Liputan6.com, Jakarta – Rencana penurunan tarif tenaga listrik (TTL) pada awal Januari 2016 sekitar Rp 100 per Kilowatt per hour (kWh) menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, misalnya Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia dan pengamat kelistrikan.
Besaran penurunan tarif listrik itu disebut-sebut tidak dapat membantu dunia usaha di tengah kondisi perekonomian yang sulit.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia, Benny Soetrisno dalam pesan singkatnya kepadaLiputan6.com justru mengeluarkan pernyataan bernada sindiran kepada pemerintah atas kebijakannya tersebut. Tarif listrik yang turun hanya US$ 100 per kWh dianggap terlalu kecil.
“Terima kasih, turunnya Rp 100 per kWh dari tarif normal untuk golongan I.3. Itu berarti kurang dari 10 persen. Terima kasih karena itu belum sangat membantu dunia usaha,” tegas Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) itu di Jakarta, Kamis (31/12/2015).
Dihubungi terpisah, Pengamat Kelistrikan sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa angkat bicara mengenai penurunan tarif listrik awal tahun depan.
Menurutnya, ada faktor yang menjadi penentu naik turunnya tarif listrik, yakni inflasi, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) dan nilai tukar. Dijelaskan Fabby, harga ICP turun sekitar 12-15 persen dari harga bulan lalu, tapi rata-rata nilai tukar rupiah lebih tinggi. Sementara inflasi stabil.
“Itungan saya biaya produksi listrik PLN turun sekitar 7-8 persen dibanding sebelumnya, jadi turun sekitar Rp100-Rp 120 per kWh. Jika tarif listrik diturunkan Rp 100 per kWh memang merefleksikan estimasi penurunan biaya produksi PLN,” terang Fabby.
Ia optimistis, kebijakan menurunkan tarif listrik bagi pelanggan listrik non subsidi (12 golongan) akan membantu dunia usaha meskipun hanya Rp 100 per kWh. Alasannya, Fabby bilang, beban biaya listrik dalam total biaya produksi perusahaan kurang dari 5 persen.
“Dunia usaha itu butuh kepastian. Jadi naik turun tarif listrik sudah diiitung. Biaya listrik bervariasi untuk setiap jenis usaha tapi selain industri padat energi, seperti tekstil, biaya beban listrik di bawah 5 persen dari total biaya produksi. Sehingga turunnya tarif justru membantu mengurangi beban biaya,” pungkas Fabby. (Fik/Ndw)
Sumber: liputan6.com.