JAKARTA, KOMPAS — Sumber energi terbarukan dari tenaga bayu dan tenaga surya adalah dua jenis energi terbarukan yang tumbuh paling cepat dalam 30 tahun ke depan. Pesatnya pertumbuhan dua jenis energi terbarukan itu sejalan dengan transisi energi yang sedang berlangsung. Indonesia tidak bisa tinggal diam dalam perubahan atau transisi energi tersebut.
Dalam BP Energy Outlook 2020, BP Chief Economist Spencer Dale mengatakan, permintaan energi global akan terus naik seiring meningkatnya kesejahteraan negara-negara berkembang. Namun, saat ini sedang terjadi pergeseran konsumsi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Dunia juga terus beralih ke tenaga listrik.
”Peran energi terbarukan tumbuh dari sekitar 5 persen pada tahun 2018 menjadi 60 persen pada 2050. Tenaga bayu dan tenaga surya mendominasi pertumbuhan tersebut, didukung oleh terus menurunnya biaya pengembangan kedua jenis energi ini, masing-masing 30 persen dan 65 persen di 2050,” kata Spencer, Senin (14/9/2020) malam.
Dia menambahkan, pengurangan karbon pada sistem energi menyebabkan meningkatnya penggunaan tenaga listrik. Pada 2050, pangsa pasar listrik sebagai total konsumsi akhir meningkat dari 20 persen pada 2018 menjadi sedikitnya 34 persen. Pertumbuhan pembangkit listrik secara global juga akan didominasi oleh pembangkit jenis energi terbarukan.
”Penurunan permintaan bahan bakar minyak di sektor transportasi didorong oleh meningkatnya efisiensi dan elektrifikasi (kendaraan listrik). Namun, bahan bakar gas juga akan tumbuh kuat di masa mendatang untuk mendukung transisi energi yang mana energi terbarukan belum cukup kuat menggantikan sepenuhnya batubara, terutama di negara-negara berkembang,” kata Spencer.
“Penurunan permintaan bahan bakar minyak di sektor transportasi didorong oleh meningkatnya efisiensi dan elektrifikasi (kendaraan listrik).”
Di Indonesia, pertumbuhan energi terbarukan, baik surya maupun bayu, belum begitu menggembirakan. Sampai 2019, kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 97,4 megawatt (MW) dan kapasitas pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) 154,3 MW. Dalam permodelan rencana umum energi nasional, kapasitas terpasang PLTS di 2019 sebesar 550 MW dan PLTB sebesar 398,9 MW. Adapun total kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan sampai 2019 adalah 10.157 MW.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, saat dihubungi, Selasa (15/9/2020), berpendapat bahwa Indonesia tidak bisa tinggal diam dalam hal transisi energi. Yang diperlukan di Indonesia adalah kebijakan atau regulasi yang mendukung pengembangan energi terbarukan, khususnya dalam hal investasi. Pasalnya, pengembangan energi terbarukan tak bisa dilakukan sendirian oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
”Untuk mempercepat pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia dari rata-rata 300-400 MW per tahun menjadi 3.000-4.000 MW sampai 2025, perlu investasi 4-5 miliar dollar AS per tahun. Oleh karena itu, perlu kebijakan yang dapat menaikkan minat investor untuk berpartisipasi,” kata Fabby.
Fabby menambahkan, perlu kesadaran dari pemerintah dan PLN untuk mengurangi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap yang membakar batubara dalam program kerja di masa mendatang. Dengan demikian, ada ruang bagi energi terbarukan untuk berpartisipasi lebih besar memperkuat pasokan listrik di Indonesia. Batubara masih berperan dominan dalam bauran energi pembangkit listrik di dalam negeri.
“Sejumlah pihak mengingatkan bahwa usaha mendorong peran energi terbarukan tidak mengabaikan peran minyak dan gas bumi.”
Dalam kebijakan energi nasional, peran energi terbarukan ditingkatkan dari 23 persen pada 2025 menjadi 31 persen di 2050 dalam bauran energi nasional. Adapun peran minyak dikurangi dari 25 persen di 2025 menjadi 20 persen pada 2050. Begitu pula peran batubara turun dari 30 di 2025 menjadi 25 persen di 2050. Untuk gas bumi, perannya naik dari 22 persen di 2025 menjadi 24 persen di 2050.
Meski demikian, sejumlah pihak mengingatkan bahwa usaha mendorong peran energi terbarukan tidak mengabaikan peran minyak dan gas bumi. Pasalnya, kendati peran minyak turun, secara volume justru naik di masa mendatang. Pada 2016, konsumsi minyak di Indonesia sebesar 56,8 juta ton dalam bauran energi nasional. Pada 2025, saat porsi minyak dikurangi menjadi 25 persen dalam bauran energi nasional, secara volume diperkirakan sebanyak 103 juta ton atau naik hampir dua kali lipat.
”Konsumsi minyak terus naik, sementara kemampuan produksi di dalam negeri terus turun. Kita tak boleh berleha-leha meski kaya akan sumber daya energi terbarukan. Sebab, di masa mendatang, kebutuhan minyak kita terus meninggi,” ujar ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, dalam sebuah webinar, akhir Agustus 2020.