Safyra Primadhyta, CNN Indonesia | Kamis, 04/07/2019 11:29 WIB
Jakarta, CNN Indonesia — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan akan konsisten menerapkan mekanisme penyesuaian tarif (tariff adjustment) listrik pada tahun depan.
Lalu, bagaimana dampaknya pada tarif listrik pelanggan?
Sesuai Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 14 Tahun 2017 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PT PLN (Persero), mekanisme penyesuaian tarif (tariff adjustment) pada golongan tarif nonsubsidi dilakukan apabila terjadi perubahan terhadap asumsi makro ekonomi, yaitu kurs Harga Minyak Indonesia (ICP), dan inflasi. Evaluasi dilakukan setiap tiga bulan.
Persentase perubahan tarif bisa menambah atau mengurangi tarif tenaga listrik (TTL) bagi pelanggan nonsubsidi. Persentase perubahan tariff adjustment dapat menjadi faktor pengurang apabila kurs rupiah menguat, inflasi turun, dan ICP lebih rendah dari asumsi APBN.
Sebaliknya, penyesuaian tarif listrik akan menjadi faktor penambah apabila kurs rupiah tertekan, inflasi melesat, dan ICP melonjak.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan sebelum beranjak ke dampak penerapan penyesuaian tarif, ada baiknya menilik potensi kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) di luar penyesuaian tarif. Sesuai ketentuan, TTL ditetapkan oleh pemerintah.
“Tarif tenaga listrik itu dasarnya adalah berapa biaya pokok pembangkitan, transmisi, distribusi, pelayanan dan ini masih harus dibahas,” ujar Fabby kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/7).
Dalam perhitungan TTL, ada estimasi dari penetapan energi primer yang berpengaruh pada biaya pembangkitan yang didominasi oleh biaya bahan bakar dan dipengaruhi oleh nilai tukar. Porsi biaya pembangkitan sendiri diperkirakan berkisar 60 persen dari TTL.
“Kami tidak tahu berapa penetapannya, tetapi BPP pembangkitan tahun ini sudah naik,” ujarnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 55 K/20/MEM/2019, pemerintah menyesuaikan besaran BPP PLN 2018. Akibatnya, BPP pembangkitan nasional pada 1 April 2019 hingga 31 Maret 2020 ditetapkan sebesar Rp 1.119 per kWh atau 7,86 sen dolar AS per kWh. BPP tersebut naik sekitar 9 persen dari BPP pembangkitan nasional pada periode 1 April 2018 hingga 31 Maret 2019, yang dipatok sebesar Rp 1.025 per kWh atau 7,66 sen dolar AS per kWh.
Kendati demikian, TTL tahun depan tentu akan melihat perubahan kurs mata uang, ICP, inflasi, dan harga energi primer termasuk batu bara. Dalam hal ini, kurs rupiah diperkirakan menguat, ICP melemah, dan inflasi lebih rendah dibandingkan tahun ini sehingga bisa memberikan ruang bagi pemerintah untuk menahan atau bahkan menurunkan TTL.
Dengan melihat kenaikan BPP pembangkitan dan faktor-faktor lain, Fabby menilai TTL seharusnya naik paling tidak 7 persen, di luar tariff adjustment. Bagi pelanggan nonsubsidi, TTL tersebut masih akan ditambah atau dikurangi persentase tariff adjustment apabila faktor kurs, ICP, dan inflasi berbeda dengan asumsi APBN 2020 nantinya.
“Jadi, tarif tenaga listrik bagi pelanggan nonsubsidi bisa naik atau turun,” ujarnya.
Pengamat energi dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi memperkirakan tarif pelanggan nonsubsidi tahun depan bisa terkerek hingga 5 persen. Proyeksi itu mempertimbangkan perkembangan asumsi makro dan pemberlakuan harga maksimal batu bara pemenuhan kewajiban kebutuhan dalam negeri yang dipatok US$70 per ton.
“Dengan menaikkan tarif listrik, pemerintah bisa menghemat dana kompensasi dan subsidi, yang selama ini memberatkan APBN,” jelasnya.
Proyeksi kenaikan sebesar 5 persen tersebut juga dibuat dengan melihat besarnya kompensasi yang dibayarkan pemerintah tahun lalu. Pemberian kompensasi menjadi indikator bahwa tarif listrik pelanggan nonsubsidi masih lebih rendah dari BPP tenaga listrik
Sementara, TTL bagi pelanggan subsidi akan tetap karena selisih antara BPP listrik PLN dengan tarif tetap akan ditutup oleh subsidi dari pemerintah.
Sebagai catatan, tahun depan, Kementerian ESDM mengusulkan subsidi listrik senilai Rp58,62 triliun dan akan diberikan kepada 26 golongan pelanggan penerima subsidi. Alokasi subsidi itu turun 10,25 persen dibandingkan alokasi tahun ini, Rp65,32 triliun. Pasalnya, asumsi kurs diperkirakan menguat dari Rp15 ribu menjadi Rp14 ribu per dolar AS, ICP turun dari US$70 menjadi US$60, pertumbuhan penjualan diperkirakan turun dari 6,97 menjadi 6,55 persen, dan rata-rata BPP turun dari Rp1.429,58 per kWh menjadi Rp1.337,42 per kWh.
Selain itu, lanjut Fahmy, mekanisme automatic adjustment (AA) yang dilakukan PLN memungkinkan kenaikan dilakukan secara bertahap sehingga pelanggan mungkin tidak menyadarinya.
“Dengan AA, konsumen tidak akan merasa keberatan karena kenaikan tarif dilakukan bertahap. Ada kalanya tarif malah turun tergantung variabel penentu biaya pokok penyediaan listrik listrik,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fahmy menilai pemberlakuan mekanisme penyesuaian tarif akan berdampak positif pada kesehatan keuangan PLN di tahun berjalan. Pasalnya, apabila ada perubahan asumsi makro tarif listrik pelanggan non subsidi bisa dinaikkan atau diturunkan sesuai ketentuan. Imbasnya akan langsung terasa pada kas perseroan.
Apabila selisih tarif dan biaya dibayarkan dalam bentuk kompensasi. Meski tetap dicatat sebagai pendapatan, bentuknya masih berupa piutang pemerintah yang waktu pembayarannya akan melihat kondisi kas negara.
Kondisi kesehatan keuangan PLN menjadi penting karena PLN mengemban tugas untuk menyediakan listrik bagi masyarakat. Terlebih, saat ini, perseroan masih harus melakukan investasi untuk pembangunan infrastruktur kelistrikan seperti dalam program 35 ribu MegaWatt. (agi)