Fabby Tumiwa [i]
Tianjin Climate Talks, yang merupakan pertemuan intersessional United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCC) terakhir sebelum COP 16 di Cancun, Mexico November mendatang, dimulai 4 Oktober hingga 9 Oktober, bertempat di Tianjin Convention Center, kira-kira 100 km dari Beijing.
Tianjin Climate Talks (TCC) direncanakan untuk melanjutkan negosiasi Ad Hoc Working Group on Long-Term Cooperative and Action (AWG-LCA) dan And-Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP. Modal TCC adalah sedikit kemajuan yang didapat di BCC yaitu teks negosiasi AWG-LCA setelah kegagalan negosiasi di COP 15 Copenhagen, dan untuk pertama kalinya adalah draft teks negosiasi AWG-KP.
Walaupun demikian, kemajuan lambat dalam negosiasi yang dicapai sejak awal tahun ini membuat TCC dihadapi dengan antusiasme yang rendah. Setelah kegagalan Copenhagen, semangat dari negara-negara maju (annex-1 parties) mengalami depresiasi yang luar biasa. Krisis finansial yang melanda AS, dan Eropa, serta peralihan pemerintahan dan krisis dalam negeri di sejumlah negara. Sangat kontras dengan situasi 3 tahun lalu, ketika dukungan dan wacana publik tentang perlunya tindakan mengatasi perubahan iklim sangat kuat di negara maju dan berkembang, dukungan dan tekanan serupa menurun drastis paska Copenhagen. Sejumlah negara Eropa yang awalnya cukup ambisius menetapkan target domestik penurunan GRK, kini malah merevisi target-target tersebut setelah dipimpin oleh pemerintahan baru yang lebih konservatif. Suasana ini pastinya berdampak pada proses perundingan yang kini berlangsung di Tianjin dan hasil yang diharapkan dicapai di COP 16 Cancun bulan Desember mendatang.
Kondisi ini semakin dipersulit dengan “kerasnya” posisi negara maju untuk menunjukkan “good will” kepada negara-negara berkembang, yang diperlukan untuk membuat proses perundingan menjadi lebih dinamis. Beberapa waktu lalu, US Special Envoy for Climate Change, Todd Stern menyatakan bahwa US tidak akan membantu pembentukan $100 milyar dana untuk mengatasi perubahan iklim, sebagaimana yang dinyatakan dalam Copenhagen Accord, jika negara-negara berkembang tidak mau memiliki target penurunan emisi yang mengikat dan memenuhi mekanisme standar pelaporan. Hal ini akan mempersulit posisi perundingan, mengingat beropersinya mekanisme pendanaan perubahan iklim merupakan salah satu posisi kunci dari negara-negara berkembang, khususnya blok G-77.
Sumber: oxfamblogs.org
Berbagai situasi ini sepertinya akan mempengaruhi hasil negosiasi perubahan iklim tahun ini. Oleh karenanya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa negosiasi yang berlangsung di TCC akan berlangsung “business as usual,” tetapi tidak mempengaruhi isi text negosiasi secara substanstial. Hasil TCC akan menentukan seberapa jauh kita bisa berharap akan hasi di Cancun, Desember mendatang.
Kontras dengan lambatnya perundingan, alam tidak bisa menunggu keterlambatan ini. Di Copenhagen, para pemimpin negara dan pemerintahan telah setuju bahwa kenaikan temperatur bumi tidak boleh melebihi 2°C dari temperatur di era pra-industri. Berbagai kajian ilmiah menyatakan bahwa untuk mencapai target ini maka emisi GRK harus mencapai puncak pada pertengahan dekade ini (2015-2016), kemudian harus turun hingga 2010. Jalur ini berarti emisi negara-negara maju harus turun pada kisaran 25-40% hingga 2020, serta minimal 80% di tahun 2050.
Walaupun demikian, target 2°C, yang berkorespondensi dengan konsentrasi 450 ppm CO2eq di atmosfer, oleh sejumlah ahli dianggap tidak lagi cukup untuk menghindari kita dari “dampak yang tidak dapat dibalikkan” (irreversible impact) dari perubahan iklim. Artinya umat manusia akan menghadapi konsekuensi yang besar apabila kenaikan temperatur mencapai 2°C. Menurut Dr. James Hansen, ahli iklim dari NASA, konsentrasi GRK yang telah mencapai 392 ppm saat ini dianggap telah mencapai batas yang berbahaya. Dampaknya sudah terlihat, kenaikan rata-rata temperatur sebesar 1°C sejak pertengahan abad 18, kenaikan 30% tingkat keasaman laut, bertambahnya frekuensi banjir, dan cuaca ekstrem, dan sebagainya.
