Jakarta – PT PLN (Persero) didesak untuk segera mencabut penerapan tarif baru bagi pelanggan listrik golongan 6.600 Volt Ampere ke atas karena dinilai tidak sesuai prosedur dan melanggar hak konsumen.
“Itu harusnya dicabut,” kata pengamat kelistrikan dari Institute for Essential Sevice, Fabby Tumiwa, saat berbincang dengan detikFinance, Minggu (14/2/2010).
Fabby menilai, penerapan tarif baru pelanggan golongan 6.600 Va tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Pasalnya, dalam UU itu disebutkan bahwa seluruh perubahan tarif harus ditetapkan oleh pemerintah.
Kalaupun PLN yang menetapkan tarif baru, maka harus dibuat aturan yang membolehkan PLN untuk melaksanakan itu. Aturannya bisa berbentuk Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri ESDM.
“Jadi mestinya yang membuat kebijakan pemerintah.Jangan-jangan ini akal-akalan pemerintah. Pemerintah tidak mau menaikkan tarif, lalu suruh PLN menaikkan tarif. Sebenarnya saya setuju tarif naik, asal sesuai prosedur,” kata dia.
Faktor lain yang membuat kebijakan ini harus dicabut yaitu tidak transparannya cara perhitungan tarif yang digunakan PLN sehingga merugikan pelanggan.
“Kenapa patokan perhitungan menggunakan jam hemat. Padahal yang kita bayar itu kan energi yang dipakai bukan berapa lama kita konsumsi itu. Perhitungan tidak jelas dan transparan,” ungkapnya.
Seperti diketahui, PT PLN Persero telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Direksi mengenai ketentuan penghematan pemakaian tenaga listrik oleh pelanggan mulai daya 6.600 Volt Ampere (VA) ke atas. Kebijakan ini mulai berlaku sejak Januari lalu.
GM PLN wilayah Distribusi Jakarta dan Tangerang Purnomo Willy sebelumnya mengatakan, PLN memang memperketat batas hemat pemakaian listrik pelanggan 6.600 VA. Jika sebelumnya batas hematnya sebesar 98 jam, sekarang 50 jam.
Ia mencontohkan, untuk pelanggan 6.600 VA yang memakai listrik sebanyak 90 jam dalam sebulan, maka 50 jam dari pemakaian si pelanggan masih dibayar dengan menggunakan tarif subsidi.
Sedangkan sisanya sebanyak 40 jam harus dibayar dengan menggunakan tarif non subsidi sebesar Rp 1.380 per Kwh.
Kebijakan ini juga sempat menuai protes sejumlah anggota Komisi VII DPR dalam rapat dengar pendapat dengan PLN pekan lalu. Pasalnya dalam menetapkan tarif baru tersebut, BUMN listrik itu tidak berkonsultasi dengan DPR. (epi/nrl)