Rangkaian konferensi para pihak (Conference of the Parties/COP-23) membahas perubahan iklim telah berakhir 17 November 2017 di Bonn, Jerman. Satu langkah besar terukir pada 16 November, setidaknya ada 20 negara, diinisiasi Kanada dan Inggris, setuju beralih ke energi terbarukan dan menghentikan pemakaian PLTU batubara pada 2030.
Negara-negara yang tergabung dalam Aliansi Tinggalkan Batubara (Powering Past Coal Alliance) ini antara lain Fiji, Finlandia, Denmark, Belanda, Italia, Austria, Portugal, Meksiko, Costa Rica, Selandia Baru dan beberapa Negara bagian Amerika Serikat.
“Ditargetkan tahun depan, aliansi ini sudah merekrut 50 negara,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Institutes for Essential Services Reform (IESR), dalam diskusi menanggapi hasil COP-23 dan implikasi terhadap kebijakan energi nasiohnal, di Jakarta, Jumat (24/11/17).
Dalam konferensi saat itu, Menteri Lingkungan dan Perubahan Iklim Kanada, Catherine McKenna mengatakan, keputusan ini penting menjaga target di Perjanjian Paris, menjaga suhu bumi tetap di bawah dua derajat Celcius (3,6 derajat Fahrenheit).
“Ini penting karena batubara benar-benar mencekik kota dan masyarakat kita,” katanya, kala itu seperti dikutip dari Mongabay.com.
Claire Perry, Menteri Negara Inggris untuk Perubahan Iklim dan Industri, mengatakan, Inggris sebagai sebuah negara ikon revolusi industri telah mengurangi ketergantungan terhadap batubara dari 40% jadi 2% sejak Juli 2012 hingga Juli 2017.
Meski Amerika Serikat dan beberapa negara yang memproduksi dan pakai batubara, seperti Australia, India dan Jerman, belum masuk dalam aliansi ini, beberapa negara bagian Amerika serikat seperti Washington dan Oregon, ikut andil.
Aliansi optimis karena ratusan pabrik batubara Amerika Serikat telah ditutup dan lusinan dinonaktifkan setiap tahun.
Fabby mengatakan, penggunaan energi global saat ini masih 80% bergantung pada energi fosil, dimana 40% dari batubara. Suhu bumi terus meningkat, setidaknya satu derajat celcius sejak komitmen penjagaan suhu bumi, hingga mengakhiri rezim batubara adalah salah satu langkah utama.
Jadi, transisi energi dari fosil ke terbarukan adalah satu hal tak bisa ditawar dan harus cepat. Untuk mencapai target ini, katanya, emisi global mencapai puncak pada 2030, turun drastis ke nol emisi pada paruh kedua abad 21 atau antara 2070-2080.
Emisi gas rumah kaca dari batubara harus turun 10 GtCO2 pada 2020 atau 2,5 GtCO2 per tahun.
“Masyarakat sipil ingin melihat dan mendorong komitmen pemerintah Indonesia dalam transisi energi dalam implementasi atas kebijakan perubahan iklim dan hasil COP2-3 di Bonn serta dampaknya bagi kebijakan energi nasional dan capaian berkelanjutan (SDGs),” katanya.
Ada tren global meninggalkan energi batubara, termasuk yang dilakukan negara-negara aliansi ini, kata Fabby, menunjukkan keekonomian energi terbarukan makin kompetitif. Harga listrik angin dan surya makin turun dan lebih murah dari batubara. Terlebih, dampak polusi udara dan air dari pembangkit listrik batubara sudah jelas.
Negara pengimpor batubara dari Indonesia pun seperti Tiongkok, India, Jepang, Thailand dan Korea cenderung menurunkan impor hingga pasar ekspor mengecil.
Indonesia, katanya, perlu membatasi produksi batubara, meski akan menghadapi tantangan berbagai kepentingan politik seperti dari pemerintah daerah dan pengusaha.
Mengutip kajian IRENA tahun 2017, katanya, Indonesia dapat mencapai target energi terbarukan pada 2050 dua dekade lebih cepat (2030).
“Saat ini pertumbuhan energi terbarukan hanya 3,6 gigawatt pertahun, padahal potensi besar harusnya bisa tumbuh tujuh gigawatt pertahun. Tantangan, political will-nya.”
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), katanya, harus membuat regulasi agar energi terbarukan lebih murah di Indonesia, terutama dari sisi perpajakan dan penyediaan lahan.
“Di banyak negara terbukti selain harga makin murah, perawatan pembangkit energi terbarukan juga tak semahal perawatan PLTU,” katanya.
Hal lain yang selalu ditekankan dalam COP-23 adalah transisi ke energi terbarukan tak hanya berdampak baik untuk kualitas udara dan mitigasi iklim suatu negara juga untuk ekonomi.
Inggris, misal, sejak 1990 telah mengurangi emisi karbon 42%, dan ekonomi tumbuh 67%. Energi terbarukan juga melibatkan 430.000 pekerja.
“Indonesia harus punya skenario untuk mencapai itu,” kata Fabby.