Jakarta, 22 Agustus 2023 – Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan berbagai kondisi geografis dan demografis, menghadapi tantangan yang kompleks dalam upaya mewujudkan pemerataan akses listrik bagi seluruh penduduknya. Meskipun sudah ada kemajuan yang signifikan dalam sektor energi selama beberapa tahun terakhir, masih banyak daerah terpencil dan pedalaman yang belum terjangkau oleh jaringan listrik nasional. Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menjembatani kesenjangan akses listrik guna memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada semua warga negara.
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR memaparkan, pemerataan akses listrik dan kualitas listrik sesuai dengan kebijakan energi nasional yaitu PP 79 Tahun 2014, tertulis dengan jelas bahwa kebijakan energi nasional punya tujuan untuk menciptakan ketahanan dan kemandirian energi nasional. Salah satu prioritasnya dalam KEN tersebut yaitu memprioritaskan perkembangan energi, pemanfaatan sumber daya yang ada di dalam negeri untuk masyarakat atau pihak yang belum mendapatkan akses energi, baik itu listrik dan lainnya.
“Untuk itu, kita memerlukan sebuah strategi yang terbukti ampuh. Misalnya saja pengembangan sistem isolated off grid di Afrika, sistem ini tidak terhubung dengan jaringan besar namun dibangun khusus untuk melistriki wilayah tertentu, memanfaatkan energi terbarukan yang tersedia di daerah tersebut. Meski demikian, strategi ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada dasarnya akses listrik seharusnya memiliki semangatnya tidak hanya memberikan akses pada listrik, tetapi juga bagaimana akses listrik bisa memberikan kesempatan bagi masyarakat yang mendapatkan aksesnya untuk memperbaiki kualitas hidup serta meningkatkan perekonomian di daerah,” tegas Deon Arinaldo dalam webinar Road to IETD: Transisi Energi dalam Pemerataan Elektrifikasi Nasional.
Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR menuturkan, rasio elektrifikasi tidak mampu menjawab pertanyaan terkait aksesibilitas, keandalan, serta kapasitas dan kualitas. Untuk itu, perlu menggunakan Multi-Tier Framework (MTF), dimana merupakan sebuah spektrum kualitas layanan dari sudut pandang pengguna listrik (end-user).
“Misalnya saja, IESR telah melakukan asesmen MTF di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan hasilnya masih terbatas di Tier 1-2, yaitu listrik tidak tersedia selama 24 jam dan terbatas. Sehingga diperlukan metode evaluasi yang bisa mengintegrasikan kualitas layanan listrik sebagai indikator kunci pencapaian terkait akses energi. Hal ini memerlukan koordinasi antar lembaga seperti Kementrian ESDM, PLN, Kemendesa, dan juga Pemda/Pemprov,” ujar Alvin. ‘
Berkaca dari hal tersebut, kata Alvin, IESR mencoba untuk mendorong paradigma “Beyond 100%” dimana akses kelistrikan dan energi tidak hanya dilihat dari rasio elektrifikasi saja. Namun perlu adanya perubahan paradigma penyediaan akses energi, yang tercermin dalam rencana pembangunan energi. Energi yang dimaksud adalah energi untuk pembangunan yang adil dan setara untuk semua kalangan.
Rachmat Mardiana, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika,Kementerian PPN/Bappenas menyatakan, dengan adanya keinginan Indonesia mencapai negara maju atau keluar dari middle income trap, mencukupi kebutuhan ketenagalistrikan juga merupakan tantangan dalam arah pengembangan wilayah yang ada di setiap pulau di Indonesia. Apabila melihat dari isu kewilayahan ketenagalistrikan, kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan tersebar menjadi tantangan untuk memberikan layanan ketenagalistrikan yang baik. Untuk itu, sejumlah upaya transformatif dalam ketenagalistrikan yang dapat dilakukan seperti percepatan transisi energi, reformasi subsidi, serta peningkatan efisiensi pemanfaatan tenaga listrik.
