Jakarta, 11 Oktober 2023 – Indonesia, salah satu negara berkembang terbesar di dunia, tengah menghadapi tantangan dalam sektor ketenagalistrikan. Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang bertanggung jawab atas pasokan listrik, kini dilanda kelebihan pasokan listrik (oversupply). Beberapa faktor kompleks telah berkontribusi pada situasi tersebut di antaranya megaproyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara sebesar 35 gigawatt, yang diumumkan pada tahun 2015. Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam program acara Kompas Bisnis dengan topik ‘PLN Kelebihan Listrik, Negara Jangan Sampai Rugi’ pada Rabu (11/10/2023).
Fabby Tumiwa memaparkan, PLN memiliki perencanaan 10 tahun melalui proyeksi kelistrikan dan besaran kapasitas pembangkit yang harus dibangun. Berkaca dari penyediaan listrik di Indonesia, kata Fabby, sebelum 2014 pasokan listrik mengalami defisit karena pembangunan listriknya tertinggal dibandingkan laju pertumbuhan. Oleh karena itu, terdapat program 35 ribu gigawatt (GW) pada 2015 dengan target kebutuhan ekonomi akan mencapai 7% berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) sehingga kebutuhan listrik diproyeksikan tumbuh sekitar 8%.
“Di dalam perjalanannya, sejak 2015 pertumbuhan ekonomi kita tidak pernah mencapai 7%, rata-rata sekitar 5%. Sementara itu, pertumbuhan listrik sampai tahun 2019 tidak pernah mencapai 5% per tahun, hal ini menjadi persoalan karena implementasi dari program 35 GW sudah berjalan, tetapi nyatanya proyeksi tersebut tidak terlalu tepat,” ujar Fabby Tumiwa.
Lebih lanjut, Fabby menegaskan, kondisi oversupply tersebut menjadi beban karena kontrak listrik PLN menerapkan skema take or pay. Artinya, listrik yang dipakai atau tidak yang diproduksi produsen listrik swasta (IPP), PLN tetap harus membayar sesuai kontrak. Menurut Fabby, untuk mengatasi kelebihan pasokan listrik, dari sisi supply telah mulai teratasi. Hal ini bisa dilihat dari rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 di mana ada lebih dari 13 GW kapasitas pembangkit yang telah dipangkas. Untuk menghindari kasus serupa, ujar Fabby, IESR telah merekomendasikan agar dari kapasitas pembangkit sekitar 3 GW yang telah ada di pipeline berpotensi untuk dihentikan.
“Informasi dari PLN, setiap 1 GW PLN bisa rugi sekitar Rp3 triliun, namun demikian setiap pembangkit memiliki kontrak yang berbeda. Memang tidak ada cara lain untuk menyerap kelebihan listrik, kita harus menaikkan permintaan listrik. Permintaan kenaikan listrik pada 2022 terlihat sudah mulai tinggi, sekitar 5,5%. Namun demikian, kita perlu mengejar dengan pertumbuhan di atas 7% melalui permintaan listrik dari rumah tangga maupun industri,” tegas Fabby.
Fabby menjelaskan, kelebihan listrik terbesar di Sumatera dan Jawa, menyerap konsumsi listrik lebih dari 90% secara nasional. Sebagian besar di Jawa, rasio elektrifikasi dengan rata-rata 100%. Tetapi, terdapat kesenjangan rasio elektrifikasi di bagian Indonesia bagian timur seperti NTT, NTB dan Papua.
“Yang sekarang terjadi rasio elektrifikasi belum 100% di luar Jawa, sedangkan kelebihan listriknya di Jawa. Persoalannya, bukan sekadar kapasitas pembangkit tetapi juga pembangunan jaringan listrik ke daerah pelosok yang cukup mahal. Sebagai gambaran, untuk memberikan akses listrik ke satu rumah di daerah 3T maka diperlukan antara Rp10 juta – Rp100 juta namun daya beli rumah tangga cukup rendah,” ujar Fabby.