Untuk menghindari bahaya dan dampak akibat perubahan iklim yang lebih besar, konsentrasi emisi GRK di atomsfer, menurut Hansen, harus diturunkan menjadi 350 ppm pada tahun 2100, yang berkorespondesi dengan kenaikan temperatur sebesar 1,5°C. Untuk mencapai target stabilisasi ini, tindakan drastis diperlukan. Semakin lambat penurunan emisi terjadi, semakin sukar mencapai target yang diharapkan.
Sumber: http://www.ecnt.org/photos/cur_climate_cartoon.jpg
Apa maknanya dalam konteks negosiasi UNFCCC? Artinya Climate COP 16 di Cancun, harus dapat menyepakati penurunan emisi yang ambisius pasca Kyoto Protocol. Diperlukan penurunan emisi GRK negara maju yang substansial, diatas skenario dan kalkulasi yang dibuat oleh IPCC dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Dalam situasi ini, bukan berarti bahwa negara-negara berkembang hanya berpangku tangan. Upaya penurunan emisi juga perlu dilakukan di negara-negara berkembang seperti Brasil, Cina, India, Indonesia, Afrika Selatan dan negara-negara lainnya. Hanya saja, penurunan emisi di negara berkembang tidak dapat terjadi dalam sekejap mata. Dibutuhkan teknologi, pendanaan dan kapasitas institusi untuk dapat melakukan penurunan emisi secara bertahap.
Sejauh ini kita melihat sejumlah kemajuan dilakukan oleh sejumlah negara-negara berkembang untuk menurunkan laju pertumbuhan emisi GRK dalam jangka pendek dan panjang. China misalnya telah menetapkan penurunan intensitas energi per unit GDP sebesar 45% hingga tahun 2020. Indonesia sendiri sudah merancang penurunan emisi dari skenario BAU melalui rencana yang ditungkan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Penurunan Emisi GRK. Selain itu program kerjasama Indonesia dan Norwegia untuk menurunkan laju deforestasi dan pengalihan lahan, sepertinya akan memberikan hasil yang lebih konkrit jika benar-benar dilaksanakan. Berbagai upaya bisa dilihat di sejumlah negara berkembang lainnya.
Berbeda kondisi dengan negara berkembang, negara-negara maju memiliki teknologi, dana dan kapasitas untuk mewujudkan penurunan emisi yang lebih ambisius untuk mencapai target stabilisasi Gas Rumah Kaca yang aman di atmosfer. Sayangnya, bukannya berkurang, laju emisi GRK justru mengalami kenaikan. Minimnya komitmen dan kemauan politik dari pemimpin politik dan sebagian warga di negara-negara maju tersebut. Karena alasan daya saing industri, negara-negara ini enggan untuk menurunkan emisinya, jika negara-negara berkembang besar seperti China, India dan Brasil tidak ikut serta dalam upaya ini. Padahal negara maju yang memiliki populasi sekitar 1/4 dari populasi dunia, bertanggung jawab atas ¾ emisi GRK historis yang ada, yang merupakan penyebab krisis iklim saat ini.
Kegagalan perundingan perubahan iklim di Cancun, membuat jutaan orang di negara berkembang terancam nasibnya. Penduduk miskin yang akan terkena dampak terbesar akibat krisis lingkungan dan sosial yang diinduksi oleh bencana lingkungan. Masyarakat yang tinggal di pesisir harus mencari alternatif untuk tinggal dan mencari sumber kehidupan baru, nelayan berhadapan dengan krisis produksi ikan akibat rusaknya terumbu karang dan peningkatan keasaman laut, petani mengalami penurunan produksi pertanian dan semakin sukar memperkirakan musim.
Ini adalah gambaran masa depan kita, yang tidak terlalu lama. Oleh karena itu diperlukan suatu kesepakatan global yang adil (fair), ambisius, dan mengikat. Bukan sekedar angka, tetapi angka yang mampu mencapai stabilisasi gas rumah kaca di atmosfer yang dapat menghindari umat manusia dari bencana dan maut.
Diperlukan keinginan negara maju untuk menurunkan emisi GRK, karena mereka lah yang memicu krisis iklim yang terjadi, dan kesadaran negara berkembang untuk menempuh pembangunan emisi karbon rendah, untuk menghindarkan kita dari kesalahan model pembangunan yang rakus sumberdaya seperti yang dulu dilakukan oleh negara maju, yang menjadi sebab krisis yang kita alami dan akan semakin menguat di masa mendatang.
Sebagai warga dari negara berkembang, menjadi tugas kita untuk mendorong dan mendesak negara-negara maju untuk melaksanakan komitmen dan kewajiban mereka dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, sekaligus pada saat yang bersamaan kita memastikan agar kita sendiri memastikan jejak karbon kita rendah.
[i] Direktur Eksekutif IESR