Terbebas dari Energi Fosil, Indonesia Butuh Komitmen Politik, Strategi dan Kebijakan Memperkuat Iklim Investasi Energi Be

Jakarta, 3 Maret 2021-Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia untuk merencanakan proses transisi energi di Indonesia, dengan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan secara masif dan melaksanakan efisiensi energi dalam rangka memenuhi komitmen Indonesia untuk mencapai Persetujuan Paris, yang diratifikasi dengan UU No. 16/2016. 

Dampak perubahan iklim sebagai akibat kenaikan suhu global meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana iklim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hanya 2 bulan saja di tahun 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa telah terjadi 657 kejadian bencana alam, 98 persennya merupakan bencana hidrometeorologi, dengan jumlah terdampak lebih dari 3,4 juta orang.

Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi mencapai target Persetujuan Paris dengan mitigasi gas rumah kaca (GRK) yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Salah satu strategi utama mencapai target 29% penurunan emisi GRK yang tertuang di NDC ialah mengakselerasi pembangunan energi terbarukan sehingga mencapai bauran sebesar 23% dalam bauran energi nasional di 2025. Namun, hingga akhir 2020, Indonesia baru mencapai 11,5 persen. 

Pencapaian bauran energi terbarukan ini merupakan milestone penting untuk Indonesia berada pada jalur transisi energi. Untuk mencapai target dalam Persetujuan Paris dan net-zero pada pertengahan abad ini, emisi global harus turun menjadi 45% dari tingkat tahun 2010 di 2030. Agar tujuan tersebut tercapai, maka pembakaran energi fosil, yang merupakan kontributor 70% emisi GRK global, harus diturunkan. 

Hal ini ditegaskan pula pada kajian McGlade and Ekins yang dimuat di Jurnal Nature tahun 2015 yang menunjukan bahwa untuk mencegah kenaikan temperatur global tidak melebihi 2℃ maka dua pertiga cadangan energi fosil (minyak, gas dan batubara) yang saat ini ditemukan tidak boleh dibakar. Konsekuensinya, transformasi sistem energi yang berbasis pada 100% energi bersih harus segera dipersiapkan dari sekarang sehingga dapat tercapai sebelum 2050. 

“Indonesia yang 90% pasokan energinya masih berasal dari bahan bakar fosil perlu bersiap diri melakukan transformasi energi. Dalam tiga dekade mendatang, kita harus mampu meningkatkan pasokan energi terbarukan kita secara masif, dan bertransformasi menuju sistem energi bersih,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Membahas kesiapan Indonesia dalam bertransisi ke energi terbarukan,  IESR bekerja sama dengan Kompas Media melaksanakan webinar Kompas Talk berjudul “Siapkah Indonesia Tanpa Energi Fosil.” 

“Transformasi energi yang meninggalkan energi fosil yang kotor menuju energi bersih tidak bisa dilakukan secara serampangan dan sesaat, melainkan butuh perencanaan di berbagai bidang, risiko perlu dipetakan dan strategi mitigasi perlu dipersiapkan untuk mengurangi dampak negatif dan biaya ekonomi. Untuk itu diperlukan strategi dan peta jalan transisi energi di Indonesia,” tambah Fabby.

Dengan menggunakan Transition Readiness Framework (Kerangka Kesiapan Transisi) dalam Laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, IESR menemukan bahwa kesiapan Indonesia untuk melakukan transisi energi masih rendah. Namun, Indonesia masih mempunyai cukup waktu bila pemerintah lebih ambisius membenahi kesiapan berbagai aspek transisi energi yaitu: a) komitmen politik dan regulasi yang mendorong akselerasi pengembangan energi terbarukan, b) investasi dan keuangan, c) tekno-ekonomi, dan  d) penerimaan publik. Hal ini penting dilakukan agar proses transisi energi berjalan secara berkeadilan serta tidak membawa kerugian sosial ekonomi yang lebih besar.

IESR memandang bahwa hal prioritas dalam waktu dekat yang pemerintah dapat lakukan adalah memperkuat komitmen politik dan kualitas peraturan serta memastikan ketersediaan investasi dan keuangan terhadap pengembangan energi terbarukan. Agar Indonesia dapat mencapai target bauran 23%, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan perlu mencapai minimal 24 GW di tahun 2025. Hal ini berarti total penambahan pembangkit listrik energi terbarukan harus di kisaran 2-3 GW/tahun. 

Kondisi tersebut akan dapat terpenuhi dengan ketersediaan investasi pembangkit energi terbarukan mencapai 5-7 miliar dolar/tahun. Tentu saja, agar investasi mengalir dan fokus pada pengembangan energi terbarukan, pemerintah perlu memiliki komitmen tegas yang meyakinkan investor untuk berinvestasi dan membuat kebijakan investasi yang menarik. Selain itu, komitmen politik dan kebijakan yang tegas, dengan mengeluarkan kebijakan moratorium pembangunan PLTU dan mempensiunkan PLTU berumur lebih dari 20 tahun secara bertahap, akan menghindari pendanaan yang sia-sia ke depan sebagai akibat dari stranded asset (aset terdampar) PLTU.

Percepatan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia dapat dicapai dengan mengoptimalkan energi surya. Indonesia memiliki potensi sangat tinggi, analisis IESR menunjukkan potensi 655 GWp untuk sektor residensial saja dan ribuan gigawatt untuk skala besar. Dengan teknologi yang modular dan bisa dimanfaatkan dalam beragam skala, radiasi matahari yang tersedia cukup merata di seluruh Indonesia, dan investasi yang dapat ditanggung oleh beragam pihak, energi surya akan menjadi penggerak utama pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Menilik potensi energi surya yang berperan besar untuk transisi energi di daerah, Jawa Tengah melakukan langkah progresif dengan deklarasi Inisiatif Jawa Tengah sebagai Provinsi Energi Surya bersama IESR pada 2019.

Komitmen dan semangat ini mampu meningkatkan kapasitas terpasang PLTS atap di Jawa Tengah hingga 5,1 MW dari berbagai sektor di tahun 2020. Di tahun ini, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mendukung pemanfaatan energi surya untuk pemulihan ekonomi pasca-pandemi dengan pemasangan PLTS atap di UMKM.  Surat Edaran Gubernur untuk pemanfaatan PLTS atap di bangunan pemerintah, publik, komersial, dan industri yang dikeluarkan di 2019 juga menunjukkan keseriusan Jawa Tengah. 

Berdasarkan hasil perhitungan IESR, Potensi Teknis PLTS terapung di Jawa Tengah dengan bendungannya dapat  mencapai 723 MWp. Pemerintah Jawa Tengah pun menangkap potensi tersebut dan berkomitmen mengembangkan PLTS Terapung.

““Rencana investasi untuk PLTS terapung akan bekerja sama dengan IESR, sebagai tindak lanjut dari Jateng Solar Province, di Waduk Kedung Ombo, Waduk Gajah Mungkur, Waduk Wadaslintang dan Waduk Mrica,”papar Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dalam kesempatan yang sama.

energi terbarukan, transisi energi, energi fosil, Persetujuan Paris, NDC, emisi GRK, PLTU, energi surya, investasi energi, kebijakan energi, IESR, Indonesia, Jawa Tengah, PLTS, mitigasi perubahan iklim, keberlanjutan

Share on :

Leave a comment