Jakarta, 8 November 2023 – Krisis iklim global menjadi tantangan terbesar yang dihadapi manusia pada abad ke-21. Krisis iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca telah menyebabkan kenaikan suhu global yang signifikan, dengan dampak yang semakin terasa, seperti peningkatan suhu, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, dan kerusakan ekosistem. Indonesia sebagai salah satu pihak yang menandatangani Persetujuan Paris telah berkomitmen dalam pengurangan emisi. Bahkan, Indonesia juga telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (E-NDCs) dengan meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Sebelumnya pada Updated NDC target penurunan emisi dengan upaya sendiri (unconditional) 29% menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%.
Berkaca dari ENDC terbaru Indonesia, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan target iklim Indonesia belum selaras (compatible) dengan ambisi Persetujuan Paris mempertahankan kenaikan suhu bumi pada level 1,5C, serta tidak mencerminkan urgensi menghindari perubahan iklim yang dampaknya kini melanda seluruh dunia.
“Berdasarkan asesmen yang dilakukan oleh Climate Action Tracker (CAT), target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia dinilai tidak memadai (highly insufficient), mengarah ke 2,4ºC. Agar bisa disebut compatible, emisi GRK Indonesia harus mencapai 850 MtCO2 di 2030 dan NZE di 2050 – 2060. Caranya, kita perlu melakukan penurunan emisi di sektor energi yang lebih ambisius lagi,” terang Fabby Tumiwa dalam acara Green Press Community 2023 pada Rabu (8/11/2023).
Fabby menuturkan, akselerasi penggunaan energi terbarukan memainkan peran kunci dalam mengurangi emisi GRK. Berdasarkan studi IESR berjudul Beyond 443 GW Indonesia’s Infinite Renewable Energy Potentials, potensi teknis energi terbarukan di Indonesia mencapai hampir 8.000 GW, dengan energi surya memiliki potensi terbesar sekitar 6.700-7.700 GW. Namun demikian, transisi energi membutuhkan dukungan secara regulasi, tekno-ekonomi, investasi dan sosial.
“Potensi besar tersebut apabila dimanfaatkan secara optimal akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan energi di Indonesia. IESR telah memproyeksikan kebutuhan kapasitas energi mencapai 1600 GW pada 2050. Lebih lanjut, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan listrik sebesar 1600 GW tersebut dari 100% energi terbarukan dan mencapai nir emisi pada 2050,” ujar Fabby Tumiwa.
Transisi energi tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas energi terbarukan, tetapi juga menciptakan kesempatan baru dan transformasi energi yang berkeadilan dan inklusif. Terlebih, teknologi dekarbonisasi dan energi terbarukan telah semakin murah dan terjangkau. Untuk itu, Fabby mendorong agar pemerintah segera membuat perencanaan yang lebih ambisius untuk mencegah krisis iklim di Indonesia.