Jakarta, 17 Juli 2024 – Energi surya telah menjadi tulang punggung dalam berbagai peta jalan sektor ketenagalistrikan Indonesia karena potensinya yang berlimpah. Berdasarkan studi IESR, potensi energi surya di Indonesia mencapai hampir 20.000 GWp dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan. Sementara, kajian Deep Decarbonization IESR menunjukkan bahwa Indonesia mampu mencapai nol emisi dan 100 persen energi terbarukan pada tahun 2050, dengan bauran Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mencapai 88 persen. Dalam peta jalan Net-Zero Emission (NZE) 2060 yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan International Energy Agency (IEA), porsi PLTS juga mendominasi, mencapai 421 GW pada tahun 2060.
Dalam upaya mencapai target-target ambisius ini, pemerintah dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) berusaha menggenjot pengembangan PLTS di Indonesia melalui berbagai program prioritas, termasuk Program Strategis Nasional (PSN) PLTS atap dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam RUPTL ini, terdapat 4,7 GW PLTS yang sebagian telah memasuki masa pengadaan.
Untuk mewujudkan keberlanjutan energi di Indonesia, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengadakan acara Roundtable Dialogue: Solar Supply Chain Development in Indonesia pada Juni 2024 lalu. Acara ini dihadiri oleh para pelaku usaha dan menghadirkan tiga narasumber yang berasal dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Founder ATW Group, dan tenaga ahli Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membahas tantangan dan peluang dalam pengembangan industri PLTS di Indonesia.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan, energi terbarukan menjadi kunci untuk mencapai keberlanjutan energi di Indonesia. Berdasarkan analisis IESR, PLTS dapat berperan sebagai teknologi utama dalam transisi energi. Fabby menyatakan, PLTS juga telah mengalami perkembangan signifikan dengan penurunan biaya hingga 90 persen, peningkatan efisiensi, dan kemampuan adaptif yang tinggi.
Fabby juga menyoroti bahwa transisi menuju target Net-Zero Emission (NZE) pada 2060 sangat bergantung pada pengembangan PLTS. Namun, kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) saat ini untuk modul surya masih menghadapi kendala.
“Meskipun beberapa produsen mampu mencapai 40% kandungan lokal, banyak yang belum memenuhi standar Tier 1 yang dipersyaratkan lembaga pendanaan asing. Akibatnya, proyek PLTS sering tidak dapat menggunakan modul lokal, menghambat target pengembangan PLTS yang ditargetkan PLN sebesar 2 GW,” jelasnya.
Arya Rezavidi, Ahli Perekayasa Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan, Indonesia telah memiliki industri produksi modul surya, tetapi sel surya masih diimpor. Padahal, pemerintah telah memiliki target kapasitas energi surya hingga 2060 adalah 421 GW, namun pasar lokal belum berkembang cukup baik untuk mendukung target ini.
“Skala produksi di Indonesia lebih kecil sehingga biaya produksi lebih mahal dibandingkan produk dari Cina. Indonesia perlu mengembangkan industrinya untuk bersaing dengan produk luar, terutama dari Cina. Beberapa pabrik Cina telah memindahkan produksinya ke Indonesia untuk memanfaatkan kuota ekspor ke Amerika Serikat, seperti LESSO dengan kapasitas 800 MWp per tahun, Trina Mas Agra yang akan meluncur tahun depan, dan Ali Solar Cell Batam,” ungkap Arya.
Arya menyatakan, modul impor harus melalui uji dan sertifikasi SNI IEC 61215 di laboratorium BRIN yang memiliki antrean panjang. Lebih lanjut, Arya mengungkapkan, adanya kekhawatiran bahwa Indonesia hanya akan menjadi tempat relokasi pabrik tanpa memiliki teknologi sendiri. Pemerintah diharapkan menetapkan syarat bagi perusahaan luar yang ingin membangun pabrik di Indonesia untuk melibatkan BRIN dalam penelitian dan pengembangan (R&D).
“Perhitungan TKDN saat ini perlu diubah untuk mengakomodasi kategorisasi baru, dengan memasukkan R&D dalam perhitungan seperti pada perangkat elektronik. Tidak hanya itu, peraturan TKDN harus mendorong pertumbuhan industri nasional, bukan hanya membatasi impor,” imbuhnya..
Antonius Weno, Founder ATW Solar membahas kontrak jangka panjang yang dimiliki perusahaannya dengan Summarecon untuk kapasitas total 5000 unit, namun baru sebagian kecil yang telah digunakan. Ia juga menyoroti margin keuntungan untuk Engineering, Procurement, and Construction (EPC) yang sangat tipis, serta investor yang enggan berinvestasi karena tarif listrik subsidi dari PLN yang murah, sehingga waktu pengembalian investasi (payback period) untuk tenaga surya menjadi lama.
Di lain sisi, Sripeni Inten Cahyani, tenaga ahli Kementerian ESDM, menekankan pentingnya segmentasi pasar. Identifikasi pasar swasta dan captive melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), serta perluasan ke kawasan industri atau kawasan ekonomi khusus.
“Integrasi supply and demand dalam rantai pasok industri PLTS sangat penting agar produksi dapat langsung terserap. Kita juga perlu menghitung cost and benefit yang jelas untuk pemberian insentif dan keringanan non-fiskal. Selain itu, kita harus bekerja sama dengan lembaga pembiayaan untuk mendukung produk dalam negeri yang ber-TKDN,” ujarnya.
energi surya, PLTS, Net-Zero Emission, IESR, BRIN, ATW Solar, PLN, Kementerian ESDM, TKDN, RUPTL, pengembangan industri PLTS, tarif listrik subsidi, investasi energi terbarukan, segmentasi pasar PLTS