Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah diminta menjadi mediator tarik ulur negosiasi ulang harga jual uap atau tarif listrik panas bumi antara PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) sebagai produsen dengan PT PLN (Persero) sebagai pembeli.
Pengamat Energi Ali Ahmudi menilai PGE sebagai entitas bisnis wajar mengenakan tarif listrik sesuai harga pokok produksi ditambah keuntungan. Di sisi lain, PLN yang menjalankan peran sebagai perusahaan penyedia energi listrik nasional harus berupaya mendapat harga listrik murah.
“Dari sisi bisnis PGE harus untung, tapi PLN juga harus untung atau tidak dirugikan. Di sini tidak ada pertemuan dari sisi harga. Karena itu, pemerintah harus mengarahkan bagaimana subsidi bisa diberikan,” ujar Ali, Jumat (18/12).
PGE dan PLN sebelumnya meneken interim agreement yang akan berakhir pada 31 Desember 2015. Kesepakatan tersebut meliputi perjanjian jual beli uap (PJBU) dan Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) delapan unit pembangkit yang dikelola PGE, yaitu tujuh PJBU di wilayah kerja Kamojang, Jawa Barat dan Lahendong, Sulawesi Utara dan satu PJBL di Kamojang.
Berdasarkan PJBU/PJBL tersebut, disepakati harga jual untuk Kamojang sekitar US$ 6,2 sen per kilowatthour (kwh). Sedangkan usulan PGE adalah di kisaran US$ 7,43 sen per kwh sementara PLN menghendaki di angka pembelian US$ 3,3 sen per kwh.
Kemudian untuk Kamojang yang dikelola pembangkitnya oleh PGE, kesepakatan sementara harga tengahnya adalah sekitar US$ 9,7 sen per kwh, dengan usulan PGE di kisaran US$ 10,11 sen per KWH dan PLN meminta harga beli US$ 5,82 sen per kwh.
Sementara itu untuk Lahendong, kesepakatan harga sementaranya sebesar US$ 6,2 sen per Kwh dengan usulan PGE di kisaran US$ 11,11 sen per KWH dan permintaan PLN bergerak mulai dari level US$ 2,69 sen hingga US$ 5,34 sen per kwh.
Namun sampai saat ini PGE dan PLN belum juga mencapai kesepakatan penyesuaian harga jual uap/listrik.
Negosiasi antar kedua perusahaan pelat merah tersebut terjadi pada 13 November 2015, di mana PLN tak bersedia memperpanjang kesepakatan sementara.
Dengan demikian, PJBU Kamojang yang dikelola PLN akan berakhir, PJBU Lahendong dan PJBL Kamojang yang dikelola PGE kembali ke kontrak awal PJBU/PJBL.
Ali menilai pemerintah tak bisa mendiamkan persoalan ini karena kedua perusahaan adalah milik pemerintah sekaligus juga entitas bisnis. Is berharap pemerintah bisa memberikan solusi dengan menerbitkan kebijakan yang tidak merugikan salah satu pihak atau diformalkan dalam bentuk feed in tariff.
“Tanpa itu semua itu sangat sulit. Ini tidak hanya geothermal tapi juga EBT lain,” katanya.
Ali menyarankan agar PGE diberikan kewenangan untuk dapat menjual uap atau listrik ke pihak lain Apabila PGE dipaksa hanya menjual uap atau listrik ke PLN sementara PLN tak bisa memberikan harga pasar yang lazim. Sebab menurutnya, hal itu hanya akan merugikan PGE sebagai entitas bisnis.
“Bisa saja misalnya, ada kuota dari PGE untuk PLN, tapi seharusnya juga ada proporsi untuk mereka jual juga ke swasta,” katanya.
Fabby Tumiwa, Pengamat Ketenagalistrikan mengatakan sesuai aturan yang berlaku saat ini, dalam menentukan harga harga sudah ada dua mekanisme, yakni secara bisnis (B to B) dan ceiling prices.
Fabby menyebut tinggal bagaimana perusahaan melakukan negosiasi dengan PLN untuk menentukan harga karena yang paling utama adalah harga tersebut masuk dalam kategori harga ekonomis dengan mempertimbangkan beberapa aspek seperti pengembalian investasi dan juga margin bagi perusahaan. Jika itu tersebut terpenuhi, sebenarnya tidak lagi menjadi masalah.
“PLN dan PGE silakan secara terbuka melakukan renegosiasi harga sehingga tidak saling merugikan,” katanya.
Yunus Saifulhak, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, sebelumnya menyatakan proses revisi harga panas bumi bagi PGE berlangsung terlalu lama. Revisi tidak bisa dengan mudah dilakukan lantaran ada beberapa pihak yang khawatir untuk mengambil keputusan. (ags)
Sumber: cnnindonesia.com.