Tiga Alasan SNDC Indonesia Harus Ambisius  

Jakarta, 22 Oktober 2025 – Mendekati perhelatan Conference of Parties (COP) 30, sebanyak 99 negara penandatangan Persetujuan Paris telah menyerahkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai bentuk komitmen untuk mengurangi emisi GRK dan menahan laju pemanasan global. 

Indonesia saat ini sedang dalam proses menyusun dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC). Dokumen SNDC Indonesia akan menjadi acuan aksi iklim Indonesia utamanya pada periode 2031-2035. Komitmen SNDC yang ambisius dan progresif akan memperkuat pengaruh Indonesia pada diplomasi global, meningkatkan daya saing ekonomi, dan kedaulatan nasional.  

Fabby Tumiwa, Chief Executive Officer (CEO) Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar bertajuk Road to COP30 – Indonesia’s SNDC mengatakan bahwa penting bagi Indonesia menunjukkan komitmen iklim yang responsif terhadap krisis iklim yang berlangsung saat ini.  

“Konsensus ilmiah sudah jelas. Kita harus mencapai puncak emisi global secepatnya dan melakukan penurunan besar-besaran dalam dekade ini agar target kenaikan suhu 1,5 derajat tetap dapat tercapai. Bagi Indonesia, sebagai negara berkembang sekaligus pemain utama dan penghasil emisi global, urgensi ini menjadi mandat moral dan eksistensial untuk bertindak tegas. Itulah sebabnya IESR terus mendorong agar Second NDC (SNDC) Indonesia disusun secara lebih ambisius,” kata Fabby.  

Fabby menyampaikan tiga pilar yang menjadi dasar  untuk Indonesia menetapkan SNDC yang ambisius. Pertama, investasi pada kedaulatan nasional. NDC yang kuat akan melindungi masyarakat pesisir, menjamin ketahanan pangan, air, dan energi, serta memperkuat daya tahan nasional terhadap bencana. Kedua, menciptakan peluang ekonomi. Agar tetap selaras dengan jalur 1,5°C, analisis IESR menunjukkan bahwa bauran energi terbarukan Indonesia perlu mencapai setidaknya 40% pada tahun 2030 dan sekitar 55% pada tahun 2035. Target yang ambisius dapat menarik investasi hijau, mengurangi risiko aset mangkrak akibat ketergantungan pada energi fosil, serta memposisikan Indonesia sebagai pemimpin teknologi energi bersih.  

Ketiga, cerminan kepemimpinan global Indonesia.  Sebagai ekonomi besar dan negara kepulauan, komitmen iklim Indonesia dapat menginspirasi negara-negara Selatan (Global South) untuk bertindak lebih berani. 

Delima Ramadhani, Koordinator Kebijakan Iklim IESR mengatakan bahwa draf SNDC Indonesia saat ini belum menunjukkan komitmen yang cukup untuk mencapai target Persetujuan Paris. Draf SNDC Indonesia tidak ambisius dan,menunjukkan bahwa target 2030 akan mudah dicapai tanpa adanya perubahan signifikan pada kebijakan iklim nasional. Hal ini kontradiktif dengan hasil Globalstocktake pertama untuk secara signifikan meningkatkan target iklim 2030. Selain itu, upaya penurunan emisi masih banyak bergantung pada penyerapan sektor penggunaan lahan dan kehutanan (LULUCF), minim pada sektor energi dan industri. 

Delima mengungkapkan bahwa untuk sejalan dengan jalur 1,5°C, Indonesia perlu menetapkan target penurunan emisi bersyarat (conditional) sebesar 850 juta ton setara karbon dioksida pada tahun 2030 dan turun menjadi 720 juta ton setara karbon dioksida pada tahun 2035, di luar  sektor pengunaan lahan (LULUCF). Indonesia sebagai negara berkembang, membutuhkan bantuan teknis dan finansial untuk mencapai target tersebut.  

“NDC yang ambisius berarti bentuk perlindungan terhadap kemanusiaan. Krisis iklim menyebabkan ketidakadilan. Masyarakat yang paling terdampak adalah masyarakat di negara-negara berkembang dan tropis seperti Indonesia, yang justru berkontribusi paling sedikit terhadap penurunan emisi, tetapi menderita paling besar akibat krisis iklim,” imbuh Delima. 

Ryna Cui, Associate Director, Center for Global Sustainability, University of Maryland, mengatakan bahwa profil emisi Indonesia didominasi oleh tiga sektor yakni penggunaan lahan, emisi gas metana, dan emisi dari sektor energi dan industri.   

“Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia (dalam menyusun SNDC) salah satunya, menjelang 2035  perlunya penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 33-40 GW pertahun. Kajian terbaru kami menunjukkan bahwa pada skenario ambisi tinggi (high ambition scenario) dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, kesesuaian dengan target Paris, kemampuan ekonomi, dan faktor kelestarian lingkungan, terdapat proyeksi untuk pengurangan emisi yang lebih seimbang di seluruh sektor,” kata Ryna. 

Ryna menambahkan, sektor energi dan limbah memiliki peluang besar untuk menurunkan emisi dalam waktu dekat. Pada sumber emisi CO₂ dari energi dan industri, sektor ketenagalistrikan menjadi pendorong utama, dengan potensi penurunan emisi 35–44% pada 2035. Sementara sektor industri dan transportasi masih akan tumbuh, laju peningkatannya diperkirakan melambat sebelum mulai menurun setelah 2040. 

Keberadaan pembangkit listrik captive berbasis batu bara di sektor industri masih menjadi tantangan utama. Karena itu, pengembangan sistem energi terbarukan yang terhubung ke jaringan (on-grid) diperlukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembangkit off-grid berbasis batu bara. 

Di sisi lain, porsi batu bara dalam pembangkitan listrik dapat turun dari 62% pada 2023 menjadi di bawah 15% pada 2035. Untuk mendukung transisi ini, diperlukan modernisasi jaringan listrik agar ketergantungan terhadap pembangkit captive dapat dikurangi. 

Share on :

Leave a comment