Jakarta, 20 April 2022 – Pemerintah Indonesia telah menetapkan proyek strategis nasional berupa pemasangan PLTS atap sebesar 3,6 GW pada tahun 2025 untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23%. Ketersediaan teknologi PLTS, mekanisme pembiayaan PLTS yang terjangkau dan pengembangan PLTS atap, PLTS terapung maupun PLTS berskala besar akan mendukung pencapaian target tersebut.
Harga jual rata-rata modul surya mengalami penurunan signifikan dari sekitar US$ 4,12/W pada tahun 2008 menjadi US$ 0,17/W pada tahun 2020. International Energy Agency melaporkan bahwa PLTS saat ini menjadi sumber listrik termurah di sebagian besar negara. Bahkan di Indonesia, hasil pelelangan PLTS di tahun Sebagai contoh di Indonesia, hasil lelang PLTS terakhir menghasilkan biaya listrik USD 0,04/kWh, lebih rendah dari rata-rata PLTU batubara yang menelan biaya USD 0,05-0,07/kWh.
IESR bekerjasama dengan CASE, GIZ, dan Kementerian PPN/Bappenas mengadakan workshop Solar Energy Technologies yang dihadiri oleh beberapa pakar yaitu Professor Martin Green, Scientia Professor di University of New South Wales, Sydney, dan Director of the Australian Centre for Advanced Photovoltaics; Noor Titan Putri Hartono, Peneliti Pascadoktoral di Departemen Bahan Aktif dan Solar Perovskite Stabil Helmholtz-Zentrum Berlin; Beny Adi Purwanto Perwakilan dari Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia; dan Jen Tan, CEO Sembcorp Energy untuk Indonesia.
Percepatan aksi mitigasi krisis iklim sangat penting untuk pengembangan energi berkelanjutan. Prof. Martin-Green menjelaskan pilihan teknologi energi terbarukan, khususnya energi surya telah tersedia untuk dikembangkan untuk mencapai dekarbonisasi Indonesia.
“Teknologi sel surya berkembang sangat pesat. Jadi jika kita ingin memulai membangun pabrik komponen PLTS, tersedia rekomendasi teknologi sel surya sesuai industri yang ada di Indonesia. Namun tantangan utamanya adalah pemilihan lokasi tempat pemasangan PLTS yang membutuhkan radiasi tinggi yang akan diserap oleh panel surya,” kata Martin.
Selain silikon sebagai salah satu bahan utama sel surya, Perovskite Solar Cells (PSC) menjadi pilihan yang menjanjikan bagi teknologi PLTS. Noor Titana mengungkapkan bahwa ebagai produsen timah terbesar kedua, Indonesia berpeluang mengembangkan Perovskite Solar Cells (PSC) . PSC memiliki efisiensi penyerapan energi tinggi di atas 20%, contohnya yaitu Perovskite, CIGS, dan CdTe. Minat untuk menggunakan PSC terus tumbuh karena sifat dan biayanya yang lebih kompetitif. Analisis tekno ekonomi pada tahun 2017 menunjukkan bahwa PSC lebih murah, dengan asumsi tingkat degradasi sama dengan silikon kristal yang ketahanannya hingga 20-25 tahun.
Noor menuturkan beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan PSC.
“Beberapa tantangan untuk mewujudkan PSC yaitu perovskite tidak stabil dan memiliki umur yang pendek dibandingkan dengan silikon. Selain itu, PSC berkinerja tinggi mengandung limbah yang beracun dan larut dalam air. Namun sebagai produsen timah terbesar ke-2, Indonesia ternyata masih memiliki peluang untuk mengembangkan PSC di masa depan.” tambah Noor.
Selain teknologi, mekanisme pembiayaan PLTS yang terjangkau juga mulai berkembang. Pilihan pembiayaan yang terbatas seringkali menghambat minat masyarakat untuk memasang pembangkit listrik tenaga surya atap. Berbagai pihak berupaya memberikan akses pendanaan PLTS komunal untuk mengatasi hal tersebut.
“Tren penggunaan modul surya juga paling banyak digunakan dalam negeri dengan kapasitas di bawah 450 Wp. PLTS membutuhkan modul surya di atas 500 Wp dengan sel surya efisiensi lebih tinggi (sel surya tipe M6). Produksi modul surya dengan kapasitas di atas 500 Wp memerlukan peralatan yang termutakhir, maka diperlukan insentif dan jaminan pasar untuk investasi. Dalam jangka pendek, kapasitas modul surya di bawah 450 Wp akan dimaksimalkan untuk proyek PLTS skala kecil (de-dieselization) dan PLTS atap,” ujar Beny Adi Purwanto Perwakilan dari Kemenperin RI.
Selain PLTS atap, Indonesia membutuhkan pengembangan PLTS skala besar atau PLTS terapung untuk mencapai target bauran energi terbarukan pada tahun 2025. Selanjutnya, peluang investasi energi surya di berbagai skala perlu mendorong PLTS yang lebih kompetitif juga perbaikan di kualitas pembiayaan. Inovasi teknologi juga terus memungkinkan PLTS menghasilkan efisiensi energi yang lebih tinggi. Hal tersebut diungkapkan oleh Jen Tan.
“Untuk keberlanjutan masa depan, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan saat memasang PLTS skala besar. Salah satunya adalah, kita harus peduli terhadap lingkungan karena bisa saja PLTS ditempatkan di ladang tenaga surya atau di daerah tangkapan air setempat yang dipenuhi dengan flora dan fauna. Dalam mengelola PLTS skala besar juga diperlukan alat untuk proses pemantauan, salah satunya terkait akuisisi data. Diperlukan layanan metering incumbent melalui application programming interface (API) yang memuat navigasi peta, tampilan aset global, agregasi alarm, dan statistik keberlanjutan juga dibutuhkan,” kata Jen Tan.***