat selama berlangsungnya tahun politik dan di masa depan,” tandas Pamela.
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said pun ikut menanggapi hal ini. Menurutnya, Indonesia perlu untuk mengembangkan ekosistem clean energy.
“Begitu terbentuk, ini akan jadi magnet menambah pemain energi terbarukan. Begitu pemain bertambah, harga akan semakin lama semakin turun. Jadi sekarang tidak apa kalau jumlahnya masih kecil tetapi butuh konsistensi dan payung hukumnya juga,” pungkas Sudirman. (gus)
Sumber: cnbcindonesia.com.