“Upaya dalam melakukan elektrifikasi di Indonesia juga tidak terlepas dari potensi energi terbarukan di Indonesia, seperti surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan juga laut. Hal ini juga didukung dengan adanya penurunan biaya investasi sehingga dapat diimplementasikan pada daerah terpencil.Diperlukan upaya yang kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, BUMN, dan para ahli untuk melakukan pemerataan elektrifikasi nasional. Bappenas bersama Asian Development Bank (ADB) telah menyusun suatu model untuk melistriki daerah timur Indonesia seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara yang sumber datanya berasal dari citra satelit. Tujuan utamanya adalah mengurangi biaya investasi awal yang diperlukan,” papar Rahmat.
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR mengatakan, berlistrik atau memiliki akses listrik menjadi layanan dasar bagi masyarakat untuk kesejahteraan. Untuk itu, definisi rasio elektrifikasi perlu diperbarui agar tidak ada lagi definisi beyond connection. Yang berarti berlistrik itu memiliki arti menerima listrik yang cukup untuk aktivitas sehari-hari, aktivitas produktif dan layanan dasar lainnya untuk mensejahterakan masyarakat.
“Saat ini terdapat Perpres Nomor 11 Tahun 2023 yang memberikan kewenangan lebih banyak terhadap pemerintah daerah (Pemda), khususnya pengembangan energi terbarukan. Maka implementasi selanjutnya adalah desain program atau rancangan seperti apa yang cocok terhadap penyediaan energi terbarukan dengan wilayah setempat dalam mengupayakan akses listrik. Dengan desentralisasi, semua opsi sumber energi baik dari PLN, pemerintah pusat dan Pemda bisa dieksplorasi untuk meningkatkan kualitas sehingga diharapkan aksesnya bisa mudah, handal dan kualitasnya baik,” ucap Marlistya.
Lambas Richard Pasaribu, VP Pengembangan Lisdes dan Sistem Isolated PLN menjelaskan, rasio elektrifikasi nasional mencapai 99,72 persen per Juni 2023. Tantangan dalam upaya pemerataan akses listrik di Indonesia di antaranya keterbatasan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan lainnya. Keterbatasan aksesibilitas di daerah terisolasi dan terpencil, umumnya berada di Indonesia bagian timur. Kadang kala tidak ada dermaga sehingga materialnya dibuang ke laut, kemudian dibawa oleh pekerja kontraktor listrik ke lokasi.
“Untuk itu, PLN bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan pemerintah daerah, khususnya di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) bersinergi untuk mengembangkan infrastruktur wilayah serta rencana kerja pembangunan listrik pedesaan. Sinergi ini termasuk efisien karena pembangunan infrastruktur dasar tersebut berdampak pada penurunan biaya pembangunan infrastruktur kelistrikan, sehingga semakin banyak desa yang mendapatkan akses listrik,” ucap Lambas.
Sandra Winarsa, Manajer Proyek Energi Hijau (Sumba) Hivos menuturkan, dalam proses transisi energi dan adanya kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP), perlu didorong pemerataan akses listrik ke daerah. Selain itu, di tengah masyarakat yang telah mendapatkan akses kelistrikan, kualitasnya memprihatinkan karena sering mati.
“Kami apresiasi program pemerintah dalam pemenuhan elektrifikasi tetapi prioritasisasi sepertinya over shadow dengan pengakhiran operasi PLTU batubara. Untuk itu, jangan sampai mereka yang belum mendapatkan ketidakadilan elektrifikasi ini masuk ke dalam jurang lagi. Namun demikian, saya belum melihat adanya prioritas dari JETP terhadap akses listrik. Dalam melakukan desentralisasi, diperlukan juga kesiapan Pemda untuk monitor dalam membantu kelembagaan yang lebih siap, serta kesiapan SDM untuk troubleshoot dalam hal teknis,” kata Sandra.